"Dasar gadis tidak tahu diri!" teriak seorang wanita dengan memakai riasan tebal sembari menunjuk seorang gadis yang berdiri di depannya dengan mengenakan gaun pengantin.
"Putraku tidak akan datang ke acara pernikahan ini. Kau hanya melakukan hal sia-sia saja. Harusnya kamu mengaca pada dirimu sendiri," sambung Mira, wanita memakai riasan tebal itu dengan suara lantangnya. "Tapi, Tante, Aldo sudah berjanji akan menikahiku hari ini." Seyra, gadis yang mengenakan gaun putih anggun itu tampak membalas sorot mata dingin Mira, seorang wanita paruh baya di depannya yang dia pikir akan menjadi mertuanya. "Menikahimu?" Mira dengan gaya angkuhnya tampak terkikik remeh. Dia menatap Seyra dari atas hingga bawah dengan pandangan merendahkan. "Apa kamu tidak malu mengatakan hal tersebut?" Mira menggeleng masih dengan tatapan merendahkannya. Dia maju mendekat ke arah Seyra dan berhenti tepat satu langkah di depannya. "Kau terlalu menganggap dirimu tinggi. Kau tidak sepadan dengan Aldo. Kau dari golongan rendah. Sementara Aldo dari golongan kelas atas. Kalian benar-benar sangat tidak cocok." Suara bernada hinaan itu membuat suasana hati Seyra menjadi buruk. Semula ia mengira jika pernikahan ini akan berlangsung dengan bahagia. Sebab, Seyra dan Aldo sudah merencanakan pernikahan mereka dari beberapa bulan lalu. Namun, semua impian itu hancur seketika saat Mira menghina dan merendahkannya di depan para tamu. Bisik-bisik para tamu mulai naik ke permukaan. Sebagian dari mereka tampak menggunjing Seyra. Namun sebagian lainnya merasa kasihan melihat Seyra yang dipermalukan. "Di mana Aldo sekarang, Tante?" tanya Seyra dengan kedua tangannya terkepal kuat berusaha menahan emosinya. Sudah cukup ia mendapat penghinaan seperti ini. Dia harus meminta penjelasan dan ketegasan pria itu. "Untuk apa? Apa kau ingin merengek dan memohon untuk menikahimu?" Mira bersedekap sambil tersenyum sinis. "Dengar, Seyra, wanita itu harus punya rasa malu dan harga diri sedikit. Sudah tahu miskin, harusnya mencari pria yang sepadan denganmu. Jangan bergantung pada orang kaya seperti putraku. Itu namanya tidak tahu malu." Wajah Seyra sudah merah padam. Sejak tadi dia berusaha membendung emosinya saat Mira menghina dan menginjak-injak harga dirinya. Terlebih, Aldo yang diharapkan tidak datang di hari pernikahan mereka, membuat Seyra benar-benar merasa sakit hati, merasa dikhianati oleh pria yang selama ini dia cintai. Dia merasa dicampakkan seperti barang rongsokan yang tidak berharga sama sekali. Dan Seyra sudah tidak tahan lagi. Melihat Seyra yang masih terdiam, Mira kembali melanjutkan hinaannya. "Kamu itu nggak pantas bersanding dengan Aldo. Perbedaan status sosial kalian bagai langit dan bumi. Mau jadi apa Aldo kelak jika menikah denganmu. Apalagi asal usulmu dari keluarga berantakan. Kamu hanya akan__" "CUKUP!" Suara teriakan kemarahan Seyra berhasil membungkam mulut Mira. Beberapa tamu tampak terperangah melihat keberanian Seyra yang tampak meneriaki Nyonya besar dari keluarga Pratama. Ratih, Ibu Seyra dan beberapa kerabat lainnya yang sejak tadi terdiam pun dibuat tercengang melihat tindakan Seyra. Sementara Darwin, ayah Seyra yang baru tiba bersama istri dan putri lainnya, tampak ikut terkejut. "Nyonya nggak ada hak untuk menghina saya. Memang Nyonya pikir Nyonya siapa? Mentang-mentang Nyonya dari keluarga terpandang lalu seenaknya sendiri menghina orang lain? Sungguh, perilaku Nyonya saat ini menjatuhkan martabat Nyonya sendiri." Seyra membalas perkataan Mira dengan suara tak kalah tajam. Dia sudah tidak berniat lagi untuk melanjutkan pernikahannya bersama Aldo. Dia sangat menyesal karena sempat percaya dan menaruh harapan pada pria itu. "Kamu akan menyesal setelah ini. Tidak ada yang akan mau dengan wanita yang gagal menikah di hari pernikahannya. Itu benar-benar sangat memalukan," ucap Mira dengan tatapan sinis. "Oh iya? Kalau begitu aku akan membuktikannya." Di tengah kekalutan dan keputusasaan Seyra, dia berjalan mendekat ke arah seorang tamu pria yang sejak tadi memperhatikannya. Dia tahu siapa pria itu. Sudah beberapa minggu ini dia sering bertemu dan menyapanya saat akan memasuki kantor. Pria itu merupakan seorang satpam baru di tempat kerja Seyra. Dan satu minggu ini Seyra sudah mengenalnya. "Regan, aku nggak minta mahar apa pun. Tolong menikahlah denganku!" Seyra menatap Regan yang sedang duduk bersama tamu lainnya. Tatapan Seyra terlihat memohon disertai tangan yang gemetar. "Asalkan kamu mau menyelamatkan harga diriku, aku janji akan melakukan apa pun untukmu." Tangan gemetar Seyra menjulur ke depan berharap Regan mau menyambutnya. Dia benar-benar sudah putus asa dan bingung harus dengan cara apa lagi untuk menyelamatkan harga dirinya. Seyra terpaksa melakukan itu. Regan memandangi tangan gemetar Seyra yang masih mengapung di udara. Pandangannya terangkat, hingga matanya bertabrakan langsung dengan mata berembun Seyra. Regan yang sebenarnya tertutup hatinya, akhirnya menyambut tangan Seyra, merasa setuju untuk menjadi pengantinnya. "Di mana aku mengucapkan ijab kabul?" Suara berat Regan mulai terdengar, seolah membawa angin segar bagi Seyra. Akan tetapi, Darwin yang merupakan ayah Seyra berteriak seolah tidak menyetujui keputusan putrinya. "Seyra, apa otakmu sudah rusak?" Seyra menoleh, membalas tatapan tajam sang ayah. "Otakku memang sudah rusak saat ayah meninggalkan aku dan ibu demi keluarga lain." Seyra tertawa sumbang, menertawakan hidupnya yang berantakan. Ditinggalkan seorang ayah demi membahagiakan keluarga lain. Dan sekarang nasibnya tidak jauh berbeda dari ibunya. Dirinya ditinggalkan oleh kekasihnya di hari pernikahannya. "Pa, restui saja Seyra menikah dengan pria tidak jelas itu. Setidaknya papa tidak akan malu karena pernikahan Seyra gagal." Miranda berusaha membujuk Darwin untuk menyetujui keputusan gegabah anak tirinya. "Benar, Pa. Mending nikahkan saja mereka." Tania, saudara tiri Seyra ikut menimpali perkataan ibunya. Darwin terdiam sesaat, masih menimang-nimang keputusannya. Setelah beberapa detik, akhirnya Darwin menyetujui pendapat istri dan anak tirinya. Tanpa membuang waktu, Darwin menikahkan Seyra dengan Regan. Hingga keduanya kini resmi menjadi pasangan suami istri. "Apa-apaan ini? Kau berusaha ingin membalasku?" Mira merasa dipermalukan saat Seyra dalam sekejap berhasil mendapat pengantin pengganti pria. "Kau sudah sakit jiwa. Gagal menikah dengan putraku, lantas kau memungut pria sembarangan yang tidak jelas asal usulnya. Dasar gegabah! Kau akan menyesal setelah ini." Selesai mengatakan itu, Mira berlalu pergi. Dia tidak berminat untuk berlama-lama di tempat itu. "Tugasku sudah selesai. Jadi, aku tidak bisa berlama-lama di sini." Setelah melirik Ratih, istri pertamanya, Darwin segera beranjak meninggalkan tempat itu yang diikuti oleh Miranda. Sementara Tania tampak tersenyum mengejek. Dia menatap Seyra dan Regan secara bergantian. "Selamat yah. Kamu memang sangat cocok bersanding dengan seorang satpam. Paling nggak, itu sudah menunjukkan derajatmu." Tania langsung melenggang pergi setelah sempat menertawakan nasib Seyra yang malang. Ratih yang sejak tadi hanya menyaksikan, kini berjalan mendekati putrinya. "Ibu tidak tahu, apakah keputusanmu ini benar atau tidak. Ibu hanya berharap, jangan menganggap pernikahan ini adalah sebuah permainan. Kamu paham kan, maksud ibu?" Seyra mengangguk. Matanya lurus ke depan, menatap wajah ibunya yang nampak pucat. Sejak ayahnya menikah lagi, Seyra tinggal bersama ibunya yang menderita penyakit kronis. "Aku akan bertanggung jawab dengan keputusanku, Bu." Meski merasa ragu, Seyra berusaha menyakinkan ibunya. Drrtt! Seyra mendengkus kesal saat menatap ponselnya. Matanya menyorot dingin saat nama Aldo tertampang jelas di layar genggamannya. Seyra hendak menolak pangilan itu. Namun setelah dipikir-pikir, sepertinya dia perlu memberi penegasan pada pria pengecut itu. "Dasar pecundang! Jangan ganggu aku lagi! Kita putus," teriak Seyra pada Aldo di seberang sana. Dengan napas naik turun, ia segera mematikan panggilan ponselnya. Sementara Regan yang sejak tadi memperhatikan Seyra, kini memberanikan diri untuk bersuara. "Apa rencana kita selanjutnya?" Seyra menoleh cepat, menatap Regan yang sedang menunggu jawabannya. "Kita akan melakukan apa yang mesti kita lakukan. Kita sudah menjadi suami istri. Jadi, kita akan tinggal bersama." "Kamu yakin?" tanya Regan memastikan. Seyra meremas ke sepuluh jarinya yang berkeringat, sebelum ia menjawab, "Aku nggak seyakin ini sebelumnya.""Kamu belum tidur?" Seyra berjalan masuk ke dalam sembari melirik Regan yang sedang berdiri di depan jendela terbuka. Gadis itu membawa sebuah bantal dan kasur tipis, lalu meletakkannya di atas tempat tidur. "Tidurlah! Ini sudah malam. Besok kamu kerja, kan?" Seyra berjalan mendekati Regan yang masih betah menatap pemandangan di luar jendela. Regan menutup jendelanya rapat, lalu berbalik menatap Seyra yang kini sudah berdiri di depannya, mengenakan piyama tidur. Untuk beberapa saat Regan memperhatikan Seyra yang tampak canggung. Berkali-kali gadis itu mengusap tengkuk untuk mengurangi rasa gugupnya. "Regan, kamu bisa istirahat di tempat tidurku. Aku akan tidur di bawah." Tanpa menunggu tanggapan Regan, Seyra berjalan menuju tempat tidur hendak merapikannya. Namun langkahnya terhenti saat Regan menahan lengannya. "Biar aku yang tidur di lantai." Regan melepas lengan Seyra. Diambilnya kasur tipis yang berada di atas tempat tidur. Lalu menggelarnya di lantai. Regan menoleh k
Siang hari, kantor begitu ramai dan sibuk. Suara mesin fotokopi serta telepon yang berdering menambah kegaduhan di ruangan itu. Seyra tampak sibuk di depan layar komputer dengan ke sepuluh jari-jarinya yang bergerak cepat di atas keyboard. Sudah satu tahun dia bekerja sebagai staf marketing di perusahaan Pratama Corp, atas rekomendasi Aldo. "Seyra, tolong kamu antarkan dokumen laporan tentang hasil kampanye dan aktivitas pemasaran ke ruang direktur," ucap Nadia, salah satu rekannya. Seyra menghentikan aktivitasnya. Wajahnya terangkat menatap rekan kerjanya yang berdiri di seberang bilik mejanya. "Kenapa kamu nggak antarkan sendiri saja?" Rasanya Seyra sangat malas jika dia harus bertemu dengan sang direktur. Entah mengapa ia merasa jika Nadia seolah sengaja melakukan itu. "Nggak bisa. Aku sibuk banget. Buruan sana!" Nadia melempar dokumen hingga mendarat tepat di atas meja Seyra. Seyra berdecak. Meski begitu, ia mengambil dokumen tersebut dan membawanya ke ruang manajer. Langka
Seyra langsung menuju rumah sakit setelah mendengar kabar ibunya dirawat di sana. Dia menutup mulutnya ketika dokter mengatakan jika ibunya harus segera dioperasi."Kami harus segera mengangkat tumor ganas di dalam lambung pasien. Jika tidak, kondisi pasien terancam."Seyra menggeleng kuat saat mendengar kabar itu. Dia tidak menginginkan ibunya dalam kondisi berbahaya. Apa pun yang terjadi ibunya harus selamat. "Tolong saya, Dok! Lakukan apa pun agar ibu saya selamat.""Kalau begitu, silahkan ke ruang administrasi."Seyra berlari menuju ke ruang administrasi. Ketika ia menanyakan soal biaya operasi, lututnya seketika lemas. Dia nyaris ambruk seolah tidak sanggup menopang tubuhnya. Biaya yang dibutuhkan tidaklah sedikit. Dia tidak memiliki tabungan yang cukup untuk membayar biaya operasi tersebut."Ya, Tuhan, ke mana aku harus mendapatkan uang sebanyak itu?"Seyra berjalan lesu ke arah kursi panjang yang berada di taman rumah sakit. Wajahnya menunduk dengan kedua tangan memegangi kepa
"Regan, ibu akan dioperasi dan membutuhkan biaya yang nggak sedikit. Bisakah kamu menolongku?"Dengan wajah basah, Seyra memohon pada Regan. Dia sadar apa yang dilakukan saat ini adalah hal gila. Mana mungkin Regan memiliki uang sebanyak itu untuk membantu operasi ibunya. Sementara pekerjaan dia hanya seorang satpam yang memilki gaji kecil.Seyra hanya mencari peruntungan saja di tengah kekalutannya.Regan hanya terdiam, mengamati wajah Seyra yang tidak berhenti mengeluarkan bulir kristal. Gadis itu tampak kacau dan sangat menyedihkan.Melihat keterdiaman Regan, Seyra mengira jika pria itu merasa keberatan. Dia berpikir jika sudah salah meminta bantuan padanya.Harusnya dia tidak melakukan itu."Maaf, Regan. Aku benar-benar nggak tahu diri. Harusnya aku nggak membebanimu."Seyra mengusap kasar wajahnya. Dia memaksakan senyum, lalu bangkit berdiri. Dia sadar apa yang dilakukannya saat ini benar-benar memalukan. Pria itu sudah menyelamatkan harga dirinya saat pernikahan kemarin. Seharus
Tidak seorang pun yang tahu tentang keberadaan Regan. Sudah beberapa hari ini pria itu tidak menampakkan diri. Seyra pun mulai putus asa dan merasa bingung harus mencari suaminya itu di mana. Dia tidak memiliki nomor ponsel, apalagi mengetahui tempat tinggal pria itu. Seyra merasa cemas. Meskipun pernikahan mereka tidak didasari oleh cinta, seharusnya Regan tidak meninggalkannya begitu saja tanpa kabar. Waktu berlalu tanpa kejelasan. Sampai akhirnya, saat Seyra pulang kerja, Ratih tampak menegurnya ketika melintasi ruang tengah. "Seyra!" Langkah Seyra terhenti. Dia menoleh ke arah ibunya yang saat ini duduk di kursi kayu sambil menatap ke arahnya. "Apa yang sebenarnya terjadi dengan Regan?" Sejak kemarin wanita paruh baya itu terdiam, selain karena kondisinya masih lemah, dia juga tidak ingin ikut campur dalam rumah tangga putrinya. Namun melihat kejanggalan dan kecemasan dalam raut wajah putrinya, tentu saja dia tidak tahan untuk menanyakan penyebabnya. "Mengapa sudah beb
Seyra kembali menatap dokumen penting hasil kerja kerasnya yang kini basah terkena tumpahan kopi. Dia merasa kesal sekaligus frustasi, karena dia tahu jika apa yang dilakukan Tania bukanlah sebuah kecelakaan. "Kenapa kau melakukan ini?" Suara Seyra pelan, namun terdengar menekan. Matanya yang sempat tertuju pada dokumen kotor di atas meja, kini perlahan menoleh ke arah Tania yang masih berdiri bersedekap di samping mejanya. "Sebenarnya apa maumu?"Tania tersenyum miring melihat kilat kemarahan di kedua mata Seyra. Dia semakin terpancing untuk membuat saudara tirinya itu meledak, hingga tanpa sadar akan membuat kesalahan. "Kamu terlalu paranoid, Seyra. Aku nggak punya alasan apa-apa. Karena itu memang murni kecelakaan."Seyra bangkit dari tempat duduknya, dan kini berdiri berhadapan langsung dengan Tania. Dia masih mengamati wajah licik saudara tirinya itu, lalu berkata dengan nada tajam. "Aku tahu kau sengaja melakukan itu. Jika kamu memiliki kemampuan, harusnya tidak perlu memakai c
"Berhenti, Seyra!" Aldo berusaha menghadang langkah Seyra yang kini tampak berniat melangkah keluar dari gedung perusahaan. Pria itu tidak menyangka jika masalah yang sempat terjadi membuat Seyra memilih untuk mengundurkan diri."Mau apa lagi?" Amarah masih menguasai diri Seyra. Ekpresinya tampak tegas dan keras. Tatapannya terlihat menantang seolah ada dendam dan luka yang tersembunyi di dalam diri gadis itu."Jangan mengambil tindakan gegabah! Aku tahu kamu marah karena masalah tadi. Tapi tidak seharusnya kamu mengundurkan diri," ucap Aldo, terdengar seperti membujuk. Dia tidak mungkin membiarkan Seyra keluar begitu saja dari perusahaan. Terlebih gadis itu memiliki kemampuan yang cukup diandalkan."Lagi pula mencari pekerjaan di luaran sana begitu sulit. Jadi pikirkan baik-baik sebelum mengambil keputusan," lanjutnya, masih berusaha mempengaruhi Seyra agar mengurungkan niatnya.Seyra masih menatap Aldo, menatap wajah pria yang pernah singgah di hatinya. Cukup lama. Jujur saja sampa
Seyra mengerjapkan matanya saat sinar mentari pagi menerobos tirai jendela kamarnya. Dia masih bergeming di atas tempat tidur, merasa tidak perlu terburu-buru untuk bangun atau melakukan rutinitas seperti biasanya.Namun, ketukan pintu kamar membuat Seyra terpaksa bangkit, walaupun sebenarnya dia merasa enggan meninggalkan tempat tidurnya."Seyra, kenapa jam segini baru bangun? Nanti kamu terlambat bekerja," tegur Ratih, saat pintu kamar terbuka.Seyra berniat ingin berbicara jujur pada ibunya. Namun setelah berpikir sejenak, dia takut jika ibunya khawatir jika dirinya tidak memiliki pekerjaan. Dia tidak ingin membebani ibunya dan membuatnya cemas memikirkannya."Iya, Bu. Aku akan segera bersiap-siap." Pada akhirnya Seyra memilih untuk tidak jujur. Dia berencana akan melamar pekerjaan dan berharap menemukan keberuntungannya hari ini."Ya sudah, nanti ibu siapkan bekal ya."Seyra mengangguk. Kemudian saat ibunya pergi, dia segera membersihkan diri dan bersiap-siap memakai kemeja kantor
"Maaf," kata Seyra pelan. "Maafkan aku. Aku benar-benar tidak bermaksud meragukanmu." Seyra menyentuh lengan Regan dan mengusapnya lembut, membuat tubuh pria itu yang sempat menegang, kini tampak lebih rileks.Satu tangan Regan terangkat dan menyentuh tangan Seyra yang masih berada di lengannya. Dia menggenggamnya dan meremasnya pelan. "Aku harap kamu selalu percaya denganku."Seyra mengangguk, lalu tersenyum. "Aku percaya padamu."Regan mengembuskan napas lega. Di melepaskan tangan Seyra dan beralih menatap ke depan, fokus menyetir.Seyra membenarkan posisi duduknya menghadap ke depan, menatap jalanan yang cukup lengang. Setelah beberapa menit terdiam, akhirnya Seyra kembali bersuara, merasa penasaran dengan wanita yang akan dijodohkan dengan Regan."Regan, wanita yang duduk di dekat kakekmu tadi adalah wanita yang sempat aku temui di butik," kata Seyra sambil memperhatikan ekspresi Regan dari samping. "Aku tidak menyangka jika dia ternyata ... wanita yang dipersiapkan kakek untukmu.
Regan memasang wajah tenang, tanpa terpengaruh dengan suara keras dan kemarahan Bastian. Dia hanya melirik sekilas ke arah wanita yang duduk di sofa tidak jauh dari kakeknya. Dia cukup mengenal wanita itu dan sekarang dia tahu alasan kenapa kakeknya menyuruh cepat-cepat pulang."Kakek, kami datang ke sini dengan maksud baik. Kami hanya ingin memberitahukan jika kami sudah menikah," kata Regan dengan suara rendah, tanpa ada campuran nada emosi."Menikah?" Suara Bastian terdengar marah. "Apa kalian pikir aku akan memberikan restu untuk hubungan kalian?" Dia menggeleng pelan, matanya menyorot tajam pada Regan yang masih berdiri tenang sembari menggandeng tangan Seyra."Jangan berpikir mendapat restu dariku setelah kau menikahi wanita seperti dia!" Bastian menunjuk Seyra yang saat ini tampak menegang di pijakannya.Melihat tatapan tajam Bastian yang tertuju ke arahnya, tanpa sadar Seyra meraih lengan Regan, seolah mencari perlindungan pada suaminya itu."Regan," bisik Seyra pelan, membua
Regan dan Seyra baru saja memasuki butik. Mereka berdua langsung berkeliling untuk mencari pakaian yang cocok. "Seyra, kamu pilihlah pakaian sesukamu. Aku akan menunggumu di sana." Regan menunjuk sofa yang berada di pojok ruangan.Seyra mengangguk. "Apa kamu tidak memilih pakaian?" Dia menunjuk deretan pakaian pria pada Regan. "Tidak perlu. Pakaianku sudah banyak," balas Regan sambil tersenyum."Baiklah." Seyra langsung mulai mengelilingi deretan pakaian yang tersusun rapi di rak. Sementara itu, Regan duduk di sofa yang nyaman di sudut ruangan, sembari membaca majalah mode yang ada di meja kecil.Seyra sibuk memilih-milih pakaian yang sesuai dengan selera dan kebutuhannya. Ia mencoba beberapa gaun, blus dan rok yang ia rasa cocok untuk dipakai dalam berbagai acara."Sepertinya gaun itu bagus." Seyra merasa tertarik dan mendekati gaun itu. Saat ia mengambil sebuah gaun yang dia suka, ia melihat seorang wanita cantik dengan rambut panjang tersusun rapi, sedang memegang gaun yang sama
Seorang wanita cantik dengan tubuh semampai dan langkah anggun memasuki kediaman Osvaldo. Tubuhnya yang sempurna dibalut oleh gaun dan aksesoris berkelas. Dia dijemput oleh seorang pelayan yang membawanya ke ruang keluarga.Wanita itu melangkah dengan mata yang berkeliling, mengamati setiap sudut ruangan yang terlihat megah dan klasik. Lukisan-lukisan tua bergaya renaissance menghiasi dinding. Sementara furniture mewah mencipkatan suasana yang begitu hangat dan nyaman.Di pojok ruangan, wanita itu melihat Bastian yang duduk dengan santainya, menyusuri halaman dari sebuah buku klasik.Sang pelayan mendekat, dan berkata dengan sopan. "Tuan Besar, ada Tamu untuk Anda."Bastian mengangkat kepala dan melihat ke arah wanita cantik itu. Senyum lembut terukir di wajahnya, lalu menutup buku dan meletakkannya di atas meja. "Selamat datang, Lily. Bagaimana kabarmu?" sapa Bastian, menyebut nama wanita cantik itu. "Aku baik, Kek," balas Lily sambil tersenyum manis.Kemudian Bastian mempersilahka
Matahari pagi mulai menerobos lewat cela-cela korden, membuat cahaya hangat memancar dengan lembut ke dalam ruangan. Seyra menggeliat di dalam pelukan Regan, merasa tubuhnya remuk akibat sentuhan ganas suaminya sepanjang malam. Dia tidak menyangka jika Regan begitu bergairah, seolah tidak mempedulikan kebutuhan istirahatnya.Namun meskipun lelah, Seyra tidak bisa menahan senyum saat melihat wajah tampan Regan dari jarak sedekat ini. Dia bisa menikmati semua bagian-bagian wajah pria itu yang tampak sempurna di matanya."Selamat pagi." Regan membuka mata perlahan dan tersenyum hangat pada istrinya.Seyra membalas sapaan Regan dengan bibir cemberut. "Gara-gara kamu, sekarang aku sulit bangun dari tempat tidur."Regan terkekeh pelan. Kedua tangannya semakin erat mendekap Seyra. "Kalau begitu, tidak usah bangun. Kita bisa menghabiskan waktu sepanjang hari di dalam kamar."Seyra mencubit perut kotak-kotak Regan dengan kesal. "Kalau seperti itu, aku bisa-bisa mati di tempat tidur. Kamu tida
Atmosfer ketegangan melingkupi ruangan itu. Terlebih melihat wajah seorang Nyonya Pratama yang tampak mengeras, begitu tidak bersahabat. Tania secara refleks menundukkan kepala saat tatapan tajam Mira seolah ingin mengulitinya. Hubungan dia dan Aldo, belum diketahui oleh Mira. Karena Mira menginginkan Aldo menikah dengan keluarga terpandang dan bersih dari skandal."Tunggu apa lagi! Sekarang keluar!" perintah Mira dengan suara tegas.Tania terhenyak di pijakannya. Dia sedikit mengangkat wajahnya untuk melihat ekspresi Mira yang tidak bersahabat. "Sekali lagi saya minta maaf, Nyonya."Mira hanya menanggapinya dengan wajah dingin. Dia mengibas-ngibaskan tangannya, menyuruh Tania untuk segera keluar.Tania menatap sebentar ke arah Aldo yang hanya diam, tanpa berusaha menahan atau membelanya. Dengan tatapan kecewa, Tania berbalik dan segera keluar dari ruangan itu. Saat sampai di meja ruangannya, ia membuka genggaman tangannya, menatap testpack yang menunjukkan garis dua. Padahal Tania b
Aldo sedang sibuk dengan pekerjaannya di kantor. Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dengan keras. Mira muncul dengan raut wajah masam dan langsung membanting tasnya di atas meja.Aldo yang sedang fokus memeriksa laporan, tersentak kaget melihat tindakan ibunya. Dia menatap ibunya yang kini duduk di kursi depan meja kerjanya. "Mama kenapa?"Mira menatap tajam Aldo dan menjawab dengan suara yang sedikit tinggi. "Aku tadi bertemu dengan Seyra. Dia mempermalukan mama di toko perhiasan. Aku tidak menyangka, Seyra yang dulunya terlihat sopan dan lembut, kini berubah menjadi kurang ajar dan menghina mama."Wajah Aldo langsung berubah serius ketika mendengar nama Seyra disebut oleh ibunya. Dia menghentikan aktivitasnya sejenak, dan fokus memandang ibunya dengan penuh rasa penasaran. "Seyra? Mantan kekasihku? Apa yang dia lakukan, Ma?"Mira menghela napas panjang sebelum menceritakan kejadian di toko perhiasan tadi. Tentu saja dia melebih-lebihkan kejadian yang sebenarnya, agar Aldo semakin memb
Tatapan sang manajer beralih ke arah Seyra. Matanya bergulir dari atas hingga ke bawah, meneliti penampilan wanita itu. Dia bisa menebak, jika Seyra hanyalah seorang pekerja kantoran."Maaf, Nona. Mungkin lebih baik Nona mengalah. Masih banyak perhiasan model lain di toko ini. Biarlah Nyonya ini yang memiliki perhiasan itu," ucap sang manajer, berusaha masih menjaga kesopanannya."Tidak bisa. Saya yang akan tetap membeli perhiasan ini. Harusnya Anda bersikap profesional," kekeh Seyra pada pendiriannya. Dia tidak sudi menyerahkan perhiasan pilihannya pada orang yang sudah berulang kali menghinanya."Saya mohon, jangan dipersulit! Nona lebih muda. Harusnya Nona bisa mengalah." Manajer itu masih berusaha keras membujuk Seyra.Bila saja yang menginginkan perhiasan itu adalah orang lain, mungkin Seyra akan mau mengalah. Namun Mira sudah menginjak-injak harga dirinya, bahkan menghina ibunya dengan keji, tentu saja Seyra tidak mungkin terima dan mau mengalah, meski Mira lebih tua darinya.Se
"Tidak. Saya yang lebih dulu memilih perhiasan itu. Jadi saya lebih berhak dari Nyonya. Anda tidak bisa ambil barang yang bukan milik Anda." Seyra tidak akan mengalah. Sudah cukup dia dihina dan direndahkan di hari pernikahan. Kali ini dia harus membalas penghinaan itu dan tetap mempertahankan harga dirinya. Dia tidak akan membiarkan Mira menginjak-injak dan mempermalukan dirinya untuk kedua kalinya.Pelayan berusaha memberi pengertian pada Mira. "Maaf, tapi aturan kami adalah barang akan diberikan kepada pelanggan yang lebih dulu memilihnya.""Ini tidak adil!," ucap Mira dengan marah. "Aku tidak mau tahu, pokoknya aku mau kalung itu sekarang juga.""Tapi, Nyonya ...." Mira mengangkat tangannya, menyuruh sang pelayan untuk diam.Kemudian tatapan tajam Mira tertuju pada Seyra yang masih tidak gentar menghadapinya. "Kamu pasti hanya menggertak. Kamu pasti tidak sanggup membayar kalung itu kan?""Saya sanggup," balas Seyra yakin.Mira mengerang kesal. Dia tidak menyangka jika Seyra masi