"Sayang, sudah mau maghrib. Mandi dulu terus ke mushola, ya. Jangan melamun," tegur Naila.
Riko tersadar dari lamunan. Dia pun kembali memeluk Naila dan mencium keningnya. Lama Riko terdiam, bahkan semakin mempererat pelukan. Naila membiarkannya karena dia pun tak tahu apa yang sedang dipikirkan suaminya. Biarlah dia menunggu sampai Riko sendiri yang menceritakannya.
Setelah sholat, Naila segera menyiapkan makan malam untuk Riko dan adiknya. Mereka makan bersama sambil sesekali mendengar celotehan Bara. Riko pun mulai menerima dan menyayangi adiknya. Apalagi wajah mereka sangat mirip, Bara seperti cerminan kecil dirinya.
Setelah selesai makan malam, Bara kembali bermain ke kama
Terpaksa Vella dan Clara kembali ke dalam mobil dengan kecewa. Mereka sangat geram, tak menyangka Riko begitu menjaga Naila. Ternyata niat jahat mereka tak mudah. Membuat mereka berpikir keras dan kembali menyusun rencana lainnya."Baru kali ini aku melihat Riko sebucin ini. Rencana kita nggak akan mudah. Kita harus menyuruh orang lain biar nggak ketahuan. Kalau kita yang menemui Naila, pasti dia langsung menghubungi suaminya," saran Clara pada Vella yang terlihat masih kesal."Betul juga saranmu. Baiklah aku setuju, kita harus mencari orang lain untuk menjalankan misi kita," sahut Vella."Rasanya aku tak sabar melihat Naila menderita. Tak perlu kita sampai menyiksanya, aku juga tak ingin masuk penjara," balas Clara."Iya aku tahu, aku hanya ingin membuat dia diusir suaminya. Asal wanita kampung itu sudah keluar dari rumah itu, aku lega. Aku ada rencana baru. Dan aku yakin rencanaku pasti berhasil. Tolong bantu aku, ya." Vella membisikkan rencananya
Di sebuah kamar hotel kelas melati, seorang laki-laki tampan dan gagah sedang gelisah. Sesekali memandang wanita yang terbaring di ranjang dengan rasa iba. Dirinya bingung harus bagaimana. Menuruti perintah orang yang membayarnya atau tak lagi mempedulikannya.Hampir satu jam dia menunggu, namun wanita itu belum siuman dari pingsannya. Dari tadi terdengar suara ponsel dari dalam tasnya. Setelah berpikir, dia pun segera mengambil dan mengangkat telepon yang terus menerus berdering tiada hentinya."Assalamu'alaykum, Naila. Sudah sampai rumah 'kan, Sayang?" tanya seseorang di seberang sana."Maaf, Pak. Istri Anda pingsan. Silakan temui di hotel melati kamar 102 di tengah kota," jawabnya. Akhirnya dia memutuskan memberitahukan keberadaan Naila."Kenapa istri saya bisa pingsan dan di hotel? Siapa Anda?" tanya Riko dengan nada tinggi."Maaf, Pak. Sebaiknya Anda segera ke sini. Nanti saya jelaskan. Kalau bisa secepatnya, saya tak bisa berlama-lama," balas
"Sekarang tolong kirim foto-fotonya ke ponselku," perintah Clara pada Bagas."Maaf, kali ini tak ada foto," sahut Bagas."Apa? Sudah hampir dua jam di kamar ini dan tak ada foto satu pun? Apa maksudmu?" tanya Vella mulai marah."Ya, aku sama sekali tak melakukan apa-apa padanya. Naila adalah sahabatku, aku tak ingin menyakitinya." Bagas berkata sejujurnya pada mereka.Bagaimana Bagas bisa menyakiti Naila? Baginya Naila adalah malaikat penolongnya. Bagas yang waktu itu hampir saja putus sekolah karena tak ada biaya, Naila membantu membayarnya. Belum lagi saat ibunya sakit dan harus opname, lagi-lagi Naila yang menanggung biaya rumah sakitnya.Bagas dan Naila sudah bersahabat dari SMP. Namun, setelah lulus SMA, Bagas langsung ke kota mencari kerja. Sementara Naila melanjutkan kuliah di sebuah universitas yang tak jauh dari desanya. Dan di kamar hotel inilah mereka bertemu kembali tanpa sengaja. Karena terburu-buru, Bagas tak tahu kalau wa
Riko pun mengerti yang dimaksud Hanna dan dia meminta Bagas agar tak bercerita apapun mengenai peristiwa yang sebenarnya. Sesampainya di kamar, Riko melihat Naila yang sudah duduk dan menangis."Sayang, kenapa kamu menangis?" tanya Riko sambil memeluk tubuh Naila."Mas, maafkan aku. Semua karena kecerobohanku. Aku bahkan tak tahu kalau aku hamil. Aku yang salah. Seandainya aku tak menuruti keinginanku untuk pergi, pasti dia masih ada. Ini semua salahku, semua salahku ..." ungkap Naila sedih.Naila menumpahkan air mata di dada bidang suaminya. Riko pun semakin mempererat pelukannya. Bagas memandang mereka dengan rasa iba. Tak tega melihat Naila menderita karena kehilangan bayinya. Dalam hati dia berjanji, tak akan membiarkan Vella dan Clara menyakiti Naila lagi."Sayang, semua yang terjadi sudah menjadi kehendak Allah. Jangan menyalahkan dirimu sendiri, tak baik buat kesehatanmu. Insyaa Allah, beberapa bulan lagi kamu bisa hamil kembali. Sudah
Sudahlah, untuk masalah itu nggak usah diungkit lagi dan jangan sampai adikmu tahu. Kamu siap kalau Riko mengusirmu?" Vella pun tak mau kalah yang membuat Rony terpaksa diam."Terus terang saja aku memang belum siap. Tapi aku secepatnya akan segera mengakui kesalahanku di depan adikku. Aku yakin Naila pasti memaafkanku. Tapi untuk masalah ini, jika kamu terbukti bersalah, maaf kalau aku tak akan membantumu. Apalagi Riko bilang akan menyerahkan kasus Naila ke pihak kepolisian untuk diselidiki karena Riko sudah memiliki bukti," balas Rony yang membuat Vella cemas."Apa Riko bilang padamu bukti apa? Kejadiannya 'kan juga baru tadi pagi dan secepat itu dia sudah punya bukti?" tanya Vella. Tak dipungkiri dirinya terkejut mendengar berita ini."Kamu tahu dari mana kalau Naila mengalami kejadiannya tadi pagi?" Rony menjawab pertanyaan istrinya dengan pertanyaan yang membuat Vella panik."Eh, itu ... tadi ... tadi 'kan kamu yang bilang kalau Riko men
Tanpa basa-basi, Clara dan Vella langsung bicara setelah duduk di hadapan Bagas. Mereka terpaksa menawarkan sejumlah uang pada Bagas daripada masuk penjara. Bagas pun tersenyum, mulai memainkan perannya."Hemm ... berapa, ya? Kalau aku mau, apa kalian sanggup membayarku?" Bagas balik bertanya pada dua wanita cantik di hadapannya."Pasti aku usahakan. Tapi terus terang saja aku ragu kamu mau di pihak kami. Kemarin kamu bilang Naila sahabatmu, bahkan kamu mengancam kami. Rasanya tak mungkin kalau kamu mau mengkhianati Naila," jawab Clara terus terang."Maaf kalau aku kemarin sempat emosi. Tapi aku sekarang berubah pikiran, aku butuh uang. Seminggu yang lalu aku kalah judi, uang tabunganku tak tersisa malah aku punya hutang. Dan tadi malam dia datang menagih uangnya, aku bingung mau cari ke mana. Terpaksa uang dari kalian yang rencananya aku kembalikan, terpakai juga buat membayar sebagian hutangku," sahut Bagas."Bukankah biasanya kamu porotin
Vella tiba-tiba duduk bersimpuh di hadapan Naila. Clara akhirnya terpaksa melakukan hal yang sama. Naila hanya diam, memandang sekilas kedua wanita cantik di depannya. Menghela napas panjang, mengembuskannya perlahan, menenangkan perasaan. Naila pun berdiri, melangkahkan kaki menuju kamar tidur Bara tanpa menghiraukan keduanya.Naila mendekati Bara, memeluk erat tubuh mungil anak laki-laki balita itu. Tangisnya pecah, membuat Bara bingung dan juga sedih. Bara pun membalas pelukan Naila, seolah ikut merasakan duka kakak iparnya."Bara, di rumah saja, ya. Temani Kak Naila di kamar, kita ngobrol seperti kemarin. Minggu depan saja ikut Kak Rony. Mau ya, Sayang?" tanya Naila setelah melepas pelukan dan menghentikan tangisnya."Iya, Kak. Bara nggak akan ke mana-mana. Bara nggak mau Kak Naila sedih, Bara sayang sama Kakak. Jangan menangis lagi ya, Kak. Bara hari ini akan bermain di rumah saja sama Kak Naila," jawab Bara. Jemari mungilnya mengusap pipi Naila
Laki-laki yang sudah lama menghilang dari hidupnya dan sekarang kembali dengan tiba-tiba. Vella tersenyum, wajahnya tak lagi terlihat lesu. Dia pun langsung memeluk kekasih lamanya tanpa rasa malu."Apa kabar, Farel? Ke mana saja selama ini? Aku menunggumu tapi kamu tak pernah ada kabar lagi. Dan sekarang tiba-tiba muncul di hadapanku? Kamu hutang penjelasan padaku!" Vella berkata pada Farel tanpa melepas pelukannya. Terlihat sekali betapa rindunya Vella pada kekasih lamanya."Sabar ... bagaimana kalau kita cari tempat yang nyaman untuk bicara, di sini berisik," saran Farel sambil tersenyum melihat tingkah Vella."Baiklah, ayo kita ke kafe sebelah," sahut Vella tak sabar dan melepas pelukannya."Bagaimana dengan Clara?" tanya Farel."Dari mana kamu tahu aku ke sini dengan Clara?" "Aku sudah melihat kalian sebelum masuk ke sini tadi. Makanya aku langsung menemuimu," jawab Farel."Biar nanti aku kirim pesan saja ke p
Ruang tamu rumah Riko telah dihias sedemikian rupa. Seorang lelaki dalam setelan jas pengantin berwarna putih telah duduk bersila di depan sebuah meja kecil.Yakub dan seorang penghulu berpeci hitam tampak berbincang akrab. Rony—sang mempelai pria, tertunduk dengan bibir komat-kamit melafalkan kalimat ijab qobul. Kedua tangannya saling remas, berkeringat, menandakan jika dirinya tengah gugup. Riko yang memperhatikan gerak-gerik Rony sedari tadi lekas menghampiri."Tenang, tarik nafas, keluarkan. Jangan sampai salah. Kalau sampai salah tiga kali, nggak jadi nikah sama Sarah."Mendengar kalimat terakhir Riko, tangan Rony memukul bahu Riko."Aku tegang malah sempat-sempatnya kamu bercanda!" Riko hanya terkekeh melihat ekspresi wajah kakaknya. Hingga beberapa menit kemudian, penghulu memberi kode bahwa acara akan segera dimulai.Ruangan mendadak hening, penghulu memulai acara dengan do'a lalu dilanjutkan dengan beberapa kalimat pembukaan, yang ditujukan kepada seluruh tamu undangan.Sem
Riko terkejut, sontak dia menoleh melihat ekspresi wajah istrinya. Naila terdiam. Sebenarnya dia sama terkejutnya dengan Riko tapi tidak tahu harus berekspresi bagaimana. Naila membalas memandang Riko dengan rasa penasaran. Ada apa tiba-tiba Daffa datang ke rumah mereka? Mendengar nama Daffa disebut oleh Bi Marni, seketika semua orang turut berdiri. Namun, Riko melarang semua orang yang akan turut serta menemui Daffa."Biar saya saja sama Naila yang menemui Daffa."Riko beranjak lalu meraih tangan Naila yang tampak enggan mengikutinya. Riko paham. Dia menunduk lalu berbisik lirih di telinga Naila."Tidak apa-apa, Sayang. Aku percaya padamu."Naila mengangguk dan tersenyum mendengar sebaris kalimat yang baru saja keluar dari bibir Riko. Ada rasa hangat yang menjalar dalam hatinya, membuat kedua bola mata indahnya mengembun.Dengan lembut, Riko membelai kedua pipi Naila. Tanpa sadar, Riko melakukannya di hadapan semua orang."Maaf, ya. Jangan menangis lagi nanti cantiknya hilang."Nai
"Maaf, Mas ... aku hanya terlalu bahagia mendengar kabar ini. Aku baik-baik saja."Setelah siuman, Naila tersenyum sambil memandang kedua orang di hadapannya. Riko masih memegang erat tangannya. Sementara Sarah memijit kedua kakinya dengan lembut. Marni membawakan air madu hangat dan sepiring nasi untuk Naila."Makan dulu, Mbak. Dari kemarin Mbak Naila belum makan. Bibi masakin sayur sop daging kesukaan Mbak Naila. Jangan menyiksa diri sendiri, Mbak. Kasihan Den Riko juga, jadi ikut-ikutan nggak mau makan."Mendengar ucapan Marni, Naila langsung memandang suaminya dengan tatapan penuh rasa bersalah. Riko mengecup lembut jemari Naila dan tersenyum."Maafkan aku, Mas. Aku sudah keterlaluan," ucap Naila penuh penyesalan."Tidak, Sayang ... aku memang salah. Aku pantas mendapatkan hukuman darimu, bahkan mungkin harusnya hukumannya lebih berat dari ini. Selama kamu nggak mau makan, maka selama itu pula aku juga nggak akan makan."
"Sudahlah, ayo kita segera pergi. Kita lihat saja langsung keadaan Naila." Yakub langsung mengajak mereka segera berangkat, membuat Riko merasa lega."Ya, Kakak benar. Aku akan bersiap dulu." Sarah beranjak dari kursi dan berjalan menuju kamarnya."Jangan lama-lama, mentang-mentang ada calon suami nanti ganti bajunya nggak kelar-kelar." Yakub menggoda adiknya, membuat Rony tersenyum."Ish, Kakak ini apa-apaan, sih!" Sarah pun langsung menutup pintu kamarnya dengan kedua pipi yang merona.Mereka berangkat bersama dengan kendaraan roda duanya masing-masing. Rony bersama Riko dan Yakub berboncengan dengan Sarah. Rasa bahagia terpancar pada wajah ketiga orang itu, kecuali Riko yang sedih akibat ulahnya sendiri.Setelah sampai, Riko mengajak Sarah masuk ke kamar menemui istrinya. Terlihat oleh Riko, Naila sedang duduk di sofa dekat jendela sambil mengaji. Hanya itu kegiatan yang dilakukan Naila selama di kamar. "Sayang, lihat si
"Silakan diminum tehnya, Kak." Sarah meletakkan dua buah cangkir teh hangat di atas meja untuk Riko dan Rony. "Terima kasih, Sarah." Rony membalas ucapan Sarah sambil tersenyum. Yakub hanya memandang kedua kakak beradik itu dengan penuh tanda tanya, apalagi Naila tak ikut bersama mereka. "Maaf, Yakub, kedatangan kami ke sini, untuk meminta penjelasan dari kalian soal foto-foto ini. Naila sedang difitnah seseorang dan sekarang dia sedang sedih sampai selalu mengurung diri di kamarnya."Rony menyerahkan ponsel milik Riko pada Yakub. Sarah yang penasaran akhirnya mendekati kakaknya dan ikut melihat foto-foto yang ada di galeri ponsel milik Riko. "Ini kan foto-foto kita saat sedang di food court? Ini kita lagi di bank dan ini foto kita lagi di warung nasi rawon. Banyak sekali foto-fotonya tapi di situ kok cuma ada Naila dan Kak Yakub saja?"Sarah langsung memberi komentar mengenai foto-foto yang dilihatnya. Yakub pun langsung mengangg
Setelah pulang dari rumah sakit, Riko selalu menemani Naila di mana pun dia berada. Semua pekerjaan, diserahkan kembali pada asistennya dulu. Riko sangat mengkhawatirkan istrinya, karena sikap Naila tak seperti biasanya. Naila lebih sering melamun, duduk di sofa sambil memandang ke arah luar jendela. "Sayang ... hari ini waktunya kamu ke klinik kecantikan. Aku akan mengantarmu dan menunggumu sampai pulang. Bagaimana kalau nanti kita pergi ke mall?" tanya Riko sambil mengelus lembut pipi istrinya. "Maaf, Mas, kepalaku pusing. Aku ingin di rumah saja." Naila membalas ucapan Riko tanpa memandang suaminya. "Naila, sudah beberapa minggu ini kamu selalu di rumah. Jangan mengurung diri di kamar terus dong, Sayang. Aku akan menemanimu ke mana pun kamu mau." Riko memegang lembut tangan Naila dan berusaha membujuk istrinya agar mau pergi. "Aku mau sholat dhuha dulu, ya, Mas. Maaf, Mas, aku benar-benar sedang ingin di rumah saja."Naila beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju kamar mandi
"Aku nggak tahu, Sayang. Aku sudah menyuruh seseorang mengecek nomer ponsel itu tapi sepertinya kartunya langsung dibuang atau mungkin dihancurkan oleh pemiliknya. " Mas, apakah penampilanku seperti seorang pezina, sampai kamu percaya dengan tuduhannya?""Astaghfirullah ... maafkan aku, Sayang. Terserah kamu mau bilang apa saja padaku, yang pasti aku menyesal. Sekali lagi, maafkan aku, Naila. Maafkan suamimu yang bodoh ini.""Aku berjanji padamu, Mas. Setelah ini, aku tak akan pergi ke mana pun sendirian, kecuali kamu yang mengajakku.""Naila ....""Tolong hargai keputusanku ini, Mas. Aku lelah dengan manusia-manusia yang terlalu mencampuri urusanku."Setelah menyampaikan keputusannya pada Riko, Naila beranjak pergi ke kamar mandi. Riko akhirnya diam dan menyesali perbuatannya. Untuk sementara, biarlah Riko menerima keputusan Naila. Mungkin lebih baik seperti ini, Naila tak akan pergi keluar rumah tanpa dirinya. R
"Bukan begitu, Pak Supri. Maaf ... jangan salah paham dulu. Saya sama sekali tidak memata-matai Naila. Saya mendapatkan foto-foto ini dari nomer yang tidak saya kenal. Justru itu, saya ingin menanyakan pada Pak Supri, apa Bapak kenal dengan laki-laki ini? Dan kenapa Naila hanya berdua saja? Ke mana Pak Supri dan Sarah?" Riko pun menjelaskan dan meminta penjelasan pada Supri. "Astaghfirullah ... ini fitnah, Den. Mbak Naila tidak berdua saja dengan Mas Yakub. Saya dan Mbak Sarah ada di sana. Kemungkinan foto ini diambil saat Mbak Sarah ke kamar mandi dan saya memang nggak pernah mau duduk satu meja dengan mereka. Saya duduk sendiri tapi tetap mengawasi Mbak Naila, Den. Saya sadar diri, saya hanya asisten rumah tangga, nggak pantas rasanya satu meja dengan majikan." Supri bicara apa adanya. "Lalu Daffa, kenapa ada di warung itu juga? Apa itu juga kebetulan?" Riko masih saja tak percaya. "Memang semua itu kebetulan, Den. Temannya Mbak Naila sedang ada janji dengan temannya di warung it
"Assalamu'alaikum, Sayang. Hemm ... cantik sekali istriku hari ini. Aku benar-benar rindu.""Wa'alaikumussalaam ... aku juga rindu, Mas."Naila langsung memeluk suaminya yang sudah sampai di rumah. Riko dan Naila menuju kamar tidur mereka karena waktu pun sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Riko langsung menggendong tubuh mungil istrinya, kemudian merebahkannya di ranjang. Naila mengerti apa yang diinginkan suaminya tercinta. Dia pun membalas semua sentuhan yang diberikan Riko padanya. Akan tetapi, perlakuan Riko padanya kali ini berbeda. Naila berpikir, mungkin saat ini suaminya terlalu rindu padanya. Namun, semakin lama Riko semakin kasar dan brutal. Bahkan saat ini Naila sudah tak lagi bisa menikmati surganya. Naila merasa, yang sedang bersamanya bukanlah suami yang selama ini sangat dicintainya. "Mas ... sakiittt ... tolong hentikan ...."Naila merintih dan mencoba menghentika