"Bojone deweke lah, masa bojone uwong." Tiba-tiba panggilan berakhir ...
Wanita tua berambut putih yang di sanggul itu memandang Jihan dengan penuh kasih sayang sambil tersenyum."Cucuku ki elek kok yo ulih bojo ayu tenan," ucapnya sambil berdiri dan melangkah menghampiri Jihan yang sedari tadi masih tetap berdiri. "Sini duduk, namanya siapa?" Sapa sang nenek."Jihanna, Nek, panggil saja Jihan," ujarnya."Jihan, ayu temen to cah cah," puji sang nenek sambil memperhatikan wajah Jihan yang berbentuk oval. Jihan yang tak tahu artinya hanya bisa meringis bingung serta penasaran dengan arti yang baru saja di ucapkan sang nenek.Seketika Alfian terdiam ketika mengingat hari ini adalah hari pernikahan sang kekasih, denyutan dalam dada terasa sangat dan amat perih untuknya.Bibir Jihan yang tadinya merekah lebar seketika mengerut melihat ekspresi wajah Alfian yang murung, wanita itu mengira bahwa ucapan sang nenek tidaklah baik untuknya."Assalamualaikum," ucap salam dari sang kakek."Waalaikummusalam," jawab mereka bersamaan sambil memandang masuknya sang kakek."Ndi bojone putuku?" Tanya sang kakek sambil memandang Jihan, "Walah, ayu tenan rek," lanjutnya."Ayu to, Pak, jenenge wong kota," sahut sang nenek.Jihan yang tak tahu artinya lagi hanya meringis sambil menganggukkan kepala. Sesekali mata wanita itu melirik ke arah Alfian yang masih saja termenung.Jantung Jihan berdegup kencang seolah dia takut ada kejadian yang tak di inginkan olehnya, karena Alfian memang benar-benar tidak menghiraukannya saat itu."Nang! Bawa ke kamar sana, istirahat. Nanti kalau sudah hilang capeknya di ajak makan siang," ujar sang nenek sambil menepuk paha Alfian. Pemuda itu terperanjat."Eh, iya, Nek," ucapnya. Tak lupa Alfian menyalami dan memeluk sang kakek ketika dirinya sadar di sana ada sang kakek. "Eh, kek, jam berapa nanti ijab qobul nya?" Tanya Alfian."Sudah selesai tadi jam sembilan, kamu telat," ucap sang kakek."Sudah enggak apa-apa, nanti malam kamu bisa menghadiri acara pestanya," ujar sang nenek. "Enggak nyangka, pacare baru bae nikah la deweke wis ndisitan," ujar sang nenek. Ketakutan dalam hatinya musnah sudah setelah melihat sang cucu tidak seperti apa yang dia bayangkan sebelumnya.Seluruh warga sudah tahu kalau Alfian adalah kekasih Hanum, namun semua ikut terkejut ketik Hanum menikah dengan Danu, musuh bebuyutan Alfian sejak kecil.Tapi semua hanya bisa diam bahkan bungkam, tidak ada yang berani bertanya dan mempertanyakan karena ayah calon suami Hanum orang terpandang di sana, mereka hanya bisa mengiyakan apa kata mereka.Alfian beranjak dari duduknya lalu mengulurkan tangan ke arah Jihan, tanpa segan Jihan meraih tangan Alfian lalu mereka berjalan ke arah kamar milik Alfian sejak kecil."Al, sebenarnya dari tadi nenek kamu ngomong apa sih? Aku enggak ngerti?" Bisik Jihan ketika mereka melangkah ke arah kamar."Sudah nanti aku jelaskan, yang penting sekarang kita berpura-pura sebagai suami istri," jawab Alfian dengan nada berbisik...Acara pesta pernikahan ini terlihat mewah, belum ada sejarahnya ada yang pesta semegah ini di sini. Menurut Alfian dan Jihan sih pesta ini biasa saja yang terbentang lebar tarub masa kini dan di sediakan hiburan orgen, namun, untuk mereka orang yang ada di desa ini baru inilah kali pertama melihat mewahnya hiasan pernak pernik dan bertaburan bunga kertas di sekelilingnya.Semua orang menyapa Alfian, mereka juga ada yang memeluknya karena Alfian memang terkenal baik di sana jadi banyak yang merindukannya. Dari anak-anak hingga orang dewasa bahkan orang tua pun ikut menyapa dan menyalami.Jihan melihat pemandangan itu begitu indah di mana Alfian benar-benar di hargai semua orang bahkan dirinya pun mendapatkan perlakuan dengan baik oleh warga. Beberapa orang telah mengetahui bahwa wanita yang di gandeng Alfian adalah istrinya, namun, ada satu orang wanita yang belum tahu siapa wanita yang di gandeng oleh Alfian."Mas, Al!" Suara teriakan di tengah-tengah keramaian itu membuat kepala Alfian celingukan untuk mencari sumber suara.Alfian melambaikan tangan ketika terlihat dari kejauhan Almera melambaikan tangan sambil berjalan mengarah padanya."Mas, kapan sampai?" Tanya Almera sambil menjabat tangan Alfian begitu sampai di hadapannya."Tadi pagi, tapi enggak bisa langsung ke sini karena istirahat dulu. Ketinggalan ijabnya," jawab Alfian sambil tersenyum."Mas Al, kenapa enggak jawab telepon aku kemarin? Aku kan kangen," ucap Almera dengan nada manja."Aku sudah enggak kepikiran lagi tentang gawai, Al," jawab Alfian dengan nada datar. "Yang aku pikirkan gimana cara cepat sampai ke sini, pinginnya sih cling aja langsung sampai."Kebisingan di sana membuat mereka berbicara dengan suara agak keras. Tapi semuanya terlihat menikmati lagu-lagu yang di nyanyikan oleh seorang biduan yang sedang berdiri di atas pentas.Seketika Almera memandang Jihan dengan tatapan sinis ketika sadar ada wanita yang menggandeng tangan Alfian, tak segan-segan Almera mendekatkan bibirnya ke telinga Alfian."Mas, wanita ini siapa? Teman?" Tanya Almera dengan nada datar namun tak terdengar oleh siapapun karena suara musik lebih keras."Istri.""Apa? Kamu sudah punya istri, Mas? Sejak kapan?" Tanya Almera dengan nada lantang. Dalam pikirannya semua ini tidak mungkin karena hampir di setiap harinya Almera berhubungan lewat telepon dengan Alfian akhir-akhir ini.Almera sudah berharap banyak pada Alfian karena Almera memang memendam rasa pada Alfian.Almera juga wanita sebagai perantara antara Alfian dan nenek beserta kakek, sampai-sampai Almera rela mengajarkan kakek dan nenek dengan sabar sampai keduanya pandai memegang android."Mas! Kenapa kamu enggak kasih tau aku dari dulu kalau kamu sudah punya istri?" Tanya Almera kesal. "Kapan kamu menikah dan kapan kamu mengenal dia? Sepertinya semua ini tidak mungkin," ucap Almera mendengus kesal."Lah memangnya kenapa?" Tanya Alfian. "Apanya yang tidak mungkin?"Almera tidak bisa menjawab, gadis itu hanya bisa berlari ke arah rumahnya dengan rasa kecewa yang sangat luar biasa dalam hatinya.Almera adalah sahabat Hanum sejak kecil, namun, Almera memang memiliki rasa kepada Alfian sejak lama. Maka Almera selalu berharap kisah cinta Alfian dan Hanum kandas tapi sekarang malah Almera tidak bisa lagi berucap apa-apa."Al! Almera!" Teriakan Alfian tidak lagi di hiraukan. Gadis itu menangis sesenggukan dengan punggung tangan mengusap air mata yang terus saja mengalir deras."Dia pacar kamu?" Tanya Jihan dengan nada datar."Bukan. Teman, dia temanku dan juga teman Hanum. Almera lah yang menjadi ibu pos untuk kakek dan nenekku," jawab Alfian sambil terus memandang kepergian Almera."Hmmm, semoga instingku, salah," ucap Jihan sambil menghela nafas panjang."Apa?" Tanya Alfian sambil memandang Jihan.Jihan menggeleng, "Sudahlah, nanti saja kita bahas. Sekarang kita fokus jadi tamu undangan," ujar Jihan yang sudah mencium aroma tak sedap antara Hanum, Almera, dan Alfian.Alfian memberanikan diri memasuki tenda yang sangat besar, di dalamnya banyak kursi yang di selimuti oleh kain putih berenda kuning emas yang sangat cantik.Kaki Alfian terasa berat, namun, Jihan mampu meringankan dengan menggandeng tangan pemuda itu. Pandangan pemuda itu ke bawah, seolah dia tak mampu untuk memandang sang kekasih bersanding dengan yang lain."Al, kamu harus kuat. Jangan lemah kamu itu laki-laki," ujar Jihan yang terus saja memeluk lengan Alfian. Alfian tidak bisa berkata, hanya saja dia fokus dengan air mata yang sudah mengambang supaya tidak menetes.Alfian dan Jihan melewati beberapa jenis makanan yang sudah tersedia di sana, Jihan tahu Alfian tidak akan selera makan maka sebelum mereka berangkat Jihan memaksa Alfian untuk makan malam terlebih dahulu."Al, kita duduk di bagian paling depan," ujar Jihan."Jangan, cari tempat lain saja," ujar Alfian.Jihan menganggukkan kepala seolah dia mengerti, rasa yang saat ini di rasakan oleh Alfian sangat luar biasa sakitnya. Jika tidak mengingat dan melihat banyak orang di sini, ingin rasanya semua kursi yang ada di lempar ke angkasa.Alfian duduk dengan mata tetap memandang ke bawah, sekalipun dia tidak berani memandang ke pelaminan di mana kedua mempelai sedang sibuk berpose untuk mengambil gambar."Al! Kamu yang kuat, kamu yang sabar. Aku tahu ini sangat berat untukmu tapi kamu harus yakin kalau Tuhan sudah menyediakan wanita yang lebih baik darinya," ucap Jihan sambil memegang telapak tangan Alfian sebelah kanan. "Al!"Perlahan Alfian menoleh ke samping untuk memandang Jihan, tatapan mata Jihan seperti orang yang sedang berharap. Alfian menganggukkan kepala ketika menatap mata Jihan."Ji, aku enggak sanggup," ucap Alfian yang tiba-tiba menangis sesenggukan, beberapa tamu undangan menyaksikan kesedihan Alfian."Al! Aku ini istri kamu. Apa kamu enggak menghargai aku di sini? Nyatanya kamu masih bersedih atas pernikahan mantan kamu? Hah?" Ucap Jihan dengan nada lantang.Seketika beberapa orang menoleh ke arah mereka, sumber suara itu terdengar oleh kedua pengantin. Seketika Alfian memandang Jihan dan dengan sigap wanita itu mengambil tisu lalu mengusap air mata suami pura-pura nya.Alfian meringis geli melihat ekspresi Jihan yang seperti marah sungguhan, pemuda itu tidak menyangka kalau Jihan mampu menggelitik hatinya."Aku malu," ucap Alfian sambil menutup wajah menggunakan kedua telapak tangannya, "Semua orang memandang ke sini," lanjutnya.Jihan tertawa lepas sambil memeluk Alfian di tengah keramaian, saat ini merekalah yang menjadi pusat perhatian dan bukan kedua mempelai."Al! Hanum memandang ke arah sini," ucap Jihan dengan nada datar dan mata melirik ke arah Hanum.Perlahan Alfian mengangkat pandangannya ke depan, pemuda itu mencoba menguatkan hati untuk memandang sang kekasih.Pandangan mereka sama-sama merasuk ke hati, tampak dari raut wajah Hanum, pernikahan itu bukan keinginannya tapi tetap saja hal itu membuat Alfian terpuruk.Jihan tersenyum ketika melihat ekspresi wajah Hanum tidak baik-baik saja, wanita itu malah melingkarkan tangannya ke pinggang Alfian dengan kepala yang menempel di pundak."Pak! Pak! Kok enggak malu, ya, mereka," ucap salah seorang tamu undangan yang duduk di bagian belakang mereka."Nampaknya mereka orang kota, Bu, jadi kalau di kota hal seperti itu memang sudah biasa dan wajar saja," jawab seorang laki-laki yang kemungkinan adalah sang suami."Apa bapak pernah ke kota?" Tanya wanita itu lagi."Ya, enggaklah, memangnya aku pernah merantau atau ninggalin kamu sendirian? Coba lihat di film-film itu, emang gitu 'kan?" Tanya sang suami."Iya juga, ya, Pak," jawabnya sambil mengangguk-anggukkan kepala.Jihan merasa senang
Kepala Jihan celingukan ke arah ruang keluarga, tidak ada seorangpun yang ada di sekitar. Matanya mengarah pada jam yang menempel di dinding, matanya membelalak lebar ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi.Jihan membuka tudung saji yang tertutup rapat di atas meja, sudah tersedia sarapan dengan sangat rapi di sana. Bening bayam, sambal, dan juga ikan teri yang di goreng. Wanita itu mencomot satu ekor teri lalu memasukkannya ke dalam mulut."Mandi, Neng, nanti baru sarapan," ujar sang nenek yang tiba-tiba ada di belakangnya."Eh." Jihan menoleh, "Iya, Nek," lanjutnya sambil meringis."Alfian belum bangun? Bangunkan saja, ini sudah siang," ujar sang nenek."Belum mau bangun, Nek, tadi sudah aku bangunkan," ucap Jihan sambil mengikuti langkah sang nenek yang menuju ke dapur.Nek Rum membuka pintu belakang, di sana sudah tersedia banyak kelapa yang di belah menjadi dua. Beberapa keping kelapa sudah terlepas dari tempurungnya.Nek Rum mengambil posisi duduk di sebuah kur
"Tunggu!" Tiba-tiba ada seorang laki-laki bertubuh tinggi besar menahan lengan Jihan hingga Jihan tak mampu melepasnya."Alfian! Tolong!" Teriak Jihan dengan nada panik.Seketika Alfian menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang setelah suara Jihan terlihat gugup. Secepatnya Alfian berjalan ke arah lelaki berwajah sangar yang saat ini tengah memegang lengan Jihan.Jihan meringis kesakitan karena lelaki itu sangat kuat. Penampilan lelaki itu seperti preman pasar hingga tak ada seorangpun yang berani menolongnya. Kumis tebal, kepala botak, dan matanya yang melotot, membuat semua orang hanya bisa diam dan menyaksikan."Apa-apaan ini?" Tanya Alfian ketika berada di hadapan lelaki itu."Kalian yang apa-apaan? Buat aku pusing. Tadi kau kejar dia, sekarang dia kejar kau. Apa kalian masih main kejar-kejaran di sini?" Tanya lelaki bertubuh tinggi besar yang memakai jaket kulit berwarna hitam. "Ini pegang! Jangan kau lepaskan lagi," ujarnya sambil memberikan lengan Jihan pada Alfian.Seke
Alfian diam seolah berpikir sambil menatap wajah Jihan, memang selama mereka berteman, Danu lebih suka cewek bar-bar ketimbang cewek pendiam seperti Hanum. Bahkan Danu sendiri pernah mengatakan pada Alfian perempuan seperti Hanum bukanlah tipenya.Mata Jihan yang bulat menatap Alfian sambil tersenyum, wanita sangat ingin membantu Alfian untuk mendapatkan cintanya."Ji, benar juga katamu. Aku harus selidiki semua ini," ucap Alfian setelah beberapa saat terdiam."Nah, sekarang yang harus kamu tahu dulu, kenapa Hanum mau menikah dengan Danu? Sedangkan hubungan kalian sudah bertahun-tahun lamanya, bahkan sudah ada rencana mau menikah 'kan?" Tanya Jihan.Alfian mengangguk-anggukkan kepala, pikirannya saat ini sangat kacau. Di sisi lain sebenarnya dia sudah tidak mau tahu dengan urusan Hanum karena wanita itu sudah milik orang lain. Tapi di sisi lain dia juga harus tahu karena semua ini berjalan dengan tiba-tiba.Alfian menghidupkan mesin motor, dengan perlahan motornya meninggalkan area gu
Alfian hanya bisa meratapi nasib yang sedang menimpanya. Hati yang sakit membuat tubuhnya lemah tak berdaya, jiwanya tak ingin hidup walau raganya masih ingin bergerak.Hari terus berganti, pemuda itu masih berusaha untuk terus berjalan walau hanya bisa diam. Beban yang harus dia pikul membuat raganya harus tetap bekerja.* * *"Al! Kantin, yuk." Lamunan Alfian buyar ketika mendengar suara wanita yang menyebut namanya."Enggak ah. Enggak lapar aku," jawabnya setelah dia memandang wanita itu adalah Safitri.Jam istirahat kantor telah tiba, namun, Alfian masih saja seperti biasanya yang hanya duduk di kursi miliknya tanpa melakukan aktivitas apapun kecuali melamun.Safitri memutarkan kursinya menghadap Alfian, wanita itu sejak lama memperhatikan teman sekantornya itu tapi baru kali ini dia memberanikan diri untuk mengajaknya berbicara."Al, coba cerita sama aku. Sebenarnya kamu ini ada apa? Apa akan selamanya kamu seperti ini?" Tanya Safitri dengan nada lirih."Sa, aku enggak tahu harus
Alfian tersenyum sambil menggelengkan kepala, tangan kanannya sudah memegang tali ransel sebelah kanan yang menempel di dada. "Tidaklah. Aku sudah tidak punya harapan lagi," jawab Alfian sambil berbisik."Yakin? Terus rencana kita bagaimana?""Nanti kita bicarakan di sana.""Jihan. Masuk!" Cetus Brahma dengan nada sedikit sinis.Seketika Jihan memandang sang papa dengan mata membelalak, jantungnya berdegup kencang seolah takut sifat asli sang papa kembali lagi seperti sebelumnya.Tanpa pikir panjang Jihan melangkah ke sisi mobil sambil memegang lengan Alfian."Aku naik motor saja, Ji," ucap Alfian setelah Jihan duduk di dalam mobil."Kenapa?" Tanya Jihan memandang Alfian."Naik mobil saja. Di rumah kami tidak terbiasa memajang motor," timpal Brahma yang hendak naik di bagian depan.Alfian memandang Brahma sambil masuk dan duduk di samping Jihan. Pemuda itu masih saja berpikir positif pada Brahma, namun, sang nenek sudah memiliki firasat tak enak sehingga wanita tua itu memandang sang
"Bisa. Pasti bisa," ucap Jihan meyakinkan."Sekarang istirahat lah di kamar, sayang," ucap Brahma sambil terisak.Jihan mengangguk, wanita itu melangkah ke kamar di ikuti Alfian di belakangnya. Semua orang yang ada di di sana masih fokus dengan pulih nya sang ratu dalam rumah.Bruk!Jihan menghempaskan tubuhnya di ranjang, tubuhnya menggeliat untuk melepaskan rasa lelah yang sangat luar biasa. Kelegaan dalam hati dan pikiran membuatnya terasa kantuk."Ji, besar banget kamar kamu," ucap Alfian sambil duduk di tepi ranjang."Biasa saja," jawab Jihan dengan mata terpejam."Kamu kan punya adik, kok tadi adik kamu tidak ada?" Tanya Alfian sambil melepaskan ransel yang masih di gendong sedari tadi."Mungkin dia lagi keluar. Al, sekarang apa yang akan kamu lakukan?""Maksudnya?""Almera. Kamu tidak cari tahu di mana dia?"Alfian tersenyum sambil menghela nafas, "Biarlah, biar semua berjalan dulu. Siapa tau suatu saat nanti ada jalan terbaik," ucap Alfian sambil tersenyum.Jihan beranjak dari
Mata Jihan membulat memandang sang mama yang saat ini tersenyum padanya, wanita itu sekilas melirik ke arah Alfian namun Alfian masih sibuk dengan gawainya."Tanya Alfian, Ma. Kalau aku belum siap," jawab Jihan sambil mengambil air mineral yang sedari tadi ada di samping piring miliknya."Loh, kenapa belum siap?" Tanya Sandra."Nanti keburu tua," cetus Tasya."Untuk apa cepat-cepat punya anak yang akhirnya bukan dia sendiri yang urus," timpal Jihan kesal.Alfian mematikan gawai yang ada di tangannya, pesan yang baru saja masuk ternyata dari Safitri. Wanita itu memberi kabar oleh Alfian kalau bos pemilik perusahaan itu memintanya untuk kembali bekerja di sana.Alfian bingung dengan sifat mereka yang diam, sementara dia benar-benar tidak mendengar obrolan apa yang baru saja di bahas oleh mereka."Al, di tanya mama tuh," jawab Jihan."Ada apa, Ma?" Tanya Alfian memandang Sandra."Kapan kalian berencana punya anak? Mama pengen gendong cucu dari kalian," ucap Sandra.Alfian menelan ludah,
Tidak berselang lama, Jihan kembali dengan membawa tiga gelas jus jeruk. Wanita itu duduk di sebelah kanan Alfian sedangkan Safitri duduk di seberangnya."Ada. Aku ada fotonya," ucap Safitri sambil menggeser-geserkan layar gawai miliknya."Foto siapa, Al?" Bisik Jihan pada suaminya."Danu," sahut Alfian.Mata Alfian dan Jihan sama-sama melotot ketika Safitri menyodorkan gawainya yang terpajang foto Danu di sana. Ya, benar. Di sana ada Danu suami dari Hanum.Alfian menghela nafas panjang sambil menyandarkan punggungnya di dinding. Pemuda itu ingin marah kepada Danu tapi apa untungnya? Toh lelaki itu pilihan Hanum sendiri."Jadi rencana kamu gimana, Sa?" Tanya Alfian."Ya, kami akan menikah," sahut Safitri sambil tersenyum.Alfian hanya bisa mengangguk-anggukan kepala, pemuda itu tak dapat berkata apa-apa. "Terus aku di undang ke sini untuk apa, Al?" Tanya Safitri yang masih penasaran."Danu itu—""Eh, Al, ada sesuatu yang mau aku beli. Ini penting, ayo kita pergi." Jihan memotong pemb
Sejenak Jihan akan memanggil wanita itu namun dia mengurungkan niatnya dengan membalik badan. Wanita itu masuk ke dalam rumahnya dan tidak lama keluar kembali.Jihan mentransfer uang untuk ibu kost setelah meminta nomor rekening beliau tadi, untungnya aplikasi untuk mentransfer masih ada di gawainya. Dia sudah nyaman untuk tinggal di sana maka dia tidak keberatan untuk membayar langsung selama setahun. "Mbak Jihan, mau ke mana?" Tanya tetangga sebelah rumah yang kemarin sudah berkenalan dengannya."Mau ke kantor, Al, Bu. Ada urusan dadakan," sahut Jihan sambil mengunci pintu."Oh, baru juga sebentar di tinggal, Mbak. Kangen, ya?" Ucap wanita itu dengan nada menggoda.Jihan tersenyum lebar sambil menggelengkan kepala, ada-ada saja tingkah wanita itu. Tapi sebenarnya jauh di lubuk hati Jihan memang merasa senang dia akan bertemu dengan Alfian, padahal baru beberapa jam saja dia di tinggal.Jihan menghentikan langkah ketika melihat seorang wanita muda tengah menjemur pakaian yang ada di
Jihan meletakkan kembali gawai yang ada di tangannya dengan mata berkaca-kaca, kepalanya mendongak dengan memandang langit-langit rumah sembari menghela nafas panjang.Usahanya untuk menahan air mata yang hendak jatuh tak berhasil, air mata itu tetap jatuh membasahi area pipi. Wanita itu mengambil kembali gawai bukan untuk menjawab telepon melainkan mematikan daya gawai."Ma, maafin aku, Ma. Lebih baik aku pergi daripada aku harus tinggal sama papa."Jihan kembali beres-beres rumah dengan air mata yang sesekali masih menetes. Namun, sekuat hati wanita itu mencoba mengalihkan pikirannya ketika melihat isi dapur masih terlihat kosong..."Al, apa sebaiknya aku cari rumah kost sendiri, ya?" Tanya Jihan di saat mereka tengah makan malam yang baru di beli Alfian."Loh, kenapa? Kamu masih belum percaya sama aku kalau aku bakal menjaga—""Bukan itu maksudku, Al.""Lantas?" Tanya Alfian sambil memandang Jihan.Jihan dan Alfian duduk di lantai beralaskan tikar plastik, mereka tampak seperti p
Ayu tersenyum sinis memandang Jihan, sayangnya Brahma Utama tidak memperhatikannya. Lelaki paruh baya itu fokus memandang sang putri dengan sangat marah."Pa—""Jihan! Sudah papa peringatkan kamu, kalau kamu tidak bisa terima dengan keputusan papa ini sebaiknya kamu pergi!" Ucap Brahma Utama dengan nada lantang.Rasa emosi Jihan tidak bisa di bendung lagi, tanpa pikir panjang wanita itu menutup dengan kuat daun pintu sehingga menyebabkan suara sangat keras.Jihan mengambil sebuah koper dari atas almarinya, wanita itu menyusun beberapa baju miliknya dan juga peralatan serta perlengkapan dirinya.Tidak menunggu waktu lama, wanita itu menuruni anak tangga dengan menarik gagang koper berwana hitam. Langkahnya sejenak berhenti ketika melihat sang papa dan wanitanya duduk berdua di kursi makan."Eh, mau ke mana kamu, Mbak?" Tanya Tasya terkejut, wanita yang masih duduk di kursi yang ada di teras itu beranjak sambil meletakkan gawai di atas meja."Aku mau pergi, Tasya. Enggak ada lagi sainga
Jihan yang tengah duduk di lantai dengan kedua tangan melipat di atas lutut, kini berdiri tegap sambil memandang sang adik."Tasya, sampai kapan kamu anggap aku ini musuh? Hah?" Tanya Jihan sambil melangkah ke arah Tasya."Aku bukan menganggap, tapi kamu memang musuhku," ucap Tasya dengan ketus."Apa salahku? Apa?" Teriak Jihan."Kamu enggak sadar? Semua kasih sayang mama kamu ambil, Mbak. Mama lebih sayang sama kamu dan mama lebih perhatian sama kamu, mama enggak pernah memberi perhatian yang sama sepertimu," ucap Tasya dengan rasa geram.Unek-unek di dalam hati kini telah keluar dari mulut Tasya, selama ini wanita itu hanya bisa memendam karena tiada tempat mengadu. Jika mengadu kepada sahabatnya, hal inilah yang dapat merendahkan dirinya karena dia selalu bercerita dialah yang terbaik di rumah ini."Kamu enggak pergi saja ikut suamimu? Ngapain lagi kamu di sini, mau jadi janda?" Ucap Tasya dengan nada ketus dan wajah sinis."Aku di sini untuk mama, bukan untuk hidupku," jawab Jihan
Secepatnya Jihan menjawab telepon, "Halo, Pa," sapa wanita itu setelah menggeser layar gawai ke arah kanan."Jihan, kamu kenapa belum sampai?" Tanya Brahma Utama dari seberang."Pa, Jihan mendadak tidak enak badan," jawab Jihan dengan nada lirih. Jantungnya berdegup kencang setelah mengingat wanita yang di bawa sang papa telah di usir olehnya."Ya, sudah. Papa cari pengganti saja," jawab Brahma Utama lalu mengakhiri panggilan.Jihan menghela nafas panjang sambil memandang Alfian yang masih duduk di tepi ranjang tengah memandangnya."Al, kamu enggak ke kantor?" Tanya Jihan."Enggaklah, besok saja," jawab Alfian sambil membuka sepatu yang dia kenakan."Berangkat saja, aku enggak kenapa-kenapa kok," ujar Jihan sambil menyeka poni ke belakang telinga.Alfian menggelengkan kepala, pemuda itu tahu kalau masalah yang sedang di hadapi istrinya sangat rumit. Setelah membuka sepatu pemuda itu masuk ke dalam kamar mandi."Al, aku ke kamar mama dulu, ya," ucap Jihan sambil memandang Alfian yang t
"Ih, ngaco kamu," ucap Jihan dengan bibir manyun.Gelak tawa Alfian menggelegar, tak pernah di bayangkan pemuda itu bisa berkenalan dengan wanita secantik dan sebaik Jihan. Sungguh beruntung hidupnya setelah bertemu Jihan, kini dia tidak lagi pusing memikirkan keperluan nenek dan kakeknya yang ada di kampung karena semua fasilitas dan kebutuhan sudah di penuhi oleh Jihan, bahkan setiap bulannya Jihan mampu mengirimkan uang yang lebih dari yang sebelumnya di kirimkan oleh Alfian untuk nenek dan kakeknya..."Sayang, nanti kalau kamu sudah pulang, telpon aku, ya. Jangan naik angkot," ujar Alfian sambil mengunyah."Memangnya kamu mau pulang jam berapa?" Tanya Jihan sambil memandang suaminya yang ada di samping."Ya, seperti biasanya," jawab Alfian sambil menelan makanan yang baru di kunyah.Sarapan pagi ini tampak ada yang kurang, di mana kursi milik Sandra masih kosong. Sedari tadi Jihan sesekali memandang ke arah kamar sang mama namun kamar itu masih tetap tenang dengan posisi tertutu
"Aku boleh tanya sesuatu?" Tanya Jihan sambil memandang Alfian yang masih memandang cermin.Alfian menoleh, "Tanya?" Pemuda itu duduk di tepi ranjang menatap wajah Jihan yang tampak serius, "Tanya apa?""Safitri belum menikah 'kan?" "Belum.""Dia belum menikah tapi kenapa dia sudah ha—""Kamu tahu Safitri hamil? Dari siapa?" Potong Alfian dengan mata membelalak.Jihan menghela nafas panjang sambil mengalihkan pandangan ke arah lain, pertanyaan yang selama ini dia pendam kini sudah keluar dari mulutnya. Wanita itu terus saja di hantui rasa takut akan suami pura-pura nya lah lelaki jalang itu.Rasa panas dingin di rasakan olehnya ketika menunggu jawaban dari Alfian, perlahan matanya memandang Alfian yang kini masih duduk di depannya."Aku, aku enggak sengaja buka chat kamu kemarin. Kepo aja nomor kakek dan nenek," jawab Jihan beralasan."Jadi kamu buka aplikasi hijau milikku? Bukannya penyimpanan nomor itu di kontak telepon?" Tanya Alfian kesal.Alfian beranjak dari duduknya, pemuda it
Jihan tertawa lepas sambil menutup mulutnya, wanita itu sangat terlihat bahagia sampai-sampai dia tidak menghiraukan beberapa pasang mata menyaksikan mereka.Jihan memegang tangan Alfian lalu berjalan ke arah pintu masuk, gedung yang tinggi di penuhi dengan pengunjung untuk berbelanja yang mereka perlukan."Eh, Al! Itu," ucap Jihan menghentikan langkahnya sambil memandang ke arah jalan yang ramai pengunjung."Ada apa?" "Itu, anu. Ih, siapa itu, suami Hanum," ucap Jihan sambil menarik lengan Alfian dengan langkah panjang dan suara terbata."Mana ih? Jangan suudzon, ngapain suami Hanum sampai sini," ucap Alfian sambil terus mengikuti langkah Jihan.Jihan terus memantau lelaki berjaket kulit serta celana jeans yang sedang menggandeng seorang wanita, wanita itu celingukan karena pandangannya terhalang oleh beberapa pengunjung lain.Entah kenapa langkah mereka kalah sehingga mereka kehilangan jejak, Jihan menghentikan langkah sambil menoleh ke arah kanan dan kirinya."Ji, yang bener aja i