Suara teriakan dan umpatan terdengar di mana-mana, suara ledakan dan tembakkan menghiasi suasana malam yang terasa sangat panjang. Perlahan-lahan Riri kehilangan kesadarannya, matanya tertutup di iringi dengan suara yang semakin lama semakin memudar. Entah sudah berapa lama Riri tidak sadarkan diri, suasana kota Jakarta yang semulanya gelap gulita, sekarang menjadi terang benderang. Suara bising mengusik ketenangan Riri yang sudah lama tidak sadarkan diri. Mata yang sudah sendari tadi tertutup itu perlahan-lahan terbuka. Cahaya putih mulai terlihat, Riri beberapa kali mengerjapkan matanya karna silau dengan cahaya di sekelilingnya. “Akhirnya sadar juga, bisa pindah alam aku kalau sampai bu bos kenapa-kenapa.” “Hampir saja aku bakar orang-orang menyebalkan itu.” Mata Riri tidak bisa terbuka sempurna, namun samar-samar Riri bisa mendengarkan keributan yang ada di sekitarnya. ‘Apa itu suara Alden?, mas Leon sekarang ada di mana?.’ Tangan Riri tergerak untuk memegang kep
“Kamu belum kapok ya? Mumpung lagi di rumah sakit lebih baik kamu ke dokter untuk periksa sekarang, siapa tahu ada salah satu sel di otakmu yang menghilang, kan bahaya kalau semakin memburuk. Nanti tidak tahu dirinya jadi bertambah buruk.” Riri melipat kedua tangannya di depan dada, tatapan mata yang seperti tidak mengenal takut itu membuat Rena kesal setengah mati. “Apa maksudmu?!.” Bentak Rena tidak terima. Mata Rena melotot tajam kearah Riri yang sedang tersenyum-senyum. “Dasar orang rendahan, memang benar kalau orang miskin pasti tidak punya sopan santun. Ya mau bagaimana lagi, pendidikannya saja rendah, apa lagi lingkungannya, pasti sangat buruk.” Cibir Rena sembari membalas tatapan Riri dengan tatapan menghina. Riri terkekeh geli, matanya melirik jam sekilas lalu kembali menatap Rena. “Kamu kira kamu punya sopan santun? Kalau orang punya sopan santun, dia pasti tidak akan merebut suami orang, apa lagi sampai sok sombong di depan istri sahnya. Lagi pula kalau soal sopa
“Sudahi tawa jelekmu itu sebelum aku robek mulutmu!.” Tawa yang tadinya menggema ke seluruh penjuru ruangan kini terhenti seketika. Ardian, yang merupakan musuh bisnis sekaligus pelaku penusukan Brion membeku seketika saat melihat Leon berada di depan pintu. Leon berjalan masuk menghampiri Brion yang sedang mematung karna terlalu shok. “Pergilah dulu, periksa ada yang terluka atau tidak.” Ujar Leon sambil menepuk pundak Brion. Brion yang masih ling-lung hanya diam sembari menatap Leon dengan wajah yang di penuhi berbagai pertanyaan. Melihat Brion yang tidak bergerak, Leon memberi kode kepada anak buahnya agar membawa Brion keluar. “Jangan lupa bawa anak itu juga.” Ujar Leon lagi ketika melihat Dion yang masih tertidur pulas. Melihat Leon yang sedang tidak memperhatikannya, Ardian perlahan-lahan berjalan mundur dan berlari untuk menyelamatkan diri. Namun karna pergerakan anak buah Leon lebih cepat dan sigap, Ardian bisa di tangkap dengan mudah. Leon tersenyum puas keti
“Apa kamu yakin?.” Leon mengangguk tanpa adanya rasa ragu di wajahnya. Selama dua hari belakangan ini Leon mencari tahu gerak gerik dari kedua wanita itu, dan di sanalah Leon mendapatkan jawaban yang sesuai dengan dugaannya. “Papah pergi dulu temui Brion, kamu urus ini secepatnya lalu perbaiki penampilanmu. Pagi tadi waktu papah pergi ke rumah sakit Riri kabur mencari kamu di mana-mana, jangan sampai Riri melihatmu dengan penampilan seperti ini.” Pak Arjuna pergi meninggal Leon sendirian di ruang kerja. Leon yang mendengar ucapan pak Arjuna hanya bisa menghela nafas, matanya melirik kearah dinding yang terbuat dari marmer, tampilannya yang bening membuat Leon bisa melihat pantulan dirinya sendiri dengan jelas. Leon yakin seratus persen kalau Riri pasti akan ketakutan ketika melihat penampilannya yang seperti ini. Leon berjalan menuju kursi yang tadi di duduki oleh pak Arjuna. Tangannya bergerak mengambil sebuah foto yang ada di atas meja kerjanya. “Dia kira aku tidak ingin m
“Apa aku telefon sekarang saja ya? Tidak enak juga kalau papah nungguin hp-nya.” Riri menatap ponsel ayah mertuanya yang sudah dari tadi berada di tangannya. Dari ponsel itu di berikan bahkan sampai matahari terbenam pun Riri masih ragu untuk menghubungi Leon. Jari Riri menggeser-geser layarnya saja tanpa berani menekan nomor kontak Leon, tangannya bahkan sudah bergetar hebat karna terlalu gugup, hampir dua bulan tidak bertemu membuat Riri merasakan sensasi asing yang ada di dalam hatinya. “Padahal aku hanya ingin menelepon suamiku sendiri, tapi kenapa rasanya gugup sekali? Masa iya kita jadi asing hanya karna sudah lama tidak berkomunikasi, lantas apa jadinya kalau sampai aku di tinggal pergi dinas selama enam bulan, bisa-bisa kita reuni di pengadilan agama.” Riri menarik nafas panjang-panjang lalu menghembuskannya dengan rasa berat hati. Matanya kembali menatap kearah ponsel yang sudah menampilkan wajah dirinya. Seulas senyum terbit di wajah cantik Riri saat melihat foto
“Jangan pingsan lagi!...” Leon duduk di samping Riri yang terlihat sangat pucat saat melihat luka di tubuhnya. Tatapan mata Riri yang kosong dan tubuhnya yang terlihat seperti akan jatuh berhasil membuat Leon panik bukan main. Leon menggendong Riri untuk meletakkannya kembali keatas tempat tidur. Mata Leon kini melirik keseluruh penjuru kamarnya untuk mencari di mana keberadaan ponselnya. “Sial! Kenapa harus hilang di saat penting begini?!.” “Apa itu sakit?” Leon yang tadinya sibuk mencari keberadaan ponselnya tiba-tiba menatap kearah Riri yang sudah menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Leon menundukkan kepalanya dan menatap kearah tangan Riri menunjuk. Leon menghela nafas lega lalu mengecupi seluruh penjuru wajah Riri. Leon sempat panik karna untuk beberapa saat isi pikiran dan hati Riri tidak bisa dia baca. Leon akhirnya duduk di samping Riri yang masih terbaring lemas. ‘Aku kira mas Leon tidak kenapa-kenapa karna tidak ada luka satu pun di wajah, tapi ternyata
“Kamu masih ingat itu? Semuanya berawal dari situ."Sebuah ikat pinggang berwarna merah berada di tangan Riri, setelah mengatakan akan menjawab semua pertanyaannya, Leon memberikan sebuah kain kecil panjang ke tangan Riri. Riri mencoba mengingat-ingat tentang barang yang ada di tangannya.‘Apa ini? Sepertinya aku pernah melihat ini, tapi di mana ya?.’“Bagaimana? Ingat tidak? Aku menunggumu selama ini dengan bantuan ikat pinggang itu, walaupun kamu tidak mengingatnya karna masih kecil, aku akan tetap kecewa kalau kamu tidak mengingat apa-apa tentang pertemuan kita di masa lalu.”Riri berusaha untuk tetap mengingat, namun apa pun yang berhubungan dengan ikat pinggang merah di tangannya sama tidak dia ingat.“Ikat pinggang?.” Tanya Riri memastikan.Mendengar pernyataan Riri, Leon hanya mengangguk sambil tersenyum.Melihat Leon hanya mengangguk Riri bertambah kebingungan. Riri mencoba mengingatnya, namun tidak dapat mengingat apa pun.Leon akhirnya turun tangan ketika melihat waja
Dengan langkahnya yang gontai, Riri berjalan menuju kearah beberapa orang yang sudah menunggunya, melihat pemandangan yang ada di depannya, Riri mendumal sejadi-jadinya. “Dia yang suruh menunggu, dia sendiri yang hilang entah kemana. Memangnya tidak bisa ya menjemputku dulu? Kalau ada yang penting kan bisa tinggal bilang saja, kenapa pula dia menyuruhku menunggu di dalam, benar-benar menyebalkan.” “Kembali anakku! Kamu sendiri kan yang berjanji akan menjaga Renata! Kenapa sekarang malah kamu sendiri yang menyakitinya! Mana janjimu yang dulu?!.” Tubuh Riri seketika membeku, langkahnya terhenti, dan mulut yang sudah dari tadi terus mendumal tiba-tiba diam seribu bahasa. Suara yang terdengar sangat jauh namun jelas membuat Riri kehilangan kata-katanya. ‘Tunggu dulu, tadi dia bilang janji kan? Apa yang datang barusan itu ibunya Rena?.’ Riri menoleh menatap jendela butik, rasa penasaran memenuhi hatinya, kakinya yang diam kembali ingin bergerak karna merasa gatal. Riri berpikir s