"Aku punya kenalan seorang desainer interior yang handal, terutama dalam mendesain tempat dan hiasan untuk toko. Namanya Pak Ario. Kita bisa menghubunginya setelah kamu punya ide konsep untuk toko kue-mu," kata Kak El dengan santainya, membuatku terdiam beberapa saat.Aku terperangah mendengar tawaran itu. Tidak hanya Kak El, bahkan ada seseorang yang begitu ahli dalam desain toko yang siap membantuku nantinya.Sungguh luar biasa. Semua seolah berjalan begitu mulus, dan hatiku dipenuhi rasa terima kasih."Benarkah, Kak? Itu sangat membantu," jawabku, suaraku sedikit bergetar karena bahagia.Dalam hati, aku merasa sangat bersyukur memiliki mereka di hidupku. Aku merasa sangat senang karena jalanku terasa semakin dekat dengan mimpiku."Privilege orang kaya memang beda," bisikku dalam hati, sedikit bercanda dengan diri sendiri.Setelah kami berbincang sedikit lebih lama, Kak El pun pamit untuk pulang bersama Ferdinand saat hari sudah mulai gelap. Namun, sebelum mereka pergi, aku bisa me
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan untuk menenangkan tubuhku yang terasa lemah. Setelah itu, aku menutup mata, mencoba mengabaikan rasa tidak nyaman di kepala dan perutku. Suara hujan deras dari luar jendela terasa menenangkan, menjadi irama pengantar tidur yang tak tergantikan. Tak butuh waktu lama, aku kembali terlelap.Ketika aku membuka mata lagi, suasana kamar masih sama tenangnya, hanya saja kini ada Mas Dewangga di sisi kananku dan Abiyan di sisi kiriku. Entah sudah berapa lama mereka berada di sini."Kamu sudah bangun?" Suara Mas Dewangga terdengar lembut. Dia mencondongkan tubuh, menyentuh keningku dengan punggung tangannya. "Bagaimana rasanya sekarang?"Aku mengerjap pelan, lalu mencoba tersenyum kecil meski terasa berat. "Masih pusing, Mas. Perutku juga agak mual.""Kalau begitu, jangan bergerak terlalu banyak. Biar aku yang urus semuanya," ucapnya serius, ekspresi wajahnya jelas menunjukkan kekhawatiran.Abiyan yang duduk di sisi kiriku ikut ang
Sudah dua hari aku terbaring lemah di kamar ini. Tubuhku masih terasa lemas, meskipun perlahan kondisiku mulai membaik. Namun, semua rencana yang sudah kususun menjadi berantakan. Pertemuanku dengan Bu Angel dan Pak Bram terpaksa tertunda, dan aku tidak punya pilihan selain beristirahat.Sesekali, Kak El dan Nara datang menjengukku. Mereka membawa suasana yang lebih segar ke kamar yang sepi ini. Kak El membawa buah-buahan segar, sedangkan Nara membawakanku sup ayam yang katanya dimasak sendiri."Zoya, jangan terlalu keras kepala. Kalau tubuhmu lemah, istirahat saja," kata Kak El sambil memotong buah apel untukku.Aku tersenyum kecil. "Iya, Kak. Aku juga tidak mau sakit lama-lama."Nara yang duduk di sudut ranjang ikut menimpali. "Kalau sampai tiga hari masih belum pulih, sebaiknya Anda pergi ke dokter lagi, ya. Jangan ditunda-tunda."Mereka berdua benar-benar perhatian. Kehadiran mereka membuatku merasa sedikit lebih baik, meski hanya sebentar.Kak El dan Nara sudah saling berkenal
"Nara, coba kamu foto orang itu," bisikku dengan cepat. "Kirim fotonya padaku. Aku akan melaporkannya ke suamiku."Nara langsung mengeluarkan ponselnya tanpa banyak bertanya. Dia bergerak pelan agar tidak menarik perhatian pria itu, memotret dari sudut yang cukup tersembunyi.Sementara itu, aku mencoba berpikir cepat. Sosoknya begitu asing, dan caranya berdiri di sana membuatku semakin gelisah. "Bu Angel." Aku memanggil pelan. "Bu, itu siapa, ya? Orang itu mondar-mandir terus di depan."Bu Angel yang sedang mengambil bahan di rak langsung menoleh. "Mana? Orang yang di luar itu?" tanyanya sambil berjalan mendekati pintu kaca. Dia mengerutkan dahinya. "Tunggu sebentar, saya tanyakan langsung saja.""Bu Angel, hati-hati," kataku dengan nada setengah berbisik sambil mengikuti langkahnya dari belakang. Aku tidak bisa membiarkannya menghadapi pria itu sendirian, tetapi aku juga menjaga jarak, sekadar berjaga-jaga.Bu Angel membuka pintu dan berdiri tegap di ambang pintu. "Permisi. Ada y
Seperti yang Mas Dewangga ucapkan kemarin, pagi ini dua pria bertubuh kekar dengan setelan hitam lengkap sudah berdiri di depan pintu mansion. Mereka adalah bodyguard yang ditugaskan Mas Dewangga untuk mengawalku ke mana pun aku pergi. Meski aku tahu ini demi keselamatanku, rasa canggung dan malu tetap tidak bisa kuhindari.Saat mobil yang membawaku menuju studio Bu Angel melaju, aku menyadari tatapan heran dari beberapa orang di jalan. Bahkan, saat aku turun di depan studio, beberapa orang memandangiku seolah aku adalah selebritas yang butuh perlindungan ekstra. Aku hanya bisa tersenyum kaku sambil menahan perasaan tidak nyaman."Maaf, Nyonya." Salah satu bodyguard dengan suara baritonnya angkat bicara. "Kami akan menunggu di luar selama Anda di dalam."Aku mengangguk pelan. "Baik, tapi kalian boleh duduk di kursi yang di sana. Jangan terus berdiri, nanti lelah," tawarku, mencoba bersikap ramah.Namun, pria yang tadi berbicara hanya menggeleng tegas. "Terima kasih, Nyonya, tapi kam
Setelah selesai dengan semua aktivitas hari itu, aku akhirnya punya kesempatan untuk duduk bersama Mas Dewangga di kamar. Aku memulai pembicaraan dengan hati-hati, meski sebenarnya aku sudah tidak sabar."Mas," panggilku, menatap wajahnya yang tengah asyik membaca dokumen di laptopnya.Dia mendongak, lalu tersenyum kecil. "Iya, Sayang. Ada apa?""Aku ingin berdiskusi soal toko kueku," jawabku.Dia mengangguk, menunjukkan ketertarikannya. "Tentu, aku mendengarkan."Aku menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Menurut Mas, lebih baik kita menyewa tempat atau langsung membelinya saja?"Mas Dewangga terdiam sejenak, matanya menyipit seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. "Hmm ... kalau menurutku, beli saja, Sayang. Lebih praktis dan jangka panjangnya juga menguntungkan. Kamu tidak perlu khawatir tentang sewa naik atau harus pindah di masa depan."Aku mengerjapkan mata, sedikit terkejut. "Beli? Tapi ... bukannya itu terlalu mahal, Mas?"Dia tertawa pelan melihat reaksiku. "Saya
Hari ketiga soft opening tiba, dan atmosfer di toko kami semakin ramai. Kali ini, banyak pelanggan baru yang datang karena mendengar ulasan positif dari mereka yang berkunjung di dua hari sebelumnya. Beberapa pelanggan bahkan mulai memesan dalam jumlah besar untuk acara keluarga atau ulang tahun.Dina dan Fika di kasir tampak lebih percaya diri, meskipun antrean mulai mengular. Tim pelayanan juga semakin luwes dalam menangani pelanggan. Tia bahkan mulai membangun hubungan akrab dengan anak-anak yang memilih kue mereka dengan penuh antusias.Di dapur, situasinya tak kalah sibuk. Santi memimpin tim dapur dengan teliti, memastikan setiap pesanan tersaji dengan tepat waktu dan kualitas tetap terjaga. Aku sempat berkeliling dapur untuk memantau, dan meski wajah mereka terlihat lelah, semangat tim tidak kendur sama sekali."Ayo, kita selesaikan pesanan ini secepat mungkin!" kata Santi, menyemangati rekan-rekannya.Di luar dapur, aku sibuk menyambut beberapa pelanggan tetap yang datang un
Setelah menimbang-nimbang, kami memutuskan untuk mengadakan grand opening selama dua hari. Hari pertama lebih formal, dengan tamu undangan dari kolega Ayah, rekan bisnis Mas Dewangga, teman-teman Ibu, Kak El, dan Nara, serta beberapa relasi dari Pak Bram dan juga Bu Angel. Sedangkan hari kedua akan lebih santai, terbuka untuk umum, dengan berbagai promo menarik dan hiburan untuk pelanggan.Pagi-pagi sekali, toko sudah penuh dengan kesibukan. Balon pastel dan pita emas yang kemarin dipasang tampak berkilauan di bawah cahaya matahari pagi. Sebuah karpet merah dibentangkan dari pintu masuk hingga ke jalan, memberikan kesan mewah."Siap, Bu Zoya?" tanya Nara sambil memeriksa daftar acara di tablet.Aku mengangguk sambil tersenyum, meskipun aku merasa sedikit gugup. "Siap."Mas Dewangga datang bersamaku, kehadirannya langsung menarik perhatian. Kami melangkah masuk dengan percaya diri. Banyak tamu yang langsung menghampirinya untuk berbicara."Kamu terlihat cantik hari ini," bisiknya,
"Zoya, ada apa?" tanya Mas Dewangga di sampingku tiba-tiba.Suara suamiku membuatku sedikit tersentak. Aku menelan ludah sebelum mengangkat telunjuk, menunjuk ke arah trotoar di luar jendela mobil. "Mas, lihat itu ..." bisikku.Mas Dewangga mengikuti arah telunjukku, lalu tiba-tiba tubuhnya menegang. Rahangnya mengeras, sorot matanya berubah tajam. Aku melihat bagaimana jemarinya mengepal, seolah menahan sesuatu yang bergejolak dalam dirinya."Berhenti di sini," perintahnya tegas pada sopir. Mobil melambat, lalu berhenti di tepi jalan tak jauh dari tempat sosok itu berdiri.Alex.Pria itu tampak seperti sedang menunggu seseorang. Kedua tangannya dia masukkan ke dalam saku celananya, pandangannya sesekali beralih ke kanan dan kiri, seperti memastikan keadaan sekitar.Aku menoleh ke arah Mas Dewangga yang kini sudah mengeluarkan ponselnya. Dengan cepat, suamiku menekan nomor dan menempelkan ponsel ke telinganya."Aku butuh kau ke sini sekarang," ucapnya dengan nada dingin. "Aku kirim l
Mas Dewangga mulai menceritakan masalahnya, sementara aku mendengarkan dengan saksama, jemariku mengelus punggung tangannya dengan lembut. Ada ketegangan di wajahnya yang tak bisa Mas Dewangga sembunyikan, seolah kata-kata yang hendak diucapkannya begitu berat. Sesekali dia menarik napas dalam, seakan berusaha menenangkan dirinya sendiri sebelum melanjutkan.Aku tetap diam, membiarkan suamiku mengungkapkan semua yang selama ini membebani pikirannya. Dari ekspresi wajahnya, dari perubahan nada suaranya, aku bisa merasakan beban yang dia pikul. Ini bukan sekadar masalah bisnis biasa. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih menusuk."Aku curiga ada seseorang yang sengaja ingin menjatuhkan aku," ucapnya pelan, tetapi ada nada tegas di sana. "Bukan hanya ingin menggagalkan proyekku, tapi benar-benar ingin menghancurkan semuanya."Mendengar hal itu, aku merasakan jantungku berdetak lebih cepat."Maksud Mas?" tanyaku pelan, berusaha memastikan aku tidak salah mendengar.Mas Dewangga menatap lu
Mas Dewangga pergi tanpa menjelaskan apa pun, meninggalkanku sendirian di ruang tamu. Akhirnya, aku memutuskan untuk pergi ke kamar dengan perasaan khawatir, kesal, sekaligus sedih. Aku memutuskan untuk beristirahat di sana sambil menunggu suamiku yang entah kapan dia akan pulang.***Aku duduk termenung di atas ranjang sambil memeluk lutut. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tetapi Mas Dewangga belum juga pulang. Pikiranku kalut memikirkan ke mana dia pergi sore tadi tanpa memberi penjelasan apa pun. Berbagai skenario buruk berkecamuk dalam benakku, tetapi aku mencoba menepis semuanya."Aku harus tenang," gumamku pada diri sendiri, meski dalam hati aku tahu itu mustahil.Jam sebelas lewat, suara pintu kamar terbuka, menampilkan sosok suamiku yang kutunggu-tunggu kedatangannya. Aku segera bangkit dari ranjang, tak sabar untuk menuntut penjelasan.Aku bisa melihat wajah suamiku yang terlihat lelah. Dia bahkan tak sempat melepas jasnya ketika matanya bertemu dengan tatapanku y
"Bu Zoya?" tanya pria itu sambil tersenyum tipis. "Kenapa berhenti di sini? Ada masalah?"Aku ragu sejenak, lalu menjawab, "Mobilnya mogok, Pak Alex."Dia turun dari mobilnya, menghampiriku dengan langkah santai. "Butuh bantuan? Saya bisa antar," tawarnya.Aku menggeleng cepat. "Tidak perlu. Sopir sudah pesan ojek online."Alex memasukkan tangannya ke saku celana, tampak tidak terganggu oleh penolakanku. "Kalau begitu, saya temani saja sampai ojeknya datang. Bahaya kalau berdiam diri di pinggir jalan begini."Aku hanya tersenyum kaku. Tidak tahu harus berkata apa, aku memilih menatap jalan raya, berharap ojekku segera tiba."Ngomong-ngomong," Alex memecah keheningan. "Dewangga suami Anda, ya?""Iya," jawabku singkat tanpa menoleh padanya."Saya baru tahu jika Dewangga ternyata sudah menikah. Dia tidak mengatakan apa pun pada saya," kata Alex.Aku hanya mengangguk, bingung mau merespons apa."Kalian baik-baik saja, kan?" tanya Alex lagi.Kali ini aku menoleh padanya sambil mengerutkan
Aku membuka mata perlahan, disambut oleh suasana kamar yang sudah gelap. Hanya sedikit cahaya remang dari lampu dinding yang menemani, dan itu membuatku tersadar bahwa hari sudah malam.Kugeser selimut yang menutupi tubuhku dan mendudukkan diri di pinggir ranjang. Pandanganku menyapu seluruh sudut kamar, mencari sosok suamiku. Namun, yang kutemukan hanyalah keheningan dan kekosongan."Mas Dewangga ke mana?" gumamku lirih sambil berdiri.Perutku mulai terasa kosong. Aku memutuskan untuk turun ke ruang makan. Langkahku pelan menuruni tangga, sementara rumah terasa sepi. Mungkin ayah dan ibu sedang sibuk dengan pekerjaan mereka.Saat aku melewati ruang tamu, seorang pelayan menyapaku dengan ramah. Tak lama kemudian, salah satu pelayan tampak muncul dari dapur dan memintaku untuk duduk di meja makan."Nyonya, Nyonya Besar meminta saya untuk menyiapkan makan malam untuk Anda. Kebetulan hari ini Nyonya Besar sedang ada urusan, jadi saya yang akan menyiapkannya," katanya ramah sebelum kemba
Aku segera menoleh, dan pandanganku bertemu dengan sosok yang tak pernah kusangka akan kutemui di sini."Mas?" Suaraku lirih, nyaris berbisik. Ketidakpercayaan menguasai pikiranku.Aku bisa menangkap tatapan dingin suamiku mengarah pada Alex yang berdiri di dekatku. Meski tanpa mengatakan apa pun, ekspresinya sudah cukup untuk menunjukkan perasaannya.Tanpa banyak basa-basi, Mas Dewangga menggenggam pergelangan tanganku dan menarikku menjauh dari sana.Langkahnya cepat dan mantap, sementara aku berusaha mengimbanginya dengan susah payah. Cengkeramannya tak menyakitkan, tetapi cukup untuk membuatku sulit menghentikan langkahku."Mas, bisa pelan sedikit jalannya?" pintaku sambil setengah berlari mengikutinya. Namun, dia tetap melangkah seperti tak mendengar apa pun.Kami terus berjalan hingga sampai di parkiran. Mas Dewangga membuka pintu mobil dan menatapku sejenak. "Masuk," katanya singkat.Aku menurut tanpa berani membantah. Setelah aku duduk dan Mas Dewangga juga masuk, dia memban
Beberapa menit setelah Mas Dewangga keluar dari kamar, aku memutuskan untuk berendam di bathtub. Kata itu selalu terdengar elegan, meskipun kenyataannya aku hanya ingin menenggelamkan diri dalam air hangat untuk mengusir beban pikiran. Suara gemericik air yang mengisi bathtub membuat suasana kamar mandi terasa damai. Aku menambahkan beberapa tetes minyak esensial dengan aroma lavender, berharap wangi itu bisa menenangkan pikiranku yang masih gelisah.Sambil berendam, aku menyusun rencana untuk pergi ke tokoku hari ini. Sudah cukup aku menuruti larangan Mas Dewangga selama beberapa hari terakhir. Dia mungkin berpikir itu untuk kebaikanku, tetapi aku butuh ruang sendiri. Kali ini, aku memutuskan untuk melakukannya tanpa izin darinya.Setelah selesai bersiap-siap, aku melirik jam dinding, tepat pukul sembilan pagi.Dengan langkah mantap, aku meminta sopir untuk mengantarku ke toko kue. Dalam perjalanan, aku membayangkan aroma manis dan suasana hangat yang selalu kurindukan dari tokok
Keesokan harinya, sikap Mas Dewangga tidak berubah. Aku mencoba mencari celah untuk berbicara dengannya, tetapi sepertinya dia sengaja menjaga jarak. Setiap kali aku mendekat, ada saja alasannya untuk menghindar.Hari itu, aku duduk di sofa ruang tamu, memainkan remote TV tanpa benar-benar menonton. Pikiran tentang Mas Dewangga terus menggangguku. Beberapa hari terakhir, dia seperti orang lain—dingin dan seolah menghindariku."Apa benar karena parfum Alex?" gumamku pelan.Aku tahu seharusnya aku bertanya langsung, tetapi rasanya tidak mudah ketika dia terlihat begitu ... jauh.Akhirnya aku kembali ke kamar untuk menunggunya pulang.Saat Mas Dewangga akhirnya pulang, aku mencoba menyapanya seperti biasa."Mas, sudah makan? Mau aku buatkan sup kesukaanmu?" tanyaku dengan nada yang kubuat sehangat mungkin.Dia hanya mengangguk singkat, berjalan melewatiku tanpa sepatah kata pun."Mas, aku sedang bicara, lho!" tegurku, mencoba menahan emosi yang tiba-tiba naik."Hmm," gumamnya, tanpa men
Aku duduk di tepi ranjang, menunggu Mas Dewangga selesai mandi. Suara air dari kamar mandi terdengar samar, tetapi cukup untuk membuat pikiranku semakin bising. Aku memainkan ujung pakaian yang kupakai, menggulung-gulung kainnya dengan gelisah.Tadi, aku sempat merasa yakin kalau Mas Dewangga tidak akan mencium aroma itu. Namun, setelah melihat sikap Mas Dewangga yang berubah dingin, aku mulai meragukan semuanya.Beberapa menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka dan Mas Dewangga keluar. Rambutnya masih sedikit basah, sementara handuk tergantung di bahunya. Namun, kali ini dia bahkan tidak menoleh ke arahku.Biasanya, meski sekilas, dia akan melirikku atau memberikan senyum kecil, tetapi sekarang dia bersikap seolah aku tidak ada. Dadaku terasa sesak melihatnya."Apa dia mencium aroma parfum Alex di pakaianku?" gumamku pelan. Pikiran itu terus berputar, menambah beban di benakku. Aku ingin bertanya, ingin memastikan. Namun, ketika melihat wajahnya yang datar tanpa ekspresi, niat itu