***"Kembalikan Adara."Tak mau basa-basi, ucapan tersebut langsung dilontarkan seorang pria yang saat ini duduk di depan Danendra, dengan wajah yang tentu saja tidak bersahabat.Danendra panik? Tentu saja tidak. Punya jaminan dari Adara yang terus meyakinkan untuk selalu berada di sampingnya, Danendra bersikap setenang mungkin."Rafly Sanjaya," gumam Danendra—menyebut nama lengkap Rafly. "Hampir satu tahun menghilang, sekarang tiba-tiba datang lalu meminta Adara. Sopankah begitu?""Jika ditanya siapa yang harus belajar sopan santun, jawabannya tentu kamu, Dan," ucap Rafly. "Merebut calon istri sahabatnya sendiri, apa itu sopan?""Merebut?" tanya Danendra. Dia yang semula bersandar pada kursi kerja, langsung membenarkan pisisi duduknya. "Siapa yang merebut, Raf? Aku enggak pernah rebut.""Jangan pura-pura, kamu," desis Rafly. "Aku tahu kamu suka sama Dara dari dulu dan ketika aku enggak ada, kamu pasti manfaatin keadaan buat ambil dia."Danendra tersenyum. "Aku emang cinta sama Adara,
***"Macet-macet, akhirnya sampe juga."Sampai pukul setengah dua belas lebih, Adara menghela napas sambil melepaskan seat belt. Bersandar pada jok mobil, dia memandangi suasana parkiran kantor yang bisa dibilang cukup lengang.Alexander grup. Perusahaan besar itu terlihat gagah dengan tinggi menjulang. Di sana hampir semua anggota keluarga Alexander bekerja.Adam dan Alfian si pemegang saham utama, Danendra CEO, juga Anindira—putra sulung Alfian yang menduduki posisi manajer di Alexander grup pusat.Sementara kedua putra Adam yang lainnya memegang perusahaan cabang. Aksa di Bandung, Danish di Surabaya.Sebenarnya Danendra pun pernah ditawari perusahaan di Malam, tapi dia menolak. Danendra ingin tetap di Jakarta karena Adara yang kurang bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan baru."Danendra," gumam Adara sambil memandangi paper bag di samping kirinya. "Udah istirahat belum ya, dia?"Sebelum turun dari mobil, yang dilakukan Adara adalah merogoh ponselnya dari tas untuk menelepon Mbak
***"Bagaimana, Dokter?"Menunggu bersama Adam di depan ruang penanganan, Danendra langsung menghampiri dokter yang menangani Adara tepat setelah pintu terbuka."Istri saya enggak kenapa-kenapa, kan?""Syukurnya, tidak," jawab sang dokter. "Pasien hanya mengalami benturan ringan di kepala dan hanya memerlukan beberap jahitan.""Punggungnya?" tanya Danendra—belum bisa bernapas lega, karena yang dia ingat, kursi tersebut tak hanya mengenai kepala.Punggung Adara juga terkena hantaman kursi tersebut."Punggungnya hanya memar," kata sang dokter. "Karena sudah sadar, pasien juga sudah bisa dibawa pulang. Nanti saya resepkan obat apa saja yang harus ditebus.""Saya boleh masuk?" tanya Danendra."Silakan.""Terima kasih," kata Adam yang langsung ikut bersama Danendra—masuk ke dalam ruang penanganan."Ra.""Dan."Danendra menghampiri Adara lalu yang dia lakukan selanjutnya adalah menangkup wajah sang istri yang kini tengah duduk setelah sadar beberapa menit lalu."Ra, kamu enggak apa-apa?" ta
***"Lagi apa?"Adara sedikit tersentak ketika pertanyaan tersebut dilontarkan Danendra yang baru saja datang ke kamar sambil menggendong baby El."Balas pesan," jawab Adara apa adanya. "Kamu bawa main baby El darimana?""Jalan-jalan dari depan," kata Danendra. "Kenapa?"Adara memandang Danendra sambil menggenggam ponselnya. "Felicya," ucapnya. "Kayanya dia masih tinggal di apartemen yang kamu sewa deh, Dan.""Seriously?" tanya Danendra sambil mengerutkan keningnya."Iya, tadi siang aku ketemu.""Tadi siang, kapan?"Memasang raut wajah serius, dia duduk di depan Adara. Felicya. Bukan masalah kecil, perempuan itu cukup berbahaya untuk Adara."Tadi pas mau anterin makan siang buat kamu," kata Adara. "Aku papasan sama dia di depan.""Kamu diapain?" tanya Danendra khawatir.Terakhir kali Adara bertemu Felicya, perempuan itu membuat istrinya menangis. Dan sekarang, Danendra takut Felicya melakukan sesuatu hal lagi pada Adara."Enggak diapa-apain," kata Adara. "Lagian sekarang aku udah engg
***"Pokoknya Mas Rafly jaga kesehatan, jangan banyak pikiran. Kalau jodoh, enggak akan ke mana, Mas."Duduk di depan laptop, wejangan itu kembali diucapkan Clarissa pada Rafly yang dia hubungi malam ini.Awal melakukan video call, Clarissa dibuat terkejut dengan wajah memar Rafly yang tak sedikit. Setelah pria itu bercerita, tugasnya tentu saja memberi nasehat.Meskipun memiliki usia yang masih muda, Clarissa memang memiliki pikiran yang dewasa. Ditinggal kedua orang tuanya meninggal dunia beberapa tahun lalu memang membuatnya menjadi pribadi yang mandiri juga bijak.Seharusnya sebelas bulan tinggal bersama, Rafly bisa jatuh cinta pada Clarissa. Namun, cintanya yang begitu besar untuk Adara membuat pria itu sulit membuka hati.Padahal, jika dibandingkan, Clarissa tak kalah cantik dari Adara—bahkan dari segi sikap, meski memiliki usia sama, Clarissa sedikit lebih dewasa dari Adara."Iya, Ris. Makasih udah nemenin ngobrol," kata Rafly dari seberang sana.Melihat pria itu tersenyum tipi
***"Aish!"Rafly yang sejak tadi terlentang di kasur sambil memandangi langit-langit kamar akhirnya beringsut ketika rasa kantuk yang dia tunggu-tunggu tak kunjung datang.Seperti hewan liar yang menurut pada pawangnya, Rafly memang langsung pergi ke kamar setelah memutuskan sambungan video call dengan Clarissa.Berniat untuk tidur cepat agar kondisinya besok membaik, kedua matanya tak mendukung. Hampir setengah jam otaknya mendistraksi semua bagian tubuh untuk istirahat, kedua pupil mata Rafly terus membantah dengan terus terbuka tanpa mau menutup.Sepuluh menit memaksa menutup mata, rasa kantuk justru hilang entah ke mana dan tentu saja semua itu membuat Rafly frustasi."Adara," desis Rafly. "Kalau aja kamu enggak nikah sama Danendra, semuanya enggak akan kaya gini. Aku sama kamu sekarang pasti udah bahagia.""Ginanjar. Pria tua itu memang sepertinya sengaja memanfaatkan momen kecelakaanku untuk menikahkan Adara dengan pria lain.""Aish, Danendra bangsat! Perebut!"Usai marah-marah
***"Ra, ayo.""Iya, Dan. Sebentar."Menunggu hampir setengah jam baby El terlelap, Adara dan Danendra merealisasikan rencana mereka untuk pergi makan di luar.Bukan ke tempat mewah, rencananya pasangan suami istri itu akan datang mengunjungi salah satu warung pecel lele yang sering didatangi ketika Adara masih hamil."Dan, gimana? Aneh enggak?"Danendra yang sejak tadi duduk sambil memainkan ponselnya menoleh ketika Adara keluar dari kamar."Apanya?" tanya Danendra sambil memandang Adara yang berdiri tak jauh dari sofa."Penampilan aku."Danendra mengerutkan kening lalu memandang Adara dari atas hingga bawah. Tak memakai dress, Adara nampak santai memakai celana training, kaos hitam polos, juga cardigan rajut berwarna pastel. Mengikuti saran Danendra, dia juga memakai kupluk berwarna senada dengan cardigan untuk menutupi perban di kepalanya."Enggak, udah cantik," puji Danendra. "Enggak ada yang aneh.""Seriusan?""Seriusan, Sayang.""Enggak kaya abg?" tanya Adara.Danendra tersenyu
***"Ah, ya ampun."Membuka matanya perlahan, Rafly memijat kening ketika kepalanya terasa sangat pening dan berat. Tak langsung bangun, yang dia lakukan sekarang adalah; mengedarkan pandangan untuk mengenali tempat dia berada sekarang.Karena yang jelas, ini bukan kamarnya. Kamar Rafly memiliki cat berwarna abu muda, sementara kamar yang dia tempati sekarang berwarna pastel bahkan ukurannya pun jauh lebih besar dari kamarnya.Tak hanya itu, kamar tempat Rafly berada sekarang juga terlihat sangat mewah."Di mana aku?""Lalala ... udah bangun?"Rafly mengerutkan kening ketika suara perempuan terdengar dari ambang pintu. Beringsut dia mengubah posisinya menjadi duduk lalu memandang perempuan yang kini berjalan mendekat sambil membawa segelas air putih."Kamu," panggil Rafly. "Ini di mana?""Jepang," celetuk perempuan itu asal."Aku serius," desah Rafly yang tentu saja masih merasa sebal pada perempuan di depannya ini setelah pertemuan pertama mereka yang bisa dibilang tak baik."Surga,"
*** "Onty, Reano mana. Kok enggak kelihatan dari tadi?" Adara yang sedang menyapa para tamu seketika menoleh saat sebuah pertanyaan diucapkan seorang laki-laki muda yang malam ini tampan dengan kemeja navy bluenya. Danial. Yang baru saja bertanya pada Adara adalah Danial. "Eh, Nial. Rean kayanya masih di jalan." "Lho, enggak bareng?" "Mana maulah bareng sama Onty," kata Adara. "Dia kan jemput pacarnya." "Masih sama Lula?" "Masih." Danial tersenyum. "Awet juga ya, enggak kaya kakaknya." "Haha iya." "Ya udah, Nial gabung dulu sama yang lain ya Onty." "Iya, Nial." Malam ini adalah malam yang cukup membahagiakan bagi keluarga besar Alexander—khususnya keluarga Adam karena sebuah pesta tengah digelar di ballroom hotel berbintang di kota Jakarta. Bukan pertunangan atau pernikahan, pesta yang dirancang oleh anak-anak juga para menantu Adam itu adalah sebuah perayaan aniversary pernikahan Adam dan Teresa yang ke lima puluh delapan tahun. Cukup lama Adam menjalin
***"Duh siapa sih?"Masih dengan kedua mata terpejam, Alula mengulurkan tangannya—meraba-raba meja nakas di samping kasur untuk mencari ponsel yang saat ini berdering cukup nyaring.Entah siala yang menelepon, yang jelas Alula merasa sangat terganggu oleh bunyi dering ponselnya tersebut."Ketemu," gumam Alula ketika akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya.Mengambil ponsel tersebut, perlahan Alula membuka matanya dan yang dia temukan di layar adalah nama Reano."Reano. Ngapain sih?"Beringsut, Alula mengubah posisinya menjadi duduk sebelum akhirnya menjawab panggilan dari Reano."Halo, Rean. Kenapa?" tanya Alula parau."Baru bangun?""Iya.""Dih, belum sholat dong?" tanya Reano."Emang ini jam berapa?" tanya Alula yang memang belum sempat melihat jam baik itu di ponsel mau pun di dinding kamar."Jam lima pagi," kata Reano. "Ke air gih sana, cuci muka, wudhu, terus sholat.""Iya.""Nanti jam enam aku ke kamar kamu," ungkap Reano—membuat Alula seketika mengerutkan keningnya."Mau nga
***"Jaga diri baik-baik di sana, awas jangan macam-macam.""Iya, Ma. Siap."Pukul delapan pagi, Reano sudah siap dengan penampilannya yang bisa dibilang cukup rapi. Membawa koper berwarna hitam berisi pakaian ganti, remaja yang satu bulan lalu baru saja genap delapan pelas tahun itu sudah tiba di bandara, diantar Adara juga Danendra.Tujuannya? Tentu saja Jerman. Memanfaatkan libur panjang sebelum masuk kuliah, Reano memang meminta izin pada kedua orang tuanya untuk pergi ke Jerman menemui Nara.Tak sendiri, Reano pergi bersama Alula yang memang ingin menghabiskan waktu liburan di luar negeri.Berhubung kedua orang tuanya sibuk, Alula memutuskan untuk ikut bersama Reano yang sejauh ini bisa dipercaya menjaga putri bungsu seorang Arkananta itu."Jangan macam-macam kalian di sana. Ingat, pisah kamar," kata Aludra memperingatkan."Iya, Mama. Masa satu kamar?" tanya Alula. "Lagian uncle Danen kan udah pesenin dua kamar buat aku sama Reano.""Tenang aja, Ra. Aku udah pesenin kamar yang be
***'Hati-hati di jalan.'Elara yang baru saja memasukkan beberapa baju ke dalam tas seketika mengukir senyumannya ketika sebuah pesan yang bisa dibilang cukup romantis masuk ke ponselnya—membuat dia terbang ke angkasa dengan perasaan yang berbunga-bunga.Bukan dari orang sembarangan, pesan tersebut berasal dari Regan yang memberikan peringatan pada Elara karena sore ini gadis itu akan berangkat menuju Bandung untuk menginap di rumah Aksa selama dua malam.Alasannya? Tentu saja Elara ingin menemui Regan yang satu minggu lalu resmi menjadi pacarnya.Dicomblangkan oleh Respati lalu saling mengenal via virtual selama sebulan lebih, Elara dan Regan sepertinya memiliki banyak kecocokan lalu pada akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan setelah Regan menyatakan cintanya lebih dulu seminggu yang lalu.Regan memang jarang bicara bahkan terkesan dingin, tapi di dekat orang yang membuatnya nyaman, Regan kadang berubah seratus delapan puluh derajat dan bagi Elara, Regan ternyata cukup menyena
***"Oke, istirahat dulu aja ya.""Siap, Kak!"Menyimpan semua peralatan yang ada, para siswa juga siswi yang siang ini memakai pakaian olahraga lantas membubarkan diri lalu berjalan ke pinggir lapangan pun dengan siswi yang kini melangkah untuk menghampiri seseorang di bangku pinggir lapangan."Kamu kalau bosen, pulang aja."Istirahat dari latihannya, Alula langsung menghampiri Reano yang sejak tadi setia menunggu sambil bersandar pada tembok.Sejak masuk di SMA yang sama Alula dan Reano bisa dibilang cukup dekat—lebih tepatnya sengaja didekatkan oleh Adara yang memang menginginkan Reano lupa dengan perasaannya pada Nara.Setiap pagi juga siang setelah pulang sekolah, Reano diwajibkan menjemput dan mengantar Alula ke rumahnya bersama supir karena memang usia yang belum tujuh belas tahun membuat Reano belum diizinkan memakai kendaraan sendiri.Reano sebenarnya sudah beberapa kali menolak karena memang didekatkan paksa seperti ini membuatnya tak nyaman.Namun, sederet ancaman penyitaan
***"Reres, kamu ngapain ke sini?"Keluar dari pintu gerbang sekolah, Elara mengerutkan kening ketika mendapati seorang siswa laki-laki dengan seragam yang berbeda dengannya tengah berdiri sambil mengukir senyuman.Respati.Bukan pacar atau gebetan, siswa laki-laki yang kini tengah bersandar di pintu mobil sedan hitam adalah sepupu Elara—anak dari saudara Danendra."Hai, Kak El," sapa Respati sambil mengangkat telapak tangannya. "Apa kabar?""Baik," kata Elara apa adanya. "Kamu apa kabar?""Baik juga," ucap Respati."Kamu ngapain ke sekolahan aku? Ada urusan apa gimana?" tanya Elara."Iya ada urusan sama Kak El," ucap Respati—membuat Elara seketika mengerutkan keningnya."Urusan apa?""Hm." Respati bergumam pelan, sementara wajahnya terlihat menunjukkan sebuah keraguan. "Mau minta bantuan sih, Kak?""Bantuan apa?"Respati menggaruk tengkuknya yang bahkan tak gatal sama sekali."Res?""Ah iya, Kak. Bantuan apa sih?" tanya Elara. "Ngomong aja. Enggak usah ragu.""Hm, nanti malam Kakak s
***"Baik-baik di sekolah. Jangan banyak tingkah."Sambil mengoleskan selai ke roti, ucapan tersebut dilontarkan Adara pada Reano yang saat ini baru saja duduk di meja makan.Setelah dua minggu liburan berlangsung, tahun ajaran baru akhirnya tiba dan hari ini Reano akan memulai kegiatan sekolahnya di SMA.Sesuai perintah, mau tak mau Reano menurut untuk bersekolah di SMAN 8. Padahal, sudah sejak jauh-jauh hari remaja itu menginginkan sekolah di SMAN 34 karena memang hampir semua teman dekatnya bersekolah di sana."Mau joged di tengah lapangan," celetuk Reano."Apaan sih? Kalau dikasih tahu itu jawab yang benar. Bukan kaya gitu."Elara yang baru saja siap, lantas menoyor kepala adiknya itu dengan tangan kanan sementara tangan kirinya menarik kursi untuk duduk."Kamu juga apaan? Kepala itu sensitif. Enggak usah pake noyor," ketus Reano tak suka.Berbeda dengan kebanyakan siswa yang biasanya bahagia ketika masuk di sekolah baru, Reano justru sebaliknya.Selain karena sekolah yang dia tem
***"Kamu kenapa?"Menghampiri Adara di pinggir kolam, Danendra langsung mengucapkan pertanyaan tersebut setelah beberapa menit lalu terus memperhatikan sang istri yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu."Dan. Kamu di sini.""Orang-orang di dalam, kamu kok di luar?" tanya Danendra. "Lagi mikirin apa sih, hm?""Reano," kata Adara.Danendra mengerutkan keningnya. Dia yang datang membawa segelas air putih lantas menarik kursi lalu duduk di depan Adara."Apa yang kamu pikirkan tentang Reano?" tanya Danendra."Kamu lupa sama apa yang dia omongin tadi di mobil?" tanya Adara. "Reano bilang dia cinta sama Nara, Dan.""Terus masalahnya di mana?""Kok kamu nanya gitu, Danen?" tanya Adara tak suka. "Ya enggak bolehlah! Reano sama Nara itu saudara. Mereka enggak boleh saling mencintai lebih dari sekadar saudara.""Tapi kan bukan kandung," ucap Danendra. "Dalam segi agama ataupun negara, mereka sah-sah aja kalau mau punya hubungan.""Enggak!" pungkas Adara. "Sampai kapan pun aku enggak akan res
***"Males ikut, Ma."Mendengar ucapan tersebut, Adara menoleh seketika lalu memandang putranya sambil menaikkan sebelah alis."Males ikut apa?""Rean malas ikut ke Bandung."Pagi ini—seminggu setelah kepergian Nara ke Jerman, keluarga Adara akan bertolak menuju Bandung, menghadiri undangan yang diberikan keluarga Aksa.Bukan pesta besar, di Bandung sana Aksa hanya merayakan syukuran atas kelulusan putri angkatnya Aileen di salah satu universitas terbaik di kota Bandung dengan nilai yang juga tentunya sangat baik.Tak hanya Danendra dan keluarga, nantinya Adam juga Teresa pun akan datang bersama supir lalu Danish juga terbang dari Surabaya bersama keluarganya."Kenapa?" tanya Adara.Tak tahu tentang yang terjadi pada Nara, Adara memang mulai bersikap biasa kembali. Perempuan itu mencoba menghibur diri dari rasa sedih kehilangan Nara karena tentunya dia berpikir sang putri tak akan lama pergi.Berbeda dengan Adara yang berusaha menghibur diri, Reano justru seperti orang tak bersemangat