Naila ambruk. Dia pun pingsan karena sakit yang tertahan.
"Naila!"
Riko yang baru datang, langsung berlari menghampiri istrinya. Menggendong Naila dan segera membawanya ke dalam kamar. Merebahkan tubuh mungil istrinya dengan perlahan, lalu berjalan ke arah ruang tamu. Clara menyambut Riko dengan senyum manisnya. Namun, Riko sama sekali tak menggubris mantan kekasihnya itu. Ditariknya dengan kasar lengan Clara, lalu dipaksa keluar dari rumah.
"Pergi! Jangan ganggu kami! Kita sudah tak ada hubungan apa-apa lagi. Jangan berbuat macam-macam pada istriku."
Sorot mata Riko menandakan kemarahan. Nyali Clara menciut sebelum mendekat. Rencana merayu mantan kekasihnya akhirnya diurungkan. Clara menuju mobilnya dan terpaksa meninggalkan rumah sang mantan.
"Sial. Aku tak menyangka Riko bisa berubah seperti itu. Istrinya pasti diam-diam menghubunginya. Pintar juga dia. Aku pikir dia perempuan desa yang polos dan lugu. Aku harus mencari cara lain untuk menyingkirkannya."
Clara berkata dengan geram di dalam mobilnya. Dilajukan kendaraannya dengan kencang karena marah. Clara merasa dipermalukan oleh Riko. Meskipun tak ada yang melihat kejadian tadi, hati Clara tak terima.
***
Naila masih tak sadarkan diri. Riko membalurkan minyak kayu putih ke seluruh tubuh istrinya. Laki-laki tampan itu bingung dan tak tahu harus bagaimana. Istrinya tidak suka dengan dokter, apalagi rumah sakit.
Selama ini Naila lebih suka pergi ke bidan jika tak enak badan. Berusaha membuat sadar dengan mengoleskan minyak kayu putih di bawah hidung Naila. Sambil terus menciumi wajah istrinya, Riko tak henti-hentinya meminta maaf. Merutuki kebodohannya meninggalkan Naila dalam keadaan demam. Tak berapa lama akhirnya Naila pun sadar dari pingsannya.
"Alhamdulillah ... kamu sudah sadar, Sayang. Sebentar, aku ambilkan minum dulu."
Riko pergi ke dapur mengambilkan segelas air putih. Naila yang sudah duduk dengan badan lemas meminumnya sampai habis. Rasanya tenggorokannya kering dan kepalanya semakin pusing.
"Mas, Clara di mana?" tanya Naila dengan suara yang hampir tak terdengar.
"Kenapa menanyakan perempuan itu. Aku sudah mengusirnya tadi. Setelah tahu dia di sini, aku langsung ijin pulang dan melajukan motorku dengan kecepatan tinggi. Alhamdulillah aku sampai tepat waktu. Maafkan aku, ya Sayang. Harusnya aku tak meninggalkanmu," ucap Riko penuh penyesalan.
"Nggak apa-apa, Mas. Aku bersyukur Mas langsung pulang. Seandainya tadi aku nggak sakit, insyaa Allah aku bisa mengatasinya." Naila berkata dengan lembut pada Riko yang terlihat begitu mencintai dirinya. Naila terharu.
"Makan dulu, ya. Biar aku suapin, setelah itu kita ke dokter. Kita naik taksi online saja biar aman."
" Aku nggak mau, kepalaku rasanya masih berputar. Aku makan sedikit saja, Mas. Perutku rasanya mual. Biar aku minum obat yang di rumah."
"Ayolah, Naila. Kita ke dokter atau ke rumah sakit. Wajahmu sangat pucat. Tolong jangan minum obat sembarangan, siapa tahu kamu sedang hamil."
"Sudah aku test tadi pagi, Mas. Hasilnya negatif. Sudahlah, aku istirahat saja di rumah. Kalau tidurku pulas, insya Allah nanti aku sembuh."
"Baiklah, aku ambilkan dulu, ya."
"Terima kasih, Mas." Naila tersenyum memandang suaminya yang berlalu menuju dapur mengambilkan makanan untuknya.
'Dia begitu perhatian dan sayang padaku. Apa yang aku takutkan? Selama dia di sampingku, tak ada yang perlu aku risaukan,' batin Naila menenangkan hatinya.
"Kok banyak sekali, Mas? Aku nggak bisa makan sebanyak itu." Riko membawa sepiring penuh nasi padang di hadapan Naila.
"Iya, kita makan sepiring berdua. Aku suapin saja, badanmu juga masih lemas." Naila tersenyum dan mengangguk senang.
Mereka makan sambil sesekali bercanda. Kejadian yang baru saja terjadi seolah tak mempengaruhi mereka. Naila paham dengan karakter suaminya. Dia juga tak akan menanyakan siapa Clara ataupun mantan-mantan kekasih yang entah ada berapa jumlahnya. Bagi Naila semua itu masa lalu yang tak harus dia tahu.
Riko memang tampan, bahkan sangat tampan. Tapi dia bukan seorang CEO atau pun manager. Riko seorang karyawan dengan jabatan staff keuangan di perusahaan swasta. Rumah yang mereka tempati pun adalah peninggalan orang tua Riko. Hanya itu yang Naila ketahui tentang suaminya. Riko menikahinya dengan cara yang halal, memperlakukan dirinya dengan lembut dan sopan, dan yang terpenting Riko bukan suami orang. Itu sudah cukup bagi Naila. Selebihnya, Naila tak ingin dan tak mau tahu.
"Naila, ayo kita ke rumah sakit. Banyak kok dokter yang lemah lembut di sana. Nanti aku akan tanya pada temanku. Mau, ya?"
Wajah Naila sangat pucat, tapi Riko tak berani memaksa.
"Besok saja, ya, Mas. Kalau aku belum sembuh, aku janji mau ke dokter. Sekarang biarkan aku minum obat yang biasanya dan istirahat." Naila masih saja berkeras hati tak mau ke dokter.
"Baiklah." Riko pun mengalah.
Riko tahu istrinya trauma. Naila pernah bercerita dia mendengar langsung seorang dokter yang membentak ibunya saat melakukan pemeriksaan. Waktu itu Naila hanya menunggu di luar ruangan karena ibunya tak mengijinkannya ikut masuk.
Sejak kejadian itu, ibunya pun tak lagi mau pergi ke rumah sakit atau pun ke dokter, padahal ibunya menderita kanker rahim stadium tiga. Ibunya Naila juga tak pernah bercerita apa sebabnya dokter itu bisa berlaku seenaknya. Setelah beberapa minggu sejak kejadian itu, ibunya meninggal dunia.
Riko memandangi istrinya. Tubuh mungil, wajah biasa saja, tapi terlihat sangat manis bagi dirinya. Dia pun segera berlalu menuju ruang perpustakaan di samping kamarnya. Membiarkan Naila tidur agar tak terganggu. Waktu luangnya lebih sering dihabiskan di ruangan ini dengan membaca buku atau melanjutkan pekerjaan kantor yang harus dibawa ke rumah.
Bahkan Naila pun tahu, membersihkan ruangannya dengan membiarkan semua tetap di posisinya. Naila bukanlah istri yang kepo apalagi menanyakan hal-hal yang menyangkut masa lalunya. Riko sangat mencintai istrinya karena dia sangat berbeda dengan wanita-wanita yang selama ini mendekatinya.
Ting nong
Ting nong
Suara bel rumah berbunyi berkali-kali. Riko pun beranjak dari duduknya dan segera melihat siapa yang sudah mengganggunya.
"Hai ... broo ... apa kabarmu?"
Seorang laki-laki tampan dengan seorang wanita cantik langsung melenggang masuk saat Riko baru membuka pintu pagarnya. Sedikit terkejut, namun Riko sudah terbiasa dengan tingkah mereka. Riko lalu mengikuti tamunya yang sudah mendahuluinya masuk ke rumah.
"Ada perlu apa kalian kemari? Kita sudah sepakat 'kan? Apa kalian akan melanggar perjanjian kita?" Riko bertanya pada laki-laki yang sudah duduk di sofa dengan kaki di atas meja.
"Tenang dulu adikku, apa kamu nggak rindu pada kakakmu?" tanya laki-laki tampan yang bernama Rony, saudara Riko satu-satunya.
"Iya, apa kamu juga nggak rindu pada kakak iparmu yang cantik ini?" Wanita cantik dengan tubuh seksi yang bernama Vella, istri Rony, berjalan mendekati Riko yang masih berdiri. Riko berjalan menjauh, sebelum Vella menyentuh pipinya.
Riko sangat tak suka dan gelisah dengan kedatangan mereka. Yang sangat dikhawatirkan saat ini adalah istrinya. Tak mungkin dia bisa bekerja dengan tenang jika kedua tamunya akan menginap di rumahnya. Tak mau berdebat, Riko meninggalkan mereka berdua yang tersenyum licik ke arahnya.
Tak mau berdebat, Riko meninggalkan mereka berdua yang tersenyum licik ke arahnya. Setelah melewati ruang tamu, Riko berhenti dan berbalik arah lagi ke arah mereka. Berbicara pada kakaknya dengan penuh penekanan, mencoba menghilangkan rasa marah dan gelisah."Aku nggak tahu apa maksud kedatangan kalian ke sini. Tapi aku mohon, jangan ganggu istriku. Kalian silakan istirahat di kamar tamu. Tak perlu aku antar, kalian pasti tahu di mana tempatnya. Aku beri kalian waktu dua hari menginap di sini, setelah itu tolong keluar dari rumahku."Rony berjalan mendekati adiknya. Dua orang berwajah tampan dengan postur tubuh yang hampir sama saling berhadapan. Dengan nada yang merendahkan, Rony mengatakan sesuatu yang membuat Riko naik darah."Istrimu? Istrimu yang jelek itu? Tak ada lagikah wanita cantik di dunia ini sampai kamu memilih seorang pelayan restoran menjadi istrimu? Dan ini ... rumahmu? Ini rumah peninggalan orangtua kita. Aku masih ber--.""Jangan b
"Mas, kenapa pintunya dikunci?" Naila merasa heran dengan tingkah suaminya yang dari tadi hanya di kamar saja. Bahkan saat dirinya ingin keluar, ternyata pintu kamarnya terkunci dan kuncinya entah ke mana. Riko yang sedang fokus dengan ponselnya terkejut dengan pertanyaan istrinya. Dirinya tak sadar kalau Naila sudah berdiri di depan pintu dan akan membukanya. "Sini, Sayang. Aku akan menjelaskan dulu sebelum kamu keluar kamar. Aku ingin kamu mengetahui sesuatu dan aku harap kamu mematuhi semua yang aku katakan padamu." Riko meminta istrinya mendekat dan duduk di sampingnya. Naila yang merasa heran hanya bisa mengikuti perintah suaminya. Riko memegang lembut tangan istrinya lalu mencium keningnya. Menghirup napas panjang, membuangnya secara perlahan, agar pikirannya tenang. "Naila, kita kedatangan tamu, kakakku dan istrinya. Namanya Rony dan Vella, barangkali saja aku lupa memberitahumu nama mereka. Maaf kalau aku tak pernah menceritakan apa pun soal kak
Setelah sholat subuh berjama'ah, Riko mendekati istrinya yang sudah terlihat cerah, tak pucat lagi. Naila memakai gamis dan jilbab panjangnya karena di rumah ada kakak iparnya. Naila adalah perempuan desa yang taat agama."Bagaimana kabarnya istriku hari ini, sudah sehatkah? Hari ini aku antar belanja, ya? Untuk sarapan kita beli saja, masaknya nanti siang," kata Riko yang masih berdiri memandang istrinya."Alhamdulillah, aku merasa sangat sehat. Terserah kamu saja, Mas jadi cuti hari ini?" tanya Naila sambil menyapukan bedak tipis di wajahnya."Iya, aku sudah telepon atasanku kemarin. Aku ingin menyelesaikan urusanku dengan Kak Rony. Cuti dua hari ditambah sabtu minggu libur, semoga empat hari sudah cukup untuk menyelesaikan semua urusan dengan mereka. Bahkan aku kemarin hanya memberi mereka waktu dua hari saja tinggal di sini. Ah, kenapa aku selemah ini? Kenapa aku selalu tak tega?" ucap Riko sambil mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang.Nail
"Ah, sudahlah, aku capek ngomong sama kamu. Dasar perempuan udik, dikasih tahu yang bener malah ngeyel. Terserahlah, aku mau ke kamar saja. Pusing tahu dengar suaramu." Vella dengan rasa kesal meninggalkan Naila yang tersenyum penuh kemenangan. "Kasihan ... apa zaman sekarang wanita cantik sifatnya seperti Vella dan Clara? Ya Allah, semoga kalau suatu saat aku jadi cantik, aku nggak seperti mereka. Eh, emang aku bisa cantik, ya? Ah, rasanya pikiranku agak oleng nih gara-gara mereka. Sudahlah, aku mau memasak saja daripada mikirin yang nggak jelas. Bisa-bisa stress aku kalau terus-terusan ketemu sama orang-orang seperti mereka. Ribet banget jadi orang cantik, mendingan biasa saja asalkan bahagia." Naila berkata sendiri sambil berjalan menuju kulkas mengambil bahan masakan. Beraktivitas di dapur favoritnya, membuat Naila tak lagi memikirkan percakapan dirinya dan Vella. Naila sangat yakin da
Riko beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan ruang perpustakaan. Rony pun mengikutinya dan berjalan menuju kamarnya. Riko tak sabar ingin melihat keadaan Naila, dia takut Vella menyakiti hati istrinya. Namun, rasa khawatir pun hilang seketika, melihat Naila sedang memasak di dapur, dengan wajah yang ceria."Sayang, masak apa? Hemm ... baunya harum, aku jadi lapar lagi." Riko mendekat dan langsung mencium pipi istrinya."Nanti gendut lhoo kalau makan terus. Ini buat makan siang, Mas. Aku masakin tumis kangkung dan ayam kecap kesukaanmu, sebagai tanda terima kasih karena kemarin kamu sudah merawatku," ucap Naila pada Riko yang tersenyum padanya. Naila bersyukur keadaan suaminya setelah bicara dengan kakaknya terlihat baik-baik saja."Aku jadi makin sayang kalau gini. Sini, aku bantuin cuci piring, biar kamu nggak kecapekan." Riko pun dengan cekatan memberesk
Rony mendekati Riko yang masih bingung dengan semua yang baru saja terjadi. Bahkan sekarang kakaknya memeluk erat dirinya. Tak lama dia pun mendengar suara isak tangis yang tertahan. Terasa bahu laki-laki yang memeluknya terguncang. Rony menangis? Rony minta maaf? Rony bilang terima kasih? Apa yang sebenarnya terjadi?Naila terdiam, bergeming di tempatnya. Dia sendiri masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada kakak ipar dan istrinya. Sementara Vella hanya tersenyum sinis sambil memandang Naila. Vella sangat yakin semua ini hanya rekayasa suaminya, salah satu bagian dari sebuah rencana."Riko, maafkan aku. Terima kasih sudah menolongku. Aku akan pergi ke rumah yang kamu tawarkan sakarang. Semakin cepat mungkin semakin baik bagi kita semua." Rony berbicara dengan Riko yang masih memandangnya tak percaya."Kak, aku tidak mengusirmu. Tinggallah di sini beberapa hari, aku akan mengantar kalian hari minggu pagi," ucap Riko yan
"Enak sekali masakanmu, Naila. Sudah lama aku tak pernah makan masakan rumahan seperti ini. Boleh tambah?" tanya Rony pada Naila.Tak dipungkiri, Rony mulai mengagumi istri adiknya. Meskipun wajahnya biasa saja, tapi sikapnya sopan, rajin ibadah, masakannya enak pula. Tak salah jika adiknya terlihat sangat bahagia.Sementara istrinya hanya bisa mempercantik dirinya sendiri tanpa pernah melayaninya. Jangankan memasak, teh hangat saja tak pernah sekali pun Vella membuatkan untuknya. Rasa cintanya yang terlalu dalam ternyata membuatnya tak berdaya. Menuruti apa kemauannya, membiarkan cinta tulusnya menjadi cinta buta."Silakan, Kak. Alhamdulillah kalau Kak Rony suka," jawab Naila dengan ramah."Pantas saja masakannya enak, dia kan bekas pelayan restoran," ujar Vella dengan nada yang merendahkan, tak menghiraukan perasaan lawan bicaranya.Vella tak suka mendengar Rony memuji Naila. Rony diam, tak lagi meneruskan bicaranya. Riko memandang Vella de
Vella berdiri dan meluapkan emosinya pada Rony. Kekesalan hatinya dilampiaskan pada suaminya. Dia sudah tak tahan lagi menahan rasa benci dan marah. Rony terdiam, dirinya bingung harus berkata apa. Bahkan untuk menjelaskan, dia tak lagi punya kata-kata. "Kamu tak bisa menjawab pertanyaanku 'kan? Kenapa? Apa kamu sudah mulai jatuh cinta juga pada wanita jelek itu? Adik dan kakak sama saja! Kalau kamu seperti ini, aku tak ingin lagi hidup bersamamu. Ceraikan saja aku! Aku sudah muak hidup denganmu!" bentak Vella. Dia pun pergi ke kamar meninggalkan Rony yang masih diam. Rony duduk termenung sendirian. Bahkan dia tak berniat menyusul istri cantiknya yang sedang merajuk di kamar. Entah kenapa, yang dirasakan saat ini hatinya mulai lelah. Bagaimanapun dia juga manusia biasa, ingin memiliki rumah tangga yang normal dan bahagia. Hal yang tadinya sama sekali tak pernah ada dalam angan-angan, sekarang ini sangat diharapkan. Sesuatu yang sama sekali tak ada dalam b
Ruang tamu rumah Riko telah dihias sedemikian rupa. Seorang lelaki dalam setelan jas pengantin berwarna putih telah duduk bersila di depan sebuah meja kecil.Yakub dan seorang penghulu berpeci hitam tampak berbincang akrab. Rony—sang mempelai pria, tertunduk dengan bibir komat-kamit melafalkan kalimat ijab qobul. Kedua tangannya saling remas, berkeringat, menandakan jika dirinya tengah gugup. Riko yang memperhatikan gerak-gerik Rony sedari tadi lekas menghampiri."Tenang, tarik nafas, keluarkan. Jangan sampai salah. Kalau sampai salah tiga kali, nggak jadi nikah sama Sarah."Mendengar kalimat terakhir Riko, tangan Rony memukul bahu Riko."Aku tegang malah sempat-sempatnya kamu bercanda!" Riko hanya terkekeh melihat ekspresi wajah kakaknya. Hingga beberapa menit kemudian, penghulu memberi kode bahwa acara akan segera dimulai.Ruangan mendadak hening, penghulu memulai acara dengan do'a lalu dilanjutkan dengan beberapa kalimat pembukaan, yang ditujukan kepada seluruh tamu undangan.Sem
Riko terkejut, sontak dia menoleh melihat ekspresi wajah istrinya. Naila terdiam. Sebenarnya dia sama terkejutnya dengan Riko tapi tidak tahu harus berekspresi bagaimana. Naila membalas memandang Riko dengan rasa penasaran. Ada apa tiba-tiba Daffa datang ke rumah mereka? Mendengar nama Daffa disebut oleh Bi Marni, seketika semua orang turut berdiri. Namun, Riko melarang semua orang yang akan turut serta menemui Daffa."Biar saya saja sama Naila yang menemui Daffa."Riko beranjak lalu meraih tangan Naila yang tampak enggan mengikutinya. Riko paham. Dia menunduk lalu berbisik lirih di telinga Naila."Tidak apa-apa, Sayang. Aku percaya padamu."Naila mengangguk dan tersenyum mendengar sebaris kalimat yang baru saja keluar dari bibir Riko. Ada rasa hangat yang menjalar dalam hatinya, membuat kedua bola mata indahnya mengembun.Dengan lembut, Riko membelai kedua pipi Naila. Tanpa sadar, Riko melakukannya di hadapan semua orang."Maaf, ya. Jangan menangis lagi nanti cantiknya hilang."Nai
"Maaf, Mas ... aku hanya terlalu bahagia mendengar kabar ini. Aku baik-baik saja."Setelah siuman, Naila tersenyum sambil memandang kedua orang di hadapannya. Riko masih memegang erat tangannya. Sementara Sarah memijit kedua kakinya dengan lembut. Marni membawakan air madu hangat dan sepiring nasi untuk Naila."Makan dulu, Mbak. Dari kemarin Mbak Naila belum makan. Bibi masakin sayur sop daging kesukaan Mbak Naila. Jangan menyiksa diri sendiri, Mbak. Kasihan Den Riko juga, jadi ikut-ikutan nggak mau makan."Mendengar ucapan Marni, Naila langsung memandang suaminya dengan tatapan penuh rasa bersalah. Riko mengecup lembut jemari Naila dan tersenyum."Maafkan aku, Mas. Aku sudah keterlaluan," ucap Naila penuh penyesalan."Tidak, Sayang ... aku memang salah. Aku pantas mendapatkan hukuman darimu, bahkan mungkin harusnya hukumannya lebih berat dari ini. Selama kamu nggak mau makan, maka selama itu pula aku juga nggak akan makan."
"Sudahlah, ayo kita segera pergi. Kita lihat saja langsung keadaan Naila." Yakub langsung mengajak mereka segera berangkat, membuat Riko merasa lega."Ya, Kakak benar. Aku akan bersiap dulu." Sarah beranjak dari kursi dan berjalan menuju kamarnya."Jangan lama-lama, mentang-mentang ada calon suami nanti ganti bajunya nggak kelar-kelar." Yakub menggoda adiknya, membuat Rony tersenyum."Ish, Kakak ini apa-apaan, sih!" Sarah pun langsung menutup pintu kamarnya dengan kedua pipi yang merona.Mereka berangkat bersama dengan kendaraan roda duanya masing-masing. Rony bersama Riko dan Yakub berboncengan dengan Sarah. Rasa bahagia terpancar pada wajah ketiga orang itu, kecuali Riko yang sedih akibat ulahnya sendiri.Setelah sampai, Riko mengajak Sarah masuk ke kamar menemui istrinya. Terlihat oleh Riko, Naila sedang duduk di sofa dekat jendela sambil mengaji. Hanya itu kegiatan yang dilakukan Naila selama di kamar. "Sayang, lihat si
"Silakan diminum tehnya, Kak." Sarah meletakkan dua buah cangkir teh hangat di atas meja untuk Riko dan Rony. "Terima kasih, Sarah." Rony membalas ucapan Sarah sambil tersenyum. Yakub hanya memandang kedua kakak beradik itu dengan penuh tanda tanya, apalagi Naila tak ikut bersama mereka. "Maaf, Yakub, kedatangan kami ke sini, untuk meminta penjelasan dari kalian soal foto-foto ini. Naila sedang difitnah seseorang dan sekarang dia sedang sedih sampai selalu mengurung diri di kamarnya."Rony menyerahkan ponsel milik Riko pada Yakub. Sarah yang penasaran akhirnya mendekati kakaknya dan ikut melihat foto-foto yang ada di galeri ponsel milik Riko. "Ini kan foto-foto kita saat sedang di food court? Ini kita lagi di bank dan ini foto kita lagi di warung nasi rawon. Banyak sekali foto-fotonya tapi di situ kok cuma ada Naila dan Kak Yakub saja?"Sarah langsung memberi komentar mengenai foto-foto yang dilihatnya. Yakub pun langsung mengangg
Setelah pulang dari rumah sakit, Riko selalu menemani Naila di mana pun dia berada. Semua pekerjaan, diserahkan kembali pada asistennya dulu. Riko sangat mengkhawatirkan istrinya, karena sikap Naila tak seperti biasanya. Naila lebih sering melamun, duduk di sofa sambil memandang ke arah luar jendela. "Sayang ... hari ini waktunya kamu ke klinik kecantikan. Aku akan mengantarmu dan menunggumu sampai pulang. Bagaimana kalau nanti kita pergi ke mall?" tanya Riko sambil mengelus lembut pipi istrinya. "Maaf, Mas, kepalaku pusing. Aku ingin di rumah saja." Naila membalas ucapan Riko tanpa memandang suaminya. "Naila, sudah beberapa minggu ini kamu selalu di rumah. Jangan mengurung diri di kamar terus dong, Sayang. Aku akan menemanimu ke mana pun kamu mau." Riko memegang lembut tangan Naila dan berusaha membujuk istrinya agar mau pergi. "Aku mau sholat dhuha dulu, ya, Mas. Maaf, Mas, aku benar-benar sedang ingin di rumah saja."Naila beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju kamar mandi
"Aku nggak tahu, Sayang. Aku sudah menyuruh seseorang mengecek nomer ponsel itu tapi sepertinya kartunya langsung dibuang atau mungkin dihancurkan oleh pemiliknya. " Mas, apakah penampilanku seperti seorang pezina, sampai kamu percaya dengan tuduhannya?""Astaghfirullah ... maafkan aku, Sayang. Terserah kamu mau bilang apa saja padaku, yang pasti aku menyesal. Sekali lagi, maafkan aku, Naila. Maafkan suamimu yang bodoh ini.""Aku berjanji padamu, Mas. Setelah ini, aku tak akan pergi ke mana pun sendirian, kecuali kamu yang mengajakku.""Naila ....""Tolong hargai keputusanku ini, Mas. Aku lelah dengan manusia-manusia yang terlalu mencampuri urusanku."Setelah menyampaikan keputusannya pada Riko, Naila beranjak pergi ke kamar mandi. Riko akhirnya diam dan menyesali perbuatannya. Untuk sementara, biarlah Riko menerima keputusan Naila. Mungkin lebih baik seperti ini, Naila tak akan pergi keluar rumah tanpa dirinya. R
"Bukan begitu, Pak Supri. Maaf ... jangan salah paham dulu. Saya sama sekali tidak memata-matai Naila. Saya mendapatkan foto-foto ini dari nomer yang tidak saya kenal. Justru itu, saya ingin menanyakan pada Pak Supri, apa Bapak kenal dengan laki-laki ini? Dan kenapa Naila hanya berdua saja? Ke mana Pak Supri dan Sarah?" Riko pun menjelaskan dan meminta penjelasan pada Supri. "Astaghfirullah ... ini fitnah, Den. Mbak Naila tidak berdua saja dengan Mas Yakub. Saya dan Mbak Sarah ada di sana. Kemungkinan foto ini diambil saat Mbak Sarah ke kamar mandi dan saya memang nggak pernah mau duduk satu meja dengan mereka. Saya duduk sendiri tapi tetap mengawasi Mbak Naila, Den. Saya sadar diri, saya hanya asisten rumah tangga, nggak pantas rasanya satu meja dengan majikan." Supri bicara apa adanya. "Lalu Daffa, kenapa ada di warung itu juga? Apa itu juga kebetulan?" Riko masih saja tak percaya. "Memang semua itu kebetulan, Den. Temannya Mbak Naila sedang ada janji dengan temannya di warung it
"Assalamu'alaikum, Sayang. Hemm ... cantik sekali istriku hari ini. Aku benar-benar rindu.""Wa'alaikumussalaam ... aku juga rindu, Mas."Naila langsung memeluk suaminya yang sudah sampai di rumah. Riko dan Naila menuju kamar tidur mereka karena waktu pun sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Riko langsung menggendong tubuh mungil istrinya, kemudian merebahkannya di ranjang. Naila mengerti apa yang diinginkan suaminya tercinta. Dia pun membalas semua sentuhan yang diberikan Riko padanya. Akan tetapi, perlakuan Riko padanya kali ini berbeda. Naila berpikir, mungkin saat ini suaminya terlalu rindu padanya. Namun, semakin lama Riko semakin kasar dan brutal. Bahkan saat ini Naila sudah tak lagi bisa menikmati surganya. Naila merasa, yang sedang bersamanya bukanlah suami yang selama ini sangat dicintainya. "Mas ... sakiittt ... tolong hentikan ...."Naila merintih dan mencoba menghentika