Tok tok tok...!
"Nona Hana," panggil Pak Bian dengan suara pelan.
"Nona!" Dia mengetuk kembali.
Hana yang tidak nyenyak tidur terbangun begitu saja mendengar suara ketukan pintu. Dia lalu membuka pintu.
"Ada apa, Pak Bian?" tanya Hana sambil mengusap matanya yang agak masih mengantuk.
Pak Bian jadi merasa tidak enak. Namun, dia tidak mau disalahkan Nona Hana jika tidak segera memberi tahu keadaan Green yang sedang sakit.
"Nona, Tuan Green demam. Sepertinya agak tinggi," ucap Pak Bian dengan suara rendah.
"Demamnya agak tinggi?" Ekspresi Hana pun langsung serius.
"Iya, Nona," jawab Pak Bian cepat.
Tadi setelah makan malam, Hana tidak menemui Green lagi. Dan ketika jam tidur malam tiba, Hana menyuruh pelayan Silvi untuk memberinya obat. Mungkin saja saat itu Green sudah mulai demam
Terima kasih atas dukungan readers tercinta. ^^ ❤️
"Wajahmu kenapa?" tanya Veronika begitu ia duduk di bangkunya, dan meletakkan tasnya di dalam laci meja. Dia baru saja sampai di kelas. "Ini..." Green bingung menjawabnya. "Um, tidak sengaja jatuh." "Aku yakin lebam seperti itu bukan jatuh. Kamu pasti dipukul orang!" tebak Veronika. Green hanya tersenyum kecut. "Oh iya! Aku kirim chat sama kamu tadi malam, kenapa tidak sampai, ya, sampai sekarang? Cuma ceklis satu. Apa ponselmu tidak aktif?" "Aktif kok. Memangnya kamu kirim pesan apa?" tanya Green seraya memeriksa ponselnya. "Ada deh pokoknya!" ucap Veronika. Sebenarnya Veronika mengirim pesan sapaan selamat malam. Hanya sekedar mengajak Green mengobrol ringan via chat, soalnya Veronika bosan chatting dengan teman yang itu-itu saja. Dia juga tadi malam agak penat setelah selesai belajar untuk ujian percobaan hari ini. "Tidak
Green diam, bingung untuk menjawab. Maka Hana langsung berbalik dan melangkah masuk ke dalam kamarnya meninggalkan Green. Green segera mengejarnya sebelum Hana masuk. "Hana, aku kan cuma bertanya. Tapi sepertinya kamu marah." "Mana ponselmu?" Hana mengulurkan tangannya. Green segera merogoh kantongnya dan memberikan ponsel androidnya yang sudah ketinggalan zaman itu. "Buat apa?" tanya Green penasaran. "Biasanya kamu tidak bertanya jika aku memegang ponselmu." Hana melotot pada Green, seolah Green adalah suami tukang selingkuh yang sedang diawasi oleh istri. Green diam sambil mengamati apa yang dilakukan Hana pada ponselnya. Mata Green kembali melebar. "Kenapa kamu memblokir Veronika kembali?" "Kenapa? Apa kamu keberatan?" Hana menggunakan pertanyaan yang sama dengan ketus. "Itu...kamu bebas melakukan a
Hana terbawa perasaan. Ia membiarkan Green menciumnya, bahkan perlahan dia membalas ciuman manis itu. Setelah Green melepas pagutannya, barulah Hana sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan lagi. Tidak seharusnya dia membalas ciuman Green. Hana menatap Green dengan perasaan bersalah. 'Hanya menjadi pilihan kedua, tetapi Green begitu senang. Kenapa Green begitu senang padahal hanya menjadi pilihan kedua, dan selain itu bukankah posisi itu adalah sesuatu yang tidak pasti?' Memikirkan hal ini, Hana semakin kasihan pada Green. "Aku akan kembali ke kamarku. Aku harus belajar giat karena besok masih ujian!" ucap Green bersemangat. "Kembalilah ke kamarmu," sahut Hana tersenyum lembut. Green tetap memasang wajah gembira di hadapan Hana, tetapi ketika ia keluar dari kamar itu, senyum Green memudar. Wajahnya berubah menjadi serius. Jika ditanya, apa Green benar-benar merasa gembi
Hana diam terpaku melihat hasil poin Green di dinding. Melihat Hana diam, Green semakin sedih. Dia sudah mengecewakan Hana.Sartika mengusap sisi bahu Green. "Tidak apa-apa. Ini cuma latihan. Yang terpenting Ujian Sekolah dan Ujian Nasional nanti."Green mengangguk lemah. Andai Hana yang berkata begitu padanya tetapi malah Sartika.Sementara itu pikiran Hana sedang mengembara. "Padahal Green sudah bersemangat belajar selama ini tetapi tetap gagal." Hana mendesah."Hana, kenapa melamun? Ayo kembali ke kelas." Sartika menarik tangan Hana. Mereka bertiga berbalik menuju kelas."Hana, maafkan aku. Aku tidak lulus." Green berucap lirih."Green, kamu harus lebih rajin lagi belajar karena US dan UN sudah di depan mata. Aku tidak ingin kamu gagal seperti sekarang," tanggap Hana dengan wajah serius.Green menelan ludahnya dengan rasa sedih. Dia ta
Mata Sartika dan Hana cukup fokus ketika melihat spanduk besar bertuliskan Kejuaraan Touring Car Championship. Memasuki area sirkuit, Hana dan Sartika segera mengambil tempat duduk dan mulai memperhatikan para penonton yang sudah asyik menikmati pertandingan yang sedari tadi berlangsung. "Ramai juga ya! Aku tidak menyangka kita telat. Maafkan aku sedikit lambat karena sakit perut," ucap Sartika tidak enak hati. "Tidak apa-apa. Aku juga bukannya suka melihat pertandingan seperti ini," sahut Hana agar Sartika tidak merasa bersalah. Sartika terkekeh. "Aku tahu, ini semua demi Marcell." "Iya. Makanya aku harus mendapat hasil. Aku tidak mau waktuku terbuang percuma, Sartika. Apalagi karena demi hadir di sini, aku jadi meninggalkan Green di rumah. Dia pasti kesepian di hari libur yang membosankan," lirih Hana. "Um? Aku merasa kamu agak lebay, Hana. Eksp
"Aku sudah dengar sih, toko itu memang menjual barang branded original. Benar-benar bagus banget!" Sartika terpukau menceritakan kejadian ketika mereka memasuki sebuah toko mewah yang terkenal di kota itu. "Terima kasih ya, Hana. Aku suka banget dress-nya. Mahal lagi harganya. Bikin merinding." Hana terkekeh. Sebenarnya Hanalah yang memaksa Sartika untuk memilih barang yang dia suka, karena sedari tadi Sartika hanya mengekori dirinya yang sibuk memilih barang belanjaan. Kalau tidak dipaksa, Sartika tidak akan mengambilnya. Dia memilih sebuah gaun biru selutut yang cantik seharga satu juta. Sartika melirik tas belanja berisi jaket hoodie berwarna hitam dengan motif mata kucing putih, juga sneakers bercorak hitam dan putih. Dari sekian belanjaan Hana, cuma tas belanjaan ini yang berada di dekatnya. Yang lain ada di bagasi mobil. "Hana, apa itu untuk Marcell?" tebak Sartika karena dia sudah meli
"Ada apa?" Green menoleh pada Hana yang mendongak padanya. "Tolong jangan berwajah seperti itu. Kamu sering murung dan itu membuatku tak nyaman," ucap Hana dengan wajah sendu. "Kamu sendiri tahu kenapa aku seperti ini. Haruskah aku selalu memasang senyum seolah tidak ada yang terjadi? Kamu istriku tetapi bukan milikku. Kamu bahkan akan segera menjadi milik pria lain. Haruskah aku bersikap riang?" lirih Green. Hana dengan cepat berkata, "Aku tidak bisa membalas perasaanmu tapi aku bisa membuatmu lebih baik dan tentunya juga akan bahagia dengan membantumu untuk meningkatkan kualitas hidup. Aku sudah memilih universitas yang bagus untukmu nanti. Mudah-mudahan kamu bisa lulus." Hana terlihat kikuk. "Hana, bersikaplah seperti di awal kita bertemu. Tolong jangan kaku dan menjaga jarak dariku. Kalau kamu seperti itu aku akan merasa kehilangan," pinta Green padanya. Hana tampak
Hana langsung menoleh ke belakang dan terkejut bahwa yang berada di belakang mereka adalah Veronika. Wajah Veronika memerah dan sebentar lagi ia pasti akan meletus dan memuntahkan lahar panas. 'Jika itu terjadi, hancurlah semua rencanaku, begitu pula nama baikku! Hana, kau benar-benar bodoh! Kenapa kau selalu menunda persoalan ini? Kalau sudah seperti ini bagaimana lagi jadinya?' Hana mengutuki diri di dalam hati. Cepat-cepat Hana membalikkan badannya. "Veronika, ini tidak seperti yang kamu bayangkan. Tolong, tolong jangan berteriak. Aku bisa menjelaskannya padamu," ucap Hana pelan dengan nada panik. Kali ini dia sungguh takut. Sementara Marcell tampak diam mengamati. "Apa kau pikir aku orang jahat?!" ucap Veronika dengan suara mulai tinggi. "Veronika, percaya padaku, aku tidak menggoda Marcell," lirih Hana dengan suara cepat. "Diam kau, Hana. Jan