Suara alarm berbunyi membuat Yuri bangkit duduk untuk mematikannya. Ia menatap tirai jendelanya yang masih tertutup rapat, bangkit berdiri untuk menyibaknya. Ia langsung tersenyum cerah ketika sinar mentari mengenai wajahnya.
Yuri belum pernah bangun tidur sesenang ini selama 3 hari terakhir. Dan sekarang, setelah Papanya menyetujuinya menikah kemarin, akhirnya ia bisa bernapas lega karena tidak perlu mengurung diri di kamar lagi.
Ia dan Papanya kemarin mendiskusikan banyak hal. Papanya itu menawarinya banyak syarat sebelum menikah—yang kebanyakan ia tolak. Salah satunya tidak boleh tinggal satu rumah sebelum lulus kuliah.
Tentu saja Yuri tidak mau. Apa fungsinya jika menikah, tetapi tidak satu rumah?
Akhirnya keputusan lain diambil. Yuri dan calon suaminya tetap satu rumah, tetapi dengan kamar terpisah. Setelah itu syarat lain datang. Yuri harus tetap tinggal bersama suaminya di rumah Papa Mama. Orang tuanya berniat mengawasinya.
Dan ya, lagi-lagi Yuri tidak mau. Ia akan tinggal di rumah sendiri bersama suaminya. Apa gunanya coba jika menikah, tetapi masih tinggal bersama Papa Mama?
Untuk urusan calon suami, Papa yang akan mencarikan untuknya. Tentu saja disesuaikan dengan tipe yang Yuri inginkan. Lagi pula tipenya itu simpel saja: bukan om-om umur 40 tahun! Papa jahat sekali jika sampai mencarikan suami untuknya berusia 40 tahun.
Dan ya, Yuri yang akan mengatakan 'ya' atau 'tidak' nanti. Jadi itu tetap pilihannya. Hanya saja yang mencari Papa.
Seperti inilah hidup ribet ala Yuri Agatha. Padahal banyak lelaki tampan di kampusnya, atau bahkan beberapa mantannya yang berkali-kali merengek minta balikan, tetapi sekali lagi, inilah Yuri. Ia ingin mencari yang baru, yang bisa ia cintai secara perlahan-lahan dan menyenangkan. Selain itu, Yuri kepo sekali bagaimana beberapa orang bisa langgeng menikah dengan seseorang yang sebelumnya belum dikenal. Yang sudah kenal lama malah berpisah dengan cepat. Bosan? Ia tidak yakin. Maka dari itu Yuri juga ingin mencobanya.
Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Yuri keluar kamar, melangkah menuju dapur. Ia berniat membuat makan siang untuk Papanya di kantor dan mengirimnya sekalian pergi kuliah siangnya. Tentu saja Yuri harus membalas kebaikan Papa yang mengizinkannya menikah di usia 20 tahun. Ia harus membuatkan Papa makan siang terenaknya yang jarang-jarang Yuri buat—lebih tepatnya ia tidak pernah memasak.
Astaga... Rasanya seperti mimpi. Ia sungguhan bisa menikah seperti yang beberapa teman-temannya lakukan?
"Kamu mau buat apa?" Mamanya yang datang entah dari mana berucap, duduk di kursi meja makan tak jauh darinya.
Yuri tersenyum. "Makan siang buat Papa. Pasti Papa seneng aku bawain makanan."
Alih-alih senang, Mamanya malah memberi ekspresi cringe. "Kalau diturutin maunya baru jadi anak baik, ya?"
Yuri nyengir. "Mama juga mau aku masakin? Bilang aja. Nanti aku buatin."
Mama menghela napas panjang, menggeleng. "Mama nggak mau dimasakin kamu. Mama cuma mau kamu pikir ulang rencanamu buat nikah. Yuri Sayang... Kamu masih 20 tahun, Nak. Masih terlalu muda buat mengikat hubungan sama seseroang. Apalagi itu orang yang baru dikenal."
Yuri untuk kesekian kalinya menggeleng. "Ini udah rencanaku sejak umur 19, Ma. Aku emang pengen nikah muda sejak lulus SMA," jelasnya. Mama seharusnya tahu Yuri tidak akan pernah berubah pikiran tentang keputusannya.
"Mama tahu Papa bakal cari yang terbaik buat calon suamimu. Tapi kita nggak tahu sifat asli calon suami pilihan Papa nanti. Gimana kalau ternyata kasar? Gimana kalau ternyata dia nggak bener? Siapa yang tahu itu, Yuri?"
Yuri menghela napas, mendekat ke Mamanya. "Mama seharusnya lebih paham karena Mama udah nikah. Semua orang yang menikah itu sebenarnya ambil resiko. S E M U A N Y A. Mereka juga nggak tahu sifat calon mereka nanti. Mereka emang kenal, tetapi mereka juga nggak tahu sifat aslinya kan? Begitu juga dengan aku sekarang. Bedanya aku belum kenal sama calonku."
"Justru itu. Setidaknya mereka udah kenal, Yuri. Jadi kalau ada karakter yang kurang bener dari pasangan mereka, mereka bisa saling melengkapi karena cinta." Mamanya menjelaskan.
Yuri tidak mau kalah. "Aku juga bisa melengkapi karakter pasanganku nanti."
"Tapi kamu nggak cinta dia," ucap Mama.
"Aku bakal cinta dia setelah nikah."
"Tapi dia nggak cinta kamu."
"Aku bisa bikin dia cinta aku."
Mama menghembuskan napas panjang, seolah merasa sia-sia memberi nasihat pada Yuri putri semata wayangnya yang keras kepala. Mungkin Mamanya sedang berpikir mengapa anaknya bisa mengambil keputusan senekat ini.
Bagi Yuri sih antara benar dan tidak. Tapi kan ia sudah berpikir rencana ini sejak umur 19. Jadi katakan saja ia sudah berpikir matang—meskipun sebenarnya belum. Entahlah. Yuri mendadak terobsesi dengan menikah muda. Ia sungguhan ingin punya suami sekarang.
"Kamu kenalan aja sama calon Papa selama setahun. Setelah itu boleh lanjut nikah atau nggak."
Yuri kembali menggeleng tegas. "Nggak, Ma. Aku mau nikah di umur 20 tahun. Titik nggak pakai koma."
Mama berkata lagi, "Menikah itu nggak semudah yang kamu bayangkan, Yuri... Kamu tahu Mama nggak mau kamu main-main buat hal kayak gini. Kamu masih terlalu labil. Mama nggak mau pernikahan yang akhirnya berujung cerai. Mama beneran nggak mau," tegas wanita paruh baya itu.
"Aku nggak bakal cerai sama siapa pun."
"Gimana kamu bisa yakin nggak bakal cerai?"
Yuri terdiam, mengedikkan bahu. "Tapi aku janji sama Mama. Selabil-labilnya aku, aku paham banget apa itu kata cerai. Sekali mengikat diri dengan pernikahan, aku tahu ikatan itu nggak boleh dilepasin dengan mudah."
"Ikatan terlalu kencang juga nggak baik. Kamu mau nyakitin diri sendiri?" ujar Mamanya.
Yuri menghela napas lelah. "Mau Mama apa sih? Katanya tadi nggak boleh cerai, sekarang aku bilang nggak bakal cerai juga salah. Lagian aku belum nikah, Ma. Mama kenapa mikirnya sesuatu yang negatif? Berharap banget aku nggak bahagia karena nikah muda."
Mama menggeleng. " Nggak gitu, Yuri. Mama sama sekali nggak berharap kayak gitu. Amit-amit anak Mama nggak bahagia sama pernikahannya. Tapi kalau bisa nggak usah dilakuin dulu, kenapa harus dilakuin?"
"Karena aku mau."
"Tapi, Yuri—"
"Mama aku mau masak. Nanti aku telat anter makan siang buat Papa. Kalau Mama masih terus paksa aku untuk pikir ulang buat nggak nikah, nanti aku ngambek lagi pokoknya."
Mamanya memandang sinis. "Sekarang kamu mau ancem Mama?"
"Nggak bermaksud tuh."
Mamanya kembali menghela napas. "Meskipun bermaksud pun Mama bisa apa? Mama harap kamu bahagia sama pilihanmu, Yuri. Mama cuma pengen yang terbaik buat kamu, liat kamu bahagia."
"Aku juga pengen Mama Papa bahagia. Nanti kan kalian free nggak usah ngurusin aku."
"Kamu pikir enak ditinggal nikah anak perempuan satu-satunya?!"
Seperti biasa, Yuri nyengir. Bilang saja enak. Kan Papa Mama jadi bisa berduaan.
"Oh ya." Wanita paruh baya di depan Yuri kembali berkata. "Mama harap kamu hidup di pernikahan yang kamu bayangin. Mama harap kamu bisa bertanggungjawab atas pilihanmu itu. Mama harap kamu nggak akan ngerengek lagi sama Mama Papa atas pilihanmu sendiri."
Yuri tersenyum, mengangguk mantap. "Yuri udah dewasa."
=•=
Sepanjang perjalanan menuju kantor, Yuri tersenyum pada karyawan-karyawan Papa tanpa henti. Membuat orang-orang menatap heran karena jarang-jarang Yuri sebahagia ini. Biasanya Yuri hanya pergi ke kantor Papanya jika ada masalah terjadi. Jadi ekspresinya selalu tidak menyenangkan ketika bertemu dengan karyawan perusahaan Papa selama ini. Kadang menekuk wajah sebal, kadang marah-marah, kadang menangis. Yuri jadi semakin sadar mengapa orang-orang di sekitarnya masih mengatainya kekanak-kanakkan di usia yang telah menginjak 20 tahun.
Sampai ruang kantor Papa, ia langsung membuka pintu tanpa salam.
"Papa!" serunya, tersenyum cerah.
Sadar ada karyawan Papa di hadapannya, Yuri langsung menuduk sopan. Ia terlampau senang hari ini sampai ingin bertindak sopan pada bawahan Papanya. Biasanya ia barbar sampai menjadi bahan ghibah karyawan perempuan Papa. Bilang saja iri!
Papa berdiri dari kursinya, berkata pada lelaki di hadapan Yuri, "Perkenalkan Jiro. Ini putri semata wayang saya, Yuri Agatha Williams."
Jiro tersenyum pada gadis di depannya, mengulurkan tangan ke depan untuk berjabat tangan. "Jiro Adelardo, manajer HRD di perusahaan pusat Williams Corp.""Yuri Agatha." Gadis bernama Yuri itu balik menjabat tangan, tersenyum singkat padanya."Tumben pergi ke kantor Papa, Yuri? Ada masalah apa?" tanya Pak Adam pada putrinya. Tidak ingin mengganggu percakapan antara bos dan anaknya, Jiro pamit izin keluar. Tetapi belum juga angkat bicara, Pak Adam sudah menyela, "Jiro, kamu bisa duduk dulu. Periksa ulang berkasnya di sini."Jiro mengernyit. "Periksa ulang berkas? Ada yang salah, Pak?"Pak Adam menggeleng. "Periksa aja."Tidak mau membantah, Jiro kembali melangkah mengambil berkas laporan yang tadi ia berikan. Ia duduk di sofa tamu di ruangan direktur utama, membolak-balik kertas laporan untuk ke sekian kalinya. Jiro itu agak perfeksionis dan teliti. Jadi ia sudah memastikan memberikan laporan nyaris s
Sejujurnya tempat yang paling Yuri benci di dunia ini adalah kampusnya. Baginya tempat itu lebih mirip seperti neraka alih-alih universitas terkenal. Tidak ada hal menyenangkannya sama sekali.Yuri benci teman-temannya. Ia tidak terlalu suka dengan dosen-dosennya. Hal yang dia sukai di sini hanyalah jurusan pilihannya—alasan mengapa ia tetap bersekolah di universitas ini. Yuri suka Matematika sejak kecil. Ia juga suka mengajari pelajaran itu pada temannya dulu saat masih SMA. Jadi pilihannya dua tahun yang lalu jatuh pada jurusan Pendidikan Matematika.Bangunan kampus Yuri bagus. Fasilitasnya kelewat lengkap. Yang bermasalah di tempat ini hanyalah orang-orangnya yang seperti setan. Yuri muak pada siapa pun di sini. Hanya satu yang tidak, sahabatnya. Satu-satunya teman Yuri sekarang."Yuriiiii..."Baru saja terlintas di pikiran, teriakan seorang gadis berjilbab terdengar masuk ke gendang telinganya
"Sesuai sisihan keuntungan yang didapat dari perusahaan, saya merekomendasikan agar perusahaan membangun perumahan pekerja di dekat kawasan pabrik bagi para pekerja dengan jarak rumah jauh." Jiro mulai mempresentasikan idenya di depan banyak orang. Tangannya menekan tombol enter di laptop, menampilkan data-data perusahaan lewat LCD menuju layar proyektor di tengah-tengah ruangan. "Permasalahan yang akhir ini didapat divisi kami, para karyawan pabrik mengeluh tidak punya waktu cukup untuk menempuh perjalanan dari rumah ke pabrik. Di beberapa tempat, karyawan lain mengeluh harga sewa rumah yang tinggi. Karena hal itu, penyediaan rumah bagi pekerja merupakan salah satu upaya peningkatan kesejahteraan dan produktivitas kerja.""Selain itu, hal ini juga sesuai dengan kebijakan pemerintah mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Efektivitas pekerjaan akan naik, berbanding lurus dengan produktivitas. Para pekerja pabrik juga tidak lagi disusahkan oleh ke
Yuri keluar dari kamarnya saat waktu menunjukkan pukul delapan malam. Ia mengintip Papanya yang sedang mengerjakan sesuatu dengan laptopnya di ruang keluarga, lalu melangkah mendekat. Papa pasti sedang menyelesaikan pekerjaannya sebagai direktur utama di perusahaan properti terbesar di kotanya.Di usia setengah abad lebih ini Papa Yuri masih sibuk mengurusi bisnis. Coba saja jika Yuri menikah lebih awal—17 tahun. Papa pasti sekarang hanya tinggal leyeh-leyeh sembari duduk di teras rumah sebagai pemilik perusahaan. Direktur utama perusahaan tentu saja suami Yuri—jika suami Yuri lebih tua darinya dan siap mengurus bisnis.Memikirkan hal itu membuat perkataan Arin saat di kampus terngiang-ngiang di otaknya. Jiro Adelardo—manajer HRD di perusahaan Papa—itu calon suaminya? Yuri senang-senang saja jika tebakan sahabatnya itu benar. Tapi bagaimana jika salah? Yuri kan sudah keburu suka dengan lelaki usia 27 tahun itu.
"Kamu mau nggak jadi suamiku?"Jiro yang sedang menikmati matcha latte-nya langsung tersedak mendengar ucapan Yuri. Ia memegang tenggorokannya sembari batuk-batuk. Mencoba mengeluarkan matcha latte-nya yang masuk tenggorokan alih-alih kerongkongan.Ucapan gadis di depannya itu benar-benar di luar dugaan. Jiro sudah senang sekali ketika Yuri bilang telah menemukan calon suami sendiri. Tapi ini? Maksudnya ia calon suami yang ditemukan gadis itu?"Barusan kamu lamar saya?" Jiro menatap tak percaya. Ia berkata setelah tenggorokannya agak enak.Yuri mengangguk mantap."Apa yang buat kamu dadakan minta saya jadi suami kamu?" tanyanya. "Pak Adam udah bilang ke kamu?"Gadis umur 20 tahun di depannya menggeleng. "Enggak. Papa belum kasih tahu apa-apa bahkan. Cuma nebak, dan terny
Waktu menunjukkan pukul tiga sore ketika Yuri masuk kamarnya. Ia merebahkan badan di atas kasur, menatap plafon kamarnya lalu senyum-senyum seperti orang gila. Ia kira Jiro akan menolak mentah-mentah permintaannya untuk menjadi suaminya, tetapi ternyata tidak. Lelaki justru itu mempertimbangkannya. Mungkin karena Papanya juga yang menawarkan.Yuri memang belum terlalu mengenal Jiro. Tetapi mengobrol sebentar dengannya, Yuri jadi tahu lelaki itu penyabar sekali. Jika saja ia berhadapan dengan lelaki lain di restoran tadi, lelaki itu pasti sudah mencak-mencak dan kesal tak karuan padanya. Tetapi Jiro berbeda, kesalnya tetap kalem sekali. Membuat Yuri yang melihatnya gemas dan ingin tambah menggoda.Teringat sesuatu, Yuri segera mengambil ponsel di tas selempangnya. Ia mencari kontak yang ia beri nama Future Husband❤ a.k.a Jiro Adelardo calon suaminya. Tadi mereka sudah bertukaran nomor, membuat Yuri bisa kapan saja bisa menghubungi lelaki itu.Baru saja ingin meng
Awan gelap menggantung di langit. Suara gemuruh beberapa kali terdengar. Titik-titik hujan mulai jatuh, mengenai kaca mobil depan Jiro yang mulai memburam karena air hujan.Jiro melirik sekilas jam tangannya yang menunjukkan nyaris pukul empat sore, mengacak rambut frustrasi di dalam mobil. Ia kehilangan Yuri sewaktu di taman rekreasi. Gadis itu langsung menghentikan taksi ketika sampai pinggir jalan, pergi entah ke mana. Terlebih handphone gadis itu tidak aktif sejak tadi. Masalahnya, Jiro tidak tahu bagaimana cara menjelaskan hal itu pada Pak Adam. Sedikit khawatir juga jika Yuri pergi dengan kondisi seperti itu. Pasalnya Yuri itu gadis tak terduga. Ia takut anak boss-nya itu berbuat sesuatu yang menyakiti dirinya sendiri.Astaga. Kenapa hidup Jiro mendadak sulit seperti ini?Baru saja ingin menelpon Pak Adam, tiba-tiba atasan Jiro itu memanggil terlebih dahulu. Ia memijit pelipis pening. Bagaimana jika Pak Adam bertanya keberadaan anaknya? Bagaimana jika Yuri
Yuri yang baru saja selesai kuliah keluar dengan wajah tertekuk. Tidak ada Arinda. Ia pasti bosan setengah mati di kampus setelah ini. Jika bukan untuk pembuktian, ia pasti sudah di kamar, mengurung diri di sana selama sepekan. Tidak lupa untuk merengek pada papa agar memaksa Jiro menikah dengannya secepatnya.Sayangnya ia ingin membuktikan diri pada Jiro bahwa ia serius ingin menikah. Ia tidak lagi kekanak-kanakkan. Apa sih susahnya menerima dirinya? Dia kan sungguhan sudah siap menikah!Atau ada alasan lain? Memangnya dia kurang cantik? Memangnya dia kurang seksi? Memang dia bukan tipe lelaki itu? Yuri frustrasi sekali sekarang.Kalau kata Arinda tadi malam, ia salah asuhan jadi Jiro berpikir-pikir ulang menikah dengannya. Salah asuhan bagaimana? Sudah benar Yuri seperti ini. Tidak seru jika Yuri diasuh dengan cara berbeda oleh papa dan mama. Nanti tidak ada lagi Yuri yang membuat pening banyak orang."Ah, ketemu juga sama lo." Retta tiba-tiba datang ke
Jiro seharusnya tahu menghadapi Yuri tidak akan semudah seperti yang ia bayangkan. Meskipun gadis itu sudah berjanji menuruti perkataan suaminya, tidak semudah itu bagi gadis seperti Yuri untuk melakukannya. Contohnya seperti malam ini. Selesai acara, Jiro dan Yuri langsung pergi ke rumah baru. Waktu menunjukkan pukul 12 malam. Papa dan mama sudah pulang sejak setengah jam yang lalu. Jiro yang baru saja selesai beberes merasa gerah. Ia menggulung kemeja putihnya sampai siku, berniat mandi. Ia masuk ke kamar, mengernyitkan dahi ketika Yuri ada di kamarnya. Gadis itu sudah mandi sepertinya. Tidak lagi memakai gaun pengantin, berganti memakai baju tidur lengan panjang bermotif polkadot ala remaja. Sudah dibilang itu masih terlalu belia. Selera Yuri saja masih seperti bocah. Melihatnya membuat Jiro merasa seperti pedofil saja. Padahal umur Yuri sebenarnya tidak kecil-kecil amat. Entahlah. Yuri itu terkadang bisa terlihat seperti orang dewasa. Terkadang juga tampa
"Nggak nyangka sahabat aku bakal jadi pengantin secepet ini." Arin yang memakai jilbab biru laut memandangi dirinya yang sedang dirias oleh penata rias.Yuri tersenyum, menatap pantulan bayangannya di kaca. Ia itu cantik—tentu saja, terlebih di balutan gaun pengantin putih yang indah. Jiro kemarin khilaf sehingga menolak untuk menikah dengannya. Setelah sadar, lelaki itu tentu saja langsung berkata mau menikahinya. Siapa coba yang tidak mau dengan Yuri? Galen saja merengek-rengek minta balikan.Omong-omong, gaun yang Yuri pakai sekarang lumayan tertutup. Awalnya ia memilih gaun dengan punggung terbuka sebelumnya. Tapi Jiro yang menemaninya mencari baju pengantin menggeleng, katanya jangan memakai gaun yang terlalu terbuka. Tidak nyaman dilihat banyak orang. Terlebih pernikahannya akan diadakan di pantai sehingga banyak angin. Jiro bilang nanti ia takut Yuri masuk angin.Yuri yang sedang belajar menjadi istri yang penurut mengangguk, menuruti perkataan calo
"Sejak kapan kamu dibuli? Kamu bisa bilang ke saya kalau ada yang lakuin hal kayak gitu lagi ke kamu." Jiro yang baru saja membelikan Yuri minuman berkata pada gadis di sebelahnya.Beberapa saat yang lalu ia datang ke kampus untuk menjemput Yuri. Tapi setelah menunggu di dekat kelas seperti biasa tidak ada. Alhasil, ia ke tempat lain dan menemukan Yuri dirundung oleh teman-temannya.Jiro sungguh tidak mengerti. Dari tingkah Yuri yang terkadang barbar dan tidak terduga, bagaimana bisa gadis itu ternyata korban perundungan di kampusnya? Bahkan sudah separah tadi."Aku nggak pernah dibuli," jawab Yuri.Jiro mengernyitkan dahi. Lalu yang tadi itu namanya apa?"Kamu takut sama mereka?""NGGAK!" Yuri tiba-tiba berteriak, melotot ke arahnya. "Jangan bilang kayak gitu. Harga diriku jatuh tahu nggak," katanya kemudian. Gadis itu melap sisa air mata di sisinya, mengenggam dengan kedua tangan minuman yang tadi ia belikan.Jiro geleng
Yuri yang baru saja selesai kuliah keluar dengan wajah tertekuk. Tidak ada Arinda. Ia pasti bosan setengah mati di kampus setelah ini. Jika bukan untuk pembuktian, ia pasti sudah di kamar, mengurung diri di sana selama sepekan. Tidak lupa untuk merengek pada papa agar memaksa Jiro menikah dengannya secepatnya.Sayangnya ia ingin membuktikan diri pada Jiro bahwa ia serius ingin menikah. Ia tidak lagi kekanak-kanakkan. Apa sih susahnya menerima dirinya? Dia kan sungguhan sudah siap menikah!Atau ada alasan lain? Memangnya dia kurang cantik? Memangnya dia kurang seksi? Memang dia bukan tipe lelaki itu? Yuri frustrasi sekali sekarang.Kalau kata Arinda tadi malam, ia salah asuhan jadi Jiro berpikir-pikir ulang menikah dengannya. Salah asuhan bagaimana? Sudah benar Yuri seperti ini. Tidak seru jika Yuri diasuh dengan cara berbeda oleh papa dan mama. Nanti tidak ada lagi Yuri yang membuat pening banyak orang."Ah, ketemu juga sama lo." Retta tiba-tiba datang ke
Awan gelap menggantung di langit. Suara gemuruh beberapa kali terdengar. Titik-titik hujan mulai jatuh, mengenai kaca mobil depan Jiro yang mulai memburam karena air hujan.Jiro melirik sekilas jam tangannya yang menunjukkan nyaris pukul empat sore, mengacak rambut frustrasi di dalam mobil. Ia kehilangan Yuri sewaktu di taman rekreasi. Gadis itu langsung menghentikan taksi ketika sampai pinggir jalan, pergi entah ke mana. Terlebih handphone gadis itu tidak aktif sejak tadi. Masalahnya, Jiro tidak tahu bagaimana cara menjelaskan hal itu pada Pak Adam. Sedikit khawatir juga jika Yuri pergi dengan kondisi seperti itu. Pasalnya Yuri itu gadis tak terduga. Ia takut anak boss-nya itu berbuat sesuatu yang menyakiti dirinya sendiri.Astaga. Kenapa hidup Jiro mendadak sulit seperti ini?Baru saja ingin menelpon Pak Adam, tiba-tiba atasan Jiro itu memanggil terlebih dahulu. Ia memijit pelipis pening. Bagaimana jika Pak Adam bertanya keberadaan anaknya? Bagaimana jika Yuri
Waktu menunjukkan pukul tiga sore ketika Yuri masuk kamarnya. Ia merebahkan badan di atas kasur, menatap plafon kamarnya lalu senyum-senyum seperti orang gila. Ia kira Jiro akan menolak mentah-mentah permintaannya untuk menjadi suaminya, tetapi ternyata tidak. Lelaki justru itu mempertimbangkannya. Mungkin karena Papanya juga yang menawarkan.Yuri memang belum terlalu mengenal Jiro. Tetapi mengobrol sebentar dengannya, Yuri jadi tahu lelaki itu penyabar sekali. Jika saja ia berhadapan dengan lelaki lain di restoran tadi, lelaki itu pasti sudah mencak-mencak dan kesal tak karuan padanya. Tetapi Jiro berbeda, kesalnya tetap kalem sekali. Membuat Yuri yang melihatnya gemas dan ingin tambah menggoda.Teringat sesuatu, Yuri segera mengambil ponsel di tas selempangnya. Ia mencari kontak yang ia beri nama Future Husband❤ a.k.a Jiro Adelardo calon suaminya. Tadi mereka sudah bertukaran nomor, membuat Yuri bisa kapan saja bisa menghubungi lelaki itu.Baru saja ingin meng
"Kamu mau nggak jadi suamiku?"Jiro yang sedang menikmati matcha latte-nya langsung tersedak mendengar ucapan Yuri. Ia memegang tenggorokannya sembari batuk-batuk. Mencoba mengeluarkan matcha latte-nya yang masuk tenggorokan alih-alih kerongkongan.Ucapan gadis di depannya itu benar-benar di luar dugaan. Jiro sudah senang sekali ketika Yuri bilang telah menemukan calon suami sendiri. Tapi ini? Maksudnya ia calon suami yang ditemukan gadis itu?"Barusan kamu lamar saya?" Jiro menatap tak percaya. Ia berkata setelah tenggorokannya agak enak.Yuri mengangguk mantap."Apa yang buat kamu dadakan minta saya jadi suami kamu?" tanyanya. "Pak Adam udah bilang ke kamu?"Gadis umur 20 tahun di depannya menggeleng. "Enggak. Papa belum kasih tahu apa-apa bahkan. Cuma nebak, dan terny
Yuri keluar dari kamarnya saat waktu menunjukkan pukul delapan malam. Ia mengintip Papanya yang sedang mengerjakan sesuatu dengan laptopnya di ruang keluarga, lalu melangkah mendekat. Papa pasti sedang menyelesaikan pekerjaannya sebagai direktur utama di perusahaan properti terbesar di kotanya.Di usia setengah abad lebih ini Papa Yuri masih sibuk mengurusi bisnis. Coba saja jika Yuri menikah lebih awal—17 tahun. Papa pasti sekarang hanya tinggal leyeh-leyeh sembari duduk di teras rumah sebagai pemilik perusahaan. Direktur utama perusahaan tentu saja suami Yuri—jika suami Yuri lebih tua darinya dan siap mengurus bisnis.Memikirkan hal itu membuat perkataan Arin saat di kampus terngiang-ngiang di otaknya. Jiro Adelardo—manajer HRD di perusahaan Papa—itu calon suaminya? Yuri senang-senang saja jika tebakan sahabatnya itu benar. Tapi bagaimana jika salah? Yuri kan sudah keburu suka dengan lelaki usia 27 tahun itu.
"Sesuai sisihan keuntungan yang didapat dari perusahaan, saya merekomendasikan agar perusahaan membangun perumahan pekerja di dekat kawasan pabrik bagi para pekerja dengan jarak rumah jauh." Jiro mulai mempresentasikan idenya di depan banyak orang. Tangannya menekan tombol enter di laptop, menampilkan data-data perusahaan lewat LCD menuju layar proyektor di tengah-tengah ruangan. "Permasalahan yang akhir ini didapat divisi kami, para karyawan pabrik mengeluh tidak punya waktu cukup untuk menempuh perjalanan dari rumah ke pabrik. Di beberapa tempat, karyawan lain mengeluh harga sewa rumah yang tinggi. Karena hal itu, penyediaan rumah bagi pekerja merupakan salah satu upaya peningkatan kesejahteraan dan produktivitas kerja.""Selain itu, hal ini juga sesuai dengan kebijakan pemerintah mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Efektivitas pekerjaan akan naik, berbanding lurus dengan produktivitas. Para pekerja pabrik juga tidak lagi disusahkan oleh ke