***"Ya ampun."Membuka matanya perlahan, Adara menguap lalu mengerjap beberapa kali. Di detik berikutnya dia sedikit terperanjat melihat sesuatu di depannya.Dada bidang milik Danendra yang putih, kokoh, mulus tanpa bulu menjadi pemandangan pertama yang dilihat Adara saat ini. Mendongak, matanya bertemu dengan dagu sang suami yang juga kokoh lalu setelahnya dia pun merasakan sebuah tangan membelit di pinggangnya."Ah, tadi ...." Sebuah senyuman terukir di bibir Adara ketika kegiatan panas yang dia dan Danendra lakukan terbersit di pikirannya.Tak ada paksaan, baik Adara maupun Danendra sama-sama menikmati apa yang mereka lakukan sampai akhirnya keduanya lelah dan tertidur tanpa memakai baju lebih dulu.Hanya selimut abu saja yang menutupi tubuh mereka yang telanjang tanpa sehelai benang pun menempel di sana.Adara naik. Dia yang semula tidur dengan posisi sedikit rendah kini mensejajarkan kembali posisi tidurnya dengan Danendra. Tidur di bantal yang sama, Adara memandang wajah tampan
***"Baik-baik kalian, titip Feli.""Iya, Ma. Mama hati-hati di jalan.""Iya."Pukul setengah sepuluh malam, Teresa berpamitan. Tak perlu diantar, perempuan itu mandiri turun sendiri menuju mobil dan supir yang menunggu di basemant apartemen."Mau langsung tidur?" tanya Danendra pada Adara."Aku lapar," kata Adara sambil mengelus perutnya yang terasa keroncongan. "Mau bikin mie deh.""Lho, kok mie?" tanya Danendra. "Mbak Siti kayanya masak lho, Ra.""Aku lagi pengen itu, Dan," kata Adara. "Kamu aja yang makan, aku bikin mie ya?""Kalau kamu makan mie, aku juga deh.""Dih ngikutin," celetuk Adara."Ngikutin kamu juga, kan? Bukan ngikutin orang lain," kata Danendra."Tapi Mama kamu pesan ke aku, kalau makanan kamu harus sehat," ujar Adara."Mama aku enggak ada," ucap Danendra. Meraih tangan sang istri, dia menarik Adara menuju dapur. "Ayo.""Ish, dasar."Sampai di dapur, keduanya langsung menyiapkan panci. Bekerja sama, Danendra hanya meminta Adara menyiapkan bahan sementara dirinya yan
***"Dan, Danendra. Bangun, Dan. Aku harus ke butik."Mendengar suara Felicya disusul ketukan di pintu kamar, Adara yang masih terlelap lekas membuka matanya perlahan lalu mengerjap.Weekend. Setelah lima hari bekerja dan selalu bangun pagi, hari sabtu ini—pukul delapan pagi, Adara dan Danendra masih bergelut di dalam selimut."Ya ampun udah pagi," kata Adara parau saat matanya melihat jam dinding.Melepaskan tangan Danendra yang semula di pinggangnya, Adara beringsut. Duduk, dia mengikat rambut panjangnya yang digerai lalu turun dari kasur.Sambil menguap, dia berjalan ke arah pintu kamar lalu membukanya pelan agar tak mengganggu Danendra yang masih terlelap setelah semalaman begadang menyelesaikan pekerjaan agar bisa menghabiskan waktu libur dengan Adara."Kenapa, Fel?" tanya Adara ketika melihat Felicya sudah rapi di kursi rodanya seperti biasa."Kamu baru bangun?" tanya Felicya—sinis seperti biasa."Iya, kenapa?""Istri macam apa kamu itu?" tanya Felicya. "Udah nikah tuh biasain b
***"Tugas aku selesai."Sampai di butik, Adara langsung membantu Felicya turun dari mobil lalu mendudukannya di kursi roda, karena memang seperti yang dikatakan Adara, Felicya sebenarnya masih mampu berjalan.Hanya saja dia terlalu melebih-lebihkan semuanya."Thanks," kata Felicya."Sama-sama," jawab Adara."Nanti bilangin ke Danendra jemput jam sembilan, jangan telat."Adara yang sudah kembali menuju mobilnya menoleh lalu tersenyum. "Kalau enggak lupa ya, malam minggu soalnya. Aku sama Danendra mau quality time," ucapnya."Aku bilangin Tante Teresa kalau kamu larang Danendra jemput.""Yayaya."Mengitari sedan putihnya, Adara kembali masuk lalu duduk di kursi kemudi. Memsang seat belt, dia menyalakan mesin lalu dalam hitungan detik mobilnya melaju meninggalkan parkiran butik Felicya.Adara pergi, Felicya tak langsung masuk ke dalam karena sebenarnya urusan buka butik adalah tugas karyawan yang sudah diberi kepercayaan oleh Felicya."Belagu," celetuk Adara. "Sekarang kamu bilang akan
***"Makan siang berdua? Tumben banget, Dan?"Sebuah senyuman melengkung terukir begitu saja di bibir Felicya ketika sebuah ajakan makan siang tiba-tiba saja dilontarkan Danendra melalu telepon.Menghentikan kegiatan menggambarnya, Felicya tergesa-gesa menjawab panggilan Danendra saat ponselnya berdering. Tak disangka, sebuah kabar baik ternyata diterimanya hari ini."Iya lagi pengen aja, mau enggak?" tanya Danendra dari seberang sana."Maulah, kapan?""Sekarang aku ke butik kalau kamu mau," kata Danendra. "Kita makan siang di dekat butik kamu aja.""Oh boleh, Dan. Aku mau kok, jemput aja ya," kata Felicya."Siap.""Tapi, Dan.""Ya?""Adara gimana?""Dia lagi keluar sama temannya," ungkap Danendra yang lagi-lagi membuat Felicya bahagia."Oh oke deh, aku siap-siap dulu ya, Dan.""Iya, Fel."Memutuskan sambungan telepon, Felicya tak hentinya mengukir senyum sambil menggenggam erat benda pipih di tangannya."Danendra ... tumben banget dia ajak makan siang? Biasanya kan Adara terus? Ah, la
***"Dan."Adara yang sejak tadi diam membisu—sibuk dengan pikiran dia masing-masing, akhirnya bersuara. Menoleh, dia memandang Danendra yang nampak fokus mengemudi.Acara makan siang selesai, Danendra langsung mengantar Felicya kembali ke butik setelah sebelumnya—tentu saja mendakwa gadis itu dengan sebuah hukuman yang tak main-main atas apa yang dia lakukan pada Adara.Danendra memang pria baik—bahkan bisa dibilang sangat baik karena hatinya yang lembut. Namun, tentu saja semua itu tak membuat ketegasannya hilang.Sebaik apapun Danendra, darah Alexander yang tegas tetap mengalir di tubuhnya dan semua anggota keluarga Alexander selalu memberikan hukuman setimpal untuk para pembuat kesalahan—termasuk yang dilakukan Danendra pada Felicya."Ya, Sayang. Kenapa?" tanya Danendra—masih fokus pada jalanan siang hari ini."Yang kamu lakuin ke Feli, apa itu enggak berlebihan?" tanya Adara. Meskipun senang karena Danendra bersikap tegas, tetap saja Adara merasa tak enak karena hukuman yang dibe
***"Jadi nanti malam kamu harus pergi dari apartemen Danendra?"Felicya mengangguk pelan ketika sebuah pertanyaan tersebut dilontarkan Teresa dari seberang sana. Diusir dari apartemen oleh Danendra, Felicya tentu saja tak tinggal diam.Hanya punya Teresa sebagai harapan, Felicya langsung menghubungi perempuan itu untuk mengadu dan tentunya dia langsung berperan menjadi korban untuk menarik perhatian Teresa."Iya, Tante. Nanti malam Danendra bilang aku harus pergi, sama Mbak Siti juga," ungkap Felicya.Tak mengungkapkan unit apartemen yang disewakan Danendra untuknya, Felicya hanya membahas tentang pengusiran yang dilakukan mantan pacarnya sebagai bentuk hukuman atas perbuatan yang sudah dia lakukan pada Adara."Keterlaluan," ucap Teresa yang membuat Felicya mengukir senyumannya. "Harusnya Danendra enggak sampai melakukan itu sama kamu. Harusnya dia paham kondisi kamu.""Iya, Tante. Feli tahu kok, Feli salah," kata Felicya. "Tapi kan Feli juga udah minta maaf, Tan. Feli nyesel juga la
***"Dan."Danendra yang sedang mengeluarkan barang belanjaaan dari bagasi seketika menoleh ketika Adara menghampirinya."Kenapa, Ra?""Degdegan.""Hah?"Adara menyimpan telapak tangannya di dada. "Jantung aku degdegan, Danendra," ucapnya. "Ngobrol sama Mama Teresa aja udah buat aku keringat dingin, apalagi sama Papa Adam."Danendra terkekeh. "Sebegitu takutnya kamu sama Papa aku?" tanyanya dan Adara mengangguk sebagai jawaban. "Papa aku enggak nyeremin kok, Ra.""Tapi wajahnya-""Garang?" potong Danendra. "Tenang aja, wajah Papa aku emang gitu, tapi baik kok. Percaya deh sama aku, lagian Papa aku masih makan nasi, jadi enggak usah takut.""Dih, kamu tuh.""Boleh minta tolong?""Apa?""Bawain ini," pinta Danendra sambil memberikan kresek putih berisi dua buah cake.Setelah mendapat telepon dari kedua orang tuanya yang akan datang ke apartemen, Danendra dan Adara memang sengaja mampir ke supermarket karena stok makanan di apartemen menipis.Tak pandai membuat makanan, tentu saja Adara