***"Makan yang banyak, enggak usah diet-diet.""Iya, Ma."Adara hanya tersenyum tipis ketika Teresa kembali menyimpan sepotong ayam di piringnya. Padahal, ayam yang dia ambil pun belum habis.Ingin membantah, dia tak kuasa. Alhasil, Adara hanya pasrah dan memilih untuk menyantap dua ayam itu sekaligus."Gimana, enak enggak?" tanya Teresa di sela-sela makan malam."Enak, Ma.""Beneran?""Iya, Ma," kata Adara."Kalau ada yang kurang, bilang aja. Enggak usah canggung," ucap Teresa lagi."Iya, Ma."Setelahnya suasana meja makan kembali hening. Tak lagi mengobrol, Teresa dan Adara hanya fokus dengan kegiatan makan mereka masing-masing, hingga tak lama Teresa buka suara—membuat Adara yang hampir saja menyuapkan nasi ke mulutnya, langsung berhenti."Mama mau jemput Feli, kamu berani kan sendiri di apartemen?"Adara memandang Teresa. "Sekarang, Ma?" tanyanya."Iya, habis makan. Felicya tutup butiknya kan jam setengah sembilan," ucap Teresa."Oh iya.""Berani enggak, sendiri di sini?" tanya T
***"Semuanya jadi enam belas juta lima ratus, Bu.""Oh oke.""Ma, Dara yang bayar sebagian ya."Teresa yang tengah merogoh dompet dari saku jaketnya langsung menggeleng pelan, mendengar penawaran sang menantu."No, enggak usah," kata Teresa. "Kan ini Mama belanjain kamu.""Tapi-""Nura," panggil Felicya yang datang ke meja kasir setelah membawa barang-barangnya dari ruanga kerja."Ya, Bu?""Lurusin aja nominalnya," perintah Felicya."Jadi enam belas, Bu?" tanya Nura memastikan."Iya.""Lho, kok didiskon, Fel?" tanya Teresa. "Setahu Tante itu barang baru lho, kenapa harganya dipotong.""Bajunya punya Dara kan, Tante?" tanya Felicya sambil mengukir senyuman tipis, sementara ekor matanya melirik Adara dan hati? Tentu saja bergerutu.Felicya tak menyangka Adara akan secepat ini mendapatkan hati Teresa. Padahal, Teresa adalah satu-satunya harapan dia bisa kembali pada Danendra.Jika sudah seperti ini, sepertinya Felicya harus segera meminta Raga untuk merealisasikan rencana yang sudah dia
***"Seriusan mau pulang?"Danendra yang sedang memakai jaket bombernya menoleh lalu mengangguk ketika Danish yang duduk di pinggir kasur dengan pakaian hangatnya melontarkan sebuah pertanyaan."Iya, besok ke sini lagi," kata Danendra."Enggak capek?" tanya Danish. "Ini Jakarta-Surabaya lho, Dan. Bukan deket.""Enggak, kan bolak-baliknya juga pake pesawat, enggak jalan kaki," celetuk Danendra.Danish melirik jam dinding di kamar yang sudah menunjukkan pukul dua pagi lalu menghela napas pelan.Malam ini seharusnya Danendra menginap di rumah Danish, bahkan dia pun sudah tertidur pulas sejak pukul sepuluh malam tadi. Namun, karena mimpi buruk yang dia alami, Danendra terbangun pukul satu tadi dan langsung memutuskan untuk pulang ke Jakarta saat ini juga.Memesan tiket penerbangan menuju Jakarta, Danendra akan terbang dari Surabaya pukul tiga dini hari nanti—mengambil penerbangan paling pagi.Danendra tahu mimpi hanyalah bunga tidur. Namun, tetap saja melihat Adara pergi sambil membawa b
***"Dan, sarapannya udah jadi nih. Makan yuk.""Sebentar, Sayang."Mematikan kompor, Adara berbalik badan lalu mengukir senyum ketika Danendra datang ke dapur sambil membenarkan dasi.Hari ini adalah hari jumat sekaligus hari terakhir Danendra pergi ke Surabaya—menggantikan Danish di kantor. Hampir seminggu bekerja di sana, Danendra pulang pergu Jakarta-Surabaya setiap hari.Ya, terlalu khawatir dengan keadaan Adara, Danendra batal menitipkan istrinya untuk dijaga sang Mama selama seminggu dia bekerja di Surabaya.Bukan tak percaya pada sang Mama, Danendra lebih khawatir pada Adara ketika di luar. Jika dirinya tinggal di Surabaya, Danendra tak akan bisa memastikan Adara aman sampai kantor karena tak bisa mengantar istrinya itu."Bisa enggak?" tanya Adara."Apanya?""Itu pake dasi, kok kaya susah gitu," kata Adara. Berjalan mendekat, dia berdiri di depan Danendra. "Sini aku pasangin."Danendra refleks melepaskan tangannya dari dasi lalu mengulum senyum ketika tangan Adara mulai memben
***"Ini tinggal dikoreksi sedikit ya, Pak.""Iya, sedikit aja. Nanti kasihin lagi laporannya ke Danish senin.""Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu ya.""Iya, silakan."Manajer keuangan yang baru saja memberikan laporan beranjak lalu pergi, Danendra menyandarkan tubuhnya di kursi kerja.Menoleh ke arah jam dinding, dia mengukir senyum melihat waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang."Waktunya ngingatin Adara makan siang," kata Danendra.Mengubah posisi duduknya menjadi tegap, Danendra mengulurkan tangan untuk mengambil ponsel dari laci meja.Berniat menghubungi Adara seperti biasa, senyuman kembali terukir di bibir Danendra ketika panggilan lebih dulu masuk dari Adara."Tumben telepon duluan," gumam Danendra. Bukan panggilan biasa, Adara sepertinya ingin melakukan panggilan video dan tentu saja—tanpa pikir panjang, Danendra langsung menjawab panggilan tersebut."Halo, Sayang," sapa Danendra."Hai." Tersenyum merekah, Adara menyapa Danendra sambil melambaikan tangan. "Kage
"Gimana, udah puas?"Felicya mengulum senyuman ketika pertanyaan itu diucapkan seorang pria dari seberang sana. Memainkan kertas kosong, dia akhirnya menjawab."Bagus," puji Felicya setelah beberapa detik lalu dia menerima sebuah foto yang dikirimkan Raga.Foto Adara terduduk di pinggir jalan. Sungguh, tak ada yang lebih membahagiakan lagi bagi Felicya selain kabar yang diberikan Raga tentang dia yang berhasil menjalankan tugasnya.Sesuai perintah, Raga tak sampai menabrak Adara. Dia hanya menyerempet perempuan itu sampai terjatuh di trotoar dan sepertinya semua itu cukup membuat Adara mengalami pendarahan."Bayarannya," pinta Raga. "Kirim sekarang juga.""Oke, santai," ucap Felicya. "Ditunggu.""Tapi, Ga. Adara jatuhnya kenceng, kan?""Menurut kamu?" tanya Raga. "Coba aja kamu diserempet motor, jatuhnya kenceng apa enggak?""Kenceng mungkin.""Kalau enggak kenceng, dia enggak akan sampe jatuh, Fel. Mikir pake otak. Jangan dengkul.""Ish, santai aja kali.""Enggak bisa santai kalau b
***"Ekhem."Hampir tiga jam pingsan, Adara perlahan membuka matanya. Silau. Kesan pertama yang dia rasakan sekarang adalah silau, karena yang pertama dilihatnya adalah lampu ruangan yang memiliki ukuran tak kecil."Aku di man-" Ucapan Adara terhenti ketika ingatannya kembali pada kejadian tadi—saat sebuah motor tiba-tiba saja menyerempetnya hingga terjatuh di trotoar dan mengalami pendarahan."Bayiku."Adara berniat untuk meraba perutnya. Namun, semua itu tak bisa dilakukan ketika dia merasa sebuah tangan menggenggam tangan kanannya yang sulit digerakkan."Danendra," gumam Adara ketika dia melihat Danendra tertidur persis di sampingnya sambil memegang tangan. "Kapan dia ke sini?"Untuk beberapa detik memandangi Danendra, Adara kembali teringat akan nasib bayi yang dia kandung. Pendarahan di usia kehamilan muda. Bukankah itu terlalu beresiko."Dan," panggil Danendra sambil menggerakkan tangannya yang digenggam sang suami. "Danendra."Terganggu, Danendra membuka matanya perlahan lalu m
***"Dua suap lagi, Ra.""Kenyang, Dan.""Dua lagi, Ra. Buka mulutnya ya."Adara menggeleng lalu mendorong sendok yang dipegang Danendra agar menjauh dari mulutnya."Enggak mau, kenyang."Danendra menghela napas lalu memilih pasrah untuk tak lagi menyuapkan bakso untuk Adara. Padahal, siang ini perempuan itu sendiri yang meminta bakso, tapi nyatanya baru beberapa suap, Adara sudah tak mau memakan makanan itu lagi."Minum," kata Danendra sambil menyodorkan segelas air putih lengkap dengan sedotan."Makasih.""Hm."Weekend di rumah sakit. Begitulah yang sedang dilakukan Adara juga Danendra, sekarang. Rencana mereka untuk menghabiskan hari sabtu sambil menonton film terpaksa harus batal karena Adara yang harus tinggal beberapa hari ke depan di rumah sakit untuk menjalani observasi."Dan.""Ya?""Maaf ya," kata Adara tiba-tiba."Maaf apa?" "Gara-gara aku, nonton film kita enggak jadi," ucap Adara. "Harusnya hari ini kita kan nonton film terus aku pijatin kamu sesuai janji.""Enggak apa-a
*** "Onty, Reano mana. Kok enggak kelihatan dari tadi?" Adara yang sedang menyapa para tamu seketika menoleh saat sebuah pertanyaan diucapkan seorang laki-laki muda yang malam ini tampan dengan kemeja navy bluenya. Danial. Yang baru saja bertanya pada Adara adalah Danial. "Eh, Nial. Rean kayanya masih di jalan." "Lho, enggak bareng?" "Mana maulah bareng sama Onty," kata Adara. "Dia kan jemput pacarnya." "Masih sama Lula?" "Masih." Danial tersenyum. "Awet juga ya, enggak kaya kakaknya." "Haha iya." "Ya udah, Nial gabung dulu sama yang lain ya Onty." "Iya, Nial." Malam ini adalah malam yang cukup membahagiakan bagi keluarga besar Alexander—khususnya keluarga Adam karena sebuah pesta tengah digelar di ballroom hotel berbintang di kota Jakarta. Bukan pertunangan atau pernikahan, pesta yang dirancang oleh anak-anak juga para menantu Adam itu adalah sebuah perayaan aniversary pernikahan Adam dan Teresa yang ke lima puluh delapan tahun. Cukup lama Adam menjalin
***"Duh siapa sih?"Masih dengan kedua mata terpejam, Alula mengulurkan tangannya—meraba-raba meja nakas di samping kasur untuk mencari ponsel yang saat ini berdering cukup nyaring.Entah siala yang menelepon, yang jelas Alula merasa sangat terganggu oleh bunyi dering ponselnya tersebut."Ketemu," gumam Alula ketika akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya.Mengambil ponsel tersebut, perlahan Alula membuka matanya dan yang dia temukan di layar adalah nama Reano."Reano. Ngapain sih?"Beringsut, Alula mengubah posisinya menjadi duduk sebelum akhirnya menjawab panggilan dari Reano."Halo, Rean. Kenapa?" tanya Alula parau."Baru bangun?""Iya.""Dih, belum sholat dong?" tanya Reano."Emang ini jam berapa?" tanya Alula yang memang belum sempat melihat jam baik itu di ponsel mau pun di dinding kamar."Jam lima pagi," kata Reano. "Ke air gih sana, cuci muka, wudhu, terus sholat.""Iya.""Nanti jam enam aku ke kamar kamu," ungkap Reano—membuat Alula seketika mengerutkan keningnya."Mau nga
***"Jaga diri baik-baik di sana, awas jangan macam-macam.""Iya, Ma. Siap."Pukul delapan pagi, Reano sudah siap dengan penampilannya yang bisa dibilang cukup rapi. Membawa koper berwarna hitam berisi pakaian ganti, remaja yang satu bulan lalu baru saja genap delapan pelas tahun itu sudah tiba di bandara, diantar Adara juga Danendra.Tujuannya? Tentu saja Jerman. Memanfaatkan libur panjang sebelum masuk kuliah, Reano memang meminta izin pada kedua orang tuanya untuk pergi ke Jerman menemui Nara.Tak sendiri, Reano pergi bersama Alula yang memang ingin menghabiskan waktu liburan di luar negeri.Berhubung kedua orang tuanya sibuk, Alula memutuskan untuk ikut bersama Reano yang sejauh ini bisa dipercaya menjaga putri bungsu seorang Arkananta itu."Jangan macam-macam kalian di sana. Ingat, pisah kamar," kata Aludra memperingatkan."Iya, Mama. Masa satu kamar?" tanya Alula. "Lagian uncle Danen kan udah pesenin dua kamar buat aku sama Reano.""Tenang aja, Ra. Aku udah pesenin kamar yang be
***'Hati-hati di jalan.'Elara yang baru saja memasukkan beberapa baju ke dalam tas seketika mengukir senyumannya ketika sebuah pesan yang bisa dibilang cukup romantis masuk ke ponselnya—membuat dia terbang ke angkasa dengan perasaan yang berbunga-bunga.Bukan dari orang sembarangan, pesan tersebut berasal dari Regan yang memberikan peringatan pada Elara karena sore ini gadis itu akan berangkat menuju Bandung untuk menginap di rumah Aksa selama dua malam.Alasannya? Tentu saja Elara ingin menemui Regan yang satu minggu lalu resmi menjadi pacarnya.Dicomblangkan oleh Respati lalu saling mengenal via virtual selama sebulan lebih, Elara dan Regan sepertinya memiliki banyak kecocokan lalu pada akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan setelah Regan menyatakan cintanya lebih dulu seminggu yang lalu.Regan memang jarang bicara bahkan terkesan dingin, tapi di dekat orang yang membuatnya nyaman, Regan kadang berubah seratus delapan puluh derajat dan bagi Elara, Regan ternyata cukup menyena
***"Oke, istirahat dulu aja ya.""Siap, Kak!"Menyimpan semua peralatan yang ada, para siswa juga siswi yang siang ini memakai pakaian olahraga lantas membubarkan diri lalu berjalan ke pinggir lapangan pun dengan siswi yang kini melangkah untuk menghampiri seseorang di bangku pinggir lapangan."Kamu kalau bosen, pulang aja."Istirahat dari latihannya, Alula langsung menghampiri Reano yang sejak tadi setia menunggu sambil bersandar pada tembok.Sejak masuk di SMA yang sama Alula dan Reano bisa dibilang cukup dekat—lebih tepatnya sengaja didekatkan oleh Adara yang memang menginginkan Reano lupa dengan perasaannya pada Nara.Setiap pagi juga siang setelah pulang sekolah, Reano diwajibkan menjemput dan mengantar Alula ke rumahnya bersama supir karena memang usia yang belum tujuh belas tahun membuat Reano belum diizinkan memakai kendaraan sendiri.Reano sebenarnya sudah beberapa kali menolak karena memang didekatkan paksa seperti ini membuatnya tak nyaman.Namun, sederet ancaman penyitaan
***"Reres, kamu ngapain ke sini?"Keluar dari pintu gerbang sekolah, Elara mengerutkan kening ketika mendapati seorang siswa laki-laki dengan seragam yang berbeda dengannya tengah berdiri sambil mengukir senyuman.Respati.Bukan pacar atau gebetan, siswa laki-laki yang kini tengah bersandar di pintu mobil sedan hitam adalah sepupu Elara—anak dari saudara Danendra."Hai, Kak El," sapa Respati sambil mengangkat telapak tangannya. "Apa kabar?""Baik," kata Elara apa adanya. "Kamu apa kabar?""Baik juga," ucap Respati."Kamu ngapain ke sekolahan aku? Ada urusan apa gimana?" tanya Elara."Iya ada urusan sama Kak El," ucap Respati—membuat Elara seketika mengerutkan keningnya."Urusan apa?""Hm." Respati bergumam pelan, sementara wajahnya terlihat menunjukkan sebuah keraguan. "Mau minta bantuan sih, Kak?""Bantuan apa?"Respati menggaruk tengkuknya yang bahkan tak gatal sama sekali."Res?""Ah iya, Kak. Bantuan apa sih?" tanya Elara. "Ngomong aja. Enggak usah ragu.""Hm, nanti malam Kakak s
***"Baik-baik di sekolah. Jangan banyak tingkah."Sambil mengoleskan selai ke roti, ucapan tersebut dilontarkan Adara pada Reano yang saat ini baru saja duduk di meja makan.Setelah dua minggu liburan berlangsung, tahun ajaran baru akhirnya tiba dan hari ini Reano akan memulai kegiatan sekolahnya di SMA.Sesuai perintah, mau tak mau Reano menurut untuk bersekolah di SMAN 8. Padahal, sudah sejak jauh-jauh hari remaja itu menginginkan sekolah di SMAN 34 karena memang hampir semua teman dekatnya bersekolah di sana."Mau joged di tengah lapangan," celetuk Reano."Apaan sih? Kalau dikasih tahu itu jawab yang benar. Bukan kaya gitu."Elara yang baru saja siap, lantas menoyor kepala adiknya itu dengan tangan kanan sementara tangan kirinya menarik kursi untuk duduk."Kamu juga apaan? Kepala itu sensitif. Enggak usah pake noyor," ketus Reano tak suka.Berbeda dengan kebanyakan siswa yang biasanya bahagia ketika masuk di sekolah baru, Reano justru sebaliknya.Selain karena sekolah yang dia tem
***"Kamu kenapa?"Menghampiri Adara di pinggir kolam, Danendra langsung mengucapkan pertanyaan tersebut setelah beberapa menit lalu terus memperhatikan sang istri yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu."Dan. Kamu di sini.""Orang-orang di dalam, kamu kok di luar?" tanya Danendra. "Lagi mikirin apa sih, hm?""Reano," kata Adara.Danendra mengerutkan keningnya. Dia yang datang membawa segelas air putih lantas menarik kursi lalu duduk di depan Adara."Apa yang kamu pikirkan tentang Reano?" tanya Danendra."Kamu lupa sama apa yang dia omongin tadi di mobil?" tanya Adara. "Reano bilang dia cinta sama Nara, Dan.""Terus masalahnya di mana?""Kok kamu nanya gitu, Danen?" tanya Adara tak suka. "Ya enggak bolehlah! Reano sama Nara itu saudara. Mereka enggak boleh saling mencintai lebih dari sekadar saudara.""Tapi kan bukan kandung," ucap Danendra. "Dalam segi agama ataupun negara, mereka sah-sah aja kalau mau punya hubungan.""Enggak!" pungkas Adara. "Sampai kapan pun aku enggak akan res
***"Males ikut, Ma."Mendengar ucapan tersebut, Adara menoleh seketika lalu memandang putranya sambil menaikkan sebelah alis."Males ikut apa?""Rean malas ikut ke Bandung."Pagi ini—seminggu setelah kepergian Nara ke Jerman, keluarga Adara akan bertolak menuju Bandung, menghadiri undangan yang diberikan keluarga Aksa.Bukan pesta besar, di Bandung sana Aksa hanya merayakan syukuran atas kelulusan putri angkatnya Aileen di salah satu universitas terbaik di kota Bandung dengan nilai yang juga tentunya sangat baik.Tak hanya Danendra dan keluarga, nantinya Adam juga Teresa pun akan datang bersama supir lalu Danish juga terbang dari Surabaya bersama keluarganya."Kenapa?" tanya Adara.Tak tahu tentang yang terjadi pada Nara, Adara memang mulai bersikap biasa kembali. Perempuan itu mencoba menghibur diri dari rasa sedih kehilangan Nara karena tentunya dia berpikir sang putri tak akan lama pergi.Berbeda dengan Adara yang berusaha menghibur diri, Reano justru seperti orang tak bersemangat