"Pa, pertemuan keluarga di akhir pekan apa dibatalkan saja?" tanya Jihan setelah menyeruput teh miliknya.
"Tidak usah. Mana tahu saja akhir pekan nanti Hana sudah jadian dengan Marcell. Iya kan, Hana?" Anton tersenyum sumringah. Mendengar itu, Green berhenti menyuapkan makanan ke mulutnya.
Hana tampak berpikir, kemudian dia berkata, "Pa, sebenarnya karena kejadian Green kambuh di sekolah, aku melampiaskan amarahku pada Marcell. Aku bilang dia sombong dan arogan. Kebetulan saat itu dia memang bertingkah menyebalkan. Jadi....kami sempat bertengkar karena itu." Hana bercerita dengan enggan.
"Apa katamu?" Anton dan Jihan sama-sama terperangah mendengarnya. Bertengkar? Itu lebih buruk daripada Marcell yang selalu bersikap dingin pada Hana selama enam bulan waktu itu!
Green juga terkejut mendengarnya. Jadi karena dia, Hana sempat bertengkar dengan Marcell.
"Jadi gara-gara ana
Di kelas sembari mengerjakan soal, pikiran Hana menjadi pelik saat dia tidak bisa menemukan solusi baik untuk menyelesaikan masalahnya dengan Green. "Apa yang harus kulakukan?" gumamnya pelan. Selama ini, Green selalu menurut padanya. Apa pun yang ia katakan, Green berupaya untuk melakukannya walaupun ada masanya Green merasa berat melakukannya. Contohnya saja perintah Hana agar ia melanjutkan sekolah, atau mengikuti les privat. Tetapi kali ini Green berubah menjadi keras. Dia tidak mau mengikuti kemauan Hana agar tetap tinggal bersamanya setelah bercerai. 'Padahal apa yang kukatakan adalah demi kebaikannya sendiri. Kalau dia tinggal di keluarga Assa, apa kebutuhan gizinya bisa terpenuhi? Apa dia bisa teratur meminum obatnya? Aku yakin dia akan kembali kurus dan kesehatannya jadi memburuk. Belum lagi dia gampang demam.' Hana menghela napas berat. Persoalannya dengan Marcell belum beres, sekar
Lebah itu mulai mereguk manis madu dengan rakus. Si bunga terindah tampak tak berdaya menerima semua perlakuan lebah dengan pikiran berkabut. Tetapi di saat si lebah dengan bersemangat menuju area lain yang jauh lebih berbahaya, saat itulah Hana berupaya keras mengumpulkan semua kesadarannya yang tersisa. Jika dia terus terlena, maka dia akan benar-benar habis!PLAK!"Hentikan!" titahnya tegas dengan napas terengah.Green tersentak ketika Hana memukul tangannya yang nakal. Dia terdiam menatap mata Hana yang jelas-jelas mengisyaratkan pelarangan. Dengan cepat Hana mendorong tubuh Green lalu ia segera bangkit dan beringsut mundur ke kepala ranjang. Menyadari keadaannya yang memalukan, sekali lagi Hana dengan sigap meraih selimut dan menutupi tubuh atasnya.Kucing jantan liar itu sudah berhasil menerkam habis seluruh aset atasnya."Ki-kita tidak boleh sampai melakukannya!" ucap Hana
Keesokan paginya adalah hari Minggu, Hana tidak banyak berbicara pada Green. Saat ini mereka berdua di dalam mobil hendak pulang ke rumah."Hana, bukankah biasanya di hari libur seperti ini kamu akan membawaku makan di restoran? Kenapa langsung pulang ke rumah? Aku ingin makan mie kuah seafood."Hana melirik Green sekilas. "Baiklah, ayo kita ke sana."Jarang-jarang Green meminta makan seperti itu. Seandainya ini adalah waktu sebelumnya, Hana pasti riang gembira menanggapi Green. Dia akan berkata, "Sudah kuduga kamu pasti sangat menyukainya! Tapi ada makanan lebih enak lagi, Green. Bagaimana kalau sekarang kita ke restoran Jepang! Di sana ada makanan enak dan..bla..bla..bla..." Dia tidak akan berhenti bicara.Namun, keadaan sudah berbeda. Sesungguhnya Hana merasa canggung saat ini. Walaupun mereka belum sampai melakukan ke taraf itu, tetapi apa yang telah mereka lakukan kemarin malam memang sudah bena
Saat pulang, suasana cukup mengejutkan. Beberapa orang dari keluarga Winata sudah berkumpul di ruang tamu. Di sana ada Nyonya Erina, Paman Gerry, Paman Rudi, Ferdinand, Shila dan Reynaldi. Tante Felisa dan Ryan tidak hadir di sana. Begitu pula dengan Ghania, karena besok ia juga akan menghadapi ujian percobaan di sekolahnya. Green dan Hana menjadi kikuk. Tetapi mereka tetap menyapa dengan sopan lalu ikut duduk di sana. Di meja terhidang kue dan camilan juga minuman. Tampaknya mereka sudah agak lama juga berada di rumah itu. "Pa, Ma, bukankah pertemuannya sudah dibatalkan?" tanya Hana bingung. "Nenekmu ingin tahu apa yang sudah terjadi sebenarnya," jelas Jihan. "Iya, benar," sela Erina. "Sebenarnya apa yang ingin kalian sampaikan? Dan kenapa malah membatalkan untuk menjelaskannya?" tanya Erina yang merasa curiga. "Apa ada sesuatu yang tidak beres?" tanyanya lagi. "Tidak
Melihat putranya terluka, Paman Rudy tersulut emosi."Apa yang kau lakukan!" teriaknya menatap tajam pada Green. Dia mengambil tiga langkah besar dan meninju wajah Green."Akh!" Green mengerang. Sudut bibirnya berdarah."Paman! Hentikan! Kak Rey harus dibawa ke rumah sakit!" teriak Hana sambil mendorong Rudy agar mundur, lalu ia segera memeluk erat Green yang sudah terduduk di lantai agar tidak dipukul lagi oleh Rudy.Sementara itu, Reynaldi menutup rapat matanya yang sangat sakit dengan telapak tangannya. Dia yakin ada yang tak beres dengan sebelah matanya begitu garpu itu menusuk matanya. Rasa perih menyengat membuatnya ketakutan."Coba Paman lihat matamu!" ucap Paman Gerry dengan kening mengerut. Semua orang mengerumuni Rey kecuali Hana dan Green. Mereka merasa khawatir akan matanya."Tidak bisa! Bawa aku ke rumah sakit! Cepat!" teriak Rey. Air matanya sud
Tok tok tok...! "Nona Hana," panggil Pak Bian dengan suara pelan. "Nona!" Dia mengetuk kembali. Hana yang tidak nyenyak tidur terbangun begitu saja mendengar suara ketukan pintu. Dia lalu membuka pintu. "Ada apa, Pak Bian?" tanya Hana sambil mengusap matanya yang agak masih mengantuk. Pak Bian jadi merasa tidak enak. Namun, dia tidak mau disalahkan Nona Hana jika tidak segera memberi tahu keadaan Green yang sedang sakit. "Nona, Tuan Green demam. Sepertinya agak tinggi," ucap Pak Bian dengan suara rendah. "Demamnya agak tinggi?" Ekspresi Hana pun langsung serius. "Iya, Nona," jawab Pak Bian cepat. Tadi setelah makan malam, Hana tidak menemui Green lagi. Dan ketika jam tidur malam tiba, Hana menyuruh pelayan Silvi untuk memberinya obat. Mungkin saja saat itu Green sudah mulai demam
"Wajahmu kenapa?" tanya Veronika begitu ia duduk di bangkunya, dan meletakkan tasnya di dalam laci meja. Dia baru saja sampai di kelas. "Ini..." Green bingung menjawabnya. "Um, tidak sengaja jatuh." "Aku yakin lebam seperti itu bukan jatuh. Kamu pasti dipukul orang!" tebak Veronika. Green hanya tersenyum kecut. "Oh iya! Aku kirim chat sama kamu tadi malam, kenapa tidak sampai, ya, sampai sekarang? Cuma ceklis satu. Apa ponselmu tidak aktif?" "Aktif kok. Memangnya kamu kirim pesan apa?" tanya Green seraya memeriksa ponselnya. "Ada deh pokoknya!" ucap Veronika. Sebenarnya Veronika mengirim pesan sapaan selamat malam. Hanya sekedar mengajak Green mengobrol ringan via chat, soalnya Veronika bosan chatting dengan teman yang itu-itu saja. Dia juga tadi malam agak penat setelah selesai belajar untuk ujian percobaan hari ini. "Tidak
Green diam, bingung untuk menjawab. Maka Hana langsung berbalik dan melangkah masuk ke dalam kamarnya meninggalkan Green. Green segera mengejarnya sebelum Hana masuk. "Hana, aku kan cuma bertanya. Tapi sepertinya kamu marah." "Mana ponselmu?" Hana mengulurkan tangannya. Green segera merogoh kantongnya dan memberikan ponsel androidnya yang sudah ketinggalan zaman itu. "Buat apa?" tanya Green penasaran. "Biasanya kamu tidak bertanya jika aku memegang ponselmu." Hana melotot pada Green, seolah Green adalah suami tukang selingkuh yang sedang diawasi oleh istri. Green diam sambil mengamati apa yang dilakukan Hana pada ponselnya. Mata Green kembali melebar. "Kenapa kamu memblokir Veronika kembali?" "Kenapa? Apa kamu keberatan?" Hana menggunakan pertanyaan yang sama dengan ketus. "Itu...kamu bebas melakukan a
Halo, novel Suami Tak Sempurna sudah tamat.Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua Readers. Terima kasih karena Readers sekalian selalu mendukung novel ini dengan memberikan Vote, komentar dan ulasan bintang 5. Dukungan Readers membuat saya bersemangat untuk menulis.Untuk kelanjutan Green dan Hana, apakah ada kelanjutan lagi, Itu saya masih belum bisa memutuskannya. Saya harap Readers sekalian yang berharap buku baru untuk lanjutan, tidak merasa kecewa. Alasannya karena saya masih mau berfokus untuk menulis novel "Terlambat Mencintai Lisa." Dan novel baru lagi yang berjudul Kematian Tagis Sang Putri (yang ini novel fantasi, masih lama lagi dirilis karena outline belum saya buat).Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih. Semoga Readers sekalian sehat selalu. ^^ ❤️
"Rafa, lihat pengantin sudah tiba!" seru Sartika dengan riang.Sartika memeluk Hana. "Kamu cantik sekali, Hana.""Terima kasih, Sartika. Kamu juga cantik hari ini," balas Hana tersenyum hangat."Waw! Kak Green sudah persis seperti pangeran!" seru Rafa dengan tatapan takjub. Green tersenyum lebar mendengarnya."Kamu bisa saja, Rafa!" ucap Green sambil mengusap pelan rambut Rafa. Karena rambut Rafa sangat rapi hari ini."Kak Hana juga seperti tuan putri!" seru Rafa ketika matanya beralih pada Hana."Rafa kamu juga sangat tampan memakai tuxedo itu!" puji Hana.Rafa tersenyum malu saat giliran dirinya yang dipuji."Rafa, kamu pasti akan menjadi pemuda yang tampan ketika besar nanti," ucap Reyhans memuji dengan tulus."Terima kasih, Kek. Kakek juga sellau tampan!" ucap Rafa tersenyum manis sambil mengacungkan jempol. Reyhans, Anton, Jihan, kedua orang tua Rafa, dan juga Sartika, terkekeh melihat tingkah lucu Rafa."Rafa adalah anak yang baik!" ucap Anton. Budi dan Mirna tersenyum manis men
Setelah peristiwa pembelian PT. Andalan Winata lalu disusul di mana perusahaan itu dengan mudahnya kembali stabil, keluarga besar Winata selalu mencoba berbagai cara untuk bisa berkomunikasi dengan Green dan Hana. Mereka sungguh penasaran pada Green!Saat Anton memberi tahu mereka siapa Green sebenarnya, jantung mereka seolah meletup mendengarnya. Mereka semakin menggebu-gebu dan tak sabar ingin bertemu dengan Green dan Hana, tetapi mereka sulit melakukannya. Mereka mencoba mendesak Anton dan Jihan berulang kali tetapi hasilnya nihil. Anton dan Jihan sama sekali tidak mau bekerja sama dengan mereka.Pernah sekali peristiwa Shila mencoba datang ke kampus Williams, tetapi tidak menemukan mereka. Itu karena Green dan Hana memang sengaja menghindarinya. Begitu pula dengan Ryan, saat patah tulangnya baru sembuh, ia langsung mencoba mendekati mereka di kampus, tetapi sekali lagi mereka dengan mudahnya menghilang dari pandangannya. Itu bukanlah sesuatu yang sulit bagi Jack agar keluarga besa
"Kamu menjengukku lagi?" ucap Marcell pada Green. Dia tidak menyangka Green menjenguknya lagi."Kenapa? Apa kamu bosan melihat wajah kakakmu ini?" tanya Green tersenyum menggoda."Iya, aku bosan," jawab Marcell berbohong. Dia malah memakan kue kesukaannya yang baru saja dibawa oleh Green. Green terkekeh pelan.Mereka lalu bercengkerama dan akhirnya menyingung soal Reyhans, kakek mereka berdua."Apa kamu pernah melihat Kakek semarah waktu itu? Kamu pasti tahu sendiri bahwa Kakek biasanya selalu mampu menjaga emosinya. Dia selalu bersikap tenang dan berwibawa. Tetapi melihat keadaanmu seperti ini, Kakek lebih menunjukkan emosinya. Tahu kenapa? Itu karena kakek menyayangimu, Marcell.""Aku tidak percaya," jawab Marcell."Ini hanya pendapatku saja," balas Green. "Apa kamu tahu? Di hari kamu kecelakaan, Kakek sampai di Singapura saat sore hari. Tetapi begitu mendengar kamu kecelakaan, dia langsung kembali ke sini malam itu juga untuk melihat keadaanmu di rumah sakit. Kakek kita sudah tua,
Hana : Veronika, apa kamu tahu Marcell kecelakaan kemarin malam? Dia dirawat di Williams Hospital.Veronika : Aku tahu. Tapi apa benar dokter memvonis Marcell akan lumpuh seumur hidup?Hana : Iya, itu benar. 🥺 Tapi di dunia selalu ada keajaiban. Maksudku, tidak ada yang mustahil, bukan? Apa kamu berniat menjenguk Marcell besok?Veronika tampak ragu menjawabnya. Besok adalah hari Minggu, itu adalah waktu yang cocok untuk mengunjungi Marcell.Veronika : Aku akan mengunjunginya besok.Hana : Baguslah. Jam berapa kamu akan datang?Veronika tidak membalasnya lagi.***"Kamu sendirian?" tanya Green ketika dia dan istrinya masuk ke ruang rawat Marcell. Marcell yang sedang melamun agak terkejut melihat mereka."Ada perawat," jawab Marcell datar. Sally baru saja keluar untuk membawa pakaian ganti dari rumah. Sementara Albert sibuk mengurus mini market barunya."Kami membawa makanan kesukaanmu," ucap Green sambil membuka isi makanan yang ia bawa."Dari mana kamu tahu aku suka itu?" tanya Marcel
Begitu melihat Reyhans, Marcell segera memalingkan wajahnya. Reyhans mendesah melihat tingkah cucu bungsunya itu."Marcell, kamu mau makan, Sayang?" tanya Sally dengan suara lembut."Tidak," ucapnya tegas.Reyhans membuka suara. "Marcell, karena kamu terbiasa berbalapan mobil, akibatnya kamu menjadi sepele dalam berkendara. Benar-benar hobi yang konyol. Lihat sekarang keadaanmu. Kepalamu dijahit dan kakimu lumpuh. Teruslah kamu menjadi cucu pemberontak. Mana tahu nasibmu menjadi lebih bagus," sarkas Reyhans. Green dan Hana saling memandang. Menurut Hana, ini bukanlah waktu yang tepat untuk memarahi Marcell. Marcell saat ini butuh dihibur. Tetapi Kakek Reyhans sudah tidak bisa membendung rasa kecewanya.Marcell mengeraskan rahangnya dengan tangan mengepal. Dia benci mendengar ucapan kakeknya. Dia benci hobi yang sangat dia cintai, diejek dan dicerca seperti itu."Kakek," ucap Green sambil menghampiri kakeknya. "Kecelakaan Marcell itu karena dia mabuk. Ini sebenarnya tidak berhubungan de
Mata Sally melebar mendengarnya. Apa yang dikatakan Albert benar adanya. Sally lalu berkata, "Sebelumnya Robert tidak tahu akan keadaan kita. Itu sebabnya dia masih bermain judi dan terlibat hutang lagi. Sekarang dia sudah benar-benar tahu keadaan kita, dia berjanji tidak akan lagi berbuat seperti itu. Ini akan menjadi terakhir kalinya. Dia sangat terkejut, bahkan bersimpati akan keadaaan kita. Aku belum pernah mendengar Robert berbicara begitu dewasa seperti itu. Aku yakin kali ini dia bersungguh-sungguh.""Hahahaha..!" Albert tergelak mendengarnya. "Keluarga intimu adalah aku dan Marcell, bukan Robert! Kita kritis sekarang. Kau malah ingin memberikannya uang lagi. Di mana otakmu!" bentak Albert."Tapi dia adalah kakak kandungku! Dia dalam keadaan berbahaya sekarang. Bisa-bisa dia dibunuh kalau tidak membayar hutang dengan segera. Aku yang salah, harusnya aku memberi tahunya tentang keadaan kita.""Dia berbohong! Tanpa kau beri tahu pun dia pasti sudah tahu. Berita keluarga Williams b
"Benarkah itu?" tanya Alex dengan wajah terkejut serasa tak percaya atas apa yang baru saja ia dengar dari putrinya. Evelyn juga bereaksi yang sama dengan suaminya."Iya, jadi Green adalah cucu sulung Tuan Besar Reyhans Williams," ucap Veronika menandaskan. "Saat aku menyimak pembicaraan mereka berdua, kudengar tampaknya Tuan Besar Williams sudah memutuskan untuk memberikan seluruh hartanya pada Green, Pa.""Apa kamu yakin? Sepertinya Tuan Besar Williams belum membuat pengumuman terkini tentang siapa yang akan menjadi ahli waris selanjutnya di muka umum," ucap Alex."Ya, itu kan bisa belakangan, Pah," sahut Evelyn. Alex mengangguk pelan."Kalau memang Green yang akan menjadi ahli waris, maka Keluarga Winata benar-benar sangat mujur!" Alex tampak merasa cemburu. "Hmmm, pantas saja PT. Andalan Winata yang jelas-jelas sudah bangkrut, tiba-tiba dalam sekejap sudah kembali berjaya." Alex mendengkus tak senang.Veronika mengangguk. "Iya, Papa benar. Tapi Papa jangan iri begitu. Tidak baik,
"Hana, apa kamu serius ingin menjodohkan mereka?" tanya Green begitu mereka memasuki kamar peraduan mereka."Kenapa? Apa kamu keberatan?" tanya Hana curiga."Sama sekali tidak. Biasa saja," jawab Green apa adanya."Aku pikir kamu sedih, karena jika mereka jadian, Julia tidak mungkin bersikap manja padamu lagi," ketus Hana, membuat Green mengangkat alisnya sedikit heran."Sedih? Justru aku senang jika dia berhenti bersikap seperti itu," tanggap Green langsung."Masa? Kalau begitu kenapa kamu tidak mengingatkannya waktu dia terus bersikap seperti itu?" ucap Hana dengan mata melotot. Green agak terkejut melihatnya."Apa kamu marah karena dia seperti itu?" tanya Green curiga. Green sempat berpikir bahwa Hana tidak pernah marah karena pada akhirnya Hana mungkin sudah menganggap tingkah Julia sebagai hal biasa yang ternyata tidak perlu dihiraukan."Tentu saja aku marah. Kamu sendiri saja marah tadi saat aku memuji Jack. Apa kamu pikir aku tidak marah melihat Julia yang selama berhari-hari be