“Nay, buka pintunya. Dengerin aku!” Rizki menggedor pintu keras. Aku menyandarkan tubuhku ke pintu. “Nay, buka! Aku bilang buka sekarang, kalau kamu nggak mau buka pintunya, kamu tahu kan apa yang akan aku lakukan pada mamamu.” Aku segera membuka pintu kamar ini karena mendengar ancamannya yang membuatku tidak bisa berkutik. “Aku mohon Riz, jangan apa-apakan mamaku.” Rizki mengendus cepat, dengan santai dia menempelkan sikunya ke dinding. “Apa, kamu berani melawanku?” Aku menggeleng segera. “Riz, aku mohon. Kali ini aku memohon dengan sangat, lepaskan mamaku. Kalau kamu mau nyiksa, siksa saja aku. Jangan mamaku, mamaku tidak salah apa-apa. Cekek aku sekarang, Riz. Bunuh saja sekalian. Kamu dendam kan sama aku, kamu pengen bayi aku kan? Tapi maaf, aku ga akan mau memberikan bayiku. Lebih baik kamu bunuh saja aku sekarang.” Aku meraih tangan Rizki dan meletakkannya ke leherku. “Lebih baik aku dan bayiku mati sekarang.” Rizki menjauhkan tangannya. “Nay, kamu bodoh atau apa? Aku ga
"Nay, nanti malam kamu harus periksa lagi ke dokter," ucap Rizki dingin. "Baiklah," jawabku. Malam harinya hujan deras, Rizki ttap memintaku untuk pergi bersamanya ke rumah sakit. "Riz. Aku mohon sekali lagi lepaskan Sarah!" Rizki tak.menanggapi, tatapannya fokus ke depan seraya menyetir mobil. Aku memalingkan wajahku darinya. Rizki kembali melajukan mobilnya. Diam, tidak ada percakapan yang berkelanjutan. Perjalanan masih terjadi, aku baru menyadari arah mobil ini tidak menuju ke rumah sakit yang pernah kami kunjungi. “Riz. Kita mau ke mana?” tanyaku. “Pergi jauh, Nay. Kita akan pergi jauh dari semua orang.” Rizki masih sibuk menyetir. “Maksud kamu? Riz, hentikan mobilnya kalau ga aku bakalan terjun.” “Enggak, Nay. Aku ga akan hentikan.” Rizki mendadak bersuara nyaring. Air mata yang dia pendam tadi akhirnya mengalir ke pipi. Mobil masih disetirnya dengan kencang aku semakin merasa ketakutan. Ke mana maksud Rizki pergi jauh? “Riz. Aku mohon. Jangan begini, ayok hentikan mob
[Mas Adji, tolong aku!][Aku ga tau Rizki mau membawaku ke mana?][Tolong aku! Aku takut. Balas pesan ini. Aku mohon, jika kamu tidak perduli lagi padaku setidaknya tolong aku sebagaimana kamu menolong manusia yang sangat memerlukan bantuan.]Aku berharap balasan darinya. Chat dariku hanya sebuah pesan dengan centang satu warna abu-abu. Apa yang harud aku lakukan sekarang, Mas Adji satu-satunya yang bisa aku harapkan. "Sayang. Kamu mau mati dengan cara seperti apa?" celoteh Rizki masih fokus menyetir mobil. Aku menggeleng tak mau. "Aku mohon, bebaskan aku!”"Kan aku sudah bilang. Kita sebentar lagi akan bebas dari dunia ini. Kmu yang sabar dulu dong. Sebentar lagi keinginanmu itu akan terwujud.”'Ya Allah, tolong Hamba!' [Nay, kamu di mana?] [Aku pasti nolongin kamu.][Tolong. Kamu nyalakan gps, terus telpon aku. Matikan speaker posel dan kecilkan volumenya agar aku bisa dengar apa yang terjadi di sana.]Aku tersenyum senang dengan air mata yang berlinang. Tanganku gemetar sembari
Rizki masih berjalan dengan menggendongku. Sesampainya di suatu gubuk, Rizki menurunkan aku. Aku siap berlari untuk kabur namun cepat sekali tangan Rizki memelukku dari belakang. “Mau ke mana kamu? Kami ga bakalan bisa kabur dari genggamanku, Nay.” “Riz, aku mohon. Lepaskan aku, jangan sakiti aku lagi.” Rizki membelai suraiku yang tergerai basah. Tubuhku hampir menggigil karena dinginnya seteleh menembus hujan ditambah terpaan angin. “Kamu jangan takut, Sayang. Setelah malam ini, kamu ga akan lagi merasakan rasa sakit. Kita akan bahagia berdua di alam yang lain.” Rizki mengendus-endus di dekat leherku. “Maksud kamu?” “Kita akan mati bersama. Aku sudah siapkan pisau yang sangat tajam agar tidak begitu terasa sakit.” Mataku terbelalak dan hampir saja mau keluar dari tempatnya. Dugaan ku tidak melesat. Apa lagi yang bisa kulakukan. Mas Adji tidak akan sempat datang untuk menolongku karena dia tertinggal sangat jauh. Mungkin, setelah sampai ke tempat ini dia hanya akan menemukan m
Alhamdulillah, itulah ucapan yang saat ini menggerogoti mulutku. Rizki telah diamankan oleh polisi, Mas Adji datang dengan para polisi karena Mas Adji tidak ingin mengambil risiko, dia langsung menyerahkan kepada pihak berwajib.“Mas Yusuf nggak kenapa-napa?” tanyaku pada Yusuf. “Alhamdulillah nggak kenapa-napa, Mbak.”“Mas, terima kasih banyak sydah nolongin calon istri saya. Kalau Mas tadi nggak ada pasti saya sudah sangat terlambat datang ke sini.” Mas Adji merangkul pundak Yusuf. Aku terkesiap sejenak 'Calon Istri' Senyumanku mengembang kemudian Mas Adji menilik ke arahku dengan senyuman manisnya yang sudah lama aku rindukan. “Ini sudah takdir Tuha, Mas. Kebetulan tadi saya lagi jaga sawah di sebelah terus denger ada yang minta tolong jadi saya buru-buru ke sini. Ternyata Mbak Naya.” Mas Adji memintaku pulang bersamanya. Mas Adji melakukan mobilnya dengan senyuman yang bahagia sebagaimana aku. Pada akhirnya kami bertemu kembali. “Mas, makasih.” “Iya. Maaf ya, Nay. Kemarin ak
Kakek juga ikut berpihak pada kebenaran, cucunya yang berbuat salah tidak dibela olehnya melainkan kakek membela hebat kepada kami pihak yang dirugikan dan disakiti. “Maukah kamu menikah lagi denganku? Will you merry me again?” Mas Adji mengeluarkan cincin emas. Aku mengangguk mengiyakan dengan sangat senang. Aku benar-benar terkesan dengan rencana Tuhan. Begitu indahnya skenario yang dia susun. Tidak bisa ditebak oleh manusia. “Tapi, tunggu masa iddahku dulu, Mas.” “Tentu, ga lama juga kan.” “Lama, Mas. Kamu harus nunggu sampai aku lahirin anak kita.” Aku mengelus perutku. “Apa? Anak kita?” Mas Adji menaikkan sebelah kenaingnya. “Kamu hamil, Nay?” Senyumannya mengembangkan lagi. Aku tidak bisa mengulum senyumku. Anggukan penuh cinta membuatku sangat bersemangat. Sudah sangat lama Mas Adji mengharapkan keturunan, dan di akhir cerita ini dia mendapatkannya. “Aku hamil anak kamu, Mas. Sudah mau jalan tujuh bulan. Anak yang sudah lama kamu tunggu. Sekarang Allah menganugerahkanny
Lina dan Mbak Lisa sedari tadi berdiri mematung menatapku. Aku memeluk mereka berdua. Jasa mereka berdua sangat besar kepadaku. Tanpa mereka, aku tidak akan keluar dari zona menyakitkan itu. Lina dan Mbak Lisa bersama Sarah memberikan selamat kepadaku. Aku meminta Mas Adji untuk mencarikan mereka pekerjaan yang jauh lebih bagus daripada menjadi seorang ART. Mas Adji tentu saja dengan mudah mendapatkan pekerjaan untuk mereka, mereka diangkat menjadi karyawan di cabang perusahaan Mas Adji yang ada di kota ini sehingga mereka tidak perlu pergi jauh dari tempat tinggal mereka. “Makasih ya, Mbak Nay.” “Aku yang berterima kasih sama kalian. Makasih ya Sarah, Lina, Mbak Lisa. Kalian baik banget sama aku.” Aku merasakan kehangatan yang penuh dengan cinta. Dikelilingi oleh orang-orang baik sungguh membuat setiap waktu menjadi indah dan berharga. “Mama,” ucapku. “Naya.” “Maafin Mama ya, Nay. Mama sudah memaksa kamu buat nikah sama Rizki lelaki baji***n itu. Ternyata dia pemilik investasi b
Aku masih memikirkan apa yang ingin kuketahui dari Aher dan Mas Adji selama aku tidak ada. "Nay, sebaiknya kita rayakan kepulanganmu dulu.". Mas Adji meminta padaku dengan lembut. "Tapi, Mas. Aku mau tahu semuanya," desakku. Mas Adji hanya mengangguk seraya tersenyum lembut kepadaku. Tiba-tiba salah seorang pelayan di rumah ini menghampiri kami. "Pak, semuanya sudah siap." Kemudian dia berlalu. "Baik. Sekarang kita ke sana dulu. Aku janji pasti akan ceritain semuanya. Bukan begitu, Her?" Aher mengangguk. Aku pasrah saja, aku mengikuti apa yang diperintahkan Mas Adji yakni mengikutinya. Berbagai hidangan sudah tersedia di atas meja panjang, beragam makanan serta minuman telah tersaji rapi dengan aroma yang sangat memanjakan hidung dan mata. Mas Adji menarikkan kursi untukku duduk. "Silakan!" ujarnya. Aku pun duduk menghadapi hidangan yang ada di atas meja panjang ini. Mas Adji menarik juga kursi yang ada di depanku kemudian duduk yang mana di sebelahnya ada Aher. "Mari, nik
Kembali Pov Naya"Jadi, sejak saat itulah Dina sangat membenciku. Aku sudah berusaha untuk menjelaskan semuanya padanya namun dia tidak mau sama sekali mendengarkan aku, bahkan surat dan pesanku tiada yang diterima olehnya. Ia selalu menganggap ku sebagai pembunuh Nia. Aku sama sekali tidak menyalahkannya karena ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Aku tetap menganggapnya seperti sahabatku dulu.""Jadi, ternyata mama bukan pembunuh ibu?" Mama mengangguk. Aku langsung memeluk mama erat. "Maafin sikap Naya barusan, Ma. Naya sudah lancang marahin mama.""Nggak apa, Naya. Mama yang harusnya minta maaf sama kamu karena sudah menyembunyikan ini selama ini." "Sinta." Panggil seseorang dari jarak yang tidak jauh dari kami. "Tante." Mas Adji menyahut. Ternyata ada Tante Dina di sini. "Sinta, aku sudah denger semuanya. Maafin aku selama ini aku sudah salah menilaimu." Ternyata Tante Dina sedari tadi mengikuti kami. Dia juga sudah mendengar cerita mama akan apa yang sebenarnya terjadi p
Pov Mama (Sinta) Flash backMalam itu. Kilat dan petir saling bersahutan, namun hujan belum menyapa bumi. Aku sedang kerepotan karena Andin kecil sedang demam tinggi, sedangkan Mas Budi tiada ketemukan di mana pun ruangan rumah. Andin kecil merengek menangis tanpa henti. Aku prustasi, aku melihat ponsel satu ponsel Mas Budi yang tergeletak di atas meja karena dia mempunya dua buah ponsel. Kulihat ia sedang asyik dengan telponnya di teras rumah. Aku pun mendekat dan tanpa sengaja aku mendengar percakapannya meski tidak mendengar suara lawan bicaranya. Seketika badanku luruh saat Mas Budi menyebut nama Nia.'Apa? Nia istriku akan melahirkan malam ini? Aku akan segera ke sana sekarang. Dina, tolong jagain Nia. Secepatnya aku bakalan ke sana.' Mas Budi menutup ponselnya kemudian berbalik arah dan dia melihat keberadaanku. "Sayang, sejak kapan kamu di situ?" tanyanya. "Mas, apa bener yang aku dengar kalau kamu dan Nia?" "Mas Budi mengajakku masuk ke dalam rumah. "Mas jawab pertanya
Kepalaku di atas paha mama, mama mengusap lembut suraiku. Sudah sangat lama tidak seperti ini, sering kulihat Kak Andin terlihat sangat nyaman dengan mama sperti ini bahkan sampai usia dewasanya. "Ma, dulu waktu mama ketemu sama ayah gimana ceritanya? Naya penasaran loh. Pasti kisah mama sama ayah sangat romantis."Seketika jemari mama berhenti mengusap suraiku. Aku mengangkat kepalaku dari paha mama. Sempat kulihat mama menyeka air matanya. "Mama kenapa. Naya salah ngomong? Maa fin Naya Ma!" ucapku panik. Pasti mama sedih karena teringat sosok ayah. "Tidak apa, Nay. Mama nggak kenapa-napa kok. Besok kamu sudah boleh pulang kata dokter. Mama sudah izin sama Adji buat bawa kamu ke makam ayahmu. Kamu mau?" Aku menahan tangis dengan melengkungkan bibirku ke bawah. Aku pun mengangguk kemudian memeluk mama erat. "Mau, Ma. Sudah sangat lama Naya nggak jenguk makam ayah. Naya rindu sama ayah." Malam yang sendu. Mama memintaku untuk segera tidur beristirahat. Mama sibuk menata barang-ba
Kembali ke masa kiniPov NayaAku hanyut dalam menyimak cerita flash back dari Tante Dina. "Jadi maksud tante, mama bukan ibu kandungku?" tanyaku setelah menyimak dengan jelas cerita tante Dina. Ia mengangguk seraya menyeka air matanya yang cukup lama mengalir ke pipinya. "Nggak mungkin. Tante pasti bohongin aku, kan? Tante cuman mengada-ngada cerita." Aku menolak kenyataan yang mungkin hanya cerita bualan dari Tante Dina. "Dan satu lagi, soal pembunuhan itu suatu hal yang nggak wajar, itu nggak mungkin. Mama itu orang yang baik. Tante nggak akan bisa menghasut aku untuk membenci mama, nggak akan bisa. Bagaimanapun mama adalah orang tua Naya." Aku hendak beranjak meninggalkan Tante Dina. "Terserah kamu mau percaya atau tidak, aku hanya ingin menyampaikan semua rahasia yang telah Sinta simpan selama dua puluh empat tahun lamanya. Sekarang tugasku cuman satu, yaitu membalaskan dendam Nia." Tante Dina mendahuluiku, ia beranjak meninggalkanku dengan perasaan hatiku yang menggantung.
Masih dengan pov Tante Dina. Hujan mengguyur bumi dengan derasnya malam ini. Aku kesulitan mencari taksi dan sejenisnya. Di bawah guyuran hujan, aku terpaksa menerobosnya karena rasa tak enak hati ini benar-benar membuatku tak bisa tenang. Hujan memperlambat langkahku. Dentuman sambaran petir semakin berseru berbaur dengan semakin derasnya air hujan yang menyapa bumi. Sebagian jalanan gelap dikarenakan lampu jalan yang mati. Semuanya tidak membuatku goyah sama sekali. "Nia, kamu baik-baik saja kan?" gumamku. "Sinta nggak mungkin melakukan hal buruk sama sahabat yang sudah menolongnya. Benar kan, Sinta?" Aku berbicara sendiri. Tapi kenapa nada bicara Sinta terdengar seperti menahan emosi, suaranya tertekan di dalam. Aku sangat mengenal karakter kedua sahabatku itu, nada bicara mereka dengan suasana hati mereka tidak bisa dibohongi, itu murni. Beruntungnya aku, disaat seluruh pakaian bahkan badanku basah kuyup, ada seseorang yang baik hati yang mau menumpangkan mobilnya untukku. "
Ada rasa yang tidak nyaman, sangat tidak nyaman yang membuatku tidak tenang saat aku meninggalkan rumah sakit, meninggalkan Nia bersama Budi. Tapi, mau bagaimana lagi aku juga tak ingin terjadi sesuatu pada suamiku meskipun ia miskin dan penyakitan namun tetap saja aku mencintainya, dia adalah suamiku satu-satunya. Suamiku, Mas Yusran sudah dibawa tetangga ke rumah sakit. Kalau terlambat sebentar saja bisa membuat nyawanya melayang. Dokter mengobati suamiku cukup lama, aku tak bisa duduk diam di liar ruangan. Kedua pikiran yang tidak mengenakkan ini membuatku sangat tidak nyaman. Pintu ruangan terbuka, dokter telah keluar dari ruangan suamiku. Tanpa jeda, aku langsung menghampirinya dan menanyakan bagaimana keadaan suamiku. "Dok, gimana keadaan suami saya Dok? Dia baik-baik aja, kan?" tanyaku panik. "Alhamdulillah, Pak Yusran dibawa ke rumah sakit tepat waktu. Ibu tenang saja, dan banyak berdoa. Sekarang suami ibu perlu banyak istirahat dulu." Dokter pun meninggalkan aku. Aku masu
"Sampai kapan pun, aku nggak akan bisa cinta dengan perempuan lain selain kamu, Sayang." Budi mengecup kening Nia. Sebulan setelah menikah, kabar gembira datang. Sinta sedang mengandung. Kabar bahagia itu sebenarnya adalah kabar paling menyakitkan bagi seorang perempuan yang merelakan suaminya dengan perempuan lain. "Aku selalu bersama Nia, membantunya berobat sampai ia sembuh. Aku yakin, dia pasti sembuh. Pengobatan tidak sebentar, memakan waktu yang sangat lama namun Nia tidak pernah menyerah. Saat mendengar kabar jika Sinta telah melahirkan seorang putri, keadaan Nia membaik. Aku tidak tahu seperti apa kuatnya hati Nia, aku tidak mengerti bagaimana ia sangat kuat menelan pahitnya kecemburuan." "Setelah Sinta melahirkan, Budi semakin jarang pulang ke rumah untuk menemui Nia. Aku semakin prihatin dengan keadaan Nia, namun Nia seratus persen percaya pada suaminya." "Nia, hari ini kamu harus ke rumah sakit lagi buat periksa sama dokter. Gimana, Budi pulang hari ini?" Nia menggengg
"Siapa dia, siapa orang yang ada dalam foto tersebut?" tanyaku. "Ia Nia. perempuan berambut sebahu yang cantik dan lemah lembut. Aku, Nia dan Sinta ibumu dulunya tiga sekawan." Aku terperanjat. "Apa, tiga sekawan?" ujarku tak percaya. "Benar. Sejak sekolah, kami bertiga selalu bersama. Hingga akhirnya waktu kelulusan SMP kami bertiga terpisah, aku pindah ke kota yang jauh dari sini. Tinggalah Nia dan Sinta, mereka tetap bersama. Setelah puluhan tahun aku kembali ke kota ini, namun aku sudah tidak pernah bertemu dengan mereka karena aku telah hidup dalam rumah tanggaku." Suara Tante tiba-tiba berubah, sepertinya ia menahan tangisnya. "Sekian lamanya, aku merindukan mereka namun apalah daya aku malu jika harus bertemu mereka dengan kondisi menyedihkanku, aku tak bisa berbuat apa-apa karena aku menikah dengan lelaki miskin yang tidak berguna. Kehidupan kami susah, aku menikah di umur yang terbilang masih muda dan aku harus menanggung betapa beratnya kehidupan rumah tangga yang tidak
"Enak banget ya kamu numpang hidup mewah sama keponakanku." Tante duduk di sofa dengan santai. Aku memilih untuk tak menanggapi, rasanya berada di sini membuatku terbakar raga dan hati. Aku bersiap untuk melenggang pergi meninggalkannya sendiri."Eh, mau ke mana kamu?" cegat tante. "Mau istirahat Tante, Mas Adji bilang Naya harus istirahat di kamar sekarang." "Enak aja. Nggak bisa gitu dong. Sini dulu, pijitin kaki aku!" Tante menepuk-nepuk kakinya. "Cepetan!""Nggak mau, pijit saja sendiri." Aku melanjutkan langkah kakiku."Oke, kamu mau aku melakukan hal yang tidak-tida ke ibumu?" ancamannya membuatku kembali berhenti. Aku membalikkan badanku cepat. "Jangan berani melukai mama, Naya nggak akan segan-segan melakukan hal buruk pada tante." "Coba aja kalau bisa. Heh, emangnya kamu bisa apa?" "Naya bisa bilang ke polisi kalau tante mencoba melakukan pembunuhan.""Kata siapa, mana buktinya? Oh, kamu mau kakak sama ibumu celaka, gitu? Kalau kamu mau, aku bisa eksekusi mereka berdua