Hari ini, Mas Dewangga mulai kembali masuk ke perusahaan setelah beberapa hari meluangkan waktu bersamaku. Meski begitu, dia masih menyempatkan diri menemaniku bertemu Pak Bram untuk diskusi lanjutan tentang toko kue impianku.Di meja diskusi, Pak Bram mulai memaparkan ide-ide baru sambil menunjukkan beberapa diagram di laptopnya. Aku menyimak dengan penuh antusias, mencatat setiap poin penting di buku kecilku. Sesekali aku melirik Mas Dewangga yang duduk di sebelahku, matanya fokus pada layar laptop yang dia bawa."Mas," panggilku pelan saat Pak Bram sedang membenahi file di laptopnya."Hmm?" Mas Dewangga menoleh."Kamu yakin tidak apa-apa? Aku bisa kok sendiri. Kamu tidak harus selalu menemaniku, apalagi sambil membawa-bawa kerjaan begini," kataku ragu.Mas Dewangga tersenyum tipis, menggeser sedikit laptopnya sejenak, lalu menatapku lekat. "Zoya, aku tidak mau kamu merasa sendirian di awal perjalanan ini. Aku tahu kamu bisa, tapi aku tetap ingin ada di sini untuk kamu."Aku terdia
Dua hari setelah percakapan kami, Mas Dewangga menepati janjinya untuk mempertemukanku dengan seorang baker profesional bernama Bu Angel. Kali ini, kami tidak pergi ke kafe, melainkan ke sebuah studio baking milik Bu Angel. Tempat ini terlihat menawan, dengan jendela besar yang memamerkan berbagai kue cantik dan papan nama elegan di depan.Begitu masuk, aroma mentega dan cokelat langsung menyambutku. Aku terpukau melihat studio yang begitu rapi dengan meja-meja panjang, oven modern, dan rak penuh bahan-bahan baking. Bu Angel, seorang wanita berwibawa dengan senyum hangat, menyambut kami di pintu masuk."Selamat datang, Bu Zoya. Pak Dewangga sudah bercerita banyak tentang rencana Anda membuka toko kue," katanya ramah.Aku tersenyum canggung. "Masih banyak yang harus saya pelajari, Bu.""Itu bagus. Belajar memang kunci suksesnya. Hari ini, kita akan mulai dari dasar, ya."Mas Dewangga menyentuh bahuku lembut. "Aku pamit dulu, ya, Sayang. Kalau ada apa-apa, langsung kabari aku, ya."Ak
Esok paginya, suasana cerah menyambutku saat aku dan Mas Dewangga tiba di studio baking milik Bu Angel. Mas Dewangga turun bersama denganku, lalu membuka pintu studio. Wangi adonan manis langsung menyapa kami."Semangat, ya," ucap Mas Dewangga sambil tersenyum.Aku mengangguk. "Tentu, Mas."Namun, saat kami melangkah masuk, ponsel Mas Dewangga berdering. Dia meraih ponselnya dari saku jas, memeriksa layar sejenak, lalu menatapku. "Zoya, aku ada telepon. Aku keluar sebentar, ya?""Iya, Mas," balasku sambil tersenyum.Mas Dewangga meninggalkanku, sementara Bu Angel sudah menunggu di meja kerja dengan bahan-bahan yang sudah tertata rapi."Pagi, Bu Angel," sapaku ramah."Pagi juga, Bu Zoya. Siap belajar lagi?" tanyanya."Tentu!" jawabku penuh semangat.Hari ini, Bu Angel mengajarkanku teknik menghias kue tart dengan frosting dan penggunaan piping bag. Aku mulai memahami pentingnya konsistensi adonan buttercream dan bagaimana mengatur tekanan tangan saat menghias kue.Namun, saat Bu Ange
"Aku punya kenalan seorang desainer interior yang handal, terutama dalam mendesain tempat dan hiasan untuk toko. Namanya Pak Ario. Kita bisa menghubunginya setelah kamu punya ide konsep untuk toko kue-mu," kata Kak El dengan santainya, membuatku terdiam beberapa saat.Aku terperangah mendengar tawaran itu. Tidak hanya Kak El, bahkan ada seseorang yang begitu ahli dalam desain toko yang siap membantuku nantinya.Sungguh luar biasa. Semua seolah berjalan begitu mulus, dan hatiku dipenuhi rasa terima kasih."Benarkah, Kak? Itu sangat membantu," jawabku, suaraku sedikit bergetar karena bahagia.Dalam hati, aku merasa sangat bersyukur memiliki mereka di hidupku. Aku merasa sangat senang karena jalanku terasa semakin dekat dengan mimpiku."Privilege orang kaya memang beda," bisikku dalam hati, sedikit bercanda dengan diri sendiri.Setelah kami berbincang sedikit lebih lama, Kak El pun pamit untuk pulang bersama Ferdinand saat hari sudah mulai gelap. Namun, sebelum mereka pergi, aku bisa me
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan untuk menenangkan tubuhku yang terasa lemah. Setelah itu, aku menutup mata, mencoba mengabaikan rasa tidak nyaman di kepala dan perutku. Suara hujan deras dari luar jendela terasa menenangkan, menjadi irama pengantar tidur yang tak tergantikan. Tak butuh waktu lama, aku kembali terlelap.Ketika aku membuka mata lagi, suasana kamar masih sama tenangnya, hanya saja kini ada Mas Dewangga di sisi kananku dan Abiyan di sisi kiriku. Entah sudah berapa lama mereka berada di sini."Kamu sudah bangun?" Suara Mas Dewangga terdengar lembut. Dia mencondongkan tubuh, menyentuh keningku dengan punggung tangannya. "Bagaimana rasanya sekarang?"Aku mengerjap pelan, lalu mencoba tersenyum kecil meski terasa berat. "Masih pusing, Mas. Perutku juga agak mual.""Kalau begitu, jangan bergerak terlalu banyak. Biar aku yang urus semuanya," ucapnya serius, ekspresi wajahnya jelas menunjukkan kekhawatiran.Abiyan yang duduk di sisi kiriku ikut ang
Sudah dua hari aku terbaring lemah di kamar ini. Tubuhku masih terasa lemas, meskipun perlahan kondisiku mulai membaik. Namun, semua rencana yang sudah kususun menjadi berantakan. Pertemuanku dengan Bu Angel dan Pak Bram terpaksa tertunda, dan aku tidak punya pilihan selain beristirahat.Sesekali, Kak El dan Nara datang menjengukku. Mereka membawa suasana yang lebih segar ke kamar yang sepi ini. Kak El membawa buah-buahan segar, sedangkan Nara membawakanku sup ayam yang katanya dimasak sendiri."Zoya, jangan terlalu keras kepala. Kalau tubuhmu lemah, istirahat saja," kata Kak El sambil memotong buah apel untukku.Aku tersenyum kecil. "Iya, Kak. Aku juga tidak mau sakit lama-lama."Nara yang duduk di sudut ranjang ikut menimpali. "Kalau sampai tiga hari masih belum pulih, sebaiknya Anda pergi ke dokter lagi, ya. Jangan ditunda-tunda."Mereka berdua benar-benar perhatian. Kehadiran mereka membuatku merasa sedikit lebih baik, meski hanya sebentar.Kak El dan Nara sudah saling berkenal
"Nara, coba kamu foto orang itu," bisikku dengan cepat. "Kirim fotonya padaku. Aku akan melaporkannya ke suamiku."Nara langsung mengeluarkan ponselnya tanpa banyak bertanya. Dia bergerak pelan agar tidak menarik perhatian pria itu, memotret dari sudut yang cukup tersembunyi.Sementara itu, aku mencoba berpikir cepat. Sosoknya begitu asing, dan caranya berdiri di sana membuatku semakin gelisah. "Bu Angel." Aku memanggil pelan. "Bu, itu siapa, ya? Orang itu mondar-mandir terus di depan."Bu Angel yang sedang mengambil bahan di rak langsung menoleh. "Mana? Orang yang di luar itu?" tanyanya sambil berjalan mendekati pintu kaca. Dia mengerutkan dahinya. "Tunggu sebentar, saya tanyakan langsung saja.""Bu Angel, hati-hati," kataku dengan nada setengah berbisik sambil mengikuti langkahnya dari belakang. Aku tidak bisa membiarkannya menghadapi pria itu sendirian, tetapi aku juga menjaga jarak, sekadar berjaga-jaga.Bu Angel membuka pintu dan berdiri tegap di ambang pintu. "Permisi. Ada y
Seperti yang Mas Dewangga ucapkan kemarin, pagi ini dua pria bertubuh kekar dengan setelan hitam lengkap sudah berdiri di depan pintu mansion. Mereka adalah bodyguard yang ditugaskan Mas Dewangga untuk mengawalku ke mana pun aku pergi. Meski aku tahu ini demi keselamatanku, rasa canggung dan malu tetap tidak bisa kuhindari.Saat mobil yang membawaku menuju studio Bu Angel melaju, aku menyadari tatapan heran dari beberapa orang di jalan. Bahkan, saat aku turun di depan studio, beberapa orang memandangiku seolah aku adalah selebritas yang butuh perlindungan ekstra. Aku hanya bisa tersenyum kaku sambil menahan perasaan tidak nyaman."Maaf, Nyonya." Salah satu bodyguard dengan suara baritonnya angkat bicara. "Kami akan menunggu di luar selama Anda di dalam."Aku mengangguk pelan. "Baik, tapi kalian boleh duduk di kursi yang di sana. Jangan terus berdiri, nanti lelah," tawarku, mencoba bersikap ramah.Namun, pria yang tadi berbicara hanya menggeleng tegas. "Terima kasih, Nyonya, tapi kam
Aku segera menoleh, dan pandanganku bertemu dengan sosok yang tak pernah kusangka akan kutemui di sini."Mas?" Suaraku lirih, nyaris berbisik. Ketidakpercayaan menguasai pikiranku.Aku bisa menangkap tatapan dingin suamiku mengarah pada Alex yang berdiri di dekatku. Meski tanpa mengatakan apa pun, ekspresinya sudah cukup untuk menunjukkan perasaannya.Tanpa banyak basa-basi, Mas Dewangga menggenggam pergelangan tanganku dan menarikku menjauh dari sana.Langkahnya cepat dan mantap, sementara aku berusaha mengimbanginya dengan susah payah. Cengkeramannya tak menyakitkan, tetapi cukup untuk membuatku sulit menghentikan langkahku."Mas, bisa pelan sedikit jalannya?" pintaku sambil setengah berlari mengikutinya. Namun, dia tetap melangkah seperti tak mendengar apa pun.Kami terus berjalan hingga sampai di parkiran. Mas Dewangga membuka pintu mobil dan menatapku sejenak. "Masuk," katanya singkat.Aku menurut tanpa berani membantah. Setelah aku duduk dan Mas Dewangga juga masuk, dia memban
Beberapa menit setelah Mas Dewangga keluar dari kamar, aku memutuskan untuk berendam di bathtub. Kata itu selalu terdengar elegan, meskipun kenyataannya aku hanya ingin menenggelamkan diri dalam air hangat untuk mengusir beban pikiran. Suara gemericik air yang mengisi bathtub membuat suasana kamar mandi terasa damai. Aku menambahkan beberapa tetes minyak esensial dengan aroma lavender, berharap wangi itu bisa menenangkan pikiranku yang masih gelisah.Sambil berendam, aku menyusun rencana untuk pergi ke tokoku hari ini. Sudah cukup aku menuruti larangan Mas Dewangga selama beberapa hari terakhir. Dia mungkin berpikir itu untuk kebaikanku, tetapi aku butuh ruang sendiri. Kali ini, aku memutuskan untuk melakukannya tanpa izin darinya.Setelah selesai bersiap-siap, aku melirik jam dinding, tepat pukul sembilan pagi.Dengan langkah mantap, aku meminta sopir untuk mengantarku ke toko kue. Dalam perjalanan, aku membayangkan aroma manis dan suasana hangat yang selalu kurindukan dari tokok
Keesokan harinya, sikap Mas Dewangga tidak berubah. Aku mencoba mencari celah untuk berbicara dengannya, tetapi sepertinya dia sengaja menjaga jarak. Setiap kali aku mendekat, ada saja alasannya untuk menghindar.Hari itu, aku duduk di sofa ruang tamu, memainkan remote TV tanpa benar-benar menonton. Pikiran tentang Mas Dewangga terus menggangguku. Beberapa hari terakhir, dia seperti orang lain—dingin dan seolah menghindariku."Apa benar karena parfum Alex?" gumamku pelan.Aku tahu seharusnya aku bertanya langsung, tetapi rasanya tidak mudah ketika dia terlihat begitu ... jauh.Akhirnya aku kembali ke kamar untuk menunggunya pulang.Saat Mas Dewangga akhirnya pulang, aku mencoba menyapanya seperti biasa."Mas, sudah makan? Mau aku buatkan sup kesukaanmu?" tanyaku dengan nada yang kubuat sehangat mungkin.Dia hanya mengangguk singkat, berjalan melewatiku tanpa sepatah kata pun."Mas, aku sedang bicara, lho!" tegurku, mencoba menahan emosi yang tiba-tiba naik."Hmm," gumamnya, tanpa men
Aku duduk di tepi ranjang, menunggu Mas Dewangga selesai mandi. Suara air dari kamar mandi terdengar samar, tetapi cukup untuk membuat pikiranku semakin bising. Aku memainkan ujung pakaian yang kupakai, menggulung-gulung kainnya dengan gelisah.Tadi, aku sempat merasa yakin kalau Mas Dewangga tidak akan mencium aroma itu. Namun, setelah melihat sikap Mas Dewangga yang berubah dingin, aku mulai meragukan semuanya.Beberapa menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka dan Mas Dewangga keluar. Rambutnya masih sedikit basah, sementara handuk tergantung di bahunya. Namun, kali ini dia bahkan tidak menoleh ke arahku.Biasanya, meski sekilas, dia akan melirikku atau memberikan senyum kecil, tetapi sekarang dia bersikap seolah aku tidak ada. Dadaku terasa sesak melihatnya."Apa dia mencium aroma parfum Alex di pakaianku?" gumamku pelan. Pikiran itu terus berputar, menambah beban di benakku. Aku ingin bertanya, ingin memastikan. Namun, ketika melihat wajahnya yang datar tanpa ekspresi, niat itu
Aku segera membalikkan badan, memunggunginya, berusaha agar tidak dikenali oleh sosok itu. Dengan langkah pelan, aku bergeser ke arah rak yang berisi tumpukan barang agar tubuhku terlindungi dari pandangan Alex. "Jika saja aku tidak tahu apa yang pernah terjadi antara Alex dan Mas Dewangga di masa lalu, mungkin aku akan menyapanya dengan santai," batinku.Beberapa saat kemudian Mirna akhirnya datang dengan keranjang belanja. Aku langsung memasukkan buah yang sudah kupilih ke dalam keranjang. "Ayo, kita lihat-lihat ke sana," bisikku sambil melangkah dengan cepat.Kami sampai di rak yang penuh dengan barang kebutuhan sehari-hari. Mataku langsung tertuju pada satu produk di rak atas, yang kebetulan aku butuhkan. Sayangnya, posisinya terlalu tinggi. Aku mencoba menjangkau, tetapi jari-jariku masih jauh dari produk itu."Mirna, bisa bantu aku?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya.Mirna hanya tertawa kecil. "Saya lebih pendek dari Nyonya. Bagaimana kalau saya panggilan staff tokonya?""I
Aku memutuskan menunggu Mas Dewangga selesai menelepon. Sambil menunggu, aku merebahkan diri di ranjang. Namun, sudah sepuluh menit berlalu dan suamiku tak kunjung kembali.Perasaan tak menentu mulai merambat. Aku bangkit dan melangkah menuju pintu kamar, lalu mengintip keluar. Koridor sepi, hanya suara detak jam dinding yang memecah keheningan. Aku melangkah keluar, mengedarkan pandangan ke kanan dan kiri. Namun, sosok yang kucari tidak ada.Ada sedikit kecemasan yang menyelinap di hatiku, tetapi segera kutepis jauh-jauh. Aku mencoba berpikir rasional. "Kira-kira Mas Dewangga akan pergi ke mana di saat-saat begini?" batinku sembari berpikir keras.Bayangan sebuah tempat langsung melintas dalam pikiranku, sebuah taman di dalam ruangan!Dulu, dia pernah menunjukkan tempat itu padaku. Katanya, taman itu adalah tempat favoritnya sejak kecil. Tempat di mana dia merasa damai dan bebas dari segala beban dunia. Mungkin saja dia ada di sana.Langkahku terarah menuju taman itu hingga akhirn
"Nara, ingat ini baik-baik. Istriku harus pulang jam dua belas siang. Jika lewat dari itu, kamu akan saya pecat. Mengerti?" kata Mas Dewangga dengan tegas.Wajah Nara seketika memucat. "Ba-bapak tenang saja. Saya pastikan Bu Zoya pulang tepat waktu."Aku menahan tawa melihat ekspresi Nara yang panik. Setelah memberikan pesan itu, Mas Dewangga kembali ke mobil, memastikan aku baik-baik saja sebelum akhirnya pergi ke kantor.Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh dan menggeleng sambil tersenyum kecil. Di balik sikap tegasnya, aku tahu dia hanya khawatir. Sungguh, memiliki suami seperti Mas Dewangga adalah anugerah sekaligus tantangan tersendiri.Hari ini, aku kembali beraktivitas seperti biasa di toko. Menata barang di rak, mencatat stok, dan sesekali melayani pelanggan yang datang. Semua terasa normal, kecuali satu hal: Nara, asistenku, jadi lebih cerewet dari biasanya."Bu, jangan lupa ya, jam dua belas harus pulang. Jangan sampai terlewat. Ah, iya, Ibu juga jangan terlalu ban
"Mama!" seru Abiyan sambil berlari kecil ke arahku. Dia memelukku erat, seolah tidak bertemu berhari-hari."Abiyan, kamu sudah pulang? Bagaimana sekolahmu hari ini?" tanyaku sambil membelai rambutnya yang sedikit berantakan."Asyik, Ma. Tadi aku dapat nilai bagus di pelajaran Matematika," jawabnya penuh semangat."Hebat sekali anak Mama. Sudah makan belum? Ayo kita makan bersama," ajakku sambil menggandeng tangannya ke meja makan.Aku meminta pelayan untuk menyiapkan makanan juga untuk Abiyan. Kami duduk bersama, menunggu hidangan selesai disiapkan. Tidak lama kemudian, Ibu datang dan ikut bergabung di meja makan."Bagaimana sekolahmu hari ini, Abiyan?" tanya Ibu sambil tersenyum."Bagus, Nek. Abiyan dapat nilai bagus," jawabnya dengan bangga.Ibu mengangguk puas, lalu menatapku dan Abiyan bergantian. Kemudian, dengan nada serius namun penuh kasih, Ibu berkata kepada Abiyan, "Abiyan, mulai sekarang kamu harus menjaga Mama, ya. Mama sedang butuh banyak istirahat."Kata-kata Ibu membu
Perjalanan menuju rumah sakit terasa begitu lambat. Udara pagi yang sejuk seharusnya membuatku merasa lebih baik, tetapi pusing dan mual ini membuatku lemas. Mas Dewangga, yang duduk di belakang kemudi, sesekali melirikku dengan wajah khawatir.Aku melirik jam di dashboard mobil. Baru pukul delapan pagi. Biasanya, aku sudah bersiap-siap ke toko, tetapi hari ini, dengan kondisiku seperti ini, kemungkinan besar Mas Dewangga tidak akan mengizinkanku pergi."Mas, kalau aku tetap pergi ke toko hari ini, boleh tidak?" tanyaku pelan, mencoba mencari celah."Lebih baik kamu istirahat saja setelah kita pulang dari rumah sakit. Kamu sudah terlalu banyak bekerja akhir-akhir ini, Sayang," jawabnya lembut, tetapi tegas.Sudah kuduga. Sambil menahan pusing, aku meraih ponsel dan menghubungi Nara, asistenku yang selalu bisa diandalkan.Begitu panggilan tersambung, aku segera berkata, "Nara, sepertinya hari ini aku tidak bisa berangkat ke toko. Aku dalam perjalanan ke rumah sakit."["Bu Zoya tidak e