***"Seriusan ini kamu yang nyetir?"Adara yang baru saja membukakan pintu untuk Danendra mengukir senyum sambil memandang suaminya yang baru saja duduk di jok sebelah kiri."Seriuslah, masa bercanda?""Tapi kan-""Apa?" tanya Adara. "Lupa apa kata dokter? Tangannya jangan dipake dulu buat yang berat-berat. Nanti bisa geser atau bahkan patah lagi.""Nyetir enggak berat, Ra," kata Danendra. "Aku ngerasa aneh aja kalau aku duduk manis, kamu yang nyetir. Kaya ada yang janggal.""Apanya yang janggal sih, Dan?" tanya Adara. "Banyak kok yang kaya gini. Udah deh ya, jangan banyak protes.""Kamu tuh.""Apa? Cantik? Iya, aku emang cantik," kata Adara percaya diri. Setelah itu dia menutup pintu lalu mengitari mobil untuk duduk di kursi kemudi.Tak lagi memakai sedan hitam milik Danish ataupun audy putih milik Teresa, siang ini Adara menjemput Danendra memakai mobilnya sendiri."Udah dipasang belum seatbeltnya?" tanya Adara."Belum sih, ini baru mau aku pas-""Aku aja." Tanpa banyak kompromi, A
***"Baby El udah tidur?"Baru saja menyelesaikan kegiatan mandinya, pertanyaan tersebut langsung dilontarkan Adara pada Danendra yang sejak tadi berbaring di kasur sambil mengajak Elara bermain.Melepas rindu, sejak siang tadi Elara memang terus bersama Danendra. Tak menggunakan tangan kanannya, Danendra begitu lihai menggendong Elara dengan tangan kiri lalu mengajak putrinya itu bermain.Seperti sekarang, setelah puas bermain, balita empat bulan itu akhirnya terlelap setelah Danendra mendendangkan lagu anak-anak untuk sang putri."Udah, baru aja," kata Danendra. Pelan dan sangat hati-hati, dia beranjak dari kasur lalu duduk di bagian pinggir."Tidurnya digimanain?" tanya Adara."Maksudnya?""Enggak dimomong, kan?" tanya Adara. "Momong bayi soalnya harus pake dua tangan.""Enggak," kata Danendra."Terus diapain?""Aku gendong di pundak terus tepuk-tepuk," kata Danendra—membuat tangan Adara yang hampir saja meraih piyama seketika berhenti.Adara berbalik badan lalu memandang suaminya.
***"Lama banget kamu dandan, bisa keluar sekarang enggak?"Felicya yang masih membubuhkan makeup di wajahnya menoleh lalu mendelik tajam ke arah Rafly ketika pria itu lancang masuk ke kamarnya.Setelah persiapan yang mereka lakukan bersama, hari ini akhirnya tiba. Butuh waktu dua minggu bagi Felicya dan Rafly untuk memantapkan hati menikah.Tak menikah secara hukum, Felicya dan Rafly memutuskan untuk menikah siri lebih dulu untuk membuang kabar miring yang akan berhembus nantinya.Selagi usia kehamilan Felicya saat ini baru menginjak lima minggu, orang-orang tak akan menyangkanya hamil di luar nikah karena ketika nanti melahirkan, Felicya hanya tinggal berkata jika dia mengalami kelahiran prematur alias tujuh bulan.Bukankah alasan itu yang selalu digunakan kebanyakan orang yang mengalami acident sebelum menikah?"Enggak sabaran banget!" protes Felicya tak suka. "Kamu pikir dandan itu gampang apa?"Rafly yang saat ini berdiri di ambang pintu, menghembuskan napas kasar lalu melangkahk
***"Kok berat banget ya, rasanya."Sekali lagi, Adara mengeluh ketika dia baru saja kembali masuk ke dalam mobil Danendra setelah beberapa menit lalu keluar dari kediaman Alexander."Cuman dua malam kok, enggak lama."Adara menghela napas lalu memandang Danendra yang sudah duduk di kursi kemudi. "Jahat enggak sih kita, Dan? Mau liburan enggak bawa anak. Cuman berdua aja," tanyanya."Hm, enggak sih, Ra," kata Danendra. "Kita emang udah punya anak, tapi rasanya sekali-kali kita juga butuh quality time berdua."Dua minggu setelah kepulangannya di rumah sakit, Danendra tiba-tiba saja mengajak Adara berlibur sebagai ganti perayaan aniversary pernikahan mereka yang harusnya dirayakan sebulan lalu.Tak jauh, Danendra mengajak Adara ke Pangandaran selama dua malam terhitung jumat sore sampai minggu siang. Pria itu bilang ingin menghabiskan waktu berdua bersama Adara.Dan karena itu, sore ini—sebelum berangkat, Adara dengan berat hati menitipkan Elara kembali bersama Teresa ditemani beberapa
***"Mamanya mana?"Turun dari tangga sambil membawa koper, Danendra langsung melontarkan pertanyaan tersebut pada Adara yang baru saja kembali setelah mengantar Monica ke depan rumah."Udah pergi.""Lho, enggak lama?" tanya Danendra heran.Duduk di sofa ruang tengah, dia memandang Adara yang kini berjalan menghampiri lalu duduk di sampingnya."Mama ke sini cuman mau minta tolong aku aja," kata Adara."Minta tolong apa?""Bohong.""Hah?"Adara menghela napas. "Mama mau pergi ke puncak buat nginep sama teman-temannya," ungkap Adara. "Karena Papa aku super posessive, Mama enggak akan diizinin kalau bicara yang sebenarnya.""Terus?""Mama bohong," kata Adara. "Dia bilangnya ke Papa mau nginep di sini selama weekend dan minta tolong ke aku buat ngomong ke Papa kalau Mama ada di sini karena Papa pasti telepon nantinya buat mastiin.""Oh." Danendra menjawab singkat sebagai bentuk paham akan cerita yang diungkapkan Adara. Statusnya hanya menantu di keluarga Ginanjar, Danendra tak berani berk
***"Kamu ini sebelum hamil nyusahin, udah hamil malah makin nyusahin ya.""Ngedumel terus, diam aja bisa enggak sih?"Duduk di ujung kasur, Felicya berdecak ketika Rafly terus mengomel sambil mengemasi pakaian ke dalam koper.Pukul sepuluh malam ketika mereka hampir saja terlelap setelah aktivitas jumat yang cukup melelahkan, Felicya tiba-tiba saja mengutarakan keinginan yang membuat Rafly geleng-geleng kepala karenanya.Bukan ngidam makanan aneh atau sebagainya, Felicya tiba-tiba saja ingin tidur di puncak Bogor malam ini. Rafly sudah menawar dengan meminta Felicya untuk pergi ke kota hujan itu besok pagi dan menginap malam minggu di sana.Namun, karena ini bagian dari ngidam, Felicya jelas menolak keras usulan suaminya itu. Dia mau malam ini ke Puncak dan harus malam ini. Titik!"Lagian kamu tuh ngidamnya aneh terus, Fel," keluh Rafly. "Apa bedanya sih tidur di sini sama tidur di Puncak? Perasaan sama-sama merem deh.""Rafly Sanjaya," desis Felicya. "Sekali lagi protes, aku lempar
***"Ya Tuhan akhirnya sampai."Danendra mematikan mesin mobil lalu memundurkan jok sedikit ke belakang. Menaikkan kedua kakinya ke atas dashboard, dia merentangkan kedua tangan yang terasa sangat pegal.Istirahat beberapa kali selama perjalanan, Danendra dan Adara sampai di salah satu hotel mewah di Pangandaran setelah menghabiskan waktu delapan jam perjalanan.Cukup melelahkan, tapi semuanya akan terbayar dengan pemandangan indah yang akan mereka lihat besok pagi.Sunrise, tentu saja dia. Sengaja berangkat sore agar tiba dini hari, Danendra memang mengincar sunrise yang biasa terlihat jelas di pantai pangandaran setiap pagi.Orang bilang, untuk melihat sunrise yang cantik, Danendra harus pergi ke pantai mulai jam setengah atau jam lima pagi agar bisa melihat indahnya matahari terbit di pantai timur Pangandaran—tempatnya berada, sekarang."Semoga besok enggak mendung," gumam Danendra pelan.Setelah lima belas menit meluruskan badan, Danendra menurunkan kedua kakinya lalu menoleh pada
***"Diangkat enggak?"Adara menggeleng pelan sambil memandang Danendra yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan kondisi yang lebih segar.Gerah karena menyetir dalam waktu yang lama, Danendra memang memutuskan untuk membersihkan badan meskipun jam dinding di kamar hotel kini sudah menunjukkan pukul dua pagi.Selain dia yang tak enak jika tidur dengan kondisi badan yang berkeringat, Adara pun tentunya tak akan mengizinkan dia tidur di kasur jika tak mandi lebih dulu."Enggak, Dan. Diriject terus," kata Adara setelah beberapa menit lalu dia terus mencoba menghubungi nomor baru yang sempat meneleponnya."Siapa ya?""Enggak tahu, cuman aku kok jadi khawatir sama Mama ya?" tanya Adara. "Sampai sekarang kan aku belum tahu Mama di mana terus pergi sama siapa."Mengabaikan tubuhnya yang masih memakai handuk, Danendra mendekati Adara lalu memandang istrinya itu dari samping."Mau pulang?""Siapa?""Kamu," kata Danendra. "Kali aja kamu pengen pulang karena khawatir sama Mama.""Hm.""Engg