***"Dan, maaf."Dua kata itu akhirnya diucapkan Adara untuk Danendra yang sejak tadi hanya diam sambil mengemudikan porsche hitamnya meninggalkan rumah sakit.Setelah ungkapannya, Danendra memang tak menunjukkan rasa marah sama sekali. Namun, dari diamnya pria itu, Adara cukup sadar jika suaminya itu kecewa dengan ucapannya.Tentu saja. Pria mana yang tak akan kecewa ketika di tengah rasa bahagia karena kehadiran calon buah hati, sebuah ucapan tak siap justru diucapkan dari calon ibu dari anaknya.Sekali lagi, Danendra manusia biasa. Dia tak sesempurna malaikat yang tak bisa marah atau kecewa."Maaf buat apa?" tanya Danendra tanpa menoleh pada Adara."Yang tadi," ucap Adara. "Aku minta maaf, seharusnya aku enggak ngomong gitu sama kamu.""Enggak apa-apa," kata Danendra. "Kamu belum siap itu wajar kok.""Dan.""Hm?""Jangan marah," kata Adara. "Aku seneng kok sama kehadiran janin di rahim aku, cuman aku emang belum sepenuhnya siap, tapi aku janji aku akan menyiapkan diri aku untuk ana
***"Jadi kapan mau berhenti kerja?"Adara yang sedang menyantap makan siangnya seketika langsung terbatuk ketika pertanyaan tersebut diucapkan Teresa secara tiba-tiba.Mengambil segelas air yang diberikan Danendra, dia berusaha menenangkan dirinya dulu sebelum kembali bertanya pada sang mertua."Maksud Mama?" tanya Adara."Kamu kan hamil, kapan mau berhenti kerja?" tanya Teresa—mengulang lagi pertanyaannya, membuat Adara melirik Danendra dan tentunya yang dilirik cukup paham karena setelahnya dka langsung buka suara."Dara enggak akan berhenti kerja, Ma," kata Danendra."Lho, kok enggak berhenti?" tanya Teresa. Dia kemudian menatap Adara. "Lagi hamil lho kamu ini, enggak boleh capek-capek.""Kerja Dara enggak capek kok, Ma," ucap Adara. "Kan kerjanya di ruangan, jadi irit tenaga.""Tenaga irit, tapi otaknya kerja," ucap Teresa. "Justru lebih bahaya kalau otak yang kerja. Stress dikit, kamu bisa pendaraha.""Jangan ngomong yang jelek dong, Ma," kata Danendra.Teresa mendesah. "Bukan n
***"Kancingin yang bener sweaternya, Sayang."Danendra mengukir senyum lalu meraih satu persatu kancing cardigan rajut yang dipakai Adara malam ini, untuk menutupi piyama satin abu yang dia pakai.Katanya, hormon selama masa kehamilan bisa berpengaruh pada sikap seorang perempuan. Terkadang berubah menjadi lebih manja, ataupin sebaliknya.Dan sepertinya masa itu sedang terjadi pada Adara, sekarang. Dia yang biasanya memilih tinggal di apartemen ketika Danendra menjemput Felicya, malam ini berbeda.Dengan alasan klasik—tak mau ditinggal sendiri di apartemen, Adara tiba-tiba saja merengek pada Danendra untuk meminta ikut menjemput Felicya.Sadar apa yang dilakukan istrinya bisa saja bagian dari ngidam, tentunya Danendra tak banyak protes dan langsung mengiakan permintaan Adara dengan syarat; perempuan itu harus mau memakai jaket karena cuaca malam ini bisa dibilang cukup dingin."Udah selesai," kata Danendra setelah cardigan yang dipakai Adara berhasil dia kancingkan."Makasih, Dan," k
***"Udah enggak mual lagi?"Adara menggeleng pelan ketika pertanyaan tersebut diucapkan Danendra. Usia kehamilannya yang masih terbilang cukup muda, wajar memang bagi Adara mengalami mual maupun muntah secara dadakan, seperti sekarang ini.Di tengah perjalanan, Adara tiba-tiba saja meminta Danendra untuk berhenti ketika perutnya yang semula normal, merasa mual.Menemukan jalanan sepi, Adara terpaksa turun dari mobil lalu memuntahkan isi perutnya di pinggir jalan dan tentunya—sebagai suami siaga, Danendra langsung menemani istrinya itu—meninggalkan Feli yang jelas menggerutu."Udah enggak," jawab Adara.Tak langsung bergegas. Adara memilih untuk berjongkok sebelum kembali masuk ke mobil."Minum lagi airnya, Ra," kata Danendra sambil menyodorkan sebotol air mineral yang kebetulan ada di mobilnya."Makasih, Dan."Meraih botol minum tersebut, Adara meneguknya kembali. Mengumpulkan tenaga, dia berusaha untuk berdiri—diikuti Danendra yang melakukan hal serupa."Pulang?" tanya Danendra."Iy
***"Kayanya kamu harus libur lagi hari ini."Mendengar ucapan Danendra, Adara yang sejak tadi duduk di karpet samping kasur seketika mendongak lalu memasang wajah tak terima."Enggak, Dan. Enggak mau," tolak Adara dengan segera. Rasanya satu hari libur saja sudah cukup untuk Adara, dan hari ini dia harus kembali ke kantor, meskipun pada kenyataannya kondisi tubuh sedang tak mendukung.Biasa terjadi. Adara yang setiap pagi biasanya baik-baik saja kini harus mengalami morning sickness setelah kehamilannya terungkap kemarin.Mual dan muntah juga rasa pusing yang mendera harus dia alami pagi ini dan tentu saja semua itu cukup menguras tenaga sampai-sampai dia terduduk lemas di bawah.Danendra? Melihat keadaan istrinya seperti ini tentu saja dia khawatir. Tak kuasa rasanya dia melepaskan Adara untuk pergi bekerja dengan keadaan yang tak baik-baik saja.Bahkan kini, Danendra mulai memikirkan ucapan Teresa yang menyarankan Adara untuk berhenti bekerja. Gilanya, sebagian pikiran Danendra j
"Kamu nyebelin tau enggak sih, Dan?""Aku minta maaf, Ra.""Ish."Adara mendesis pelan lalu di detik berikutnya dia berbalik badan. Belum sempat melangkah, Adara terpaksa harus menoleh lagi ketika tangan Danendra sigap mencekal tangannya."Mau ke mana?""Kamu tanya aku mau ke mana? Aku mau kerjalah, Dan," jawab Adara. "Aku udah minta Papa kamu liburin kamu seminggu," ucap Danendra lagi."Aku enggak peduli," kata Adara acuh. "Pokoknya aku mau kerja. Sekarang, lepasin tangan aku.""Ra." Dengan wajah yang memelas, Danendra memandang Adara. Namun, yang dilakukan istrinya justru melepaskan paksa tangan Danendra."Aku bilang, lepasin!"Tangannya bebas dari genggaman Danendra, Adada bergegas melangkahkan kakinya menuju kamar untuk kembali bersiap-siap. Memasukkan barang-barang pentingnya ke dalam tas, Adara melangkah menuju pintu kamar.Namun, lagi-lagi langkahnya terhenti ketika Danendra menghadangnya di ambang pintu."Danendra, awas," pinta Adara."Kalau mau kerja, sarapan dulu," kata Dan
***"Hey, kamu kenapa masuk kerja?"Adara yang sedang melangkahkan kaki di lobi menoleh ketika suara berat seorang pria melontarkan sebuah pertanyaan padanya."Papa," panggil Adara pada Ginanjar yang baru saja datang."Papa tanya, kamu ngapain kerja?""Karena hari ini hari kerja," jawab Adara santai."Danendra udah minta izin kamu buat libur seminggu," ucap Ginanjar. "Jadi sana pulang.""Kalau Dara enggak mau?" tanya Adara yang membuat Ginanjar mendesah.Keras kepala. Anak perempuan satu-satunya, Adara menuruni sifat Ginanjar yang keras kepala juga ambisius."Nurut sama suami," ucap Ginanjar. "Suami kamu itu Danendra. Dia bukan orang sembarangan, jadi enggak usah macam-macam.""Adara enggak macam-macam, Adara cuman kerja," ucap Adara. "Lagipula khawatirnya Danendra itu berlebihan, Dara tahu badan Dara gimana. Dan Dara bisa jaga bayi Dara.""Kamu ini sekali aja nurut bisa enggak?" tanya Ginanjar. "Kalau Danendra lakuin sesuatu sama perusahaan Papa, mau tanggung jawab kamu?""Pa." Adara
***"Maafin aku, Dan. Aku egois."Sambil menyantap sandwich yang diberikan Danendra, Adara tak hentinya mengucapkan maaf pada suaminya itu atas apa yang sudah dia lakukan pagi ini.Tidak tahu diri. Lagi, julukan itu diberikan Adara pada dirinya sendiri yang memang tak tahu berterima kasih.Setelah semua yang dilakukan Danendra untuknya, Adara justru dengan mudahnya marah pada sang suami hanya karena masalah sepele.Penyesalan selalu datang di akhir. Begitulah yang terjadi pada Adara sekarang karena setelah mendapat kiriman sandwich juga susu ibu hamil dari Danendra, perasaan bersalah semakin menggunung di hati Adara.Bahkan sejak tadi—semenjak Fany pergi dan jam kerja dimulai, belum ada satu pu laporan keuangan yang dikerjakan atau diperiksa oleh Adara."Danendra," gumam Adara lagi setelah satu potong sandwich habis dia santap. Mengambil botol minum, dia meneguk susu ibu hamil yang sudah dingin itu lalu mengelap bibirnya dengan tisu. "Dia lagi apa ya, sekarang?"Tak mau terus kalut, A