"Kamu nyebelin tau enggak sih, Dan?""Aku minta maaf, Ra.""Ish."Adara mendesis pelan lalu di detik berikutnya dia berbalik badan. Belum sempat melangkah, Adara terpaksa harus menoleh lagi ketika tangan Danendra sigap mencekal tangannya."Mau ke mana?""Kamu tanya aku mau ke mana? Aku mau kerjalah, Dan," jawab Adara. "Aku udah minta Papa kamu liburin kamu seminggu," ucap Danendra lagi."Aku enggak peduli," kata Adara acuh. "Pokoknya aku mau kerja. Sekarang, lepasin tangan aku.""Ra." Dengan wajah yang memelas, Danendra memandang Adara. Namun, yang dilakukan istrinya justru melepaskan paksa tangan Danendra."Aku bilang, lepasin!"Tangannya bebas dari genggaman Danendra, Adada bergegas melangkahkan kakinya menuju kamar untuk kembali bersiap-siap. Memasukkan barang-barang pentingnya ke dalam tas, Adara melangkah menuju pintu kamar.Namun, lagi-lagi langkahnya terhenti ketika Danendra menghadangnya di ambang pintu."Danendra, awas," pinta Adara."Kalau mau kerja, sarapan dulu," kata Dan
***"Hey, kamu kenapa masuk kerja?"Adara yang sedang melangkahkan kaki di lobi menoleh ketika suara berat seorang pria melontarkan sebuah pertanyaan padanya."Papa," panggil Adara pada Ginanjar yang baru saja datang."Papa tanya, kamu ngapain kerja?""Karena hari ini hari kerja," jawab Adara santai."Danendra udah minta izin kamu buat libur seminggu," ucap Ginanjar. "Jadi sana pulang.""Kalau Dara enggak mau?" tanya Adara yang membuat Ginanjar mendesah.Keras kepala. Anak perempuan satu-satunya, Adara menuruni sifat Ginanjar yang keras kepala juga ambisius."Nurut sama suami," ucap Ginanjar. "Suami kamu itu Danendra. Dia bukan orang sembarangan, jadi enggak usah macam-macam.""Adara enggak macam-macam, Adara cuman kerja," ucap Adara. "Lagipula khawatirnya Danendra itu berlebihan, Dara tahu badan Dara gimana. Dan Dara bisa jaga bayi Dara.""Kamu ini sekali aja nurut bisa enggak?" tanya Ginanjar. "Kalau Danendra lakuin sesuatu sama perusahaan Papa, mau tanggung jawab kamu?""Pa." Adara
***"Maafin aku, Dan. Aku egois."Sambil menyantap sandwich yang diberikan Danendra, Adara tak hentinya mengucapkan maaf pada suaminya itu atas apa yang sudah dia lakukan pagi ini.Tidak tahu diri. Lagi, julukan itu diberikan Adara pada dirinya sendiri yang memang tak tahu berterima kasih.Setelah semua yang dilakukan Danendra untuknya, Adara justru dengan mudahnya marah pada sang suami hanya karena masalah sepele.Penyesalan selalu datang di akhir. Begitulah yang terjadi pada Adara sekarang karena setelah mendapat kiriman sandwich juga susu ibu hamil dari Danendra, perasaan bersalah semakin menggunung di hati Adara.Bahkan sejak tadi—semenjak Fany pergi dan jam kerja dimulai, belum ada satu pu laporan keuangan yang dikerjakan atau diperiksa oleh Adara."Danendra," gumam Adara lagi setelah satu potong sandwich habis dia santap. Mengambil botol minum, dia meneguk susu ibu hamil yang sudah dingin itu lalu mengelap bibirnya dengan tisu. "Dia lagi apa ya, sekarang?"Tak mau terus kalut, A
***"Kurang malam pulangnya. Harusnya jangan jam enam, jam delapan atau jam sepuluh aja sekalian."Adara yang baru saja membuka pintu apartemen, seketika mematung di ambang pintu setelah mendapat omelan dari seorang perempuan yang kini duduk santai di ruang tamu sambil menikmati tayangan televisi."Mama," panggil Adara pelan, sementara wajahnya tentu sudah berubah pias secara tiba-tiba karena yang ada di apartemennya sekarang tentu saja bukan Monica, melainkan Teresa."Mama di sini?"Teresa yang tadi berucap tanpa menoleh, langsung memandang Adara—sementara posisinya masih tetap sama seperti tadi, bersandar pada pinggiran sofa dengan kedua kaki yang berselonjor."Iya di sini, kenapa? Enggak suka?" tanya Teresa dengan nada bicara judesnya seperti biasa. "Kamu ke mana dulu, jam segini baru pulang?""Lembur, Ma," jawab Adara apa adanya.Ditinggalkan sehari, pekerjaan Adara menumpuk. Tak suka mengabaikan pekerjaan, setelah jam kantor habis dia memutuskan untuk menyelesaikan semuanya peker
***"Makan yang banyak, enggak usah diet-diet.""Iya, Ma."Adara hanya tersenyum tipis ketika Teresa kembali menyimpan sepotong ayam di piringnya. Padahal, ayam yang dia ambil pun belum habis.Ingin membantah, dia tak kuasa. Alhasil, Adara hanya pasrah dan memilih untuk menyantap dua ayam itu sekaligus."Gimana, enak enggak?" tanya Teresa di sela-sela makan malam."Enak, Ma.""Beneran?""Iya, Ma," kata Adara."Kalau ada yang kurang, bilang aja. Enggak usah canggung," ucap Teresa lagi."Iya, Ma."Setelahnya suasana meja makan kembali hening. Tak lagi mengobrol, Teresa dan Adara hanya fokus dengan kegiatan makan mereka masing-masing, hingga tak lama Teresa buka suara—membuat Adara yang hampir saja menyuapkan nasi ke mulutnya, langsung berhenti."Mama mau jemput Feli, kamu berani kan sendiri di apartemen?"Adara memandang Teresa. "Sekarang, Ma?" tanyanya."Iya, habis makan. Felicya tutup butiknya kan jam setengah sembilan," ucap Teresa."Oh iya.""Berani enggak, sendiri di sini?" tanya T
***"Semuanya jadi enam belas juta lima ratus, Bu.""Oh oke.""Ma, Dara yang bayar sebagian ya."Teresa yang tengah merogoh dompet dari saku jaketnya langsung menggeleng pelan, mendengar penawaran sang menantu."No, enggak usah," kata Teresa. "Kan ini Mama belanjain kamu.""Tapi-""Nura," panggil Felicya yang datang ke meja kasir setelah membawa barang-barangnya dari ruanga kerja."Ya, Bu?""Lurusin aja nominalnya," perintah Felicya."Jadi enam belas, Bu?" tanya Nura memastikan."Iya.""Lho, kok didiskon, Fel?" tanya Teresa. "Setahu Tante itu barang baru lho, kenapa harganya dipotong.""Bajunya punya Dara kan, Tante?" tanya Felicya sambil mengukir senyuman tipis, sementara ekor matanya melirik Adara dan hati? Tentu saja bergerutu.Felicya tak menyangka Adara akan secepat ini mendapatkan hati Teresa. Padahal, Teresa adalah satu-satunya harapan dia bisa kembali pada Danendra.Jika sudah seperti ini, sepertinya Felicya harus segera meminta Raga untuk merealisasikan rencana yang sudah dia
***"Seriusan mau pulang?"Danendra yang sedang memakai jaket bombernya menoleh lalu mengangguk ketika Danish yang duduk di pinggir kasur dengan pakaian hangatnya melontarkan sebuah pertanyaan."Iya, besok ke sini lagi," kata Danendra."Enggak capek?" tanya Danish. "Ini Jakarta-Surabaya lho, Dan. Bukan deket.""Enggak, kan bolak-baliknya juga pake pesawat, enggak jalan kaki," celetuk Danendra.Danish melirik jam dinding di kamar yang sudah menunjukkan pukul dua pagi lalu menghela napas pelan.Malam ini seharusnya Danendra menginap di rumah Danish, bahkan dia pun sudah tertidur pulas sejak pukul sepuluh malam tadi. Namun, karena mimpi buruk yang dia alami, Danendra terbangun pukul satu tadi dan langsung memutuskan untuk pulang ke Jakarta saat ini juga.Memesan tiket penerbangan menuju Jakarta, Danendra akan terbang dari Surabaya pukul tiga dini hari nanti—mengambil penerbangan paling pagi.Danendra tahu mimpi hanyalah bunga tidur. Namun, tetap saja melihat Adara pergi sambil membawa b
***"Dan, sarapannya udah jadi nih. Makan yuk.""Sebentar, Sayang."Mematikan kompor, Adara berbalik badan lalu mengukir senyum ketika Danendra datang ke dapur sambil membenarkan dasi.Hari ini adalah hari jumat sekaligus hari terakhir Danendra pergi ke Surabaya—menggantikan Danish di kantor. Hampir seminggu bekerja di sana, Danendra pulang pergu Jakarta-Surabaya setiap hari.Ya, terlalu khawatir dengan keadaan Adara, Danendra batal menitipkan istrinya untuk dijaga sang Mama selama seminggu dia bekerja di Surabaya.Bukan tak percaya pada sang Mama, Danendra lebih khawatir pada Adara ketika di luar. Jika dirinya tinggal di Surabaya, Danendra tak akan bisa memastikan Adara aman sampai kantor karena tak bisa mengantar istrinya itu."Bisa enggak?" tanya Adara."Apanya?""Itu pake dasi, kok kaya susah gitu," kata Adara. Berjalan mendekat, dia berdiri di depan Danendra. "Sini aku pasangin."Danendra refleks melepaskan tangannya dari dasi lalu mengulum senyum ketika tangan Adara mulai memben
*** "Onty, Reano mana. Kok enggak kelihatan dari tadi?" Adara yang sedang menyapa para tamu seketika menoleh saat sebuah pertanyaan diucapkan seorang laki-laki muda yang malam ini tampan dengan kemeja navy bluenya. Danial. Yang baru saja bertanya pada Adara adalah Danial. "Eh, Nial. Rean kayanya masih di jalan." "Lho, enggak bareng?" "Mana maulah bareng sama Onty," kata Adara. "Dia kan jemput pacarnya." "Masih sama Lula?" "Masih." Danial tersenyum. "Awet juga ya, enggak kaya kakaknya." "Haha iya." "Ya udah, Nial gabung dulu sama yang lain ya Onty." "Iya, Nial." Malam ini adalah malam yang cukup membahagiakan bagi keluarga besar Alexander—khususnya keluarga Adam karena sebuah pesta tengah digelar di ballroom hotel berbintang di kota Jakarta. Bukan pertunangan atau pernikahan, pesta yang dirancang oleh anak-anak juga para menantu Adam itu adalah sebuah perayaan aniversary pernikahan Adam dan Teresa yang ke lima puluh delapan tahun. Cukup lama Adam menjalin
***"Duh siapa sih?"Masih dengan kedua mata terpejam, Alula mengulurkan tangannya—meraba-raba meja nakas di samping kasur untuk mencari ponsel yang saat ini berdering cukup nyaring.Entah siala yang menelepon, yang jelas Alula merasa sangat terganggu oleh bunyi dering ponselnya tersebut."Ketemu," gumam Alula ketika akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya.Mengambil ponsel tersebut, perlahan Alula membuka matanya dan yang dia temukan di layar adalah nama Reano."Reano. Ngapain sih?"Beringsut, Alula mengubah posisinya menjadi duduk sebelum akhirnya menjawab panggilan dari Reano."Halo, Rean. Kenapa?" tanya Alula parau."Baru bangun?""Iya.""Dih, belum sholat dong?" tanya Reano."Emang ini jam berapa?" tanya Alula yang memang belum sempat melihat jam baik itu di ponsel mau pun di dinding kamar."Jam lima pagi," kata Reano. "Ke air gih sana, cuci muka, wudhu, terus sholat.""Iya.""Nanti jam enam aku ke kamar kamu," ungkap Reano—membuat Alula seketika mengerutkan keningnya."Mau nga
***"Jaga diri baik-baik di sana, awas jangan macam-macam.""Iya, Ma. Siap."Pukul delapan pagi, Reano sudah siap dengan penampilannya yang bisa dibilang cukup rapi. Membawa koper berwarna hitam berisi pakaian ganti, remaja yang satu bulan lalu baru saja genap delapan pelas tahun itu sudah tiba di bandara, diantar Adara juga Danendra.Tujuannya? Tentu saja Jerman. Memanfaatkan libur panjang sebelum masuk kuliah, Reano memang meminta izin pada kedua orang tuanya untuk pergi ke Jerman menemui Nara.Tak sendiri, Reano pergi bersama Alula yang memang ingin menghabiskan waktu liburan di luar negeri.Berhubung kedua orang tuanya sibuk, Alula memutuskan untuk ikut bersama Reano yang sejauh ini bisa dipercaya menjaga putri bungsu seorang Arkananta itu."Jangan macam-macam kalian di sana. Ingat, pisah kamar," kata Aludra memperingatkan."Iya, Mama. Masa satu kamar?" tanya Alula. "Lagian uncle Danen kan udah pesenin dua kamar buat aku sama Reano.""Tenang aja, Ra. Aku udah pesenin kamar yang be
***'Hati-hati di jalan.'Elara yang baru saja memasukkan beberapa baju ke dalam tas seketika mengukir senyumannya ketika sebuah pesan yang bisa dibilang cukup romantis masuk ke ponselnya—membuat dia terbang ke angkasa dengan perasaan yang berbunga-bunga.Bukan dari orang sembarangan, pesan tersebut berasal dari Regan yang memberikan peringatan pada Elara karena sore ini gadis itu akan berangkat menuju Bandung untuk menginap di rumah Aksa selama dua malam.Alasannya? Tentu saja Elara ingin menemui Regan yang satu minggu lalu resmi menjadi pacarnya.Dicomblangkan oleh Respati lalu saling mengenal via virtual selama sebulan lebih, Elara dan Regan sepertinya memiliki banyak kecocokan lalu pada akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan setelah Regan menyatakan cintanya lebih dulu seminggu yang lalu.Regan memang jarang bicara bahkan terkesan dingin, tapi di dekat orang yang membuatnya nyaman, Regan kadang berubah seratus delapan puluh derajat dan bagi Elara, Regan ternyata cukup menyena
***"Oke, istirahat dulu aja ya.""Siap, Kak!"Menyimpan semua peralatan yang ada, para siswa juga siswi yang siang ini memakai pakaian olahraga lantas membubarkan diri lalu berjalan ke pinggir lapangan pun dengan siswi yang kini melangkah untuk menghampiri seseorang di bangku pinggir lapangan."Kamu kalau bosen, pulang aja."Istirahat dari latihannya, Alula langsung menghampiri Reano yang sejak tadi setia menunggu sambil bersandar pada tembok.Sejak masuk di SMA yang sama Alula dan Reano bisa dibilang cukup dekat—lebih tepatnya sengaja didekatkan oleh Adara yang memang menginginkan Reano lupa dengan perasaannya pada Nara.Setiap pagi juga siang setelah pulang sekolah, Reano diwajibkan menjemput dan mengantar Alula ke rumahnya bersama supir karena memang usia yang belum tujuh belas tahun membuat Reano belum diizinkan memakai kendaraan sendiri.Reano sebenarnya sudah beberapa kali menolak karena memang didekatkan paksa seperti ini membuatnya tak nyaman.Namun, sederet ancaman penyitaan
***"Reres, kamu ngapain ke sini?"Keluar dari pintu gerbang sekolah, Elara mengerutkan kening ketika mendapati seorang siswa laki-laki dengan seragam yang berbeda dengannya tengah berdiri sambil mengukir senyuman.Respati.Bukan pacar atau gebetan, siswa laki-laki yang kini tengah bersandar di pintu mobil sedan hitam adalah sepupu Elara—anak dari saudara Danendra."Hai, Kak El," sapa Respati sambil mengangkat telapak tangannya. "Apa kabar?""Baik," kata Elara apa adanya. "Kamu apa kabar?""Baik juga," ucap Respati."Kamu ngapain ke sekolahan aku? Ada urusan apa gimana?" tanya Elara."Iya ada urusan sama Kak El," ucap Respati—membuat Elara seketika mengerutkan keningnya."Urusan apa?""Hm." Respati bergumam pelan, sementara wajahnya terlihat menunjukkan sebuah keraguan. "Mau minta bantuan sih, Kak?""Bantuan apa?"Respati menggaruk tengkuknya yang bahkan tak gatal sama sekali."Res?""Ah iya, Kak. Bantuan apa sih?" tanya Elara. "Ngomong aja. Enggak usah ragu.""Hm, nanti malam Kakak s
***"Baik-baik di sekolah. Jangan banyak tingkah."Sambil mengoleskan selai ke roti, ucapan tersebut dilontarkan Adara pada Reano yang saat ini baru saja duduk di meja makan.Setelah dua minggu liburan berlangsung, tahun ajaran baru akhirnya tiba dan hari ini Reano akan memulai kegiatan sekolahnya di SMA.Sesuai perintah, mau tak mau Reano menurut untuk bersekolah di SMAN 8. Padahal, sudah sejak jauh-jauh hari remaja itu menginginkan sekolah di SMAN 34 karena memang hampir semua teman dekatnya bersekolah di sana."Mau joged di tengah lapangan," celetuk Reano."Apaan sih? Kalau dikasih tahu itu jawab yang benar. Bukan kaya gitu."Elara yang baru saja siap, lantas menoyor kepala adiknya itu dengan tangan kanan sementara tangan kirinya menarik kursi untuk duduk."Kamu juga apaan? Kepala itu sensitif. Enggak usah pake noyor," ketus Reano tak suka.Berbeda dengan kebanyakan siswa yang biasanya bahagia ketika masuk di sekolah baru, Reano justru sebaliknya.Selain karena sekolah yang dia tem
***"Kamu kenapa?"Menghampiri Adara di pinggir kolam, Danendra langsung mengucapkan pertanyaan tersebut setelah beberapa menit lalu terus memperhatikan sang istri yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu."Dan. Kamu di sini.""Orang-orang di dalam, kamu kok di luar?" tanya Danendra. "Lagi mikirin apa sih, hm?""Reano," kata Adara.Danendra mengerutkan keningnya. Dia yang datang membawa segelas air putih lantas menarik kursi lalu duduk di depan Adara."Apa yang kamu pikirkan tentang Reano?" tanya Danendra."Kamu lupa sama apa yang dia omongin tadi di mobil?" tanya Adara. "Reano bilang dia cinta sama Nara, Dan.""Terus masalahnya di mana?""Kok kamu nanya gitu, Danen?" tanya Adara tak suka. "Ya enggak bolehlah! Reano sama Nara itu saudara. Mereka enggak boleh saling mencintai lebih dari sekadar saudara.""Tapi kan bukan kandung," ucap Danendra. "Dalam segi agama ataupun negara, mereka sah-sah aja kalau mau punya hubungan.""Enggak!" pungkas Adara. "Sampai kapan pun aku enggak akan res
***"Males ikut, Ma."Mendengar ucapan tersebut, Adara menoleh seketika lalu memandang putranya sambil menaikkan sebelah alis."Males ikut apa?""Rean malas ikut ke Bandung."Pagi ini—seminggu setelah kepergian Nara ke Jerman, keluarga Adara akan bertolak menuju Bandung, menghadiri undangan yang diberikan keluarga Aksa.Bukan pesta besar, di Bandung sana Aksa hanya merayakan syukuran atas kelulusan putri angkatnya Aileen di salah satu universitas terbaik di kota Bandung dengan nilai yang juga tentunya sangat baik.Tak hanya Danendra dan keluarga, nantinya Adam juga Teresa pun akan datang bersama supir lalu Danish juga terbang dari Surabaya bersama keluarganya."Kenapa?" tanya Adara.Tak tahu tentang yang terjadi pada Nara, Adara memang mulai bersikap biasa kembali. Perempuan itu mencoba menghibur diri dari rasa sedih kehilangan Nara karena tentunya dia berpikir sang putri tak akan lama pergi.Berbeda dengan Adara yang berusaha menghibur diri, Reano justru seperti orang tak bersemangat