***"Kok diem aja daritadi? Kenapa?"Adara yang sejak tadi duduk sambil memeluk kedua tangannya di dada hanya menoleh sekilas, ketika pertanyaan tersebut meluncur dari mulut Danendra setelah keduanya menempuh perjalanan selama lima belas menit dari apartemen."Enggak apa-apa," jawab Adara singkat."Enggak apa-apa, tapi mukanya kaya gitu," ucap Danendra. "Kaya lagi bete.""Emang bete," jawab Adara apa adanya."Bete kenapa? Sini bilang sama aku," pinta Danendra yang membuat Adara kini sedikit memiringkan posisi duduknya."Bete kerena suami aku dibekelin makanan sama perempuan lain," ucap Adara. "Mana perempuan itu mantannya lagi eh ... enggak tau mantan apa masih pacaran sih."Alih-alih tersinggung, marah, atau sebagainya. Danendra justru menanggapi ucapan Adara dengan tenang lalu memberanikan diri untuk bertanya."Kamu cemburu?" "Cemburu?" tanya Adara. Dia menatap Danendra dari samping. Orang bilang, cemburu adalah tanda cinta. Jika seseorang cemburu itu berarti dia mencintai orang ya
***"Percobaan pertama, berhasil."Felicya tersenyum sambil memandangi sebuah buku catatan kecil yang dia pegang. Bukan sembarang buku catatan, buku kecil dengan jilid berwarna coklat tersebut berisi sesuatu yang sangat penting bagi Felicya.Dunia berpihak padanya, beberapa menit setelah Danendra dan Adara pergi, Felicya mendapat telepon dari salah satu temannya yang menjadi pegawai di salah satu apartemen. Bukan perempuan, teman Felicya tersebut bernama Edgar.Berawal dari curhatan Edgar yang katanya diminta membersihkan sebuah unit apartemen yang ditinggal pemiliknya, Felicya seolah diberi jalan karena secara kebetulan unit apartemen yang dibersihkan Edgar adalah milik Rafly Sanjaya—tunangan Adara yang sudah dinyatakan meninggal seminggu lalu.Meminta Edgar untuk mencari benda penting di unit apartemen Rafly, Felicya akhirnya mendapatkan sebuah notebook alias buku catatan kecil yang ternyata berisi tulisan tangan Rafly.Di dalam buku catatan tersebut terdapat berbagai macam kesukaan
***"Ah, capek."Adara melangkah lunglai menyusuri lorong apartemen sambil menenteng tas juga buket bunga di tangannya. Membawa mobil sendiri, Adara tak pulang bersama Danendra.Menempuh perjalana setengah jam dari kantor, Adara sampai di apartemen pukul setengah lima sore. Danendra sudah pulang atau belum? Adara tak tahu karena sejak jam kerjanya berakhir, dia belum menghubungi Danendra gara-gara ponselnya yang mati karena lupa dicharge."Akhirnya hafal," kata Adara sambil menekan deretas password apartemen milik Danendra. Membuka pintu, dia melangkahkan kakinya masuk lalu membuka satu-persatu pantopel yang dia pakai dan menyimpannya di rak yang tersedia.Mengganti alas kaki dengan sandal rumah, Adara melangkahkan kaki menuju kamar. Namun, tepat di depan pintu langkahnya terhenti ketika suara Felicya terdengar."Baru pulang?"Adara menoleh lalu memandang mantan pacar Danendra tersebut. "Iya," jawabnya."Danendra mana?""Enggak tau, masih di kantor kayanya," ucap Adara apa adanya. Tak
***"Makasih ya, Pak.""Sama-sama, Bu."Sore ini—ketika Adara hampir saja beranjak dari kursi kerjanya, seorang petugas kebersihan tiba-tiba saja datang lalu memberikan sebuah kotak berukuran sedang untuknya.Penasaran dengan isi kotak tersebut, Adara memutuskan untuk kembali duduk di kursi kerjanya lalu mulai membuka kertas kado yang membungkus tersebut dan tepat ketima kotak terbuka, Adara cukup dibuat tercengang dengan isinya."Coklat," gumam Adara sambil mengeluarkan dua buah coklat putih dari kotak tersebut dan tentu saja coklat tersebut adalah makanan yang paling disukai Adara.Tak suka coklat biasa yang kadang rasanya sedikit pahit, Adara lebih menyukai coklat putib dengan butiran almond di dalamnya dan lagi-lagi orang yang sering memberikan Adara coklat tersebut adalah Rafly.Sial. Sejak kejadian buket bunga beberapa hari lalu, Adara mencoba untuk melupakan dan tak menganggap penting kiriman tersebut karena benar kata Danendra, mustahil kiriman tersebut berasal dari Rafly.Nam
***"Dan, kamu marah sama aku?"Sempat terjebak macet, Adara dan Danendra sampai di apartemen pukul setengah tujuh malam. Turun dari mobilnya, Danendra langsung melangkah begitu saja tanpa menghiraukan Adara yang juga baru turun dari mobil yang dia kendarai, karena memang keduanya menggunakan mobil yang berbeda."Masuk, Ra," pinta Danendra ketika pintu lift terbuka."Dan." Alih-alih masuk, Adara justru memandang Danendra. "Kamu ma-"Ucapan Adara terhenti ketika Danendra menghela napas lalu melangkah lebih dulu ke dalam lift—membuat Adara dengan segera ikut masuk sebelum pintu lift tertutup kembali.Tak ada siapa-siapa, di dalam lift hanya ada Adara juga Danendra yang kini berdiri tanpa mengobrol.Danendra memandang lurus ke depan, sementara Adara memandang suaminya dari samping dengan perasaan yang tak enak tentunya, karena sore ini Danendra tak lagi menyembunyikan amarahnya.Pria itu terang-terangan terlihat kesal. Marah? Tentu saja. Danendra yang sabar pun pasti akan marah karena k
***"Ya ampun."Membuka matanya perlahan, Adara menguap lalu mengerjap beberapa kali. Di detik berikutnya dia sedikit terperanjat melihat sesuatu di depannya.Dada bidang milik Danendra yang putih, kokoh, mulus tanpa bulu menjadi pemandangan pertama yang dilihat Adara saat ini. Mendongak, matanya bertemu dengan dagu sang suami yang juga kokoh lalu setelahnya dia pun merasakan sebuah tangan membelit di pinggangnya."Ah, tadi ...." Sebuah senyuman terukir di bibir Adara ketika kegiatan panas yang dia dan Danendra lakukan terbersit di pikirannya.Tak ada paksaan, baik Adara maupun Danendra sama-sama menikmati apa yang mereka lakukan sampai akhirnya keduanya lelah dan tertidur tanpa memakai baju lebih dulu.Hanya selimut abu saja yang menutupi tubuh mereka yang telanjang tanpa sehelai benang pun menempel di sana.Adara naik. Dia yang semula tidur dengan posisi sedikit rendah kini mensejajarkan kembali posisi tidurnya dengan Danendra. Tidur di bantal yang sama, Adara memandang wajah tampan
***"Baik-baik kalian, titip Feli.""Iya, Ma. Mama hati-hati di jalan.""Iya."Pukul setengah sepuluh malam, Teresa berpamitan. Tak perlu diantar, perempuan itu mandiri turun sendiri menuju mobil dan supir yang menunggu di basemant apartemen."Mau langsung tidur?" tanya Danendra pada Adara."Aku lapar," kata Adara sambil mengelus perutnya yang terasa keroncongan. "Mau bikin mie deh.""Lho, kok mie?" tanya Danendra. "Mbak Siti kayanya masak lho, Ra.""Aku lagi pengen itu, Dan," kata Adara. "Kamu aja yang makan, aku bikin mie ya?""Kalau kamu makan mie, aku juga deh.""Dih ngikutin," celetuk Adara."Ngikutin kamu juga, kan? Bukan ngikutin orang lain," kata Danendra."Tapi Mama kamu pesan ke aku, kalau makanan kamu harus sehat," ujar Adara."Mama aku enggak ada," ucap Danendra. Meraih tangan sang istri, dia menarik Adara menuju dapur. "Ayo.""Ish, dasar."Sampai di dapur, keduanya langsung menyiapkan panci. Bekerja sama, Danendra hanya meminta Adara menyiapkan bahan sementara dirinya yan
***"Dan, Danendra. Bangun, Dan. Aku harus ke butik."Mendengar suara Felicya disusul ketukan di pintu kamar, Adara yang masih terlelap lekas membuka matanya perlahan lalu mengerjap.Weekend. Setelah lima hari bekerja dan selalu bangun pagi, hari sabtu ini—pukul delapan pagi, Adara dan Danendra masih bergelut di dalam selimut."Ya ampun udah pagi," kata Adara parau saat matanya melihat jam dinding.Melepaskan tangan Danendra yang semula di pinggangnya, Adara beringsut. Duduk, dia mengikat rambut panjangnya yang digerai lalu turun dari kasur.Sambil menguap, dia berjalan ke arah pintu kamar lalu membukanya pelan agar tak mengganggu Danendra yang masih terlelap setelah semalaman begadang menyelesaikan pekerjaan agar bisa menghabiskan waktu libur dengan Adara."Kenapa, Fel?" tanya Adara ketika melihat Felicya sudah rapi di kursi rodanya seperti biasa."Kamu baru bangun?" tanya Felicya—sinis seperti biasa."Iya, kenapa?""Istri macam apa kamu itu?" tanya Felicya. "Udah nikah tuh biasain b
*** "Onty, Reano mana. Kok enggak kelihatan dari tadi?" Adara yang sedang menyapa para tamu seketika menoleh saat sebuah pertanyaan diucapkan seorang laki-laki muda yang malam ini tampan dengan kemeja navy bluenya. Danial. Yang baru saja bertanya pada Adara adalah Danial. "Eh, Nial. Rean kayanya masih di jalan." "Lho, enggak bareng?" "Mana maulah bareng sama Onty," kata Adara. "Dia kan jemput pacarnya." "Masih sama Lula?" "Masih." Danial tersenyum. "Awet juga ya, enggak kaya kakaknya." "Haha iya." "Ya udah, Nial gabung dulu sama yang lain ya Onty." "Iya, Nial." Malam ini adalah malam yang cukup membahagiakan bagi keluarga besar Alexander—khususnya keluarga Adam karena sebuah pesta tengah digelar di ballroom hotel berbintang di kota Jakarta. Bukan pertunangan atau pernikahan, pesta yang dirancang oleh anak-anak juga para menantu Adam itu adalah sebuah perayaan aniversary pernikahan Adam dan Teresa yang ke lima puluh delapan tahun. Cukup lama Adam menjalin
***"Duh siapa sih?"Masih dengan kedua mata terpejam, Alula mengulurkan tangannya—meraba-raba meja nakas di samping kasur untuk mencari ponsel yang saat ini berdering cukup nyaring.Entah siala yang menelepon, yang jelas Alula merasa sangat terganggu oleh bunyi dering ponselnya tersebut."Ketemu," gumam Alula ketika akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya.Mengambil ponsel tersebut, perlahan Alula membuka matanya dan yang dia temukan di layar adalah nama Reano."Reano. Ngapain sih?"Beringsut, Alula mengubah posisinya menjadi duduk sebelum akhirnya menjawab panggilan dari Reano."Halo, Rean. Kenapa?" tanya Alula parau."Baru bangun?""Iya.""Dih, belum sholat dong?" tanya Reano."Emang ini jam berapa?" tanya Alula yang memang belum sempat melihat jam baik itu di ponsel mau pun di dinding kamar."Jam lima pagi," kata Reano. "Ke air gih sana, cuci muka, wudhu, terus sholat.""Iya.""Nanti jam enam aku ke kamar kamu," ungkap Reano—membuat Alula seketika mengerutkan keningnya."Mau nga
***"Jaga diri baik-baik di sana, awas jangan macam-macam.""Iya, Ma. Siap."Pukul delapan pagi, Reano sudah siap dengan penampilannya yang bisa dibilang cukup rapi. Membawa koper berwarna hitam berisi pakaian ganti, remaja yang satu bulan lalu baru saja genap delapan pelas tahun itu sudah tiba di bandara, diantar Adara juga Danendra.Tujuannya? Tentu saja Jerman. Memanfaatkan libur panjang sebelum masuk kuliah, Reano memang meminta izin pada kedua orang tuanya untuk pergi ke Jerman menemui Nara.Tak sendiri, Reano pergi bersama Alula yang memang ingin menghabiskan waktu liburan di luar negeri.Berhubung kedua orang tuanya sibuk, Alula memutuskan untuk ikut bersama Reano yang sejauh ini bisa dipercaya menjaga putri bungsu seorang Arkananta itu."Jangan macam-macam kalian di sana. Ingat, pisah kamar," kata Aludra memperingatkan."Iya, Mama. Masa satu kamar?" tanya Alula. "Lagian uncle Danen kan udah pesenin dua kamar buat aku sama Reano.""Tenang aja, Ra. Aku udah pesenin kamar yang be
***'Hati-hati di jalan.'Elara yang baru saja memasukkan beberapa baju ke dalam tas seketika mengukir senyumannya ketika sebuah pesan yang bisa dibilang cukup romantis masuk ke ponselnya—membuat dia terbang ke angkasa dengan perasaan yang berbunga-bunga.Bukan dari orang sembarangan, pesan tersebut berasal dari Regan yang memberikan peringatan pada Elara karena sore ini gadis itu akan berangkat menuju Bandung untuk menginap di rumah Aksa selama dua malam.Alasannya? Tentu saja Elara ingin menemui Regan yang satu minggu lalu resmi menjadi pacarnya.Dicomblangkan oleh Respati lalu saling mengenal via virtual selama sebulan lebih, Elara dan Regan sepertinya memiliki banyak kecocokan lalu pada akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan setelah Regan menyatakan cintanya lebih dulu seminggu yang lalu.Regan memang jarang bicara bahkan terkesan dingin, tapi di dekat orang yang membuatnya nyaman, Regan kadang berubah seratus delapan puluh derajat dan bagi Elara, Regan ternyata cukup menyena
***"Oke, istirahat dulu aja ya.""Siap, Kak!"Menyimpan semua peralatan yang ada, para siswa juga siswi yang siang ini memakai pakaian olahraga lantas membubarkan diri lalu berjalan ke pinggir lapangan pun dengan siswi yang kini melangkah untuk menghampiri seseorang di bangku pinggir lapangan."Kamu kalau bosen, pulang aja."Istirahat dari latihannya, Alula langsung menghampiri Reano yang sejak tadi setia menunggu sambil bersandar pada tembok.Sejak masuk di SMA yang sama Alula dan Reano bisa dibilang cukup dekat—lebih tepatnya sengaja didekatkan oleh Adara yang memang menginginkan Reano lupa dengan perasaannya pada Nara.Setiap pagi juga siang setelah pulang sekolah, Reano diwajibkan menjemput dan mengantar Alula ke rumahnya bersama supir karena memang usia yang belum tujuh belas tahun membuat Reano belum diizinkan memakai kendaraan sendiri.Reano sebenarnya sudah beberapa kali menolak karena memang didekatkan paksa seperti ini membuatnya tak nyaman.Namun, sederet ancaman penyitaan
***"Reres, kamu ngapain ke sini?"Keluar dari pintu gerbang sekolah, Elara mengerutkan kening ketika mendapati seorang siswa laki-laki dengan seragam yang berbeda dengannya tengah berdiri sambil mengukir senyuman.Respati.Bukan pacar atau gebetan, siswa laki-laki yang kini tengah bersandar di pintu mobil sedan hitam adalah sepupu Elara—anak dari saudara Danendra."Hai, Kak El," sapa Respati sambil mengangkat telapak tangannya. "Apa kabar?""Baik," kata Elara apa adanya. "Kamu apa kabar?""Baik juga," ucap Respati."Kamu ngapain ke sekolahan aku? Ada urusan apa gimana?" tanya Elara."Iya ada urusan sama Kak El," ucap Respati—membuat Elara seketika mengerutkan keningnya."Urusan apa?""Hm." Respati bergumam pelan, sementara wajahnya terlihat menunjukkan sebuah keraguan. "Mau minta bantuan sih, Kak?""Bantuan apa?"Respati menggaruk tengkuknya yang bahkan tak gatal sama sekali."Res?""Ah iya, Kak. Bantuan apa sih?" tanya Elara. "Ngomong aja. Enggak usah ragu.""Hm, nanti malam Kakak s
***"Baik-baik di sekolah. Jangan banyak tingkah."Sambil mengoleskan selai ke roti, ucapan tersebut dilontarkan Adara pada Reano yang saat ini baru saja duduk di meja makan.Setelah dua minggu liburan berlangsung, tahun ajaran baru akhirnya tiba dan hari ini Reano akan memulai kegiatan sekolahnya di SMA.Sesuai perintah, mau tak mau Reano menurut untuk bersekolah di SMAN 8. Padahal, sudah sejak jauh-jauh hari remaja itu menginginkan sekolah di SMAN 34 karena memang hampir semua teman dekatnya bersekolah di sana."Mau joged di tengah lapangan," celetuk Reano."Apaan sih? Kalau dikasih tahu itu jawab yang benar. Bukan kaya gitu."Elara yang baru saja siap, lantas menoyor kepala adiknya itu dengan tangan kanan sementara tangan kirinya menarik kursi untuk duduk."Kamu juga apaan? Kepala itu sensitif. Enggak usah pake noyor," ketus Reano tak suka.Berbeda dengan kebanyakan siswa yang biasanya bahagia ketika masuk di sekolah baru, Reano justru sebaliknya.Selain karena sekolah yang dia tem
***"Kamu kenapa?"Menghampiri Adara di pinggir kolam, Danendra langsung mengucapkan pertanyaan tersebut setelah beberapa menit lalu terus memperhatikan sang istri yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu."Dan. Kamu di sini.""Orang-orang di dalam, kamu kok di luar?" tanya Danendra. "Lagi mikirin apa sih, hm?""Reano," kata Adara.Danendra mengerutkan keningnya. Dia yang datang membawa segelas air putih lantas menarik kursi lalu duduk di depan Adara."Apa yang kamu pikirkan tentang Reano?" tanya Danendra."Kamu lupa sama apa yang dia omongin tadi di mobil?" tanya Adara. "Reano bilang dia cinta sama Nara, Dan.""Terus masalahnya di mana?""Kok kamu nanya gitu, Danen?" tanya Adara tak suka. "Ya enggak bolehlah! Reano sama Nara itu saudara. Mereka enggak boleh saling mencintai lebih dari sekadar saudara.""Tapi kan bukan kandung," ucap Danendra. "Dalam segi agama ataupun negara, mereka sah-sah aja kalau mau punya hubungan.""Enggak!" pungkas Adara. "Sampai kapan pun aku enggak akan res
***"Males ikut, Ma."Mendengar ucapan tersebut, Adara menoleh seketika lalu memandang putranya sambil menaikkan sebelah alis."Males ikut apa?""Rean malas ikut ke Bandung."Pagi ini—seminggu setelah kepergian Nara ke Jerman, keluarga Adara akan bertolak menuju Bandung, menghadiri undangan yang diberikan keluarga Aksa.Bukan pesta besar, di Bandung sana Aksa hanya merayakan syukuran atas kelulusan putri angkatnya Aileen di salah satu universitas terbaik di kota Bandung dengan nilai yang juga tentunya sangat baik.Tak hanya Danendra dan keluarga, nantinya Adam juga Teresa pun akan datang bersama supir lalu Danish juga terbang dari Surabaya bersama keluarganya."Kenapa?" tanya Adara.Tak tahu tentang yang terjadi pada Nara, Adara memang mulai bersikap biasa kembali. Perempuan itu mencoba menghibur diri dari rasa sedih kehilangan Nara karena tentunya dia berpikir sang putri tak akan lama pergi.Berbeda dengan Adara yang berusaha menghibur diri, Reano justru seperti orang tak bersemangat