"Sayang?" lirih Langit saat ia melihat ada pergerakan pada netra istrinya. Refleks Rintik memegangi kepalanya yang terasa amat pusing. Tangan satunya digenggam erat oleh suaminya."Istirahat saja," pinta Langit. Ia mengusap kepala Rintik lembut."Ibu?""Kamu sehat saja dulu, jangan memikirkan hal lain. Ingat anak kita, Sayang." Mendengar ucapan Langit, Rintik merasa diingatkan tentang kondisinya saat ini. Ia tengah mengandung dan ia memiliki tanggung jawab atas dirinya."Bibimu sudah datang, Janar menghubunginya sore tadi. Beliau sedang berada di mushola Rumah sakit," kata Langit. "Aku merasa bersalah pada ibumu, Lang," ucap Rintik dengan air mata tertahan."St! Jangan bicara seperti itu. Biarkan aku mencari solusinya. Kamu fokus pada kesehatanmu saja. Anak kita harus tetap sehat. Jangan karena ibu, kamu lalai dengan kesehatanmu sendiri," pinta Langit. Ia mencium punggung tangan istrinya lembut."Terima kasih, Lang." Rintik memeluk suaminya meski dalam keadaan lemah. Wanita itu mer
"Apa yang sudah kamu lakukan pada Rintik?" tanya Reka dengan wajah merah padam."Apa maksudmu?" Iren menyibakkan tangan Reka yang berada di pundaknya seraya menatap sinis pada suaminya. Kini Iren tidak lagi mengemis kasih sayang pada suaminya."Aku dengar Rintik masuk Rumah sakit. Pasti ada hubungannya denganmu bukan? Siapa lagi jika bukan kamu!" seru Reka. wajahnya merah padam."Ini bukan kesepakatan yang telah kita sepakati. Kamu—""Aku tidak melakukan apapun padanya! Jangan asal tuduh!" Iren tidak suka dengan tuduhan yang ditujukan padanya oleh Reka. Meskipun secara tidak langsung ia yang menyebabkan Rintik sakit. Tapi ia juga tidak mau dituduh demikian.'Apa Rintik syok dengan kedatangan ibu Langit? Aku sangat yakin jika ibu mertuanya sudah datang dan membongkar semuanya,' ucap Iren dalam hati. Salah satu sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah seringai."Apa yang kamu pikirkan?" Reka menyipitkan matanya merasa curiga dengan apa yang dipikirkan oleh Iren. Ia tahu jika Iren tenga
"Maksudmu?" tanya Janar pada Langit. Mereka berada di kantin Rumah sakit dan bertemu untuk membicarakan sesuatu."Ia tahu kalau aku memiliki showroom mobil. Mungkin karena itu ia mendekatiku lagi," ujar Langit."Bukannya Reka juga memiliki kekayaan? Yang aku dengar bisnisnya juga ada di beberapa tempat.""Memang. Tapi jika dibandingkan dengan toko Reka, bukankah uang showroom jauh lebih banyak? Apalagi ia sudah berkeliling tempat itu. Ia pasti bisa menghitung berapa uang yang bisa masuk setiap bulan. Dan lagi, tahun ini penjualan mobil di toko sedang tinggi," terang Langit.Janar hanya mengangguk-anggukan kepalanya tanda mengerti. Ia tahi, jika wanita seperti Iren pasti akan lebih memilih Langit daripada Reka. Disamping banyak uang, ia juga bisa memakai mobil yang ia mau."Lagipula sikap Reka sangat ketus padanya. Bahkan anaknya pun tak pernah digendongnya," lanjut Langit lagi."Bukannya anak itu anak Reka?" Janar penasaran."Menurut pengakuan Iren memang begitu. Tapi yang aku dengar
Mami tidak habis pikir, Reka. Sikap Iren sangat berbanding terbalik dengan yang ia tunjukan dulu. Sekarang, ia sudah berani melawan mami. Bahkan membentak mami. Padahal Mami sudah membantunya merawat Cantika. Setelah berhenti bekerja, ia malah suka pergi keluyuran tidak jelas. Kalau mami tanya dari mana, selalu saja marah-marah. Dahulu, Rintik saja tidak pernah berani membantah ucapan Mami. Berbeda dengan Iren," keluh Margaret pada putranya."Menikahi Iren juga kehendak mami bukan? Aku sudah mengatakan jika tidak ada wanita sebaik Rintik. Mami kukuh ingin aku menceraikan Rintik. Sekarang Mami mengeluh sikap Iren yang tidak menghormati Mami," balas Reka. Kesempatan untuk dapat menyalahkan ibunya tidak datang dua kali. Dalam hati, Reka merasa senang karena ibunya menyesal telah memintanya untuk menikahi Iren dan menceraikan Rintuk."Ya, Mami kan pengen punya cucu. Dan Rintik tidak bisa memberikan hal itu. Dan Iren datang membawa kabar tentang kehamilannya. Tentu saja Mami sangat senang
Argh! Menyebalkan! Kenapa sih Mas Reka jadi berubah seperti itu. Padahal kemarin-kemarin ia diam saja dan tidak ambil pusing dengan uang yang aku gunakan. Jika terus begini, lama-lama aku bisa jatuh miskin. Dan aku tidak mau itu terjadi. Aku harus mencari cara agar aku tetap mempunyai uang," gerutu Iren.Ia masih merasa kesal dengan keputusan sepihak Reka yang membekukan kartu kredit miliknya.Ia memutuskan untuk pergi ke tempat kerja Reka dan meminta uang. Bila perlu, ia akan bersujud di bawah kakinya."Jika Mas Reka tidak memberiku uang, maka aku akan katakan pada Rintik jika Reka ingin menghancurkan hubungannya dengan Langit. Supaya ia tidak bisa lagi mendekati Rintik," gumam Iren lagi.Ia segera memacu mobilnya menuju tempat kerja Reka. Setelah sampai di tujuan, Iren buru-buru menuju ruangan Reka meski beberapa orang mencoba menghalanginya. Tekad bulatnya tidak akan mudah terkalahkan hanya karena beberapa orang.Dengan kasar Iren membuka pintu ruangan Reka. Yang di ruangan itu ter
Aisyah tertawa lebar saat melihat wajah mantan besannya yang terkejut ketika mendengar kabar kehamilan Rintik. "Iya, jeng besan. Rintik hamil. Itu artinya, anak saya ini tidak mandul. Rintik wanita yang subur. Dan alhamdulillah, kandungannya juga baik-baik saja.""Ta- tapi, bagaimana bisa? Mereka menikah sudah cukup lama dan belum diberikan momongan. Lalu sekarang?" Margaret masih belum percaya dengan apa yang baru saja ia dengar."Aduh, bagaimana ya, jeng? Bisa saja putramu yang bermasalah. Tapi semua orang menyalahkan Rintik. Mungkin hal itu bisa Jeng tanyakan pada putra Jeng sendiri. Buktinya, setelah Rintik menikah dengan langit, Rintik hamil. Dan terbukti ia tidak mandul," tutur Aisyah yang semakin membuat Margaret syok.Aisyah sengaja menyombongkan Rintik yang tengah berbadan dua karena sempat merasa sakit hati keponakannya dituduh tidak bisa memiliki anak."Bibi, sudah. Ayo kita pulang saja. Aku sudah lelah dan ingin tiduran," ajak Rintik pada Aisyah. "Kamu tidak berbohong kan
"Mas! Apa kamu tidak ingin menggendong anakmu barang sebentar?" rengek Iren pada Reka yang sudah bersiap meninggalkan ruang inap."Anak mana yang kamu maksud?" ucap Reka dengan nada sinis."Bisa tidak sih kamu berhenti bersikap seperti itu? Ia anakmu yang membutuhkan kasih sayangmu. Tidakkah kamu merasa kasihan melihatnya saat menatapmu?""Kamu yakin jika itu anakku?"Iren memutar bola matanya malas, kemudian ia berkata," Kenapa kamu selalu mempertanyakan hal itu? Apa kamu tidak bosan?""Wajar jika aku mempertanyakannya. Karena aku merasa kalau anak itu bukan anakku. Bukan darah dagingku," ucap Reka, kemudian ia hendak berlalu."Apa yang bisa meyakinkanmu jika anak ini adalah anakmu?" tanya Iren dengan menahan tangis.Reka yang awalnya hendak meninggalkan ruangan, kini ia berbalik dan menatap Iren dan berkata, "Buktikan jika ia memang anakku dengan tes DNA.""A- apa?" Iren terbata mendengar ucapan Reka. "Tes DNA? Tapi kenapa harus tes DNA?" Ia mengulang ucapan Reka."Kenapa? Karena ha
"Hasil tes itu mengatakan jika aku kurang subur. Itu sebabnya pernikahanku dengan Rintik sangat sulit untuk segera mendapatkan momongan meski kami melakukan hubungan di masa Rintik subur. Lalu bagaimana dengan hanya sekali berhubungan seseorang itu langsung hamil?" ujar Reka seraya melirik Iren yang tengah merasa cemas."Ma-maksud kamu apa, mas? Kamu menuduhku—""Apa aku tidak boleh merasa curiga akan hal itu? Terlebih kamu selalu menghabiskan uangku untuk berbelanja dan hura-hura," potong Reka."Kamu sengaja berkata pada Mami bahwa kamu hamil anakku meski kamu tahu aku sudah memiliki istri. Jika bukan karena uangku, lalu untuk apa lagi tujuanmu mendekatiku?" lanjut Reka."Itu juga yang kamu lakukan terhadap Langit. Setelah tahu ia adalah pria sederhana, kamu meninggalkannya begitu saja. Lalu sekarang setelah kamu tahu Langit banyak uang, kamu berusaha mendekatinya lagi? Cih! Wanita murahan sepertimu rasanya tidak pernah puas hanya dengan satu pria saja," hina Reka.Iren menggelengkan