Suasana di antara keduanya kian menegang. Hawa panas dan gerah semakin terasa setelah Aiden mendengar ucapan sang istri. Tubuhnya membeku, sebelum perlahan tatapannya berubah ragu.“Kamu nggak lagi bercanda atau nyari-nyari alasan aja kan, Sya?” tanya Aiden.“Nggak guna Alsya cari-cari alasan aja, Kak. Makanya kalo Alsya cerita dengerin dulu. Jangan maunya didenger aja,” cetus Alsya sambil mendorong tubuh Aiden serta melepas cengkeramannya.Tanpa menunggu respon dari suaminya, Alsya langsung berjalan ke arah pintu. Hendak pulang menuju kost yang ia tinggali.“Sya, tunggu! Ceritain dulu semuanya dengan jelas, Sya,” pinta Aiden berlari mendahului langkah Alsya dan merentangkan kedua tangannya. Menghalangi langkah Alsya agar tidak pergi.“Awas! Aku mau pulang,” ketusnya.Aiden menggeleng cepat. Akan tetapi ia teringat jika apartement yang ia tempati hanya dapat dibuka dan dikunci menggunakan sidik jari dan sandi. Sedang wanita di hadapannya tidak tahu sandi apartement ini.“Baik. Silakan
"Nggak jadi pulang?" tanya Aiden menyadarkan Alsya yang kini terpaku di depan pintu apartement.Gadis itu cepat-cepat berjalan keluar dan bergegas menuju lift. Meninggalkan Aiden yang terkekeh pelan melihat tingkah sang istri.Di dalam lift, Alsya terus menatap angka yang semakin lama kian turun. Tidak memperhatikan Aiden hingga mereka tiba di lantai satu.Karena Alsya yang terlalu banyak pikiran, membuat dirinya menjadi tidak fokus. Ditambah Aiden begitu suka menjahilinya.***Tepat pukul setengah sembilan malam, Alsya tiba di kost-an. Tentu dengan kehadiran Bu Yati yang sudah menunggu di dekat pagar besi yang melingkupi seluruh area kost."Kamu dari mana, Sya?" tanya Bu Yati sudah seperti seorang ibu yang menunggu kepulangan anak gadisnya."Maaf, saya terlambat mengantar Alsya pulang, Bu. Tadi ada sedikit kejadian di jalan. Jadi Alsya menemani saya," jawab Aiden mewakili.Bu Yati menatap keduanya bergantian, lalu kembali fokus pada Alsya. "Benar begitu, Sya?" tanya beliau memastikan
Dengan napas terengah-engah, dan kepala yang sedikit sempoyongan, Cakra dapat melihat jika kini sang kekasih yang tengah marah menoleh ke arahnya. “Ayo balik ke aku, Sya,” lirih Cakra berharap permintaannya kali ini terkabul.Namun, baru saja matanya berbinar karena Alsya benar-benar berputar balik ke arahnya, cahaya di mata Cakra meredup, sebab gadis itu justru mengeluarkan ponsel dan terlihat sedang bicara dengan seseorang di balik telepon.*** Alsya masih tidak yakin dengan ucapan kekasihnya. Lagi pula untuk apa Cakra begadang di dekat kostnya jika tidak ada keperluan apa-apa. Tetapi, baru saja dia hendak bertanya lebih jelas, ponsel dalam tote bagnya lebih dulu berdering.“Iya, Alsya udah berangkat ke kampus,” jawab Alsya ketika sang suami ternyata sedang mencari keberadaannya.[“Kamu sudah bilang sama Cakra kalau aku mau ketemu dia?”] tanya Aiden.Alsya lalu melirik Cakra yang masih terpaku di tempatnya. Ia merentangkan kelima jarinya, meminta pria itu untuk menunggu sejenak.“H
Alsya mendelikkan mata pada Aiden, agar sang suami tidak tersinggung dengan sapaan Cakra padanya."Panggil Kak aja, Ka," ucap Alsya setelah berdeham pelan agar tidak tertawa."Ini aku udah pesanin menu untuk kamu. Nasi goreng seafood sama lemon tea," ujar Alsya menyodorkan makanan pada Cakra dan langsung disambut dengan senyuman lebar oleh kekasihnya."Makasih ya calon makmum," balas Cakra semakin membuat Aiden mengeram menahan marah.Tatapannya berubah tajam pada Alsya yang kini wajahnya merona merah. Sedang bersama dirinya, gadis itu selalu memasang raut muka sinis, tidak suka, dan wajahnya kerap merah padam."Oke, Kak Aiden," sapa Cakra memalingkan wajah dari kekasihnya dan menatap pria lain di meja mereka."Bisa kamu ceritakan tentang pria bernama David, yang kata Alsya adalah teman kamu itu?" Ucap Aiden to the point.Tidak betah duduk berlama-lama dengan kekasih istrinya. Ditambah Alsya terlihat lebih bahagia, dibandingkan saat mereka hanya berdua."Tepatnya mantan teman. Karena
"Kamu sudah siap-siap untuk jadi imam buat Alsya?" Sorot mata Aiden yang dalam, memperlihatkan dengan jelas jika kali ini dirinya serius. Keduanya dapat memahami isi hati dan pikiran satu sama lain, karena tahu jika Alsya dan keluarganya tidak sembarang memilih lelaki."Ini sambil siap-siap, Kak," aku Cakra.Pria itu sama sekali tidak menampik atau menyombongkan diri dengan berbohong di hadapan Aiden. Karena pada kenyataannya dia memang masih belajar untuk menjadi imam yang baik bagi Alsya, meski justru Alsya lah yang banyak membuat dirinya berubah.Tidak ingin membuat suasana di antara mereka menjadi dramatis, Alsya pun mencari inisiatif lain."Gimana kalo kita ke rumah sakit? Jenguk korban yang kemarin," ajak Alsya dengan mata berbinar pada Aiden dan Cakra."Jangan mengalihkan pembicaraan, Sya," peringat Aiden hanya diganggap angin lalu oleh Alsya.Gadis itu meraih tote bagnya dan beranjak dari bangku kafe."Ayo, Ka. Kamu pasti mau kan temenin aku? Kalo Kak Aiden sibuk, Alsya berd
Alsya dan Radika terlonjak mendengar bentakan Tomi kakak dari Radika."Kalian pikir uang yang kalian beri bisa mengembalikan nyawa ayah saya hah?!" sergah Tomi menunjuk tamu di hadapannya.Cakra pun tak kalah terkejut saat mengenali siapa tamu yang bertandang ke rumah almarhum Pak Sudrajat tersebut.Di sebelah Cakra, Aiden langsung mendekati Tomi dan berkata, "Sudah, Tom. Tidak enak didengar orang," bujuk Aiden menepuk pelan pundak Tomi."Dia orang tua David, Kak," ujar Cakra memberitahu Aiden.Sepasang suami istri itu lantas menoleh ke arah Cakra. Pria yang mereka anggap telah membuat anaknya menjadi berandalan seperti sekarang.Sedang di dalam bilik, Alsya dan Radika yang mendengar ucapan Cakra pun memilih untuk keluar dari persembunyian mereka.Tatapannya lalu bertemu dengan manik mata Tante Ratna—Mama David yang sempat mengatainya wanita sok suci.Meski ini merupakan pertemuan kedua mereka, dan situasi yang hampir serupa, Alsya masih dapat merasakan kebencian di mata beliau.Tidak
“Aku yang keberatan!” serobot Alsya mendekati Aiden dan Cakra.“Kenapa, Sya? Ini juga demi kebaikan kamu. Atau kamu mau aku nginap di depan kost lagi?” tawar Cakra tidak menghiraukan tubuhnya yang sangat lelah.Alsya menggeleng cepat. Sedang Aiden menatap bingung sepasang kekasih di samping mobilnya. Terutama pada Cakra. Pertanyaan sekaligus pernyataan itu terdengar rancu.Ditambah Alsya pula tidak memberitahunya apa pun yang dilakukan Cakra hari ini sebelum mereka bertemu.“Apa ini ada kaitannya dengan omongan dia tadi?” terka Aiden menduga-duga.“Kalo sekarang itu buru-buru banget. Nanti dikira penghuni kost aku ada apa-apa,” kritik Alsya.“Pokoknya Alsya baru pindah tiga hari lagi. Lagian kan dia juga ada di penjara. Mana mungkin dia ngapa-ngapain Alsya,” lanjut Alsya menjelaskan semua persepsinya.“Kamu itu aneh ya. Tadi kamu tanya aku, kamu harus tidur di mana. Aku tawarin tidur di apartementnya Kak Aiden kamu malah nolak,” ujar Cakra diiringi kekehan pelan.“Pokoknya Alsya tetap
“Welcome Alsya. Akhirnya gue bisa ketemu lo sendirian. Tanpa ada mereka,” ucap supir taksi gadungan yang telah membawa lari Alsya.Alsya yang dilanda rasa cemas, bergegas mengeluarkan ponselnya. Hendak menghubungi Cakra maupun Aiden. Sayang, belum sempat gadis itu menyalakan layar ponsel, supir taksi di hadapannya sudah lebih dulu menepis tangan Alsya dengan kuat. Membuat ponsel miliknya terpental dan menghantam kaca mobil.“Jangan coba-coba hubungi mereka! Atau lo bakal mati sekarang,” ancam supir di depan Alsya.“Stop David! Kamu mau apa? Bukannya kamu di penjara?” tanya Alsya menarik tubuh mundur. Berusaha menjauh dari pisau yang diacungkan David padanya.“Ya! Gue sebelumnya memang di penjara. Tapi sekarang gue ada di depan lo Alsya Elviana Cantika,” jawab David dengan senyum iblis terpancar jelas di wajahnya.Alsya bergidik ngeri. David tidaklah seperti orang normal biasanya. Mata lelaki itu memerah dan sedikit berair. Namun, Alsya yakin jika pria itu bukan sedang sakit mata.“Le