Keesokan harinya di sekolah, Marcell terus memasang wajah dingin ketika menatap Hana. Hana merasa tidak nyaman tetapi selaku ia adalah sekretaris kelompok mereka, dia tentu harus lebih aktif dari anggota lain. Dia pun menghampiri meja Marcell.
"Marcell, aku ingin bertanya tentang perkembangan tugas kelompok kita. Apa ada tugas baru saat kemarin aku tidak hadir?" tanya Hana dengan nada tenang.
"Aku sedang sibuk," ketus Marcell.
Hana melirik ponsel Marcell, dia tahu Marcell hanya sedang bermain game. Marcell langsung melotot.
"Baiklah," ucap Hana tak bersemangat.
"Tanyakan pada Sartika," ucap Marcell kemudian. Hana mengangguk lalu kembali ke bangkunya.
"Sartika, apa ada tugas baru di kelompok saat kemarin aku tidak hadir?" tanya Hana.
Kening Sartika mengerut. "Kami dilarang Marcell untuk memberitahumu. Kamu harus bertanya langsung padanya."
"Hana, apa yang ada di pikiranmu hingga rela mengabaikan rencana keluarga kita yang sangat penting hanya demi dia!" tunjuk Anton pada Green dengan emosi yang masih tertahan. "Sudahlah penyakitan, gelandangan, ditambah lagi bodoh!"Kening Hana mengerut mendengar hinaan itu, sementara Green hanya diam membisu dengan kepala menunduk ketika Anton marah. Rasa takut bergelayut di jiwanya hingga ia tidak berani menegakkan kepala.Saat ini mereka berempat berada di ruang keluarga."Apa maksud Papa mengatakan hanya demi dia? Green itu manusia hidup. Sama seperti kita, sama-sama berharga. Aku tidak ingin pengobatannya terganggu, karena penyakit itu mengancam nyawanya setiap saat. Lagian aku bukannya ingin mengabaikan rencana kita yang sangat penting itu. Keluarga Winatalah yang membuatku tidak punya jalan keluar," jelas Hana panjang lebar tanpa ada rasa takut.Anton mengalihkan pandangannya. "Pikiranmu terlalu
Jihan juga terkejut mendengar kebenaran itu. Tetapi ia hanya mengatupkan mulutnya dengan kening mengerut. "Kenapa Papa melakukan itu? Papa tahu sendiri kan apa akibatnya pada Green?" Hana sungguh tidak habis pikir. Green menelan ludahnya dengan susah payah. Dia juga ingin tahu jawaban dari pertanyaan itu. Walaupun Anton tidak menyukainya tetapi dia tidak menyangka jika Anton sanggup berbuat seperti itu padahal dia sudah lihat sendiri bagaimana putrinya begitu berang pada Ryan yang hampir melakukan hal serupa. "Hmmm. Di saat Green masih penyakitan seperti ini saja kamu begitu perhatian padanya. Bagaimana jika dia sudah sehat? Mungkin kamu akan jatuh cinta padanya. Papa tidak ingin itu terjadi. Papa ingin kamu mendapat lelaki yang terbaik, dan itu adalah Marcell. Itu sebabnya Papa melakukan itu." Anton menjelaskan dengan jujur alasan dia berbuat tega seperti itu. Hana berdiri dari sofa. "Pemiki
"Pa, pertemuan keluarga di akhir pekan apa dibatalkan saja?" tanya Jihan setelah menyeruput teh miliknya. "Tidak usah. Mana tahu saja akhir pekan nanti Hana sudah jadian dengan Marcell. Iya kan, Hana?" Anton tersenyum sumringah. Mendengar itu, Green berhenti menyuapkan makanan ke mulutnya. Hana tampak berpikir, kemudian dia berkata, "Pa, sebenarnya karena kejadian Green kambuh di sekolah, aku melampiaskan amarahku pada Marcell. Aku bilang dia sombong dan arogan. Kebetulan saat itu dia memang bertingkah menyebalkan. Jadi....kami sempat bertengkar karena itu." Hana bercerita dengan enggan. "Apa katamu?" Anton dan Jihan sama-sama terperangah mendengarnya. Bertengkar? Itu lebih buruk daripada Marcell yang selalu bersikap dingin pada Hana selama enam bulan waktu itu! Green juga terkejut mendengarnya. Jadi karena dia, Hana sempat bertengkar dengan Marcell. "Jadi gara-gara ana
Di kelas sembari mengerjakan soal, pikiran Hana menjadi pelik saat dia tidak bisa menemukan solusi baik untuk menyelesaikan masalahnya dengan Green. "Apa yang harus kulakukan?" gumamnya pelan. Selama ini, Green selalu menurut padanya. Apa pun yang ia katakan, Green berupaya untuk melakukannya walaupun ada masanya Green merasa berat melakukannya. Contohnya saja perintah Hana agar ia melanjutkan sekolah, atau mengikuti les privat. Tetapi kali ini Green berubah menjadi keras. Dia tidak mau mengikuti kemauan Hana agar tetap tinggal bersamanya setelah bercerai. 'Padahal apa yang kukatakan adalah demi kebaikannya sendiri. Kalau dia tinggal di keluarga Assa, apa kebutuhan gizinya bisa terpenuhi? Apa dia bisa teratur meminum obatnya? Aku yakin dia akan kembali kurus dan kesehatannya jadi memburuk. Belum lagi dia gampang demam.' Hana menghela napas berat. Persoalannya dengan Marcell belum beres, sekar
Lebah itu mulai mereguk manis madu dengan rakus. Si bunga terindah tampak tak berdaya menerima semua perlakuan lebah dengan pikiran berkabut. Tetapi di saat si lebah dengan bersemangat menuju area lain yang jauh lebih berbahaya, saat itulah Hana berupaya keras mengumpulkan semua kesadarannya yang tersisa. Jika dia terus terlena, maka dia akan benar-benar habis!PLAK!"Hentikan!" titahnya tegas dengan napas terengah.Green tersentak ketika Hana memukul tangannya yang nakal. Dia terdiam menatap mata Hana yang jelas-jelas mengisyaratkan pelarangan. Dengan cepat Hana mendorong tubuh Green lalu ia segera bangkit dan beringsut mundur ke kepala ranjang. Menyadari keadaannya yang memalukan, sekali lagi Hana dengan sigap meraih selimut dan menutupi tubuh atasnya.Kucing jantan liar itu sudah berhasil menerkam habis seluruh aset atasnya."Ki-kita tidak boleh sampai melakukannya!" ucap Hana
Keesokan paginya adalah hari Minggu, Hana tidak banyak berbicara pada Green. Saat ini mereka berdua di dalam mobil hendak pulang ke rumah."Hana, bukankah biasanya di hari libur seperti ini kamu akan membawaku makan di restoran? Kenapa langsung pulang ke rumah? Aku ingin makan mie kuah seafood."Hana melirik Green sekilas. "Baiklah, ayo kita ke sana."Jarang-jarang Green meminta makan seperti itu. Seandainya ini adalah waktu sebelumnya, Hana pasti riang gembira menanggapi Green. Dia akan berkata, "Sudah kuduga kamu pasti sangat menyukainya! Tapi ada makanan lebih enak lagi, Green. Bagaimana kalau sekarang kita ke restoran Jepang! Di sana ada makanan enak dan..bla..bla..bla..." Dia tidak akan berhenti bicara.Namun, keadaan sudah berbeda. Sesungguhnya Hana merasa canggung saat ini. Walaupun mereka belum sampai melakukan ke taraf itu, tetapi apa yang telah mereka lakukan kemarin malam memang sudah bena
Saat pulang, suasana cukup mengejutkan. Beberapa orang dari keluarga Winata sudah berkumpul di ruang tamu. Di sana ada Nyonya Erina, Paman Gerry, Paman Rudi, Ferdinand, Shila dan Reynaldi. Tante Felisa dan Ryan tidak hadir di sana. Begitu pula dengan Ghania, karena besok ia juga akan menghadapi ujian percobaan di sekolahnya. Green dan Hana menjadi kikuk. Tetapi mereka tetap menyapa dengan sopan lalu ikut duduk di sana. Di meja terhidang kue dan camilan juga minuman. Tampaknya mereka sudah agak lama juga berada di rumah itu. "Pa, Ma, bukankah pertemuannya sudah dibatalkan?" tanya Hana bingung. "Nenekmu ingin tahu apa yang sudah terjadi sebenarnya," jelas Jihan. "Iya, benar," sela Erina. "Sebenarnya apa yang ingin kalian sampaikan? Dan kenapa malah membatalkan untuk menjelaskannya?" tanya Erina yang merasa curiga. "Apa ada sesuatu yang tidak beres?" tanyanya lagi. "Tidak
Melihat putranya terluka, Paman Rudy tersulut emosi."Apa yang kau lakukan!" teriaknya menatap tajam pada Green. Dia mengambil tiga langkah besar dan meninju wajah Green."Akh!" Green mengerang. Sudut bibirnya berdarah."Paman! Hentikan! Kak Rey harus dibawa ke rumah sakit!" teriak Hana sambil mendorong Rudy agar mundur, lalu ia segera memeluk erat Green yang sudah terduduk di lantai agar tidak dipukul lagi oleh Rudy.Sementara itu, Reynaldi menutup rapat matanya yang sangat sakit dengan telapak tangannya. Dia yakin ada yang tak beres dengan sebelah matanya begitu garpu itu menusuk matanya. Rasa perih menyengat membuatnya ketakutan."Coba Paman lihat matamu!" ucap Paman Gerry dengan kening mengerut. Semua orang mengerumuni Rey kecuali Hana dan Green. Mereka merasa khawatir akan matanya."Tidak bisa! Bawa aku ke rumah sakit! Cepat!" teriak Rey. Air matanya sud