"Tuan dan Nyonya Williams benar-benar sangat serasi dan tampak seperti pasangan yang masih muda!" celetuk seorang siswa memuji dengan tulus, membuat yang lainnya tertawa dengan santun. Mereka sungguh menjaga sikap dengan baik.
"Bisa saja ya!" Albert terkekeh ramah mendengarnya.
"Terima kasih atas pujiannya," ucap Sally dengan senyuman lembut.
"Nyonya Williams, bolehkah saya meminta berfoto bersama dengan Nyonya?" ucap seorang siswi dengan mata berbinar-binar penuh harap.
Mata Sally sedikit melebar mendengarnya. 'Sungguh berani sekali! Dikasih hati malah meminta jantung,' keluh Sally di dalam hati.
"Tentu saja boleh," ucap Sally terpaksa. Pencitraan yang baik sangatlah penting.
"Saya juga boleh kan, Nyonya?"
"Saya juga, Nyonya!"
Semua mulai ikut meminta berfoto bersama Nyonya Williams.
"Tunggu dulu
Jack adalah seorang pria berusia 28 tahun dengan wajah menarik. Ia memiliki perawakan tinggi langsing namun berotot. Otaknya cerdas dan gerakannya sigap."Katakan apa yang kamu dapatkan," ucap Reyhans dengan nada tenang, walaupun hatinya sangat penasaran akan berita yang sangat penting itu. Saat ini mereka berdua duduk berhadapan di sebuah ruang pribadi."Tuan, sebenarnya siang tadi saya sudah berhasil menemukan siapa yang telah memberikan kalung itu pada Nona Hana Winata. Dia adalah seorang pemuda. Tetapi saya mengalami kesulitan sewaktu menyelidiki latar belakang pemuda itu. Nama pemuda itu adalah Green Assa.""Green?" Mendengar nama Green, nama yang sama dengan cucunya yang sudah meninggal membuat alis Reyhans berkedut. "Jadi kamu sudah berhasil menemukan latar belakang pemuda itu? Dan juga dari mana dia mendapatkan kalung itu?" tanya Reyhans dengan wajah serius.Jack mengangguk mantap. "Awalnya s
"Sejak kapan kamu menjadi lamban seperti ini?" Rasa tidak puas menjalar di hati Reyhans. "Benarkah kamu belum melakukan tes DNA?" tanyanya dengan nada tak percaya. Apa Jack mendadak bodoh sehingga tidak langsung saja melakukan tes DNA? Tidak sulit bagi Jack hanya untuk sekedar mendapatkan sampel DNA Green dan Albert. Dia bahkan sudah menghabiskan waktu 24 jam hanya untuk menyajikan gosip seperti ini yang belum tentu valid! Jack kembali membuka mulutnya. "Sebenarnya saya sudah melakukan tes DNA itu, dan besok, hasil tesnya akan keluar. Tetapi Apa semua data laporan saya yang ada di sini sama sekali tidak bisa meyakinkanmu, Tuan?" Jack malah balik bertanya dengan bibir mengerucut. Dalam hatinya, Tuan Besar Reyhans seharusnya sudah bisa yakin 100% akan fakta itu hanya dengan melihat isi laporannya yang 'begitu sempurna', bahkan tanpa melihat hasil tes DNA sekali pun. Jack memiliki jiwa perfeksionis untuk hasil analisa
Siang itu, Jack mengirimkan hasil tes DNA melalui email pada Reyhans. Dengan sigap Reyhans membuka kiriman email itu. Dia membacanya dengan saksama. Dan seperti yang ia yakini, Green Assa adalah anak kandung Albert. Artinya Green Assa adalah Green Williams, cucu kandungnya sendiri.Reyhans tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Setelah semalaman ia dipenuhi berbagai macam emosi yang membuatnya terkuras lelah, kali ini ia membuncah dengan rasa bahagia.Reyhans mulai mempertimbangkan hal apa yang harus ia lakukan di masa depan. Reyhans bukanlah pribadi yang kalau marah langsung menyerang secara membabi buta. Ia berupaya untuk tenang, menekan segala bentuk emosi sehingga bisa berpikir lebih jernih.Setelah merasa bahwa keputusannya adalah hal yang terbaik, Reyhans pun menghubungi salah satu pengacaranya."Mr. Anderson?" sapa Reyhans, dan langsung disambut dengan hangat oleh si pengacara.
Hampir semua murid memilih menyewa kuda menyusuri jalanan asri daerah wisata Barat. Tiap kuda ada penjaga yang membawanya. Seorang murid hanya tinggal naik ke atas punggung kuda, dan penjaga akan menuntun kuda itu berjalan. Itu terlihat menyenangkan di mata Green. Dia juga ingin menaiki kuda, tetapi Green mengurungkan niatnya. Jika ia kambuh dan jatuh dari kuda akan benar-benar merepotkan.Di saat teman-temannya, termasuk Sartika, bersenang-senang berkeliling dengan kuda, Green memilih duduk di area taman bersama salah satu guru yang memilih beristirahat sebentar. Green memandangi jari manisnya yang belang karena cincin telah dilepas dengan paksa. Ada bekas luka di jari itu karena tarikan yang kasar. Hatinya menjadi terasa dingin dan kosong.•••Hana mendekati Sartika dan mengulurkan sebuah cincin. "Sartika, tolong kembalikan ini pada Green nanti setelah pulang.""Hana, untuk apa kamu
"Di mana, Hana?" teriak seseorang dengan suara panik. Semua orang menoleh padanya!"Green! Hana ada di dalam bus!" teriak Sartika dengan isakan keras."Apa?" Dengan wajah pucat dan mata nanar penuh kecemasan, Green melangkah tertatih ke arah bus tanpa keraguan. Dia berupaya keras berjalan dengan cepat."Green! Apa yang kau lakukan!" Wali kelas itu segera menghampiri Green dan menahannya. "Bus itu akan jatuh!""Lepaskan aku!" teriak Green dan mendorong guru itu cukup kuat sehingga pegangan guru itu terlepas. Green segera naik ke dalam bus dan membuat semua orang yang melihatnya terperangah."Apa yang dia lakukan..?" gumam Marcell dengan tatapan tak percaya. Ia tersadar saat Green telah masuk ke dalam. Perasaan Marcell merasa ngeri melihat itu. Dia tertegun, Begitu pula yang lainnya.Sementara itu, begitu Green masuk ke dalam bus, tubuhnya langsung meluncur ke
Mata Anton tampak memerah melihat keadaan putrinya yang saat ini tengah berbaring lemah di ranjang rumah sakit. Tadi Hana sempat tersadar dari pingsan, tetapi mulutnya selalu menyebut nama Green dengan air mata bercucuran. Hana terus terisak sepanjang malam sehingga mau tidak mau dokter menyuntiknya dengan obat dalam dosis kecil agar ia bisa beristirahat. "Pa, cari Green, Pa..! Cari Green.. Dia jatuh ke jurang karena aku! Cari dia, Pa..." lirih Hana dengan isak tangis yang memilukan. Tak ada henti-hentinya Hana mengatakan itu hingga suaranya menjadi serak dan habis. Mengingat kejadian itu, Anton menghela napas berat. "Pa, Hana pasti akan sangat terpukul jika Green ternyata tidak selamat. Kamu harus mencari Green sampai ketemu," ucap Jihan dengan kening mengerut dan mata berkaca-kaca. Walaupun ada Tim SAR yang bertugas melakukan evakuasi korban, tetap saja bagi Jihan itu kurang. "Iya, aku sudah menyuruh tim swasta u
Seorang perawat ada di sana saat mereka memasuki ruang rawat khusus. Perawat itu pun diperintahkan keluar oleh Jack. Reyhans lalu mengambil tempat duduk di sisi Green yang sedang berbaring tidur nyenyak. "Kamu boleh keluar, Jack. Beristirahatlah," ucap Reyhans dengan suara tenang. "Baik, Tuan. Saya permisi," pamit Jack. Ia sekilas menatap Tuan Muda Green, lalu pergi meninggalkan ruangan itu. Jack mengingat kejadian tadi saat bus besar itu terjun ke arus deras sungai yang cukup dalam. Untung saja dia bergerak cepat dan segera melompat untuk menolong tuan muda, kalau tidak, tuan muda bisa mati tenggelam di dalam bus atau bisa saja terbawa arus. Hati bos besarnya pasti akan hancur berkeping-keping. Sepeninggalnya Jack, Reyhans terus memandangi wajah Green yang tenang. Wajah itu tampan persis seperti ketika ia masih muda. Reyhans sungguh tidak sabar ingin berbicara pada cucunya itu.  
Pria itu sudah tua tetapi masih tampak gagah. Tubuhnya tinggi dan masih tegak saat berjalan. Penampilannya benar-benar elegan. Green tertegun sejenak melihatnya, apalagi menatap tatapan matanya yang hangat namun berwibawa."Selamat pagi juga, T - tuan." Green membalas sapaan itu dengan sedikit gugup sambil menatap Reyhans dengan mata hazel-nya.Reyhans sungguh terpesona menatap mata itu. Akhirnya dia bisa melihat bola mata indah itu kembali. Bola mata Seville-nya."Seville..., Green kita ternyata masih hidup! Wajahnya mirip denganku, tetapi matanya mirip denganmu. Sungguh perpaduan yang sempurna, bukan?" seru Reyhans di dalam hati."Green, biarkan dokter memeriksamu terlebih dahulu sebelum kamu sarapan." Reyhans berucap ringan, berupaya menetralkan perasaannya yang berkecamuk bahagia!Di belakang pria tua berwibawa itu ada seorang dokter yang tersenyum ramah pada Green.&n