Keesokan paginya adalah hari Minggu, Hana tidak banyak berbicara pada Green. Saat ini mereka berdua di dalam mobil hendak pulang ke rumah.
"Hana, bukankah biasanya di hari libur seperti ini kamu akan membawaku makan di restoran? Kenapa langsung pulang ke rumah? Aku ingin makan mie kuah seafood."
Hana melirik Green sekilas. "Baiklah, ayo kita ke sana."
Jarang-jarang Green meminta makan seperti itu. Seandainya ini adalah waktu sebelumnya, Hana pasti riang gembira menanggapi Green. Dia akan berkata, "Sudah kuduga kamu pasti sangat menyukainya! Tapi ada makanan lebih enak lagi, Green. Bagaimana kalau sekarang kita ke restoran Jepang! Di sana ada makanan enak dan..bla..bla..bla..." Dia tidak akan berhenti bicara.
Namun, keadaan sudah berbeda. Sesungguhnya Hana merasa canggung saat ini. Walaupun mereka belum sampai melakukan ke taraf itu, tetapi apa yang telah mereka lakukan kemarin malam memang sudah bena
Saat pulang, suasana cukup mengejutkan. Beberapa orang dari keluarga Winata sudah berkumpul di ruang tamu. Di sana ada Nyonya Erina, Paman Gerry, Paman Rudi, Ferdinand, Shila dan Reynaldi. Tante Felisa dan Ryan tidak hadir di sana. Begitu pula dengan Ghania, karena besok ia juga akan menghadapi ujian percobaan di sekolahnya. Green dan Hana menjadi kikuk. Tetapi mereka tetap menyapa dengan sopan lalu ikut duduk di sana. Di meja terhidang kue dan camilan juga minuman. Tampaknya mereka sudah agak lama juga berada di rumah itu. "Pa, Ma, bukankah pertemuannya sudah dibatalkan?" tanya Hana bingung. "Nenekmu ingin tahu apa yang sudah terjadi sebenarnya," jelas Jihan. "Iya, benar," sela Erina. "Sebenarnya apa yang ingin kalian sampaikan? Dan kenapa malah membatalkan untuk menjelaskannya?" tanya Erina yang merasa curiga. "Apa ada sesuatu yang tidak beres?" tanyanya lagi. "Tidak
Melihat putranya terluka, Paman Rudy tersulut emosi."Apa yang kau lakukan!" teriaknya menatap tajam pada Green. Dia mengambil tiga langkah besar dan meninju wajah Green."Akh!" Green mengerang. Sudut bibirnya berdarah."Paman! Hentikan! Kak Rey harus dibawa ke rumah sakit!" teriak Hana sambil mendorong Rudy agar mundur, lalu ia segera memeluk erat Green yang sudah terduduk di lantai agar tidak dipukul lagi oleh Rudy.Sementara itu, Reynaldi menutup rapat matanya yang sangat sakit dengan telapak tangannya. Dia yakin ada yang tak beres dengan sebelah matanya begitu garpu itu menusuk matanya. Rasa perih menyengat membuatnya ketakutan."Coba Paman lihat matamu!" ucap Paman Gerry dengan kening mengerut. Semua orang mengerumuni Rey kecuali Hana dan Green. Mereka merasa khawatir akan matanya."Tidak bisa! Bawa aku ke rumah sakit! Cepat!" teriak Rey. Air matanya sud
Tok tok tok...! "Nona Hana," panggil Pak Bian dengan suara pelan. "Nona!" Dia mengetuk kembali. Hana yang tidak nyenyak tidur terbangun begitu saja mendengar suara ketukan pintu. Dia lalu membuka pintu. "Ada apa, Pak Bian?" tanya Hana sambil mengusap matanya yang agak masih mengantuk. Pak Bian jadi merasa tidak enak. Namun, dia tidak mau disalahkan Nona Hana jika tidak segera memberi tahu keadaan Green yang sedang sakit. "Nona, Tuan Green demam. Sepertinya agak tinggi," ucap Pak Bian dengan suara rendah. "Demamnya agak tinggi?" Ekspresi Hana pun langsung serius. "Iya, Nona," jawab Pak Bian cepat. Tadi setelah makan malam, Hana tidak menemui Green lagi. Dan ketika jam tidur malam tiba, Hana menyuruh pelayan Silvi untuk memberinya obat. Mungkin saja saat itu Green sudah mulai demam
"Wajahmu kenapa?" tanya Veronika begitu ia duduk di bangkunya, dan meletakkan tasnya di dalam laci meja. Dia baru saja sampai di kelas. "Ini..." Green bingung menjawabnya. "Um, tidak sengaja jatuh." "Aku yakin lebam seperti itu bukan jatuh. Kamu pasti dipukul orang!" tebak Veronika. Green hanya tersenyum kecut. "Oh iya! Aku kirim chat sama kamu tadi malam, kenapa tidak sampai, ya, sampai sekarang? Cuma ceklis satu. Apa ponselmu tidak aktif?" "Aktif kok. Memangnya kamu kirim pesan apa?" tanya Green seraya memeriksa ponselnya. "Ada deh pokoknya!" ucap Veronika. Sebenarnya Veronika mengirim pesan sapaan selamat malam. Hanya sekedar mengajak Green mengobrol ringan via chat, soalnya Veronika bosan chatting dengan teman yang itu-itu saja. Dia juga tadi malam agak penat setelah selesai belajar untuk ujian percobaan hari ini. "Tidak
Green diam, bingung untuk menjawab. Maka Hana langsung berbalik dan melangkah masuk ke dalam kamarnya meninggalkan Green. Green segera mengejarnya sebelum Hana masuk. "Hana, aku kan cuma bertanya. Tapi sepertinya kamu marah." "Mana ponselmu?" Hana mengulurkan tangannya. Green segera merogoh kantongnya dan memberikan ponsel androidnya yang sudah ketinggalan zaman itu. "Buat apa?" tanya Green penasaran. "Biasanya kamu tidak bertanya jika aku memegang ponselmu." Hana melotot pada Green, seolah Green adalah suami tukang selingkuh yang sedang diawasi oleh istri. Green diam sambil mengamati apa yang dilakukan Hana pada ponselnya. Mata Green kembali melebar. "Kenapa kamu memblokir Veronika kembali?" "Kenapa? Apa kamu keberatan?" Hana menggunakan pertanyaan yang sama dengan ketus. "Itu...kamu bebas melakukan a
Hana terbawa perasaan. Ia membiarkan Green menciumnya, bahkan perlahan dia membalas ciuman manis itu. Setelah Green melepas pagutannya, barulah Hana sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan lagi. Tidak seharusnya dia membalas ciuman Green. Hana menatap Green dengan perasaan bersalah. 'Hanya menjadi pilihan kedua, tetapi Green begitu senang. Kenapa Green begitu senang padahal hanya menjadi pilihan kedua, dan selain itu bukankah posisi itu adalah sesuatu yang tidak pasti?' Memikirkan hal ini, Hana semakin kasihan pada Green. "Aku akan kembali ke kamarku. Aku harus belajar giat karena besok masih ujian!" ucap Green bersemangat. "Kembalilah ke kamarmu," sahut Hana tersenyum lembut. Green tetap memasang wajah gembira di hadapan Hana, tetapi ketika ia keluar dari kamar itu, senyum Green memudar. Wajahnya berubah menjadi serius. Jika ditanya, apa Green benar-benar merasa gembi
Hana diam terpaku melihat hasil poin Green di dinding. Melihat Hana diam, Green semakin sedih. Dia sudah mengecewakan Hana.Sartika mengusap sisi bahu Green. "Tidak apa-apa. Ini cuma latihan. Yang terpenting Ujian Sekolah dan Ujian Nasional nanti."Green mengangguk lemah. Andai Hana yang berkata begitu padanya tetapi malah Sartika.Sementara itu pikiran Hana sedang mengembara. "Padahal Green sudah bersemangat belajar selama ini tetapi tetap gagal." Hana mendesah."Hana, kenapa melamun? Ayo kembali ke kelas." Sartika menarik tangan Hana. Mereka bertiga berbalik menuju kelas."Hana, maafkan aku. Aku tidak lulus." Green berucap lirih."Green, kamu harus lebih rajin lagi belajar karena US dan UN sudah di depan mata. Aku tidak ingin kamu gagal seperti sekarang," tanggap Hana dengan wajah serius.Green menelan ludahnya dengan rasa sedih. Dia ta
Mata Sartika dan Hana cukup fokus ketika melihat spanduk besar bertuliskan Kejuaraan Touring Car Championship. Memasuki area sirkuit, Hana dan Sartika segera mengambil tempat duduk dan mulai memperhatikan para penonton yang sudah asyik menikmati pertandingan yang sedari tadi berlangsung. "Ramai juga ya! Aku tidak menyangka kita telat. Maafkan aku sedikit lambat karena sakit perut," ucap Sartika tidak enak hati. "Tidak apa-apa. Aku juga bukannya suka melihat pertandingan seperti ini," sahut Hana agar Sartika tidak merasa bersalah. Sartika terkekeh. "Aku tahu, ini semua demi Marcell." "Iya. Makanya aku harus mendapat hasil. Aku tidak mau waktuku terbuang percuma, Sartika. Apalagi karena demi hadir di sini, aku jadi meninggalkan Green di rumah. Dia pasti kesepian di hari libur yang membosankan," lirih Hana. "Um? Aku merasa kamu agak lebay, Hana. Eksp