"Ma, aku boleh tanya?" Yuri, gadis berdarah campuran dengan surai hitam itu bertanya pada Mamanya di depan teras rumah.
"Hm?" Wanita paruh baya yang sedang menyeruput secangkir teh itu menjawab.
Tidak ada yang spesial dengan hari ini. Hanya hari libur biasa yang anak-ibu itu habiskan di dalam rumah. Family time sederhana. Sang kepala keluarga sedang berada di luar negeri sehingga membuat mereka berdua tidak berniat pergi kemana-mana.
"Aku boleh ngelakuin sesuatu?"
"Kamu udah gede, Yuri. Mama nggak akan ngelarang-ngelarang kamu ngelakuin sesuatu kecuali yang berbahaya."
"Bukan gitu, Ma...."
"Terus?"
"Aku ... aku pengen nikah."
Uhuk!
Mama menaruh cangkirnya, batuk-batuk karena tersedak. Wanita itu melotot ke arah Yuri, menyentuh dahinya dengan punggung tangan beberapa saat kemudian. "Kamu sakit?"
Yuri mendesah lelah. "Aku sehat, Ma. Aku nggak sakit. Aku cuma pengen nikah."
"Kamu lagi suka orang apa gimana? Kenapa mendadak? Kamu masih kecil, Yuri. Gimana kuliahmu nanti?" Mama langsung menyerangnya dengan berbagai pertanyaan.
Yuri menghembuskan napas sebal. "Padahal Mama baru aja bilang aku udah gede." Yuri mengerucutkan bibir. "Lagi pula aku udah 20 tahun, Ma. Dua tahun lagi aku bakal wisuda. Aku beneran pengen nikah."
Mama memijat keningnya pening. Beberapa detik kemudian ekspresinya berubah. "Jangan bilang.... Yuri, kamu hamil?! Astaga... Bilang ke Mama siapa yang ngehamilin kamu!"
Yuri lagi-lagi mendesah lelah. Ia menekuk wajah sebal. "Aku nggak hamil, Ma. Anak Mama nggak segampangan itu tidur sama cowok meskipun pacar sendiri."
"Terus..." Mama menghela napas sejenak, menormalkan emosi yang hampir meledak. "Pacar kamu sekarang siapa?"
Yuri menggeleng.
"Maksudnya apa? Kenapa geleng-geleng kepala?"
"Aku nggak punya pacar." Yuri menjawab sekenanya.
"Astaghfirullah, Yuri... Terus kamu mau nikah sama siapa, Sayang?" Mamanya sekarang sungguhan darah tinggi. Sepertinya Yuri sukses membuat wanita itu emosi pagi-pagi.
"Nah itu masalahnya. Aku nggak tahu mau nikah sama siapa."
Mama menatapnya tak percaya.
Yuri mendempet wanita paruh baya di sebelahnya, memberi tampang memelas. "Aku boleh nikah kan, Ma? Aku udah siap nikah serius. Tapi bantuin aku sesuatu."
"Apa lagi?" Mamanya menjawab frustasi.
"Bantu aku cari suami, ya, Ma?"
"Hah?" Mama melototkan mata, menatap dirinya antara sebal dan tidak percaya. "Kamu anak siapa sih, Yuri?!"
Yuri hanya nyengir kuda. "Anak Mama Papa lah. Masa anak tetangga sebelah."
"Emangnya kamu udah siap hamil? Udah siap ngurus ini itu? Ngurus suami, ngurus rumah? Mama nggak yakin, Yuri. Kamu aja masih manja nggak karuan."
Yuri terdiam sejenak, bertanya, "Emang nikah harus hamil? Lagian kan enak Mama bisa bebas dari aku yang manja. Aku gantian manja-manja ke suami," katanya, tersenyum membayangkan hal-hal indah.
Mama menghela napas, menatap iba ke arahnya. "Kamu pikir nikah cuma buat manja-manja? Nikah itu tanggungjawabnya berat, Sayang. Apa lagi kamu masih sekolah. Mama tambah nggak yakin sama kamu."
"Terus?" Yuri bertanya memastikan.
"Kamu nggak boleh nikah."
Bersambung.
Yuri paling tidak suka rencana yang sangat ia inginkan ditolak begitu saja oleh orang tuanya. Tidak hanya Mama, tetapi juga Papanya.Apa yang salah dengan menikah? Bukannya itu hal yang baik mengingat pacaran zaman sekarang benar-benar mengerikan. Setidaknya jika Yuri khilaf dengan suaminya, ia tidak akan merasa bersalah karena hubungan mereka sudah sah.Astaga... Memang siapa yang akan menjadi suaminya?Yuri sadar dirinya masih terlalu muda; 20 tahun. Ia bahkan janji pada Papanya hanya menikah dan tinggal bersama dengan calon suaminya—tidak melakukan hubungan suami-istri sebelum lulus kuliah. Tetapi Papa malah marah-marah, bilang mana ada lelaki yang ingin menikah, tetapi tidak melakukan hubungan suami-istri terlebih dahulu selama 2 tahun lamanya.Lagi pula, memangnya menikah hanya untuk hal itu-itu saja, ya? Ada banyak kegiatan romantis ya
Jiro membenarkan jas hitam yang ia pakai sebelum masuk ke ruang direktur utama, melakukan pekerjaannya sebagai manajer yang biasa melapor tugas pada direktur. "Ini berkas laporannya, Pak. Saya udah sortir seperti biasa."Pria setengah abad yang merupakan bos di perusahaannya itu mengangguk. Namanya Adam Williams. Satu-satunya orang yang Jiro segani karena telah membantunya bertahan hidup selama hampir 15 tahun."Apa semuanya lancar? Rekrutmen karyawan bulan ini."Jiro mengangguk. "Seperti biasa, semua lancar. Selanjutnya tinggal pelatihan."Pak Adam kembali mengangguk, membuka berkas yang ia bawakan sebentar untuk kemudian memijit pelipis. Jiro pikir ada yang salah dengan laporannya, tetapi sepertinya tidak begitu. Detik ini Pak Adam belum memberitahu kesalahannya."Anda kelihatan sedikit lelah, Pak. Apa ada masalah?" Akhirnya Jiro bertanya. Bukan untuk berbasa-basi, melainkan sungguhan peduli.
Suara alarm berbunyi membuat Yuri bangkit duduk untuk mematikannya. Ia menatap tirai jendelanya yang masih tertutup rapat, bangkit berdiri untuk menyibaknya. Ia langsung tersenyum cerah ketika sinar mentari mengenai wajahnya.Yuri belum pernah bangun tidur sesenang ini selama 3 hari terakhir. Dan sekarang, setelah Papanya menyetujuinya menikah kemarin, akhirnya ia bisa bernapas lega karena tidak perlu mengurung diri di kamar lagi.Ia dan Papanya kemarin mendiskusikan banyak hal. Papanya itu menawarinya banyak syarat sebelum menikah—yang kebanyakan ia tolak. Salah satunya tidak boleh tinggal satu rumah sebelum lulus kuliah.Tentu saja Yuri tidak mau. Apa fungsinya jika menikah, tetapi tidak satu rumah?Akhirnya keputusan lain diambil. Yuri dan calon suaminya tetap satu rumah, tetapi dengan kamar terpisah. Setelah itu syarat lain datang. Yuri harus tetap tinggal bersama suaminya di rumah Papa Mama. Orang tuanya bernia
Jiro tersenyum pada gadis di depannya, mengulurkan tangan ke depan untuk berjabat tangan. "Jiro Adelardo, manajer HRD di perusahaan pusat Williams Corp.""Yuri Agatha." Gadis bernama Yuri itu balik menjabat tangan, tersenyum singkat padanya."Tumben pergi ke kantor Papa, Yuri? Ada masalah apa?" tanya Pak Adam pada putrinya. Tidak ingin mengganggu percakapan antara bos dan anaknya, Jiro pamit izin keluar. Tetapi belum juga angkat bicara, Pak Adam sudah menyela, "Jiro, kamu bisa duduk dulu. Periksa ulang berkasnya di sini."Jiro mengernyit. "Periksa ulang berkas? Ada yang salah, Pak?"Pak Adam menggeleng. "Periksa aja."Tidak mau membantah, Jiro kembali melangkah mengambil berkas laporan yang tadi ia berikan. Ia duduk di sofa tamu di ruangan direktur utama, membolak-balik kertas laporan untuk ke sekian kalinya. Jiro itu agak perfeksionis dan teliti. Jadi ia sudah memastikan memberikan laporan nyaris s
Sejujurnya tempat yang paling Yuri benci di dunia ini adalah kampusnya. Baginya tempat itu lebih mirip seperti neraka alih-alih universitas terkenal. Tidak ada hal menyenangkannya sama sekali.Yuri benci teman-temannya. Ia tidak terlalu suka dengan dosen-dosennya. Hal yang dia sukai di sini hanyalah jurusan pilihannya—alasan mengapa ia tetap bersekolah di universitas ini. Yuri suka Matematika sejak kecil. Ia juga suka mengajari pelajaran itu pada temannya dulu saat masih SMA. Jadi pilihannya dua tahun yang lalu jatuh pada jurusan Pendidikan Matematika.Bangunan kampus Yuri bagus. Fasilitasnya kelewat lengkap. Yang bermasalah di tempat ini hanyalah orang-orangnya yang seperti setan. Yuri muak pada siapa pun di sini. Hanya satu yang tidak, sahabatnya. Satu-satunya teman Yuri sekarang."Yuriiiii..."Baru saja terlintas di pikiran, teriakan seorang gadis berjilbab terdengar masuk ke gendang telinganya
"Sesuai sisihan keuntungan yang didapat dari perusahaan, saya merekomendasikan agar perusahaan membangun perumahan pekerja di dekat kawasan pabrik bagi para pekerja dengan jarak rumah jauh." Jiro mulai mempresentasikan idenya di depan banyak orang. Tangannya menekan tombol enter di laptop, menampilkan data-data perusahaan lewat LCD menuju layar proyektor di tengah-tengah ruangan. "Permasalahan yang akhir ini didapat divisi kami, para karyawan pabrik mengeluh tidak punya waktu cukup untuk menempuh perjalanan dari rumah ke pabrik. Di beberapa tempat, karyawan lain mengeluh harga sewa rumah yang tinggi. Karena hal itu, penyediaan rumah bagi pekerja merupakan salah satu upaya peningkatan kesejahteraan dan produktivitas kerja.""Selain itu, hal ini juga sesuai dengan kebijakan pemerintah mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Efektivitas pekerjaan akan naik, berbanding lurus dengan produktivitas. Para pekerja pabrik juga tidak lagi disusahkan oleh ke
Yuri keluar dari kamarnya saat waktu menunjukkan pukul delapan malam. Ia mengintip Papanya yang sedang mengerjakan sesuatu dengan laptopnya di ruang keluarga, lalu melangkah mendekat. Papa pasti sedang menyelesaikan pekerjaannya sebagai direktur utama di perusahaan properti terbesar di kotanya.Di usia setengah abad lebih ini Papa Yuri masih sibuk mengurusi bisnis. Coba saja jika Yuri menikah lebih awal—17 tahun. Papa pasti sekarang hanya tinggal leyeh-leyeh sembari duduk di teras rumah sebagai pemilik perusahaan. Direktur utama perusahaan tentu saja suami Yuri—jika suami Yuri lebih tua darinya dan siap mengurus bisnis.Memikirkan hal itu membuat perkataan Arin saat di kampus terngiang-ngiang di otaknya. Jiro Adelardo—manajer HRD di perusahaan Papa—itu calon suaminya? Yuri senang-senang saja jika tebakan sahabatnya itu benar. Tapi bagaimana jika salah? Yuri kan sudah keburu suka dengan lelaki usia 27 tahun itu.
"Kamu mau nggak jadi suamiku?"Jiro yang sedang menikmati matcha latte-nya langsung tersedak mendengar ucapan Yuri. Ia memegang tenggorokannya sembari batuk-batuk. Mencoba mengeluarkan matcha latte-nya yang masuk tenggorokan alih-alih kerongkongan.Ucapan gadis di depannya itu benar-benar di luar dugaan. Jiro sudah senang sekali ketika Yuri bilang telah menemukan calon suami sendiri. Tapi ini? Maksudnya ia calon suami yang ditemukan gadis itu?"Barusan kamu lamar saya?" Jiro menatap tak percaya. Ia berkata setelah tenggorokannya agak enak.Yuri mengangguk mantap."Apa yang buat kamu dadakan minta saya jadi suami kamu?" tanyanya. "Pak Adam udah bilang ke kamu?"Gadis umur 20 tahun di depannya menggeleng. "Enggak. Papa belum kasih tahu apa-apa bahkan. Cuma nebak, dan terny
Jiro seharusnya tahu menghadapi Yuri tidak akan semudah seperti yang ia bayangkan. Meskipun gadis itu sudah berjanji menuruti perkataan suaminya, tidak semudah itu bagi gadis seperti Yuri untuk melakukannya. Contohnya seperti malam ini. Selesai acara, Jiro dan Yuri langsung pergi ke rumah baru. Waktu menunjukkan pukul 12 malam. Papa dan mama sudah pulang sejak setengah jam yang lalu. Jiro yang baru saja selesai beberes merasa gerah. Ia menggulung kemeja putihnya sampai siku, berniat mandi. Ia masuk ke kamar, mengernyitkan dahi ketika Yuri ada di kamarnya. Gadis itu sudah mandi sepertinya. Tidak lagi memakai gaun pengantin, berganti memakai baju tidur lengan panjang bermotif polkadot ala remaja. Sudah dibilang itu masih terlalu belia. Selera Yuri saja masih seperti bocah. Melihatnya membuat Jiro merasa seperti pedofil saja. Padahal umur Yuri sebenarnya tidak kecil-kecil amat. Entahlah. Yuri itu terkadang bisa terlihat seperti orang dewasa. Terkadang juga tampa
"Nggak nyangka sahabat aku bakal jadi pengantin secepet ini." Arin yang memakai jilbab biru laut memandangi dirinya yang sedang dirias oleh penata rias.Yuri tersenyum, menatap pantulan bayangannya di kaca. Ia itu cantik—tentu saja, terlebih di balutan gaun pengantin putih yang indah. Jiro kemarin khilaf sehingga menolak untuk menikah dengannya. Setelah sadar, lelaki itu tentu saja langsung berkata mau menikahinya. Siapa coba yang tidak mau dengan Yuri? Galen saja merengek-rengek minta balikan.Omong-omong, gaun yang Yuri pakai sekarang lumayan tertutup. Awalnya ia memilih gaun dengan punggung terbuka sebelumnya. Tapi Jiro yang menemaninya mencari baju pengantin menggeleng, katanya jangan memakai gaun yang terlalu terbuka. Tidak nyaman dilihat banyak orang. Terlebih pernikahannya akan diadakan di pantai sehingga banyak angin. Jiro bilang nanti ia takut Yuri masuk angin.Yuri yang sedang belajar menjadi istri yang penurut mengangguk, menuruti perkataan calo
"Sejak kapan kamu dibuli? Kamu bisa bilang ke saya kalau ada yang lakuin hal kayak gitu lagi ke kamu." Jiro yang baru saja membelikan Yuri minuman berkata pada gadis di sebelahnya.Beberapa saat yang lalu ia datang ke kampus untuk menjemput Yuri. Tapi setelah menunggu di dekat kelas seperti biasa tidak ada. Alhasil, ia ke tempat lain dan menemukan Yuri dirundung oleh teman-temannya.Jiro sungguh tidak mengerti. Dari tingkah Yuri yang terkadang barbar dan tidak terduga, bagaimana bisa gadis itu ternyata korban perundungan di kampusnya? Bahkan sudah separah tadi."Aku nggak pernah dibuli," jawab Yuri.Jiro mengernyitkan dahi. Lalu yang tadi itu namanya apa?"Kamu takut sama mereka?""NGGAK!" Yuri tiba-tiba berteriak, melotot ke arahnya. "Jangan bilang kayak gitu. Harga diriku jatuh tahu nggak," katanya kemudian. Gadis itu melap sisa air mata di sisinya, mengenggam dengan kedua tangan minuman yang tadi ia belikan.Jiro geleng
Yuri yang baru saja selesai kuliah keluar dengan wajah tertekuk. Tidak ada Arinda. Ia pasti bosan setengah mati di kampus setelah ini. Jika bukan untuk pembuktian, ia pasti sudah di kamar, mengurung diri di sana selama sepekan. Tidak lupa untuk merengek pada papa agar memaksa Jiro menikah dengannya secepatnya.Sayangnya ia ingin membuktikan diri pada Jiro bahwa ia serius ingin menikah. Ia tidak lagi kekanak-kanakkan. Apa sih susahnya menerima dirinya? Dia kan sungguhan sudah siap menikah!Atau ada alasan lain? Memangnya dia kurang cantik? Memangnya dia kurang seksi? Memang dia bukan tipe lelaki itu? Yuri frustrasi sekali sekarang.Kalau kata Arinda tadi malam, ia salah asuhan jadi Jiro berpikir-pikir ulang menikah dengannya. Salah asuhan bagaimana? Sudah benar Yuri seperti ini. Tidak seru jika Yuri diasuh dengan cara berbeda oleh papa dan mama. Nanti tidak ada lagi Yuri yang membuat pening banyak orang."Ah, ketemu juga sama lo." Retta tiba-tiba datang ke
Awan gelap menggantung di langit. Suara gemuruh beberapa kali terdengar. Titik-titik hujan mulai jatuh, mengenai kaca mobil depan Jiro yang mulai memburam karena air hujan.Jiro melirik sekilas jam tangannya yang menunjukkan nyaris pukul empat sore, mengacak rambut frustrasi di dalam mobil. Ia kehilangan Yuri sewaktu di taman rekreasi. Gadis itu langsung menghentikan taksi ketika sampai pinggir jalan, pergi entah ke mana. Terlebih handphone gadis itu tidak aktif sejak tadi. Masalahnya, Jiro tidak tahu bagaimana cara menjelaskan hal itu pada Pak Adam. Sedikit khawatir juga jika Yuri pergi dengan kondisi seperti itu. Pasalnya Yuri itu gadis tak terduga. Ia takut anak boss-nya itu berbuat sesuatu yang menyakiti dirinya sendiri.Astaga. Kenapa hidup Jiro mendadak sulit seperti ini?Baru saja ingin menelpon Pak Adam, tiba-tiba atasan Jiro itu memanggil terlebih dahulu. Ia memijit pelipis pening. Bagaimana jika Pak Adam bertanya keberadaan anaknya? Bagaimana jika Yuri
Waktu menunjukkan pukul tiga sore ketika Yuri masuk kamarnya. Ia merebahkan badan di atas kasur, menatap plafon kamarnya lalu senyum-senyum seperti orang gila. Ia kira Jiro akan menolak mentah-mentah permintaannya untuk menjadi suaminya, tetapi ternyata tidak. Lelaki justru itu mempertimbangkannya. Mungkin karena Papanya juga yang menawarkan.Yuri memang belum terlalu mengenal Jiro. Tetapi mengobrol sebentar dengannya, Yuri jadi tahu lelaki itu penyabar sekali. Jika saja ia berhadapan dengan lelaki lain di restoran tadi, lelaki itu pasti sudah mencak-mencak dan kesal tak karuan padanya. Tetapi Jiro berbeda, kesalnya tetap kalem sekali. Membuat Yuri yang melihatnya gemas dan ingin tambah menggoda.Teringat sesuatu, Yuri segera mengambil ponsel di tas selempangnya. Ia mencari kontak yang ia beri nama Future Husband❤ a.k.a Jiro Adelardo calon suaminya. Tadi mereka sudah bertukaran nomor, membuat Yuri bisa kapan saja bisa menghubungi lelaki itu.Baru saja ingin meng
"Kamu mau nggak jadi suamiku?"Jiro yang sedang menikmati matcha latte-nya langsung tersedak mendengar ucapan Yuri. Ia memegang tenggorokannya sembari batuk-batuk. Mencoba mengeluarkan matcha latte-nya yang masuk tenggorokan alih-alih kerongkongan.Ucapan gadis di depannya itu benar-benar di luar dugaan. Jiro sudah senang sekali ketika Yuri bilang telah menemukan calon suami sendiri. Tapi ini? Maksudnya ia calon suami yang ditemukan gadis itu?"Barusan kamu lamar saya?" Jiro menatap tak percaya. Ia berkata setelah tenggorokannya agak enak.Yuri mengangguk mantap."Apa yang buat kamu dadakan minta saya jadi suami kamu?" tanyanya. "Pak Adam udah bilang ke kamu?"Gadis umur 20 tahun di depannya menggeleng. "Enggak. Papa belum kasih tahu apa-apa bahkan. Cuma nebak, dan terny
Yuri keluar dari kamarnya saat waktu menunjukkan pukul delapan malam. Ia mengintip Papanya yang sedang mengerjakan sesuatu dengan laptopnya di ruang keluarga, lalu melangkah mendekat. Papa pasti sedang menyelesaikan pekerjaannya sebagai direktur utama di perusahaan properti terbesar di kotanya.Di usia setengah abad lebih ini Papa Yuri masih sibuk mengurusi bisnis. Coba saja jika Yuri menikah lebih awal—17 tahun. Papa pasti sekarang hanya tinggal leyeh-leyeh sembari duduk di teras rumah sebagai pemilik perusahaan. Direktur utama perusahaan tentu saja suami Yuri—jika suami Yuri lebih tua darinya dan siap mengurus bisnis.Memikirkan hal itu membuat perkataan Arin saat di kampus terngiang-ngiang di otaknya. Jiro Adelardo—manajer HRD di perusahaan Papa—itu calon suaminya? Yuri senang-senang saja jika tebakan sahabatnya itu benar. Tapi bagaimana jika salah? Yuri kan sudah keburu suka dengan lelaki usia 27 tahun itu.
"Sesuai sisihan keuntungan yang didapat dari perusahaan, saya merekomendasikan agar perusahaan membangun perumahan pekerja di dekat kawasan pabrik bagi para pekerja dengan jarak rumah jauh." Jiro mulai mempresentasikan idenya di depan banyak orang. Tangannya menekan tombol enter di laptop, menampilkan data-data perusahaan lewat LCD menuju layar proyektor di tengah-tengah ruangan. "Permasalahan yang akhir ini didapat divisi kami, para karyawan pabrik mengeluh tidak punya waktu cukup untuk menempuh perjalanan dari rumah ke pabrik. Di beberapa tempat, karyawan lain mengeluh harga sewa rumah yang tinggi. Karena hal itu, penyediaan rumah bagi pekerja merupakan salah satu upaya peningkatan kesejahteraan dan produktivitas kerja.""Selain itu, hal ini juga sesuai dengan kebijakan pemerintah mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Efektivitas pekerjaan akan naik, berbanding lurus dengan produktivitas. Para pekerja pabrik juga tidak lagi disusahkan oleh ke