"Mas, kenapa pintunya dikunci?" Naila merasa heran dengan tingkah suaminya yang dari tadi hanya di kamar saja. Bahkan saat dirinya ingin keluar, ternyata pintu kamarnya terkunci dan kuncinya entah ke mana. Riko yang sedang fokus dengan ponselnya terkejut dengan pertanyaan istrinya. Dirinya tak sadar kalau Naila sudah berdiri di depan pintu dan akan membukanya.
"Sini, Sayang. Aku akan menjelaskan dulu sebelum kamu keluar kamar. Aku ingin kamu mengetahui sesuatu dan aku harap kamu mematuhi semua yang aku katakan padamu."
Riko meminta istrinya mendekat dan duduk di sampingnya. Naila yang merasa heran hanya bisa mengikuti perintah suaminya. Riko memegang lembut tangan istrinya lalu mencium keningnya. Menghirup napas panjang, membuangnya secara perlahan, agar pikirannya tenang.
"Naila, kita kedatangan tamu, kakakku dan istrinya. Namanya Rony dan Vella, barangkali saja aku lupa memberitahumu nama mereka. Maaf kalau aku tak pernah menceritakan apa pun soal kakakku. Dan sekarang mereka ada di sini, menempati kamar tamu. Aku mohon, Sayang. Berjanjilah padaku, kamu jangan mempercayai apapun ucapan mereka. Kalau mereka macam-macam denganmu, bilang padaku," kata Riko pada istrinya dengan tatapan memohon.
Naila terkejut dengan berita yang disampaikan Riko tentang kedatangan kakaknya. Riko terlihat sangat tertekan dengan kehadiran mereka, ada apa sebenarnya? Namun, bibirnya tak mampu menyampaikan pertanyaan yang tersirat di benaknya. Akhirnya Naila pun mengangguk saja, dia sangat percaya pada suaminya.
"Baiklah, aku akan mendengarkan dan mematuhi semua perintahmu, Mas. Insyaa Allah aku percaya padamu," janji Naila pada Riko yang membuat laki-laki di sampingnya tersenyum lega.
"Alhamdulillah, terima kasih, Sayang. Suatu saat nanti aku akan menceritakan semuanya yang ingin kamu tahu. Untuk saat ini, aku mohon jangan percaya dengan mereka meskipun sikapnya lembut padamu. Jangan mau disuruh oleh mereka meskipun hanya mengambilkan air minum. Atau kebalikannya, jangan meminum atau memakan apapun yang mereka berikan padamu. Aku akan mengambil cuti dua hari, aku akan bekerja di rumah saja. Kamu nggak usah masak, kita makan saja di luar. Kita--."
"Mas, jangan berlebihan. Kedatangan saudara kok seperti kedatangan musuh saja," sahut Naila yang menganggap Riko sangat berlebihan sikapnya.
"Kamu tak tahu seperti apa mereka, aku hanya ingin menjagamu, Sayang. Aku hanya ingin melindungimu. Aku tak ingin kamu kenapa-kenapa," jelas Riko pada istrinya.
Naila memeluk tubuh tegap suaminya dengan erat, dia sangat terharu. Dia hanya wanita desa yang sangat beruntung mendapatkan suami seperti Riko.
"Terima kasih, Mas. Aku tahu kamu adalah anugerah dari Allah yang dikirimkan untukku. Aku bahagia, kamu begitu mengkhawatirkan aku. Tapi tolong, biarkan aku memasak dan beraktivitas seperti biasa. Kalau kita terlalu menjaga jarak, aku takut mereka semakin nekat dan akan menghalalkan segala cara jika tujuannya ke rumah ini berniat jahat pada kita. Aku berjanji, tak akan mempercayai apa pun yang mereka katakan padaku."
Riko membenarkan ucapan Naila. Kakak dan istrinya pasti akan lebih nekat dan Riko takut mereka akan mencelakai istrinya. Riko pun terpaksa menyetujui saran Naila.
"Tapi untuk hari ini, aku pesankan lewat online saja, ya. Kamu masih harus istirahat, tubuhmu masih terlalu lemah. Jangan keluar kamar dulu, tetaplah di sini. Kalau besok sudah sehat, aku akan memperkenalkan mereka padamu."
Naila pun patuh, membaringkan kembali tubuhnya di atas ranjang. Riko merengkuh tubuh Naila dalam dekapan. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing dengan mata terpejam. Saling mengeratkan pelukan, menenangkan pikiran, mendamaikan perasaan.
***"Maaf ... istriku masih nggak enak badan, jadi aku hanya bisa membelikan kalian nasi bungkus. Makanlah kalian berdua, aku akan makan di kamar menemani istriku."Riko berkata pada kedua tamunya yang duduk di ruang keluarga. Menyerahkan dua bungkus nasi kepada kakaknya. Berjalan menuju dapur mengambil peralatan makan dan juga minuman kemudian langsung ke kamar. Tak dihiraukan kedua orang yang masih memandangnya.
"Lihatlah, bahkan istrinya sama sekali tak diijinkan keluar menemui kita. Apa kamu yakin dengan rencana kita?" Vella merasa sedikit cemburu dengan sikap Riko yang terlihat sangat menyayangi istrinya.
"Mungkin memang istrinya sedang sakit. Jangan pesimis dulu, kita lihat saja besok pagi," jawab Rony dengan santainya.
"Ya ... semoga saja ucapanmu benar. Aku sudah lelah dengan keadaan ini. Makan juga hanya nasi bungkus seperti ini, Riko benar-benar keterlaluan. Uangnya banyak tapi pelitnya minta ampun. Harusnya 'kan dia menghormati kita sebagai tamu."
Vella yang terbiasa makan di restoran tak terima dengan pemberian adik iparnya. Memandang nasi bungkus yang ada di depannya seolah barang yang menjijikkan dan tak pantas untuk dimakan. Bahkan Vella tak menyadari kalau dirinya dan suami sudah tak punya apa-apa lagi.
"Sabar, Sayang. Jangan marah-marah, ingat misi kita. Sudahlah, ayo kita ke ruang makan. Setelah itu kita ke kamar menyusun rencana," rayu Rony yang melihat istrinya cemberut.
"Aku nggak selera, apa nggak ada makanan lainnya di rumah sebesar ini?" tanya Vella dengan kesal.
"Entahlah, aku tak tahu. Ayo kita ke dapur, kita lihat ada apa di sana," ajak Rony sambil berdiri membawa kantung plastik transparan yang berisi dua buah bungkusan.
Vella membuka pintu kulkas dan matanya berbinar seketika. Mengeluarkan semua cemilan dan buah-buahan yang ada. Keduanya pun memakan semuanya dengan rakus tanpa ijin pemiliknya.
"Memang, ya, adikmu itu sekarang benar-benar pelit. Banyak buah dan cemilan di kulkas kok nggak disuguhkan buat tamunya, malah dikasih nasi bungkus. Tapi kok sudah habis sih nasi bungkusnya, kamu makan semuanya, ya?" tanya Vella yang sudah tak melihat lagi bungkusan nasi di meja.
"Iyalah aku makan semuanya, kamu nggak doyan katanya. Aku lapar, dari siang tadi kita 'kan memang belum makan," jawab Rony sambil mengunyah kripik kentang yang baru saja dimasukkan ke mulutnya.
"Ish ... kamu ini memang suami yang nggak pengertian, mentingin perut sendiri, Istri nggak dipikirin," sahut Vella dengan nada kesal.
"Ehemm ...."
Karena keasyikan menikmati makanan, mereka berdua tak menyadari kedatangan Riko yang sedari tadi berdiri mengamati. Menggelengkan kepala melihat tingkah kedua orang tamunya.
Mereka terlihat seperti orang yang kelaparan, belum makan berhari-hari. Riko berjalan menuju dapur, mencuci piring bekas makan dirinya dan istri. Kemudian melangkahkan kakinya duduk di kursi berhadapan dengan Rony.
"Sudah berapa hari kalian nggak makan?" tanya Riko yang membuat merah wajah keduanya karena malu, ketangkap basah seperti pencuri.
"Kak, kapan kamu berubah?" lanjut Riko, "Kakak bukan remaja lagi, kita sudah berumur, Kak ... bahkan aku tahun ini sudah 30 tahun. Tolong, dewasalah sedikit, aku tahu Kakak terpaksa pulang ke sini karena kalian sudah tak memiliki apa-apa lagi. Apakah Kakak selamanya akan seperti ini? Kakak akan memerasku lagi? Dan kalau kita sama-sama bangkrut, bagaimana ke depannya nanti, Kak?"
Riko mencoba memberi pengertian pada kakaknya. Percuma juga Riko emosi kalau tabiat kakak dan istrinya masih sama. Riko menuruti nasihat Naila, harus sabar menghadapi mereka, tanpa emosi dan tanpa amarah.
"Ternyata kamu adalah adikku yang cerdas dan pengertian. Kamu juga mengerti tujuanku ke sini. Tolonglah, ijinkan aku sementara tinggal di sini, sampai aku memiliki uang lagi untuk menebus rumahku yang aku gadaikan pada temanku," pinta Rony pada Riko yang masih memandangnya.
"Dengan uang apa Kakak akan menebusnya? Apakah Kakak selama ini bekerja? Aku tahu kalian selama ini hanya berfoya-foya saja kerjaannya. Please, kalau Kakak mau, aku bisa memberikan pekerjaan di tempat temanku. Jangan hanya minta saja bisanya, aku sudah nggak ada tabungan lagi. Uangku sudah aku pakai membayar hutang ke temanku. Uang yang waktu itu aku kasih ke Kakak untuk membayar rumah ini, itu uang pinjaman, Kak."
Rony terdiam, sementara Vella hanya melirik dan bibirnya mencebik lirih tak percaya. Riko tahu kakaknya tak begitu saja mempercayai kata-katanya, tapi dia tak peduli. Untuk saat ini dia hanya ingin melindungi apa yang sudah menjadi haknya.
"Pikirkan lagi, Kak. Besok pagi kita bicara lagi di ruang perpustakaan. Dan tolong, semua piring, gelas, dan sampah bekas kalian makan dibersihkan. Di sini tak ada lagi yang namanya asisten rumah tangga. Aku nggak mau istriku yang baru saja sembuh, besok pagi harus sibuk membereskan ini semua," pinta Riko sambil berdiri lalu berjalan menuju kamarnya kembali.
"Rumah sebesar ini dia nggak punya asisten rumah tangga? Terus kalau kita tinggal di sini, apa aku juga harus ikut beres-beres rumah? Sekarang aja aku ogah harus beresin ini semua. Aku nggak mau pokoknya!" tegas Vella yang membuat Rony memegang keningnya. Pusing!
"Iya, nanti biar aku saja yang membersihkan. Kamu tiduran saja di kamar," sahut Rony dengan terpaksa.
Rony pun mengalah, berdiri lalu membersihkan semua yang berserakan di meja. Sementara Vella hanya diam memperhatikan suaminya dan tersenyum bahagia.
Rony selalu memanjakannya. Selama ini Rony selalu menuruti apapun yang dia minta. Hanya saja keadaan saat ini memaksa Vella harus menahan semua keinginannya karena mereka sudah tak lagi berharta.
Setelah sholat subuh berjama'ah, Riko mendekati istrinya yang sudah terlihat cerah, tak pucat lagi. Naila memakai gamis dan jilbab panjangnya karena di rumah ada kakak iparnya. Naila adalah perempuan desa yang taat agama."Bagaimana kabarnya istriku hari ini, sudah sehatkah? Hari ini aku antar belanja, ya? Untuk sarapan kita beli saja, masaknya nanti siang," kata Riko yang masih berdiri memandang istrinya."Alhamdulillah, aku merasa sangat sehat. Terserah kamu saja, Mas jadi cuti hari ini?" tanya Naila sambil menyapukan bedak tipis di wajahnya."Iya, aku sudah telepon atasanku kemarin. Aku ingin menyelesaikan urusanku dengan Kak Rony. Cuti dua hari ditambah sabtu minggu libur, semoga empat hari sudah cukup untuk menyelesaikan semua urusan dengan mereka. Bahkan aku kemarin hanya memberi mereka waktu dua hari saja tinggal di sini. Ah, kenapa aku selemah ini? Kenapa aku selalu tak tega?" ucap Riko sambil mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang.Nail
"Ah, sudahlah, aku capek ngomong sama kamu. Dasar perempuan udik, dikasih tahu yang bener malah ngeyel. Terserahlah, aku mau ke kamar saja. Pusing tahu dengar suaramu." Vella dengan rasa kesal meninggalkan Naila yang tersenyum penuh kemenangan. "Kasihan ... apa zaman sekarang wanita cantik sifatnya seperti Vella dan Clara? Ya Allah, semoga kalau suatu saat aku jadi cantik, aku nggak seperti mereka. Eh, emang aku bisa cantik, ya? Ah, rasanya pikiranku agak oleng nih gara-gara mereka. Sudahlah, aku mau memasak saja daripada mikirin yang nggak jelas. Bisa-bisa stress aku kalau terus-terusan ketemu sama orang-orang seperti mereka. Ribet banget jadi orang cantik, mendingan biasa saja asalkan bahagia." Naila berkata sendiri sambil berjalan menuju kulkas mengambil bahan masakan. Beraktivitas di dapur favoritnya, membuat Naila tak lagi memikirkan percakapan dirinya dan Vella. Naila sangat yakin da
Riko beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan ruang perpustakaan. Rony pun mengikutinya dan berjalan menuju kamarnya. Riko tak sabar ingin melihat keadaan Naila, dia takut Vella menyakiti hati istrinya. Namun, rasa khawatir pun hilang seketika, melihat Naila sedang memasak di dapur, dengan wajah yang ceria."Sayang, masak apa? Hemm ... baunya harum, aku jadi lapar lagi." Riko mendekat dan langsung mencium pipi istrinya."Nanti gendut lhoo kalau makan terus. Ini buat makan siang, Mas. Aku masakin tumis kangkung dan ayam kecap kesukaanmu, sebagai tanda terima kasih karena kemarin kamu sudah merawatku," ucap Naila pada Riko yang tersenyum padanya. Naila bersyukur keadaan suaminya setelah bicara dengan kakaknya terlihat baik-baik saja."Aku jadi makin sayang kalau gini. Sini, aku bantuin cuci piring, biar kamu nggak kecapekan." Riko pun dengan cekatan memberesk
Rony mendekati Riko yang masih bingung dengan semua yang baru saja terjadi. Bahkan sekarang kakaknya memeluk erat dirinya. Tak lama dia pun mendengar suara isak tangis yang tertahan. Terasa bahu laki-laki yang memeluknya terguncang. Rony menangis? Rony minta maaf? Rony bilang terima kasih? Apa yang sebenarnya terjadi?Naila terdiam, bergeming di tempatnya. Dia sendiri masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada kakak ipar dan istrinya. Sementara Vella hanya tersenyum sinis sambil memandang Naila. Vella sangat yakin semua ini hanya rekayasa suaminya, salah satu bagian dari sebuah rencana."Riko, maafkan aku. Terima kasih sudah menolongku. Aku akan pergi ke rumah yang kamu tawarkan sakarang. Semakin cepat mungkin semakin baik bagi kita semua." Rony berbicara dengan Riko yang masih memandangnya tak percaya."Kak, aku tidak mengusirmu. Tinggallah di sini beberapa hari, aku akan mengantar kalian hari minggu pagi," ucap Riko yan
"Enak sekali masakanmu, Naila. Sudah lama aku tak pernah makan masakan rumahan seperti ini. Boleh tambah?" tanya Rony pada Naila.Tak dipungkiri, Rony mulai mengagumi istri adiknya. Meskipun wajahnya biasa saja, tapi sikapnya sopan, rajin ibadah, masakannya enak pula. Tak salah jika adiknya terlihat sangat bahagia.Sementara istrinya hanya bisa mempercantik dirinya sendiri tanpa pernah melayaninya. Jangankan memasak, teh hangat saja tak pernah sekali pun Vella membuatkan untuknya. Rasa cintanya yang terlalu dalam ternyata membuatnya tak berdaya. Menuruti apa kemauannya, membiarkan cinta tulusnya menjadi cinta buta."Silakan, Kak. Alhamdulillah kalau Kak Rony suka," jawab Naila dengan ramah."Pantas saja masakannya enak, dia kan bekas pelayan restoran," ujar Vella dengan nada yang merendahkan, tak menghiraukan perasaan lawan bicaranya.Vella tak suka mendengar Rony memuji Naila. Rony diam, tak lagi meneruskan bicaranya. Riko memandang Vella de
Vella berdiri dan meluapkan emosinya pada Rony. Kekesalan hatinya dilampiaskan pada suaminya. Dia sudah tak tahan lagi menahan rasa benci dan marah. Rony terdiam, dirinya bingung harus berkata apa. Bahkan untuk menjelaskan, dia tak lagi punya kata-kata. "Kamu tak bisa menjawab pertanyaanku 'kan? Kenapa? Apa kamu sudah mulai jatuh cinta juga pada wanita jelek itu? Adik dan kakak sama saja! Kalau kamu seperti ini, aku tak ingin lagi hidup bersamamu. Ceraikan saja aku! Aku sudah muak hidup denganmu!" bentak Vella. Dia pun pergi ke kamar meninggalkan Rony yang masih diam. Rony duduk termenung sendirian. Bahkan dia tak berniat menyusul istri cantiknya yang sedang merajuk di kamar. Entah kenapa, yang dirasakan saat ini hatinya mulai lelah. Bagaimanapun dia juga manusia biasa, ingin memiliki rumah tangga yang normal dan bahagia. Hal yang tadinya sama sekali tak pernah ada dalam angan-angan, sekarang ini sangat diharapkan. Sesuatu yang sama sekali tak ada dalam b
Naila memandang suaminya yang mulai berjalan mendekat ke arahnya. Wajah Riko kali ini terlihat serius dan sedikit menakutkan baginya. Naila melangkah mundur, membuat jarak dengan Riko yang sudah berdiri tepat di hadapannya. Hati Naila berdebar dan perasaan takut mulai menguasai dirinya."Kenapa, Sayang. Apa kamu takut padaku?" Riko semakin maju mendekati istrinya yang mulai ketakutan."Mas, ka-kamu mau apa? Wa-wajahmu tak seperti biasanya. Ka-kamu membuatku takut, Mas. To-tolong menjauhlah," pinta Naila dengan suara yang gemetar dan sangat gugup karena takut.Riko semakin mendekat dan mengikis jarak di antara mereka. Naila tak bisa mundur lagi dan dia hanya memejamkan mata tak mau memandang suaminya. Namun, tangan Riko mendekap erat tubuhnya dan menciumi seluruh wajahnya. Akhirnya Naila hanya bisa menahan tawa."Kamu jahat! Aku sudah takut banget tahu nggak? Lihat saja badanku sampai gemetaran," ucap Naila dan langsung memasang wajah cemberut.
Seorang wanita cantik dan anggun berdiri di hadapannya. Naila diam memperhatikan. Namun, pandangannya tertuju pada seorang anak laki-laki yang digandeng wanita yang bernama Cintya. Wajahnya sangat tampan dan yang membuat Naila tercengang, wajah anak itu mirip sekali dengan ... suaminya."Apa kabar, Riko?" tanya Cintya."Alhamdulillah, baik. Maaf, ini siapa?" Riko memperhatikan anak kecil itu, dia pun terkejut melihat wajahnya yang sangat mirip dengannya."Hemm ... dia putraku. Sudah lama sekali kita tak bertemu. Aku ingin sekali bicara denganmu, Riko. Kapan kamu ada waktu?" Cintya tak ingin pertemuannya dengan Riko sia-sia. Ada sesuatu yang sangat ingin disampaikannya."Nanti sore atau besok pagi, insyaa Allah aku di rumah. Oh, ya, perkenalkan ini istriku," jawab Riko sambil memperkenalkan Naila pada Cintya."Naila ...." ucap Naila memperkenalkan dirinya."Cintya ...." balas Cintya dengan senyum ramah."Baiklah, nanti sore
Ruang tamu rumah Riko telah dihias sedemikian rupa. Seorang lelaki dalam setelan jas pengantin berwarna putih telah duduk bersila di depan sebuah meja kecil.Yakub dan seorang penghulu berpeci hitam tampak berbincang akrab. Rony—sang mempelai pria, tertunduk dengan bibir komat-kamit melafalkan kalimat ijab qobul. Kedua tangannya saling remas, berkeringat, menandakan jika dirinya tengah gugup. Riko yang memperhatikan gerak-gerik Rony sedari tadi lekas menghampiri."Tenang, tarik nafas, keluarkan. Jangan sampai salah. Kalau sampai salah tiga kali, nggak jadi nikah sama Sarah."Mendengar kalimat terakhir Riko, tangan Rony memukul bahu Riko."Aku tegang malah sempat-sempatnya kamu bercanda!" Riko hanya terkekeh melihat ekspresi wajah kakaknya. Hingga beberapa menit kemudian, penghulu memberi kode bahwa acara akan segera dimulai.Ruangan mendadak hening, penghulu memulai acara dengan do'a lalu dilanjutkan dengan beberapa kalimat pembukaan, yang ditujukan kepada seluruh tamu undangan.Sem
Riko terkejut, sontak dia menoleh melihat ekspresi wajah istrinya. Naila terdiam. Sebenarnya dia sama terkejutnya dengan Riko tapi tidak tahu harus berekspresi bagaimana. Naila membalas memandang Riko dengan rasa penasaran. Ada apa tiba-tiba Daffa datang ke rumah mereka? Mendengar nama Daffa disebut oleh Bi Marni, seketika semua orang turut berdiri. Namun, Riko melarang semua orang yang akan turut serta menemui Daffa."Biar saya saja sama Naila yang menemui Daffa."Riko beranjak lalu meraih tangan Naila yang tampak enggan mengikutinya. Riko paham. Dia menunduk lalu berbisik lirih di telinga Naila."Tidak apa-apa, Sayang. Aku percaya padamu."Naila mengangguk dan tersenyum mendengar sebaris kalimat yang baru saja keluar dari bibir Riko. Ada rasa hangat yang menjalar dalam hatinya, membuat kedua bola mata indahnya mengembun.Dengan lembut, Riko membelai kedua pipi Naila. Tanpa sadar, Riko melakukannya di hadapan semua orang."Maaf, ya. Jangan menangis lagi nanti cantiknya hilang."Nai
"Maaf, Mas ... aku hanya terlalu bahagia mendengar kabar ini. Aku baik-baik saja."Setelah siuman, Naila tersenyum sambil memandang kedua orang di hadapannya. Riko masih memegang erat tangannya. Sementara Sarah memijit kedua kakinya dengan lembut. Marni membawakan air madu hangat dan sepiring nasi untuk Naila."Makan dulu, Mbak. Dari kemarin Mbak Naila belum makan. Bibi masakin sayur sop daging kesukaan Mbak Naila. Jangan menyiksa diri sendiri, Mbak. Kasihan Den Riko juga, jadi ikut-ikutan nggak mau makan."Mendengar ucapan Marni, Naila langsung memandang suaminya dengan tatapan penuh rasa bersalah. Riko mengecup lembut jemari Naila dan tersenyum."Maafkan aku, Mas. Aku sudah keterlaluan," ucap Naila penuh penyesalan."Tidak, Sayang ... aku memang salah. Aku pantas mendapatkan hukuman darimu, bahkan mungkin harusnya hukumannya lebih berat dari ini. Selama kamu nggak mau makan, maka selama itu pula aku juga nggak akan makan."
"Sudahlah, ayo kita segera pergi. Kita lihat saja langsung keadaan Naila." Yakub langsung mengajak mereka segera berangkat, membuat Riko merasa lega."Ya, Kakak benar. Aku akan bersiap dulu." Sarah beranjak dari kursi dan berjalan menuju kamarnya."Jangan lama-lama, mentang-mentang ada calon suami nanti ganti bajunya nggak kelar-kelar." Yakub menggoda adiknya, membuat Rony tersenyum."Ish, Kakak ini apa-apaan, sih!" Sarah pun langsung menutup pintu kamarnya dengan kedua pipi yang merona.Mereka berangkat bersama dengan kendaraan roda duanya masing-masing. Rony bersama Riko dan Yakub berboncengan dengan Sarah. Rasa bahagia terpancar pada wajah ketiga orang itu, kecuali Riko yang sedih akibat ulahnya sendiri.Setelah sampai, Riko mengajak Sarah masuk ke kamar menemui istrinya. Terlihat oleh Riko, Naila sedang duduk di sofa dekat jendela sambil mengaji. Hanya itu kegiatan yang dilakukan Naila selama di kamar. "Sayang, lihat si
"Silakan diminum tehnya, Kak." Sarah meletakkan dua buah cangkir teh hangat di atas meja untuk Riko dan Rony. "Terima kasih, Sarah." Rony membalas ucapan Sarah sambil tersenyum. Yakub hanya memandang kedua kakak beradik itu dengan penuh tanda tanya, apalagi Naila tak ikut bersama mereka. "Maaf, Yakub, kedatangan kami ke sini, untuk meminta penjelasan dari kalian soal foto-foto ini. Naila sedang difitnah seseorang dan sekarang dia sedang sedih sampai selalu mengurung diri di kamarnya."Rony menyerahkan ponsel milik Riko pada Yakub. Sarah yang penasaran akhirnya mendekati kakaknya dan ikut melihat foto-foto yang ada di galeri ponsel milik Riko. "Ini kan foto-foto kita saat sedang di food court? Ini kita lagi di bank dan ini foto kita lagi di warung nasi rawon. Banyak sekali foto-fotonya tapi di situ kok cuma ada Naila dan Kak Yakub saja?"Sarah langsung memberi komentar mengenai foto-foto yang dilihatnya. Yakub pun langsung mengangg
Setelah pulang dari rumah sakit, Riko selalu menemani Naila di mana pun dia berada. Semua pekerjaan, diserahkan kembali pada asistennya dulu. Riko sangat mengkhawatirkan istrinya, karena sikap Naila tak seperti biasanya. Naila lebih sering melamun, duduk di sofa sambil memandang ke arah luar jendela. "Sayang ... hari ini waktunya kamu ke klinik kecantikan. Aku akan mengantarmu dan menunggumu sampai pulang. Bagaimana kalau nanti kita pergi ke mall?" tanya Riko sambil mengelus lembut pipi istrinya. "Maaf, Mas, kepalaku pusing. Aku ingin di rumah saja." Naila membalas ucapan Riko tanpa memandang suaminya. "Naila, sudah beberapa minggu ini kamu selalu di rumah. Jangan mengurung diri di kamar terus dong, Sayang. Aku akan menemanimu ke mana pun kamu mau." Riko memegang lembut tangan Naila dan berusaha membujuk istrinya agar mau pergi. "Aku mau sholat dhuha dulu, ya, Mas. Maaf, Mas, aku benar-benar sedang ingin di rumah saja."Naila beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju kamar mandi
"Aku nggak tahu, Sayang. Aku sudah menyuruh seseorang mengecek nomer ponsel itu tapi sepertinya kartunya langsung dibuang atau mungkin dihancurkan oleh pemiliknya. " Mas, apakah penampilanku seperti seorang pezina, sampai kamu percaya dengan tuduhannya?""Astaghfirullah ... maafkan aku, Sayang. Terserah kamu mau bilang apa saja padaku, yang pasti aku menyesal. Sekali lagi, maafkan aku, Naila. Maafkan suamimu yang bodoh ini.""Aku berjanji padamu, Mas. Setelah ini, aku tak akan pergi ke mana pun sendirian, kecuali kamu yang mengajakku.""Naila ....""Tolong hargai keputusanku ini, Mas. Aku lelah dengan manusia-manusia yang terlalu mencampuri urusanku."Setelah menyampaikan keputusannya pada Riko, Naila beranjak pergi ke kamar mandi. Riko akhirnya diam dan menyesali perbuatannya. Untuk sementara, biarlah Riko menerima keputusan Naila. Mungkin lebih baik seperti ini, Naila tak akan pergi keluar rumah tanpa dirinya. R
"Bukan begitu, Pak Supri. Maaf ... jangan salah paham dulu. Saya sama sekali tidak memata-matai Naila. Saya mendapatkan foto-foto ini dari nomer yang tidak saya kenal. Justru itu, saya ingin menanyakan pada Pak Supri, apa Bapak kenal dengan laki-laki ini? Dan kenapa Naila hanya berdua saja? Ke mana Pak Supri dan Sarah?" Riko pun menjelaskan dan meminta penjelasan pada Supri. "Astaghfirullah ... ini fitnah, Den. Mbak Naila tidak berdua saja dengan Mas Yakub. Saya dan Mbak Sarah ada di sana. Kemungkinan foto ini diambil saat Mbak Sarah ke kamar mandi dan saya memang nggak pernah mau duduk satu meja dengan mereka. Saya duduk sendiri tapi tetap mengawasi Mbak Naila, Den. Saya sadar diri, saya hanya asisten rumah tangga, nggak pantas rasanya satu meja dengan majikan." Supri bicara apa adanya. "Lalu Daffa, kenapa ada di warung itu juga? Apa itu juga kebetulan?" Riko masih saja tak percaya. "Memang semua itu kebetulan, Den. Temannya Mbak Naila sedang ada janji dengan temannya di warung it
"Assalamu'alaikum, Sayang. Hemm ... cantik sekali istriku hari ini. Aku benar-benar rindu.""Wa'alaikumussalaam ... aku juga rindu, Mas."Naila langsung memeluk suaminya yang sudah sampai di rumah. Riko dan Naila menuju kamar tidur mereka karena waktu pun sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Riko langsung menggendong tubuh mungil istrinya, kemudian merebahkannya di ranjang. Naila mengerti apa yang diinginkan suaminya tercinta. Dia pun membalas semua sentuhan yang diberikan Riko padanya. Akan tetapi, perlakuan Riko padanya kali ini berbeda. Naila berpikir, mungkin saat ini suaminya terlalu rindu padanya. Namun, semakin lama Riko semakin kasar dan brutal. Bahkan saat ini Naila sudah tak lagi bisa menikmati surganya. Naila merasa, yang sedang bersamanya bukanlah suami yang selama ini sangat dicintainya. "Mas ... sakiittt ... tolong hentikan ...."Naila merintih dan mencoba menghentika