Pov Kak AndinFlash backNaya mual-mual. Aku sudah memerhatikannya sejak beberapa hari ini. "Kayaknya Si Naya lagi ngidam deh." Aku mengintip Naya dari balik pintu kamar mandi. "Bener dugaanku, Naya pasti hamil." Aku melenggang pergi kembali masuk ke dalam kamarku. Aku membuka foto kecil yang sangat aku rindukan, Raka anakku. Teringat beberapa bulan mengandungnya dengan susah payah. [Jika kamu menginginkan anakmu, kamu harus ikuti apa mauku] Pesan yang membuatku sangat tertekan. Dia adalah Rizki, lelaki kaya yang dapat menukar seisi dunia dengan uangnya termasuk rasa kasih seorang Kakak kepada adiknya kandungnya. Malam itu, kami bertemu di suatu tempat. Aku terperangah tak menyangka. Rizki tak datang seorang diri melainkan dengan mantan suamiku sendiri. "Ardi, kamu." Aku langsung menarik kerah baju Ardi. "Mana anakku?" teriakku nyaring tepat di depan matanya. "Syuttt!" Rizki melerai kami berdua, Ardi tak berucap sepatah kata pun. Setelah aku melepaskan genggaman tanganku dati k
Masih dengan Pov yang sama Kak AndinAku kerap kali menemui Adji. Sejak saat itulah aku mulai menaruh hati padanya. Dia yang menghibur waktu sedihku, dia pula yang tahu bagaimana memperlakukan wanita seperti diriku. "Aku bingung, Dji. Gimana caranya agar aku bisa menarik perhatian dari kedua orang tuaku. Rasanya aku adalah anak yang tidak berguna bagi mereka." "Kak. Tidak ada yang namanya perbedaan kasta dalam keluarga. Aku yakin, orang tuamu pasti sangat menyayangimu tanpa terkecuali, hanya saja pikiranmu saja yang membuat skenario seolah mereka membeda-bedakanmu dengan saudarimu sendiri." "Tapi, Dji. Semuanya nyata, bukan hanya pola pikirku. Semuanya real di depan mata. Semuanya real dengan kehidupan yang aku rasakan. Dia selalu dibangga-banggakan, dipuja-puja."“Kak. Coba Kakak ingat-ingat lagi apa pernah keluarga Kakak membiarkan Kakak saat sakit, tidak diurus? Bagaimanoun keluarga kita, hanya mereka yang ada saat kita pelru, saat kita sakit merekalah yang sibuk mencarikan dok
Kembali pada Pov Naya“Ma, semoga mama baik-baik saja. Naya yakin, Kak Andin pasti tidak akan sejahat itu pada mama, orang tua kandungnya sendiri.”Rizki datang kembali untuk mengecek apakah aku sudah menghabiskan makananku atau belum. Aku sudah berusaha melahapnya sampai tak bersisa disertai dengan aliran air mata. “Bagus, gitu dong!” Rizki mengusap kepalaku, aku menghindar darinya tak sudi jika harus disentuh oleh tangannya. “Sudahlah, Nay. Nggak lelru jual mahal sama aku, aku tahu kamu pasti sangat menginginkan aku bukan? Tapi, maaf aku sudah tidak lagi mencintaimu seperti dulu karena sekarang kamu tidak secantik dulu, lebih tepatnya sekarang kamu seperti sampah!”Aku hanya diam, tak perlu membuang tenaga untuk menggubris semua ocehan mereka yang tidak akan berdampak apa-apa padaku. “Sayang, kamu kok di sini. Iyuh, bau banget. Kok kamu tahan sih Sayang dekat-dekat sama tuh sampah.” Pritta berdiri di depan pintu seraya menutup hidungnya dengan tangannya. Rizki bangkit da
“Kalian bukan manusia. Apalagi kamu, Kak Andin. Kamu jauh lebih biasa* dari binatang, kamu tega menyakiti perempuan yang sudah mengandung dan membesarkanmu dengan penuh kasih sayang.”“Penuh kasih sayang katamu? Heh, aku bukan orang bodoh**, Nay. Kamu pasti tahu kalau mama dan bapak sayangnya cuman sama kamu doang, kamu adalah anak kebanggan mereka kan?” Kak Andin menghilangkan kedua tangannya ke dada. Dia terlihat sangat angkuh dan merasa paling benar, tidakkah dia merasakan bahwa dirinyalah yang selalu diprioritaskan oleh mama lebih tepatnya. “Kak, kamu buta ya? Atau sudah lali? Mama yang selalu mengutamakan kamu, kamu yang selalu diperhatikan oleh mama. Mama rela melakukan ini itu agar apa, agar Kak Andin hidup nyaman. Waktu aku sakit, apa yang ditanyakan mama sama aku? Kak Andin tahu?” Dadaku rasanya sesak. “Mama.nanyain keadaan Kak Andin yang cuman hengkang kaki di kamar setiap hari. Dia nanyain Andin sakit ya? Andin sudah makan Belum? Andin ini, Andin itu. Andai Kakak denger
“Gimana, Nyonya Naya sudah mendingan?” tanya Lina lembut seraya mengompres pipiku. “Sudah, Lin. Sudah jauh lebih mendingan. Makasih ya!” Lina mengangguk-angguk. Tiba-tiba Raka atau Leo datang bersama Lisa menghampiriku, di luar sana mereka masih sibuk dengan kakek. Aku sangat bersyukur atas pertolongan yang Allah berikan lewat hadirnya kakek ke rumah ini. Coba saja kalau tidak ditolong sama Allah, nisyaca mungkin nyawaku ataupun nyawa mama sudah melayang di tangan mereka, komplotan orang jahat itu. “Tante Naya,” sapa Raka kepadaku. “Leo.” Aku tersenyum.lebih kepadanya. Kata Lisa, beberapa waktu belakangan ini Leo selalu saja mencariku mungkin karena beberapa waktu laku aku sering ke apartemennya untuk menemuinya. “Leo, boleh nggak Tante manggil Leo itu Raka?” tanyaku sangat lembut, aku mengelus lembut kepalanya. “Boleh, Tante. Tante Andin juga manggil Leo. Raka. Ayah juga kadang manggilnya Raka. Cuman Papa sama nenek yang manggil Leo.” Raka sudah sangat lancar berbicara, d
Rizki menggeleng, tandanya aju harus menolak ajakan kakek untuk bermalam di rumahnya. Tapi bagaimana caraku untuk menolak ajakan ini. “Naya, gimana?” tanya kakek lagi. “Em. Anu, Kek. Naya pengen banget, cuman Naya kayaknya nggak bisa soalnya anu. Apa itu namanya ya.” Aku berusaha memikirkan kelanjutan ucapanku. “Itu apa?” “Itu Kek. Naya harus pergi sama Kakak Naya, mau ke rumah mama.” “Rumah Mama. Oh, ini kakak kamu. Kakek kira tadi istrinya Rizki lagi.” Kak Andin tersenyum dan mengangguk saat kakek menatap ke arahnya. “Ya sudah kalau gitu. Leo kita pulang ke rumah kakek buyut ya, tapi nggak sama Tantenya ya.” “Iya, Kakek buyut. Hore, ke rumah kakek buyut.” Kakek bersama Leo dan Lisa sudah beranjak pergi. Akhirnya aku kembali harus berhadapan dengan mereka lagi, komplotan manusia yang tidak mempunyai rasa kemanusiaan. Rizki mengapresiasi apa yang sudah aku lakukan yakni menolak ajakan kakek ke rumahnya. “Bagus, gitu dong. Harus kerja sama dengan baik.” Rizki merangkul
“Nay, buka pintunya. Dengerin aku!” Rizki menggedor pintu keras. Aku menyandarkan tubuhku ke pintu. “Nay, buka! Aku bilang buka sekarang, kalau kamu nggak mau buka pintunya, kamu tahu kan apa yang akan aku lakukan pada mamamu.” Aku segera membuka pintu kamar ini karena mendengar ancamannya yang membuatku tidak bisa berkutik. “Aku mohon Riz, jangan apa-apakan mamaku.” Rizki mengendus cepat, dengan santai dia menempelkan sikunya ke dinding. “Apa, kamu berani melawanku?” Aku menggeleng segera. “Riz, aku mohon. Kali ini aku memohon dengan sangat, lepaskan mamaku. Kalau kamu mau nyiksa, siksa saja aku. Jangan mamaku, mamaku tidak salah apa-apa. Cekek aku sekarang, Riz. Bunuh saja sekalian. Kamu dendam kan sama aku, kamu pengen bayi aku kan? Tapi maaf, aku ga akan mau memberikan bayiku. Lebih baik kamu bunuh saja aku sekarang.” Aku meraih tangan Rizki dan meletakkannya ke leherku. “Lebih baik aku dan bayiku mati sekarang.” Rizki menjauhkan tangannya. “Nay, kamu bodoh atau apa? Aku ga
"Nay, nanti malam kamu harus periksa lagi ke dokter," ucap Rizki dingin. "Baiklah," jawabku. Malam harinya hujan deras, Rizki ttap memintaku untuk pergi bersamanya ke rumah sakit. "Riz. Aku mohon sekali lagi lepaskan Sarah!" Rizki tak.menanggapi, tatapannya fokus ke depan seraya menyetir mobil. Aku memalingkan wajahku darinya. Rizki kembali melajukan mobilnya. Diam, tidak ada percakapan yang berkelanjutan. Perjalanan masih terjadi, aku baru menyadari arah mobil ini tidak menuju ke rumah sakit yang pernah kami kunjungi. “Riz. Kita mau ke mana?” tanyaku. “Pergi jauh, Nay. Kita akan pergi jauh dari semua orang.” Rizki masih sibuk menyetir. “Maksud kamu? Riz, hentikan mobilnya kalau ga aku bakalan terjun.” “Enggak, Nay. Aku ga akan hentikan.” Rizki mendadak bersuara nyaring. Air mata yang dia pendam tadi akhirnya mengalir ke pipi. Mobil masih disetirnya dengan kencang aku semakin merasa ketakutan. Ke mana maksud Rizki pergi jauh? “Riz. Aku mohon. Jangan begini, ayok hentikan mob
Kembali Pov Naya"Jadi, sejak saat itulah Dina sangat membenciku. Aku sudah berusaha untuk menjelaskan semuanya padanya namun dia tidak mau sama sekali mendengarkan aku, bahkan surat dan pesanku tiada yang diterima olehnya. Ia selalu menganggap ku sebagai pembunuh Nia. Aku sama sekali tidak menyalahkannya karena ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Aku tetap menganggapnya seperti sahabatku dulu.""Jadi, ternyata mama bukan pembunuh ibu?" Mama mengangguk. Aku langsung memeluk mama erat. "Maafin sikap Naya barusan, Ma. Naya sudah lancang marahin mama.""Nggak apa, Naya. Mama yang harusnya minta maaf sama kamu karena sudah menyembunyikan ini selama ini." "Sinta." Panggil seseorang dari jarak yang tidak jauh dari kami. "Tante." Mas Adji menyahut. Ternyata ada Tante Dina di sini. "Sinta, aku sudah denger semuanya. Maafin aku selama ini aku sudah salah menilaimu." Ternyata Tante Dina sedari tadi mengikuti kami. Dia juga sudah mendengar cerita mama akan apa yang sebenarnya terjadi p
Pov Mama (Sinta) Flash backMalam itu. Kilat dan petir saling bersahutan, namun hujan belum menyapa bumi. Aku sedang kerepotan karena Andin kecil sedang demam tinggi, sedangkan Mas Budi tiada ketemukan di mana pun ruangan rumah. Andin kecil merengek menangis tanpa henti. Aku prustasi, aku melihat ponsel satu ponsel Mas Budi yang tergeletak di atas meja karena dia mempunya dua buah ponsel. Kulihat ia sedang asyik dengan telponnya di teras rumah. Aku pun mendekat dan tanpa sengaja aku mendengar percakapannya meski tidak mendengar suara lawan bicaranya. Seketika badanku luruh saat Mas Budi menyebut nama Nia.'Apa? Nia istriku akan melahirkan malam ini? Aku akan segera ke sana sekarang. Dina, tolong jagain Nia. Secepatnya aku bakalan ke sana.' Mas Budi menutup ponselnya kemudian berbalik arah dan dia melihat keberadaanku. "Sayang, sejak kapan kamu di situ?" tanyanya. "Mas, apa bener yang aku dengar kalau kamu dan Nia?" "Mas Budi mengajakku masuk ke dalam rumah. "Mas jawab pertanya
Kepalaku di atas paha mama, mama mengusap lembut suraiku. Sudah sangat lama tidak seperti ini, sering kulihat Kak Andin terlihat sangat nyaman dengan mama sperti ini bahkan sampai usia dewasanya. "Ma, dulu waktu mama ketemu sama ayah gimana ceritanya? Naya penasaran loh. Pasti kisah mama sama ayah sangat romantis."Seketika jemari mama berhenti mengusap suraiku. Aku mengangkat kepalaku dari paha mama. Sempat kulihat mama menyeka air matanya. "Mama kenapa. Naya salah ngomong? Maa fin Naya Ma!" ucapku panik. Pasti mama sedih karena teringat sosok ayah. "Tidak apa, Nay. Mama nggak kenapa-napa kok. Besok kamu sudah boleh pulang kata dokter. Mama sudah izin sama Adji buat bawa kamu ke makam ayahmu. Kamu mau?" Aku menahan tangis dengan melengkungkan bibirku ke bawah. Aku pun mengangguk kemudian memeluk mama erat. "Mau, Ma. Sudah sangat lama Naya nggak jenguk makam ayah. Naya rindu sama ayah." Malam yang sendu. Mama memintaku untuk segera tidur beristirahat. Mama sibuk menata barang-ba
Kembali ke masa kiniPov NayaAku hanyut dalam menyimak cerita flash back dari Tante Dina. "Jadi maksud tante, mama bukan ibu kandungku?" tanyaku setelah menyimak dengan jelas cerita tante Dina. Ia mengangguk seraya menyeka air matanya yang cukup lama mengalir ke pipinya. "Nggak mungkin. Tante pasti bohongin aku, kan? Tante cuman mengada-ngada cerita." Aku menolak kenyataan yang mungkin hanya cerita bualan dari Tante Dina. "Dan satu lagi, soal pembunuhan itu suatu hal yang nggak wajar, itu nggak mungkin. Mama itu orang yang baik. Tante nggak akan bisa menghasut aku untuk membenci mama, nggak akan bisa. Bagaimanapun mama adalah orang tua Naya." Aku hendak beranjak meninggalkan Tante Dina. "Terserah kamu mau percaya atau tidak, aku hanya ingin menyampaikan semua rahasia yang telah Sinta simpan selama dua puluh empat tahun lamanya. Sekarang tugasku cuman satu, yaitu membalaskan dendam Nia." Tante Dina mendahuluiku, ia beranjak meninggalkanku dengan perasaan hatiku yang menggantung.
Masih dengan pov Tante Dina. Hujan mengguyur bumi dengan derasnya malam ini. Aku kesulitan mencari taksi dan sejenisnya. Di bawah guyuran hujan, aku terpaksa menerobosnya karena rasa tak enak hati ini benar-benar membuatku tak bisa tenang. Hujan memperlambat langkahku. Dentuman sambaran petir semakin berseru berbaur dengan semakin derasnya air hujan yang menyapa bumi. Sebagian jalanan gelap dikarenakan lampu jalan yang mati. Semuanya tidak membuatku goyah sama sekali. "Nia, kamu baik-baik saja kan?" gumamku. "Sinta nggak mungkin melakukan hal buruk sama sahabat yang sudah menolongnya. Benar kan, Sinta?" Aku berbicara sendiri. Tapi kenapa nada bicara Sinta terdengar seperti menahan emosi, suaranya tertekan di dalam. Aku sangat mengenal karakter kedua sahabatku itu, nada bicara mereka dengan suasana hati mereka tidak bisa dibohongi, itu murni. Beruntungnya aku, disaat seluruh pakaian bahkan badanku basah kuyup, ada seseorang yang baik hati yang mau menumpangkan mobilnya untukku. "
Ada rasa yang tidak nyaman, sangat tidak nyaman yang membuatku tidak tenang saat aku meninggalkan rumah sakit, meninggalkan Nia bersama Budi. Tapi, mau bagaimana lagi aku juga tak ingin terjadi sesuatu pada suamiku meskipun ia miskin dan penyakitan namun tetap saja aku mencintainya, dia adalah suamiku satu-satunya. Suamiku, Mas Yusran sudah dibawa tetangga ke rumah sakit. Kalau terlambat sebentar saja bisa membuat nyawanya melayang. Dokter mengobati suamiku cukup lama, aku tak bisa duduk diam di liar ruangan. Kedua pikiran yang tidak mengenakkan ini membuatku sangat tidak nyaman. Pintu ruangan terbuka, dokter telah keluar dari ruangan suamiku. Tanpa jeda, aku langsung menghampirinya dan menanyakan bagaimana keadaan suamiku. "Dok, gimana keadaan suami saya Dok? Dia baik-baik aja, kan?" tanyaku panik. "Alhamdulillah, Pak Yusran dibawa ke rumah sakit tepat waktu. Ibu tenang saja, dan banyak berdoa. Sekarang suami ibu perlu banyak istirahat dulu." Dokter pun meninggalkan aku. Aku masu
"Sampai kapan pun, aku nggak akan bisa cinta dengan perempuan lain selain kamu, Sayang." Budi mengecup kening Nia. Sebulan setelah menikah, kabar gembira datang. Sinta sedang mengandung. Kabar bahagia itu sebenarnya adalah kabar paling menyakitkan bagi seorang perempuan yang merelakan suaminya dengan perempuan lain. "Aku selalu bersama Nia, membantunya berobat sampai ia sembuh. Aku yakin, dia pasti sembuh. Pengobatan tidak sebentar, memakan waktu yang sangat lama namun Nia tidak pernah menyerah. Saat mendengar kabar jika Sinta telah melahirkan seorang putri, keadaan Nia membaik. Aku tidak tahu seperti apa kuatnya hati Nia, aku tidak mengerti bagaimana ia sangat kuat menelan pahitnya kecemburuan." "Setelah Sinta melahirkan, Budi semakin jarang pulang ke rumah untuk menemui Nia. Aku semakin prihatin dengan keadaan Nia, namun Nia seratus persen percaya pada suaminya." "Nia, hari ini kamu harus ke rumah sakit lagi buat periksa sama dokter. Gimana, Budi pulang hari ini?" Nia menggengg
"Siapa dia, siapa orang yang ada dalam foto tersebut?" tanyaku. "Ia Nia. perempuan berambut sebahu yang cantik dan lemah lembut. Aku, Nia dan Sinta ibumu dulunya tiga sekawan." Aku terperanjat. "Apa, tiga sekawan?" ujarku tak percaya. "Benar. Sejak sekolah, kami bertiga selalu bersama. Hingga akhirnya waktu kelulusan SMP kami bertiga terpisah, aku pindah ke kota yang jauh dari sini. Tinggalah Nia dan Sinta, mereka tetap bersama. Setelah puluhan tahun aku kembali ke kota ini, namun aku sudah tidak pernah bertemu dengan mereka karena aku telah hidup dalam rumah tanggaku." Suara Tante tiba-tiba berubah, sepertinya ia menahan tangisnya. "Sekian lamanya, aku merindukan mereka namun apalah daya aku malu jika harus bertemu mereka dengan kondisi menyedihkanku, aku tak bisa berbuat apa-apa karena aku menikah dengan lelaki miskin yang tidak berguna. Kehidupan kami susah, aku menikah di umur yang terbilang masih muda dan aku harus menanggung betapa beratnya kehidupan rumah tangga yang tidak
"Enak banget ya kamu numpang hidup mewah sama keponakanku." Tante duduk di sofa dengan santai. Aku memilih untuk tak menanggapi, rasanya berada di sini membuatku terbakar raga dan hati. Aku bersiap untuk melenggang pergi meninggalkannya sendiri."Eh, mau ke mana kamu?" cegat tante. "Mau istirahat Tante, Mas Adji bilang Naya harus istirahat di kamar sekarang." "Enak aja. Nggak bisa gitu dong. Sini dulu, pijitin kaki aku!" Tante menepuk-nepuk kakinya. "Cepetan!""Nggak mau, pijit saja sendiri." Aku melanjutkan langkah kakiku."Oke, kamu mau aku melakukan hal yang tidak-tida ke ibumu?" ancamannya membuatku kembali berhenti. Aku membalikkan badanku cepat. "Jangan berani melukai mama, Naya nggak akan segan-segan melakukan hal buruk pada tante." "Coba aja kalau bisa. Heh, emangnya kamu bisa apa?" "Naya bisa bilang ke polisi kalau tante mencoba melakukan pembunuhan.""Kata siapa, mana buktinya? Oh, kamu mau kakak sama ibumu celaka, gitu? Kalau kamu mau, aku bisa eksekusi mereka berdua