Tanpa basa-basi, Clara dan Vella langsung bicara setelah duduk di hadapan Bagas. Mereka terpaksa menawarkan sejumlah uang pada Bagas daripada masuk penjara. Bagas pun tersenyum, mulai memainkan perannya."Hemm ... berapa, ya? Kalau aku mau, apa kalian sanggup membayarku?" Bagas balik bertanya pada dua wanita cantik di hadapannya."Pasti aku usahakan. Tapi terus terang saja aku ragu kamu mau di pihak kami. Kemarin kamu bilang Naila sahabatmu, bahkan kamu mengancam kami. Rasanya tak mungkin kalau kamu mau mengkhianati Naila," jawab Clara terus terang."Maaf kalau aku kemarin sempat emosi. Tapi aku sekarang berubah pikiran, aku butuh uang. Seminggu yang lalu aku kalah judi, uang tabunganku tak tersisa malah aku punya hutang. Dan tadi malam dia datang menagih uangnya, aku bingung mau cari ke mana. Terpaksa uang dari kalian yang rencananya aku kembalikan, terpakai juga buat membayar sebagian hutangku," sahut Bagas."Bukankah biasanya kamu porotin
Vella tiba-tiba duduk bersimpuh di hadapan Naila. Clara akhirnya terpaksa melakukan hal yang sama. Naila hanya diam, memandang sekilas kedua wanita cantik di depannya. Menghela napas panjang, mengembuskannya perlahan, menenangkan perasaan. Naila pun berdiri, melangkahkan kaki menuju kamar tidur Bara tanpa menghiraukan keduanya.Naila mendekati Bara, memeluk erat tubuh mungil anak laki-laki balita itu. Tangisnya pecah, membuat Bara bingung dan juga sedih. Bara pun membalas pelukan Naila, seolah ikut merasakan duka kakak iparnya."Bara, di rumah saja, ya. Temani Kak Naila di kamar, kita ngobrol seperti kemarin. Minggu depan saja ikut Kak Rony. Mau ya, Sayang?" tanya Naila setelah melepas pelukan dan menghentikan tangisnya."Iya, Kak. Bara nggak akan ke mana-mana. Bara nggak mau Kak Naila sedih, Bara sayang sama Kakak. Jangan menangis lagi ya, Kak. Bara hari ini akan bermain di rumah saja sama Kak Naila," jawab Bara. Jemari mungilnya mengusap pipi Naila
Laki-laki yang sudah lama menghilang dari hidupnya dan sekarang kembali dengan tiba-tiba. Vella tersenyum, wajahnya tak lagi terlihat lesu. Dia pun langsung memeluk kekasih lamanya tanpa rasa malu."Apa kabar, Farel? Ke mana saja selama ini? Aku menunggumu tapi kamu tak pernah ada kabar lagi. Dan sekarang tiba-tiba muncul di hadapanku? Kamu hutang penjelasan padaku!" Vella berkata pada Farel tanpa melepas pelukannya. Terlihat sekali betapa rindunya Vella pada kekasih lamanya."Sabar ... bagaimana kalau kita cari tempat yang nyaman untuk bicara, di sini berisik," saran Farel sambil tersenyum melihat tingkah Vella."Baiklah, ayo kita ke kafe sebelah," sahut Vella tak sabar dan melepas pelukannya."Bagaimana dengan Clara?" tanya Farel."Dari mana kamu tahu aku ke sini dengan Clara?" "Aku sudah melihat kalian sebelum masuk ke sini tadi. Makanya aku langsung menemuimu," jawab Farel."Biar nanti aku kirim pesan saja ke p
Farel pun berdiri dan tak ingin lagi melanjutkan pembicaraan masa lalu yang pasti berujung perdebatan. Bahkan setelah beberapa tahun tak bertemu, kembali masalah itu yang dibicarakan. Masalah cinta yang tak berakhir dengan pernikahan karena harta yang belum dimilikinya seperti sekarang."Suamiku sudah tak sayang lagi padaku, untuk apa aku pulang cepat. Mau aku pulang pagi juga Rony tak peduli." Vella bicara dengan suara perlahan, seolah dirinya istri yang tak lagi diperhatikan."Mungkin dia bukan tak peduli atau tak sayang lagi. Mungkin dia sudah lelah menasihatimu. Benar "kan ucapanku?" Vella semakin kesal mendengar ucapan Farel."Kenapa kamu jadi membelanya?" Vella terlihat mulai marah. Bagaimana bisa laki-laki yang masih sangat dicintainya berkata seperti itu padanya."Bukan begitu, hanya saja sebagai laki-laki, aku tahu perasaannya. Dia pasti ingin malam minggu seperti ini ditemani istrinya," ucap Farel dengan lembut, mencoba meredakan em
Pertanyaan Riko membuat Rony sadar seketika. Tiba-tiba rasa takut menguasai dirinya. Badannya gemetaran, lidahnya kelu tak berani bersuara."Aku ... aku ingin mengakui sebuah kesalahan. Sungguh, rasa bersalah ini membuatku tak tenang. Terserah kalian ingin melakukan apa saja kepadaku, aku terima. Naila, maafkan kakak iparmu yang tak tahu diri ini. Tolong maafkan aku. Aku ... aku ... aku yang telah meng-upload foto-foto kalian waktu itu."Riko dan Naila terkejut mendengar pengakuan Rony. Riko beranjak dari duduknya dan berjalan mendekati kakaknya yang masih diam dan menundukkan kepala. Riko pun memaksanya berdiri dan Rony jatuh tersungkur karena Riko langsung memukulnya."Kurang ajar!! Karena kelakuanmu, istriku sering dibully di keramaian. Karena kelakuanmu, istriku sering sakit bahkan sering meminta cerai dariku. Kamu sudah menyakiti hati Naila, kamu bukan Kakakku!!" Riko berteriak dan kembali memukul Rony, meluapkan rasa marah.Bugh!! Bugh!
Rony hanya diam memperhatikan, bahkan dia tak berniat mencegah kepergian istrinya. Pada akhirnya Vella benar-benar pergi meninggalkan dirinya tanpa kata perpisahan.Miris sekali melihat keadaan Rony saat ini. Wajah bengkak dan lebam, badan sakit semua, ditinggalkan istri pula. Rony hanya bisa meratapi nasibnya, belum diusir dari rumah yang sekarang ditempatinya saja sudah beruntung baginya. "Astaghfirullah ...."Rony hanya bisa mengucap istighfar. Dia sendiri bingung harus bagaimana dan berbuat apa saat ini. Bahkan Vella sudah jujur padanya jika dia tak pernah mencintainya. Namun, Rony tak akan membiarkan Vella pergi begitu saja darinya. Biarlah untuk sementara seperti ini, kalau Vella tak marah lagi pasti akan kembali, begitu yang Rony pikirkan. Rasa cintanya pada Vella yang begitu dalam membuatnya tetap mengharapkan istrinya pulang. Akhir pekan depan kalau Vella masih belum kembali, Rony akan menjemputnya. Rony sangat yakin, saat ini
Ponsel Rony bergetar tanda masuk sebuah pesan. Dibukanya aplikasi warna hijau di ponselnya dengan tangan gemetar. Namun, rasa takut dan gelisah langsung sirna. Setelah membaca pesan dari adiknya, wajah tampannya pun kembali ceria.[Kak, tolong ke rumah, Naila ingin bicara dan minta maaf. Ajaklah istrimu juga.]Hatinya yang sedih dan kecewa berubah bahagia. Ibarat tanah yang sudah kering akibat panas, basah oleh guyuran hujan. Bahkan Riko mengatakan Naila ingin minta maaf dalam pesannya. Rony sangat bahagia memiliki adik ipar yang berhati mulia. Tak membuang waktu lagi, Rony segera melajukan kendaraannya menemui Riko dan Naila.***"Maafkan aku ya, Kak Rony. Peristiwa waktu itu memang sempat membuatku depresi, jadi aku sangat marah saat tahu kalau Kak Rony yang melakukannya." Naila langsung meminta maaf pada Rony yang baru saja duduk di sofa ruang keluarga."Aku yang minta maaf, Naila. Aku sangat menyesali perbuata
Pandangan Vella pun beralih pada seorang laki-laki tampan yang selama ini menjadi suaminya. Namun, Rony hanya memandangnya, tanpa berniat menyapa dirinya."Silakan duduk, Farel, Vella." Riko mempersilakan mereka berdua untuk duduk bersama. Vella diam dan menurut, bahkan Riko tak ada tanda-tanda marah dengannya. Vella benar-benar bingung dengan keadaan yang dirasakannya saat ini. Riko, Farel, Naila bahkan Rony pun sekarang tersenyum melihatnya tanpa emosi."Sayang, ada yang ingin kamu sampaikan pada Vella?" Riko memulai pembicaraan mereka dan bertanya pada istrinya terlebih dahulu. Naila pun menganggukkan kepala dan berbicara pada Vella."Kak, aku memaafkan kesalahanmu. Semoga setelah ini Kak Vella tak akan lagi menggangguku," kata Naila dengan ramah."Tentu saja aku tak akan mengganggumu. Apalagi setelah ini aku bukan bagian dari keluarga ini lagi," sahut Vella dengan nada sinis seperti biasanya. Bahkan Vella sama sekali tak memberikan s
Ruang tamu rumah Riko telah dihias sedemikian rupa. Seorang lelaki dalam setelan jas pengantin berwarna putih telah duduk bersila di depan sebuah meja kecil.Yakub dan seorang penghulu berpeci hitam tampak berbincang akrab. Rony—sang mempelai pria, tertunduk dengan bibir komat-kamit melafalkan kalimat ijab qobul. Kedua tangannya saling remas, berkeringat, menandakan jika dirinya tengah gugup. Riko yang memperhatikan gerak-gerik Rony sedari tadi lekas menghampiri."Tenang, tarik nafas, keluarkan. Jangan sampai salah. Kalau sampai salah tiga kali, nggak jadi nikah sama Sarah."Mendengar kalimat terakhir Riko, tangan Rony memukul bahu Riko."Aku tegang malah sempat-sempatnya kamu bercanda!" Riko hanya terkekeh melihat ekspresi wajah kakaknya. Hingga beberapa menit kemudian, penghulu memberi kode bahwa acara akan segera dimulai.Ruangan mendadak hening, penghulu memulai acara dengan do'a lalu dilanjutkan dengan beberapa kalimat pembukaan, yang ditujukan kepada seluruh tamu undangan.Sem
Riko terkejut, sontak dia menoleh melihat ekspresi wajah istrinya. Naila terdiam. Sebenarnya dia sama terkejutnya dengan Riko tapi tidak tahu harus berekspresi bagaimana. Naila membalas memandang Riko dengan rasa penasaran. Ada apa tiba-tiba Daffa datang ke rumah mereka? Mendengar nama Daffa disebut oleh Bi Marni, seketika semua orang turut berdiri. Namun, Riko melarang semua orang yang akan turut serta menemui Daffa."Biar saya saja sama Naila yang menemui Daffa."Riko beranjak lalu meraih tangan Naila yang tampak enggan mengikutinya. Riko paham. Dia menunduk lalu berbisik lirih di telinga Naila."Tidak apa-apa, Sayang. Aku percaya padamu."Naila mengangguk dan tersenyum mendengar sebaris kalimat yang baru saja keluar dari bibir Riko. Ada rasa hangat yang menjalar dalam hatinya, membuat kedua bola mata indahnya mengembun.Dengan lembut, Riko membelai kedua pipi Naila. Tanpa sadar, Riko melakukannya di hadapan semua orang."Maaf, ya. Jangan menangis lagi nanti cantiknya hilang."Nai
"Maaf, Mas ... aku hanya terlalu bahagia mendengar kabar ini. Aku baik-baik saja."Setelah siuman, Naila tersenyum sambil memandang kedua orang di hadapannya. Riko masih memegang erat tangannya. Sementara Sarah memijit kedua kakinya dengan lembut. Marni membawakan air madu hangat dan sepiring nasi untuk Naila."Makan dulu, Mbak. Dari kemarin Mbak Naila belum makan. Bibi masakin sayur sop daging kesukaan Mbak Naila. Jangan menyiksa diri sendiri, Mbak. Kasihan Den Riko juga, jadi ikut-ikutan nggak mau makan."Mendengar ucapan Marni, Naila langsung memandang suaminya dengan tatapan penuh rasa bersalah. Riko mengecup lembut jemari Naila dan tersenyum."Maafkan aku, Mas. Aku sudah keterlaluan," ucap Naila penuh penyesalan."Tidak, Sayang ... aku memang salah. Aku pantas mendapatkan hukuman darimu, bahkan mungkin harusnya hukumannya lebih berat dari ini. Selama kamu nggak mau makan, maka selama itu pula aku juga nggak akan makan."
"Sudahlah, ayo kita segera pergi. Kita lihat saja langsung keadaan Naila." Yakub langsung mengajak mereka segera berangkat, membuat Riko merasa lega."Ya, Kakak benar. Aku akan bersiap dulu." Sarah beranjak dari kursi dan berjalan menuju kamarnya."Jangan lama-lama, mentang-mentang ada calon suami nanti ganti bajunya nggak kelar-kelar." Yakub menggoda adiknya, membuat Rony tersenyum."Ish, Kakak ini apa-apaan, sih!" Sarah pun langsung menutup pintu kamarnya dengan kedua pipi yang merona.Mereka berangkat bersama dengan kendaraan roda duanya masing-masing. Rony bersama Riko dan Yakub berboncengan dengan Sarah. Rasa bahagia terpancar pada wajah ketiga orang itu, kecuali Riko yang sedih akibat ulahnya sendiri.Setelah sampai, Riko mengajak Sarah masuk ke kamar menemui istrinya. Terlihat oleh Riko, Naila sedang duduk di sofa dekat jendela sambil mengaji. Hanya itu kegiatan yang dilakukan Naila selama di kamar. "Sayang, lihat si
"Silakan diminum tehnya, Kak." Sarah meletakkan dua buah cangkir teh hangat di atas meja untuk Riko dan Rony. "Terima kasih, Sarah." Rony membalas ucapan Sarah sambil tersenyum. Yakub hanya memandang kedua kakak beradik itu dengan penuh tanda tanya, apalagi Naila tak ikut bersama mereka. "Maaf, Yakub, kedatangan kami ke sini, untuk meminta penjelasan dari kalian soal foto-foto ini. Naila sedang difitnah seseorang dan sekarang dia sedang sedih sampai selalu mengurung diri di kamarnya."Rony menyerahkan ponsel milik Riko pada Yakub. Sarah yang penasaran akhirnya mendekati kakaknya dan ikut melihat foto-foto yang ada di galeri ponsel milik Riko. "Ini kan foto-foto kita saat sedang di food court? Ini kita lagi di bank dan ini foto kita lagi di warung nasi rawon. Banyak sekali foto-fotonya tapi di situ kok cuma ada Naila dan Kak Yakub saja?"Sarah langsung memberi komentar mengenai foto-foto yang dilihatnya. Yakub pun langsung mengangg
Setelah pulang dari rumah sakit, Riko selalu menemani Naila di mana pun dia berada. Semua pekerjaan, diserahkan kembali pada asistennya dulu. Riko sangat mengkhawatirkan istrinya, karena sikap Naila tak seperti biasanya. Naila lebih sering melamun, duduk di sofa sambil memandang ke arah luar jendela. "Sayang ... hari ini waktunya kamu ke klinik kecantikan. Aku akan mengantarmu dan menunggumu sampai pulang. Bagaimana kalau nanti kita pergi ke mall?" tanya Riko sambil mengelus lembut pipi istrinya. "Maaf, Mas, kepalaku pusing. Aku ingin di rumah saja." Naila membalas ucapan Riko tanpa memandang suaminya. "Naila, sudah beberapa minggu ini kamu selalu di rumah. Jangan mengurung diri di kamar terus dong, Sayang. Aku akan menemanimu ke mana pun kamu mau." Riko memegang lembut tangan Naila dan berusaha membujuk istrinya agar mau pergi. "Aku mau sholat dhuha dulu, ya, Mas. Maaf, Mas, aku benar-benar sedang ingin di rumah saja."Naila beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju kamar mandi
"Aku nggak tahu, Sayang. Aku sudah menyuruh seseorang mengecek nomer ponsel itu tapi sepertinya kartunya langsung dibuang atau mungkin dihancurkan oleh pemiliknya. " Mas, apakah penampilanku seperti seorang pezina, sampai kamu percaya dengan tuduhannya?""Astaghfirullah ... maafkan aku, Sayang. Terserah kamu mau bilang apa saja padaku, yang pasti aku menyesal. Sekali lagi, maafkan aku, Naila. Maafkan suamimu yang bodoh ini.""Aku berjanji padamu, Mas. Setelah ini, aku tak akan pergi ke mana pun sendirian, kecuali kamu yang mengajakku.""Naila ....""Tolong hargai keputusanku ini, Mas. Aku lelah dengan manusia-manusia yang terlalu mencampuri urusanku."Setelah menyampaikan keputusannya pada Riko, Naila beranjak pergi ke kamar mandi. Riko akhirnya diam dan menyesali perbuatannya. Untuk sementara, biarlah Riko menerima keputusan Naila. Mungkin lebih baik seperti ini, Naila tak akan pergi keluar rumah tanpa dirinya. R
"Bukan begitu, Pak Supri. Maaf ... jangan salah paham dulu. Saya sama sekali tidak memata-matai Naila. Saya mendapatkan foto-foto ini dari nomer yang tidak saya kenal. Justru itu, saya ingin menanyakan pada Pak Supri, apa Bapak kenal dengan laki-laki ini? Dan kenapa Naila hanya berdua saja? Ke mana Pak Supri dan Sarah?" Riko pun menjelaskan dan meminta penjelasan pada Supri. "Astaghfirullah ... ini fitnah, Den. Mbak Naila tidak berdua saja dengan Mas Yakub. Saya dan Mbak Sarah ada di sana. Kemungkinan foto ini diambil saat Mbak Sarah ke kamar mandi dan saya memang nggak pernah mau duduk satu meja dengan mereka. Saya duduk sendiri tapi tetap mengawasi Mbak Naila, Den. Saya sadar diri, saya hanya asisten rumah tangga, nggak pantas rasanya satu meja dengan majikan." Supri bicara apa adanya. "Lalu Daffa, kenapa ada di warung itu juga? Apa itu juga kebetulan?" Riko masih saja tak percaya. "Memang semua itu kebetulan, Den. Temannya Mbak Naila sedang ada janji dengan temannya di warung it
"Assalamu'alaikum, Sayang. Hemm ... cantik sekali istriku hari ini. Aku benar-benar rindu.""Wa'alaikumussalaam ... aku juga rindu, Mas."Naila langsung memeluk suaminya yang sudah sampai di rumah. Riko dan Naila menuju kamar tidur mereka karena waktu pun sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Riko langsung menggendong tubuh mungil istrinya, kemudian merebahkannya di ranjang. Naila mengerti apa yang diinginkan suaminya tercinta. Dia pun membalas semua sentuhan yang diberikan Riko padanya. Akan tetapi, perlakuan Riko padanya kali ini berbeda. Naila berpikir, mungkin saat ini suaminya terlalu rindu padanya. Namun, semakin lama Riko semakin kasar dan brutal. Bahkan saat ini Naila sudah tak lagi bisa menikmati surganya. Naila merasa, yang sedang bersamanya bukanlah suami yang selama ini sangat dicintainya. "Mas ... sakiittt ... tolong hentikan ...."Naila merintih dan mencoba menghentika