"Kamu tak bisa menjawab pertanyaanku 'kan? Kenapa? Apa kamu sudah mulai jatuh cinta juga pada wanita jelek itu? Adik dan kakak sama saja! Kalau kamu seperti ini, aku tak ingin lagi hidup bersamamu. Ceraikan saja aku! Aku sudah muak hidup denganmu!" bentak Vella. Dia pun pergi ke kamar meninggalkan Rony yang masih diam.
Rony duduk termenung sendirian. Bahkan dia tak berniat menyusul istri cantiknya yang sedang merajuk di kamar. Entah kenapa, yang dirasakan saat ini hatinya mulai lelah.
Bagaimanapun dia juga manusia biasa, ingin memiliki rumah tangga yang normal dan bahagia. Hal yang tadinya sama sekali tak pernah ada dalam angan-angan, sekarang ini sangat diharapkan. Sesuatu yang sama sekali tak ada dalam b
Hai, jangan lupa like dan follownya ya đ
Naila memandang suaminya yang mulai berjalan mendekat ke arahnya. Wajah Riko kali ini terlihat serius dan sedikit menakutkan baginya. Naila melangkah mundur, membuat jarak dengan Riko yang sudah berdiri tepat di hadapannya. Hati Naila berdebar dan perasaan takut mulai menguasai dirinya."Kenapa, Sayang. Apa kamu takut padaku?" Riko semakin maju mendekati istrinya yang mulai ketakutan."Mas, ka-kamu mau apa? Wa-wajahmu tak seperti biasanya. Ka-kamu membuatku takut, Mas. To-tolong menjauhlah," pinta Naila dengan suara yang gemetar dan sangat gugup karena takut.Riko semakin mendekat dan mengikis jarak di antara mereka. Naila tak bisa mundur lagi dan dia hanya memejamkan mata tak mau memandang suaminya. Namun, tangan Riko mendekap erat tubuhnya dan menciumi seluruh wajahnya. Akhirnya Naila hanya bisa menahan tawa."Kamu jahat! Aku sudah takut banget tahu nggak? Lihat saja badanku sampai gemetaran," ucap Naila dan langsung memasang wajah cemberut.
Seorang wanita cantik dan anggun berdiri di hadapannya. Naila diam memperhatikan. Namun, pandangannya tertuju pada seorang anak laki-laki yang digandeng wanita yang bernama Cintya. Wajahnya sangat tampan dan yang membuat Naila tercengang, wajah anak itu mirip sekali dengan ... suaminya."Apa kabar, Riko?" tanya Cintya."Alhamdulillah, baik. Maaf, ini siapa?" Riko memperhatikan anak kecil itu, dia pun terkejut melihat wajahnya yang sangat mirip dengannya."Hemm ... dia putraku. Sudah lama sekali kita tak bertemu. Aku ingin sekali bicara denganmu, Riko. Kapan kamu ada waktu?" Cintya tak ingin pertemuannya dengan Riko sia-sia. Ada sesuatu yang sangat ingin disampaikannya."Nanti sore atau besok pagi, insyaa Allah aku di rumah. Oh, ya, perkenalkan ini istriku," jawab Riko sambil memperkenalkan Naila pada Cintya."Naila ...." ucap Naila memperkenalkan dirinya."Cintya ...." balas Cintya dengan senyum ramah."Baiklah, nanti sore
"Dan kedatanganku ke sini, yang pertama aku minta maaf karena sudah menjadi orang ketiga dalam rumah tangga orang tua kalian. Dan yang kedua, maafkan aku sekali lagi. Tapi kali ini aku terpaksa melakukannya. Riko, aku ingin menitipkan Bara padamu."Cintya menundukkan kepalanya tanpa berani memandang orang-orang di hadapannya. Dia sadar, ucapannya akan membuat masalah. Riko adalah teman akrab kakaknya yang sudah meninggal dunia lima tahun yang lalu. Atas bantuan Riko, dia juga bisa bekerja di perusahaan papanya.Namun, bukannya berterima kasih, dirinya malah menjadi duri dalam rumah tangga orang tuanya. Bahkan mungkin saat ini sudah menjadi duri dalam rumah tangga Riko sendiri karena sudah menitipkan Bara padanya."Kejutan apa lagi yang kamu berikan pada kami? Setelah memperkenalkan Bara sebagai adikku, lalu sekarang tiba-tiba kamu ingin menitipkannya padaku?" Riko berdiri, berbicara pada Cintya dengan emosi, merasa wanita di depannya bertindak seenak
Setelah mengambil barang-barang milik Bara dan meletakkan di kamar tamu, Cintya langsung berpamitan. Bahkan Cintya tak menunggu Bara dan Rony pulang. Riko dan Naila terpaksa mengiakan saja, apalagi alasan Cintya agar Bara tak menangis saat melihat dirinya pergi meninggalkannya.Rony dan Bara akhirnya pulang dengan membawa satu kantong plastik putih berisi es krim dan cemilan. Bara duduk lalu menikmati es krimnya dengan ceria. Bahkan dia sama sekali tak menanyakan keberadaan mamanya. Riko, Rony, dan juga Naila heran, anak sekecil itu bersikap biasa saja tanpa takut dengan orang-orang yang tak dikenalnya."Sepertinya Bara sudah terbiasa tanpa mamanya. Lihatlah, dia makan dengan tenang tanpa peduli di mana dan dengan siapa." Naila berkata sambil terus memandang Bara dengan rasa iba."Iya, perkiraanku juga seperti itu. Sewaktu berangkat, dia memang hanya diam. Tapi waktu pulang, dia terus bertanya ini itu dan terlihat sangat senang," sahut Rony.
Hati Naila sebenarnya merasa was-was, apa yang akan mereka lakukan padanya. Namun, Naila tak boleh memperlihatkan kalau dirinya ketakutan. Kali ini dia harus berani melawan meskipun sendirian.Mereka mencengkeram tubuh mungil Naila dan memaksanya berdiri. Naila pun terpaksa mengikuti kemauan mereka. Namun, di saat Clara ingin menarik jilbab yang dipakai Naila, suara Bara membuyarkan aksinya."Jangan sakiti Kak Naila!" teriak Bara membela Naila.Para wanita cantik itu pun mengalihkan pandangan secara bersamaan ke arah Bara. Di saat mereka lengah, Naila melepaskan diri dari cengkeraman mereka.Bruukk!Clara dan Vella terjatuh, terdorong tubuh Naila. Bara pun melempari mereka dengan mainannya. Vella dan teman-temannya berteriak histeris karena sebagian mainannya mengenai wajah mereka. Melihat semua itu, Bara semakin semangat melancarkan aksinya sambil tertawa."Sudah, Bara. Jangan diteruskan lagi, kasihan wajah mereka terluka. Sudah, ya,"
Terlihat oleh Naila, tangan Riko mengepal menahan marah. Pandangan matanya pun lurus dan tajam seolah ada musuh di depannya. Apa sebenarnya yang sudah dilakukan Vella? Naila merasa ada rahasia yang disembunyikan oleh suaminya. Dan Rony pun tak mengetahuinya."Sayang, sudah mau maghrib. Mandi dulu terus ke mushola, ya. Jangan melamun," tegur Naila.Riko tersadar dari lamunan. Dia pun kembali memeluk Naila dan mencium keningnya. Lama Riko terdiam, bahkan semakin mempererat pelukan. Naila membiarkannya karena dia pun tak tahu apa yang sedang dipikirkan suaminya. Biarlah dia menunggu sampai Riko sendiri yang menceritakannya.Setelah sholat, Naila segera menyiapkan makan malam untuk Riko dan adiknya. Mereka makan bersama sambil sesekali mendengar celotehan Bara. Riko pun mulai menerima dan menyayangi adiknya. Apalagi wajah mereka sangat mirip, Bara seperti cerminan kecil dirinya.Setelah selesai makan malam, Bara kembali bermain ke kama
Terpaksa Vella dan Clara kembali ke dalam mobil dengan kecewa. Mereka sangat geram, tak menyangka Riko begitu menjaga Naila. Ternyata niat jahat mereka tak mudah. Membuat mereka berpikir keras dan kembali menyusun rencana lainnya."Baru kali ini aku melihat Riko sebucin ini. Rencana kita nggak akan mudah. Kita harus menyuruh orang lain biar nggak ketahuan. Kalau kita yang menemui Naila, pasti dia langsung menghubungi suaminya," saran Clara pada Vella yang terlihat masih kesal."Betul juga saranmu. Baiklah aku setuju, kita harus mencari orang lain untuk menjalankan misi kita," sahut Vella."Rasanya aku tak sabar melihat Naila menderita. Tak perlu kita sampai menyiksanya, aku juga tak ingin masuk penjara," balas Clara."Iya aku tahu, aku hanya ingin membuat dia diusir suaminya. Asal wanita kampung itu sudah keluar dari rumah itu, aku lega. Aku ada rencana baru. Dan aku yakin rencanaku pasti berhasil. Tolong bantu aku, ya." Vella membisikkan rencananya
Di sebuah kamar hotel kelas melati, seorang laki-laki tampan dan gagah sedang gelisah. Sesekali memandang wanita yang terbaring di ranjang dengan rasa iba. Dirinya bingung harus bagaimana. Menuruti perintah orang yang membayarnya atau tak lagi mempedulikannya.Hampir satu jam dia menunggu, namun wanita itu belum siuman dari pingsannya. Dari tadi terdengar suara ponsel dari dalam tasnya. Setelah berpikir, dia pun segera mengambil dan mengangkat telepon yang terus menerus berdering tiada hentinya."Assalamu'alaykum, Naila. Sudah sampai rumah 'kan, Sayang?" tanya seseorang di seberang sana."Maaf, Pak. Istri Anda pingsan. Silakan temui di hotel melati kamar 102 di tengah kota," jawabnya. Akhirnya dia memutuskan memberitahukan keberadaan Naila."Kenapa istri saya bisa pingsan dan di hotel? Siapa Anda?" tanya Riko dengan nada tinggi."Maaf, Pak. Sebaiknya Anda segera ke sini. Nanti saya jelaskan. Kalau bisa secepatnya, saya tak bisa berlama-lama," balas
Ruang tamu rumah Riko telah dihias sedemikian rupa. Seorang lelaki dalam setelan jas pengantin berwarna putih telah duduk bersila di depan sebuah meja kecil.Yakub dan seorang penghulu berpeci hitam tampak berbincang akrab. Ronyâsang mempelai pria, tertunduk dengan bibir komat-kamit melafalkan kalimat ijab qobul. Kedua tangannya saling remas, berkeringat, menandakan jika dirinya tengah gugup. Riko yang memperhatikan gerak-gerik Rony sedari tadi lekas menghampiri."Tenang, tarik nafas, keluarkan. Jangan sampai salah. Kalau sampai salah tiga kali, nggak jadi nikah sama Sarah."Mendengar kalimat terakhir Riko, tangan Rony memukul bahu Riko."Aku tegang malah sempat-sempatnya kamu bercanda!" Riko hanya terkekeh melihat ekspresi wajah kakaknya. Hingga beberapa menit kemudian, penghulu memberi kode bahwa acara akan segera dimulai.Ruangan mendadak hening, penghulu memulai acara dengan do'a lalu dilanjutkan dengan beberapa kalimat pembukaan, yang ditujukan kepada seluruh tamu undangan.Sem
Riko terkejut, sontak dia menoleh melihat ekspresi wajah istrinya. Naila terdiam. Sebenarnya dia sama terkejutnya dengan Riko tapi tidak tahu harus berekspresi bagaimana. Naila membalas memandang Riko dengan rasa penasaran. Ada apa tiba-tiba Daffa datang ke rumah mereka? Mendengar nama Daffa disebut oleh Bi Marni, seketika semua orang turut berdiri. Namun, Riko melarang semua orang yang akan turut serta menemui Daffa."Biar saya saja sama Naila yang menemui Daffa."Riko beranjak lalu meraih tangan Naila yang tampak enggan mengikutinya. Riko paham. Dia menunduk lalu berbisik lirih di telinga Naila."Tidak apa-apa, Sayang. Aku percaya padamu."Naila mengangguk dan tersenyum mendengar sebaris kalimat yang baru saja keluar dari bibir Riko. Ada rasa hangat yang menjalar dalam hatinya, membuat kedua bola mata indahnya mengembun.Dengan lembut, Riko membelai kedua pipi Naila. Tanpa sadar, Riko melakukannya di hadapan semua orang."Maaf, ya. Jangan menangis lagi nanti cantiknya hilang."Nai
"Maaf, Mas ... aku hanya terlalu bahagia mendengar kabar ini. Aku baik-baik saja."Setelah siuman, Naila tersenyum sambil memandang kedua orang di hadapannya. Riko masih memegang erat tangannya. Sementara Sarah memijit kedua kakinya dengan lembut. Marni membawakan air madu hangat dan sepiring nasi untuk Naila."Makan dulu, Mbak. Dari kemarin Mbak Naila belum makan. Bibi masakin sayur sop daging kesukaan Mbak Naila. Jangan menyiksa diri sendiri, Mbak. Kasihan Den Riko juga, jadi ikut-ikutan nggak mau makan."Mendengar ucapan Marni, Naila langsung memandang suaminya dengan tatapan penuh rasa bersalah. Riko mengecup lembut jemari Naila dan tersenyum."Maafkan aku, Mas. Aku sudah keterlaluan," ucap Naila penuh penyesalan."Tidak, Sayang ... aku memang salah. Aku pantas mendapatkan hukuman darimu, bahkan mungkin harusnya hukumannya lebih berat dari ini. Selama kamu nggak mau makan, maka selama itu pula aku juga nggak akan makan."
"Sudahlah, ayo kita segera pergi. Kita lihat saja langsung keadaan Naila." Yakub langsung mengajak mereka segera berangkat, membuat Riko merasa lega."Ya, Kakak benar. Aku akan bersiap dulu." Sarah beranjak dari kursi dan berjalan menuju kamarnya."Jangan lama-lama, mentang-mentang ada calon suami nanti ganti bajunya nggak kelar-kelar." Yakub menggoda adiknya, membuat Rony tersenyum."Ish, Kakak ini apa-apaan, sih!" Sarah pun langsung menutup pintu kamarnya dengan kedua pipi yang merona.Mereka berangkat bersama dengan kendaraan roda duanya masing-masing. Rony bersama Riko dan Yakub berboncengan dengan Sarah. Rasa bahagia terpancar pada wajah ketiga orang itu, kecuali Riko yang sedih akibat ulahnya sendiri.Setelah sampai, Riko mengajak Sarah masuk ke kamar menemui istrinya. Terlihat oleh Riko, Naila sedang duduk di sofa dekat jendela sambil mengaji. Hanya itu kegiatan yang dilakukan Naila selama di kamar. "Sayang, lihat si
"Silakan diminum tehnya, Kak." Sarah meletakkan dua buah cangkir teh hangat di atas meja untuk Riko dan Rony. "Terima kasih, Sarah." Rony membalas ucapan Sarah sambil tersenyum. Yakub hanya memandang kedua kakak beradik itu dengan penuh tanda tanya, apalagi Naila tak ikut bersama mereka. "Maaf, Yakub, kedatangan kami ke sini, untuk meminta penjelasan dari kalian soal foto-foto ini. Naila sedang difitnah seseorang dan sekarang dia sedang sedih sampai selalu mengurung diri di kamarnya."Rony menyerahkan ponsel milik Riko pada Yakub. Sarah yang penasaran akhirnya mendekati kakaknya dan ikut melihat foto-foto yang ada di galeri ponsel milik Riko. "Ini kan foto-foto kita saat sedang di food court? Ini kita lagi di bank dan ini foto kita lagi di warung nasi rawon. Banyak sekali foto-fotonya tapi di situ kok cuma ada Naila dan Kak Yakub saja?"Sarah langsung memberi komentar mengenai foto-foto yang dilihatnya. Yakub pun langsung mengangg
Setelah pulang dari rumah sakit, Riko selalu menemani Naila di mana pun dia berada. Semua pekerjaan, diserahkan kembali pada asistennya dulu. Riko sangat mengkhawatirkan istrinya, karena sikap Naila tak seperti biasanya. Naila lebih sering melamun, duduk di sofa sambil memandang ke arah luar jendela. "Sayang ... hari ini waktunya kamu ke klinik kecantikan. Aku akan mengantarmu dan menunggumu sampai pulang. Bagaimana kalau nanti kita pergi ke mall?" tanya Riko sambil mengelus lembut pipi istrinya. "Maaf, Mas, kepalaku pusing. Aku ingin di rumah saja." Naila membalas ucapan Riko tanpa memandang suaminya. "Naila, sudah beberapa minggu ini kamu selalu di rumah. Jangan mengurung diri di kamar terus dong, Sayang. Aku akan menemanimu ke mana pun kamu mau." Riko memegang lembut tangan Naila dan berusaha membujuk istrinya agar mau pergi. "Aku mau sholat dhuha dulu, ya, Mas. Maaf, Mas, aku benar-benar sedang ingin di rumah saja."Naila beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju kamar mandi
"Aku nggak tahu, Sayang. Aku sudah menyuruh seseorang mengecek nomer ponsel itu tapi sepertinya kartunya langsung dibuang atau mungkin dihancurkan oleh pemiliknya. " Mas, apakah penampilanku seperti seorang pezina, sampai kamu percaya dengan tuduhannya?""Astaghfirullah ... maafkan aku, Sayang. Terserah kamu mau bilang apa saja padaku, yang pasti aku menyesal. Sekali lagi, maafkan aku, Naila. Maafkan suamimu yang bodoh ini.""Aku berjanji padamu, Mas. Setelah ini, aku tak akan pergi ke mana pun sendirian, kecuali kamu yang mengajakku.""Naila ....""Tolong hargai keputusanku ini, Mas. Aku lelah dengan manusia-manusia yang terlalu mencampuri urusanku."Setelah menyampaikan keputusannya pada Riko, Naila beranjak pergi ke kamar mandi. Riko akhirnya diam dan menyesali perbuatannya. Untuk sementara, biarlah Riko menerima keputusan Naila. Mungkin lebih baik seperti ini, Naila tak akan pergi keluar rumah tanpa dirinya. R
"Bukan begitu, Pak Supri. Maaf ... jangan salah paham dulu. Saya sama sekali tidak memata-matai Naila. Saya mendapatkan foto-foto ini dari nomer yang tidak saya kenal. Justru itu, saya ingin menanyakan pada Pak Supri, apa Bapak kenal dengan laki-laki ini? Dan kenapa Naila hanya berdua saja? Ke mana Pak Supri dan Sarah?" Riko pun menjelaskan dan meminta penjelasan pada Supri. "Astaghfirullah ... ini fitnah, Den. Mbak Naila tidak berdua saja dengan Mas Yakub. Saya dan Mbak Sarah ada di sana. Kemungkinan foto ini diambil saat Mbak Sarah ke kamar mandi dan saya memang nggak pernah mau duduk satu meja dengan mereka. Saya duduk sendiri tapi tetap mengawasi Mbak Naila, Den. Saya sadar diri, saya hanya asisten rumah tangga, nggak pantas rasanya satu meja dengan majikan." Supri bicara apa adanya. "Lalu Daffa, kenapa ada di warung itu juga? Apa itu juga kebetulan?" Riko masih saja tak percaya. "Memang semua itu kebetulan, Den. Temannya Mbak Naila sedang ada janji dengan temannya di warung it
"Assalamu'alaikum, Sayang. Hemm ... cantik sekali istriku hari ini. Aku benar-benar rindu.""Wa'alaikumussalaam ... aku juga rindu, Mas."Naila langsung memeluk suaminya yang sudah sampai di rumah. Riko dan Naila menuju kamar tidur mereka karena waktu pun sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Riko langsung menggendong tubuh mungil istrinya, kemudian merebahkannya di ranjang. Naila mengerti apa yang diinginkan suaminya tercinta. Dia pun membalas semua sentuhan yang diberikan Riko padanya. Akan tetapi, perlakuan Riko padanya kali ini berbeda. Naila berpikir, mungkin saat ini suaminya terlalu rindu padanya. Namun, semakin lama Riko semakin kasar dan brutal. Bahkan saat ini Naila sudah tak lagi bisa menikmati surganya. Naila merasa, yang sedang bersamanya bukanlah suami yang selama ini sangat dicintainya. "Mas ... sakiittt ... tolong hentikan ...."Naila merintih dan mencoba menghentika