“Apa aku telefon sekarang saja ya? Tidak enak juga kalau papah nungguin hp-nya.” Riri menatap ponsel ayah mertuanya yang sudah dari tadi berada di tangannya. Dari ponsel itu di berikan bahkan sampai matahari terbenam pun Riri masih ragu untuk menghubungi Leon. Jari Riri menggeser-geser layarnya saja tanpa berani menekan nomor kontak Leon, tangannya bahkan sudah bergetar hebat karna terlalu gugup, hampir dua bulan tidak bertemu membuat Riri merasakan sensasi asing yang ada di dalam hatinya. “Padahal aku hanya ingin menelepon suamiku sendiri, tapi kenapa rasanya gugup sekali? Masa iya kita jadi asing hanya karna sudah lama tidak berkomunikasi, lantas apa jadinya kalau sampai aku di tinggal pergi dinas selama enam bulan, bisa-bisa kita reuni di pengadilan agama.” Riri menarik nafas panjang-panjang lalu menghembuskannya dengan rasa berat hati. Matanya kembali menatap kearah ponsel yang sudah menampilkan wajah dirinya. Seulas senyum terbit di wajah cantik Riri saat melihat foto
“Jangan pingsan lagi!...” Leon duduk di samping Riri yang terlihat sangat pucat saat melihat luka di tubuhnya. Tatapan mata Riri yang kosong dan tubuhnya yang terlihat seperti akan jatuh berhasil membuat Leon panik bukan main. Leon menggendong Riri untuk meletakkannya kembali keatas tempat tidur. Mata Leon kini melirik keseluruh penjuru kamarnya untuk mencari di mana keberadaan ponselnya. “Sial! Kenapa harus hilang di saat penting begini?!.” “Apa itu sakit?” Leon yang tadinya sibuk mencari keberadaan ponselnya tiba-tiba menatap kearah Riri yang sudah menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Leon menundukkan kepalanya dan menatap kearah tangan Riri menunjuk. Leon menghela nafas lega lalu mengecupi seluruh penjuru wajah Riri. Leon sempat panik karna untuk beberapa saat isi pikiran dan hati Riri tidak bisa dia baca. Leon akhirnya duduk di samping Riri yang masih terbaring lemas. ‘Aku kira mas Leon tidak kenapa-kenapa karna tidak ada luka satu pun di wajah, tapi ternyata
“Kamu masih ingat itu? Semuanya berawal dari situ."Sebuah ikat pinggang berwarna merah berada di tangan Riri, setelah mengatakan akan menjawab semua pertanyaannya, Leon memberikan sebuah kain kecil panjang ke tangan Riri. Riri mencoba mengingat-ingat tentang barang yang ada di tangannya.‘Apa ini? Sepertinya aku pernah melihat ini, tapi di mana ya?.’“Bagaimana? Ingat tidak? Aku menunggumu selama ini dengan bantuan ikat pinggang itu, walaupun kamu tidak mengingatnya karna masih kecil, aku akan tetap kecewa kalau kamu tidak mengingat apa-apa tentang pertemuan kita di masa lalu.”Riri berusaha untuk tetap mengingat, namun apa pun yang berhubungan dengan ikat pinggang merah di tangannya sama tidak dia ingat.“Ikat pinggang?.” Tanya Riri memastikan.Mendengar pernyataan Riri, Leon hanya mengangguk sambil tersenyum.Melihat Leon hanya mengangguk Riri bertambah kebingungan. Riri mencoba mengingatnya, namun tidak dapat mengingat apa pun.Leon akhirnya turun tangan ketika melihat waja
Dengan langkahnya yang gontai, Riri berjalan menuju kearah beberapa orang yang sudah menunggunya, melihat pemandangan yang ada di depannya, Riri mendumal sejadi-jadinya. “Dia yang suruh menunggu, dia sendiri yang hilang entah kemana. Memangnya tidak bisa ya menjemputku dulu? Kalau ada yang penting kan bisa tinggal bilang saja, kenapa pula dia menyuruhku menunggu di dalam, benar-benar menyebalkan.” “Kembali anakku! Kamu sendiri kan yang berjanji akan menjaga Renata! Kenapa sekarang malah kamu sendiri yang menyakitinya! Mana janjimu yang dulu?!.” Tubuh Riri seketika membeku, langkahnya terhenti, dan mulut yang sudah dari tadi terus mendumal tiba-tiba diam seribu bahasa. Suara yang terdengar sangat jauh namun jelas membuat Riri kehilangan kata-katanya. ‘Tunggu dulu, tadi dia bilang janji kan? Apa yang datang barusan itu ibunya Rena?.’ Riri menoleh menatap jendela butik, rasa penasaran memenuhi hatinya, kakinya yang diam kembali ingin bergerak karna merasa gatal. Riri berpikir s
Riri menatap sebuah tempat duduk yang ada di depannya. Tempat yang akan menjadi tempat pelaminannya di hias sedemikian rupa sesuai dengan apa yang dia inginkan. Walaupun melihat pemandangan indah di depannya, Riri masih terpikirkan tenang perkataan suaminya tadi. 'Apa benar mas Leon akan melepaskan Rena? Lalu bagaimana kalau sampai Rena tertangkap lagi? Tidak mungkin mas Leon akan benar-benar menghabisinya kan? Lalu bagaimana dengan lanjutannya?.’ Riri di buat kesal sekaligus kebingungan. Percakapan antara Leon dan ibu Rena hanya di dengar setengah oleh Riri. Riri yang sebenarnya penasaran pun berniat untuk mendengar pembicaraan mereka lebih lanjut, namun karna di seret paksa oleh beberapa anak buah Leon, Riri jadi tidak bisa mengetahui kelanjutannya. ‘Lagi pula sejak kapan mas Leon punya anak buah perempuan? Mana cantik-cantik lagi, bukannya preman tidak ada yang perempuan ya?.’ Riri termenung dengan mata yang masih menatap lurus kearah tempat pelaminannya, berbagai pertan
‘Siapa itu? Kenapa dia membawa pisau daging ketengah-tengah acara pesta seperti ini? Dan kenapa juga dia memakai masker di dalam ruangan yang penuh orang, memangnya dia tidak merasa sesak?.’ Kehadiran sesosok orang berbaju hitam yang tidak di ketahui identitasnya membuat Riri merasa sedikit was-was. Lokasinya yang berjarak beberapa meter darinya membuat hati Riri menjadi tak tenang dengan keselamatan orang-orang di sekitarnya. “Kenapa kak?.” Riri terperanjat kaget saat mendengar suara Dion di tengah-tengah pikirannya yang sedang berada di tempat lain. “Tidak apa-apa, hanya sedikit kepikiran saja.” Riri kembali menoleh kearah tempat di mana orang itu berada, namun anehnya di saat Riri mencari kembali keberadaannya, orang itu sudah tidak ada lagi di tempatnya. Hilangnya yang secara tiba-tiba membuat hati dan pikiran Riri menjadi semakin tidak tenang. Riri memperluas pandangan dan melihat sekeliling dengan teliti, setelah beberapa lama Riri memperhatikan sekitarnya, keberadaan
“Aksa sayang!...” Riri melangkahkan kakinya menuju panti asuhan di mana Aksa tinggal saat ini. Senyumnya mengembang sempurna di kala melihat sang bayi manis yang sudah tertawa karna melihatnya. Tanpa memperdulikan ibu penjaga panti, Riri langsung mengambil Aksa yang tengah duduk di atas kasur. Melihat tingkah istrinya, Leon hanya bisa menggelengkan kepala. Leon melangkahkan kakinya menghampiri ibu panti yang berada tak jauh darinya. “Maaf bu, untuk satu minggu ke depan Aksa akan kami bawa pulang. Untuk semua keperluannya akan saya siapkan, jadi ibu tidak perlu khawatir.” Setelah hampir satu bulan menghabiskan waktu berdua, Leon dan Riri memutuskan untuk membawa Aksa pulang ke rumah selama satu minggu penuh. Di sepanjang perjalanan Riri bermain-main dengan Aksa, senyumnya mengembang sempurna, dan suara tawa mereka memenuhi seisi mobil. Mobil yang mereka tumpangi melaju kencang membelah ramainya jalanan di kota Jakarta. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mereka sampai di r
“Nyonya ingin mereka pergi dari sini?.” Tanya Alden memastikan. Dengan sorot matanya yang tajam, Riri mengangguk mengiyakan ucapan Alden. Secara tiba-tiba dari arah belakang terdapat dua orang wanita berbaju hitam dan berdiri di samping kanan kirinya Riri. Alden berjalan menghampiri beberapa orang penggosip yang membicarakan keluarga bosnya. Dengan modal kata-kata dan perintah dari Riri, Alden membereskan mereka tanpa menimbulkan keributan seperti apa yang dia katakan tadi. Dengan mata kepalanya sendiri, Riri melihat banyak orang yang mulai menghampiri dan mengerumuni beberapa wanita yang tadi sedang membicarakannya. Hanya berselang beberapa menit saja para wanita itu hilang dari hadapan Riri. Riri terbelalak tak percaya, berkali-kali dia menggosok matanya untuk memastikan penglihatannya. “Apa kaca mataku sudah tidak berfungsi lagi?.” ***** Di dalam sebuah apartemen yang mewah terdapat sepasang mata panda milik Riri yang sedang terkantuk-kantuk. Sudah menjadi rutin
Kabar menghilangnya Ariza membuat heboh keluarga besar bu Khansa, Riri yang tidak memiliki hubungan baik dengan Ariza terpaksa ikut mencari keberadaan sepupunya itu. “Nak Leon, tolong paman, dia anak perempuan paman satu-satunya, bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu dengannya.” Ujar pak Abdul dengan wajah melasnya. Tentu saja orang yang paling di sasar pertama adalah Leon, koneksi dan anak buah Leon yang tersebar di seluruh Indonesia menjadi modal utama pak Abdul untuk mencari putrinya. Riri yang melihat pamannya seperti itu menjadi tak tega. Walaupun tidak memiliki hubungan yang baik, bagaimana pun Ariza adalah sepupu Riri, sejahat apa pun dia tentu saja Riri harus membantu untuk mencarinya. “Bantu saja mas, aku tidak tega melihatnya.” Bisik Riri tepat di samping telinga Leon. Bagi Leon yang mengetahui niat buruk Ariza kepada Riri sangat sulit untuk melepaskannya, terlebih lagi kejadian beberapa hari yang lalu bisa terulang kembali. “Kita bicarakan nanti di kamar.
“Lebih baik kamu jauhkan sapu tangan itu sebelum nyawamu melayang!.” Mendengar ada suara yang menghentikannya, tanpa menoleh sedikit pun, wanita itu mengeluarkan sebuah pisau dari tasnya menggunakan salah satu tangannya yang lain. Sebelum berhasil melancarkan aksinya, Leon melempar sepatu yang di pakainya hingga membuat pisau itu terjatuh di lantai. Dua orang bergegas berlari dan menangkap wanita itu, namun naasnya sapu tangan yang di bawa wanita itu terjatuh tepat di atas wajah salah satu anak Leon. Leon berlari menghampiri putranya, untung saja dia tidak apa-apa. Leon melirik sinis kearah wanita itu setelah memastikan kondisi ketiga putranya baik-baik saja. “Aku akan menghancurkan hidup anakmu!!...” Teriak wanita itu dengan di iringi tawanya yang menggelegar. Arga masuk ke dalam kamar Leon sembari membawa sapu tangan yang persis seperti milik wanita itu. “Di sapu tangannya terdapat air keras, kalau menetes di kulit sedikit saja, wajahnya pasti akan rusak.” Wanita itu
“Mereka semua pergi dengan keinginan mereka sendiri. Tapi kalau kamu mau, aku bisa bawa mereka kembali ke sini.” Riri kembali terdiam, sudah banyak hal yang dia lewatkan setelah berada di Villa selama tiga bulan, dan segalanya kini menjadi rumit. Bagi Riri yang telah lama merasa bosan dan kesepian, dia pasti akan tetap memilih untuk membawa keluarganya kembali pulang ke rumah, namun hati nurani Riti tidak mengizinkannya untuk bersikap egois, karna bagaimana pun semua berhak untuk hidup sesuai dengan keinginannya masing-masing. “Lalu Satria bagaimana?.” Tanya Riri yang melewatkan satu orang. “Dia memilih untuk melanjutkan pendidikan kedokterannya dan meninggalkan jurusan bisnis seperti yang dia inginkan. Sekarang dia berada di Inggris bersama tiga bocah kematian itu, jadi kamu tidak perlu khawatir.” ***** Leon mengeluarkan sebuah bungkus rokok dari sakunya. Sudah sangat lama sekali dia tidak merokok, terakhir kali pun Leon merokok ketika mendapatkan kabar kalau mertuanya terk
Kedua mata Riri perlahan-lahan terbuka, hal yang pertama kali di lihat oleh Riri adalah sebuah langit-langit putih berhiaskan emas yang berkilauan. “Akhirnya kamu sadar juga nak, Ibu khawatir kalau terjadi sesuatu sama kamu, untung saja dokter bilang tidak apa-apa.” ‘Ada apa ini, apa yang sudah terjadi kepadaku?.’ Tanya Riri dalam hati. Riri menoleh kearah Ibunya yang dengan khawatir memegang salah satu tangannya erat-erat. Kepalanya yang terasa sangat sakit membuat Riri kesulitan untuk berpikir. Berbagai pertanyaan mengenai kondisinya berkecamuk di pikiran Riri yang membuat rasa sakit di kepalanya bertambah semakin menjadi-jadi. Riri merintih kesakitan, telinganya juga tiba-tiba berdenging sangat nyaring, tubuh Riri meringkuk ketika kepalanya terserang rasa sakit yang luar biasa. Melihat putrinya yang merintih kesakitan, bu Khansa berteriak memanggil nama Leon. Mendengar teriakan dari Ibu mertuanya, Leon bergegas menghampiri sumber suara. Ketika sudah berada di depan kamar
“Malu kamu bilang?! Kalau kamu masih memiliki rasa malu! Ganti rugi atas kematian anakku! Kalian harus membayarnya!.”“Benar! Kamu harus membayar empat triliun kepada kami!. Kalau kamu tidak membayarnya, kami akan menghancurkan rumah ini!.”Tangan Riri mengepal kuat dan akan bersiap untuk menghantam wajah empat orang yang berada di depan matanya. Di saat Karina sedang di kabarkan sakit bahkan sampai sekarat di rumah sakit, bukannya menjenguk mereka malah datang meminta sejumlah uang ganti rugi.“Anak yang mana? Kalau maksud tante itu kak Karina, sampai saat ini dia masih hidup dan masih bisa bernafas!.”“Tapi kak Karina sekarat karna kalian! Kalian sudah menaruh racun ke dalam makanannya!. Kalau kalian tidak suka setidaknya jangan membunuh kak Karina!.”Riri mengelus dadanya sembari mengatur nafas agar tidak terbawa emosi, cerita tentang kekejaman mereka yang di ceritakan oleh Leon melekat jelas di ingatan Riri. Peran saudara dan ibu tiri yang mereka lakukan sangat baik hingga me
Suara ketukan terdengar di pintu kamar pengantin yang akan menghabiskan waktu bersama setelah serangkaian acara yang melelahkan. Suara ketukan itu tak kunjung berhenti sampai salah satu dari kedua orang yang berada di kamar itu membuka pintu. “Kenapa Leon? Apa kamu tidak akan membiarkan aku beristirahat dengan tenang malam ini?.” Leon menatap wajah pamannya lalu mengintip ke dalam kamar. Di sana sudah terdapat sebuah meja dengan berbagai makanan yang di hidangkan. Di salah satu sisi meja sudah ada seorang wanita yang mengenakan sebuah gaun putih yang cantik, jika di lihat dari posisinya wanita itu terlihat akan segera menyantap hidangan di depannya. “Jangan makan apa pun sampai besok siang.” Asrof menatap heran kearah Leon, dan seketika ekspresi wajah Asrof berubah menjadi panik. Asrof menoleh ke belakang dan menatap istrinya yang akan memasukkan sesendok makanan ke dalam mulutnya. Tanpa berpikir lama Asrof langsung berlari dan menepis tangan Karina dengan kasar. Sendok
“Asal kamu tahu ya, aku berhasil menggoda suamimu dan membuatnya menerimaku." Bagi orang yang tidak tahu apa-apa pasti akan berpikiran negatif, tapi bagi Riri yang sudah mendengar semua ceritanya dari Leon, itu bukanlah sesuatu hal yang mengejutkan. “Iya, aku sudah mendengar semuanya dari yang bersangkutan kok. Padahal hanya bisa duduk di pangkuan suamiku dengan telanjang tanpa di usir, tapi kamu membanggakannya seolah-olah pernah tidur berdua saja dengan suamiku. Ya setidaknya sekarang aku tahu betapa murahnya dirimu yang bangga karna menjadi bahan tontonan orang lain ketika telanjang.” Mereka berdua meninggalkan tempat pelaminan dengan wajah memerah. Melihat mereka berdua pergi dengan kesal, Riri tersenyum puas walaupun sedikit menyimpan kekesalan karna mereka mengungkit tentang kelakuan busuk suaminya. Riri kembali menatap Karina yang sudah bisa mengangkat kepalanya. “Jangan di pikirkan lagi, kakak lebih baik dari pada mereka kok.” “Tapi apakah yang kamu katakan itu
“Mah, aku tidak mau menikah dengan dia. Aku tidak suka dengan dia mah.”“Diam kamu! Kalau bisa di ganti dengan adikmu, mamah akan dengan suka rela menggantimu!. Seharusnya kamu bersyukur karna ada orang yang mau menikahimu dengan mahar tinggi, apa lagi sampai mengadakan pesta di hotel begini.”Riri memperhatikan anak dan ibu yang berada di depannya, bisik-bisik yang mereka lakukan membuat Riri penasaran tentang apa yang mereka bicarakan sampai serius begitu.Semuanya sudah siap, kedua pengantin telah duduk berdampingan dan siap mengikat diri dengan janji suci pernikahan.Dari awal sampai akhir raut wajah sang pengantin wanita berhasil menyita perhatian Riri. Riri merasa dia pasti terpaksa seperti yang pernah terjadi padanya dulu, tapi Riri merasa kali ini hubungannya sedikit rumit dari yang pernah dulu dirinya alami.“Kenapa merasa seperti melihat diri sendiri ya? Kalau dulu kamu tidak menuruti apa yang Ibu katakan, cerita hidupmu pasti tidak akan seperti ini.”Bu Khansa kembali
“Lihatkan, akulah pemenangnya, sekarang jangan ganggu istriku lagi.” ‘Dasar menyebalkan!.’ Kesal Dion dalam hati. Kedatangan Leon dan Riri di sambut hangat oleh orang-orang yang ada di dalam rumah, terutama orang-orang yang mengetahui kehamilan Riri. Tentu saja di antara orang-orang yang berbahagia itu ada beberapa orang yang tidak senang dengan kedatangan Leon dan Riri. Salah satunya adalah paman Riri yang sering membuat masalah di mana-mana menggunakan nama Leon sebagai tamengnya. “Leon, di mana bude dan sepupumu? Kenapa mereka tidak datang bersama kalian?.” Tanya paman Abdul yang tidak melihat keberadaan adik, istri, anak, serta keponakannya. “Sepupu? Mana mungkin aku memiliki sepupu, paman kandungku satu-satunya baru menikah, bagaimana bisa aku memiliki sepupu.” Sindiran yang di ucapkan Leon berhasil mengenai tiga orang sekaligus. Pak Abdul, Asrof dan juga Dimas terdiam tak berkutik saat mendapatkan kata-kata menohok dari Leon. Pak Abdul sebisa mungkin mengontrol