Setelah menyerahkan bukti surat pernikahannya dengan Akira, akhirnya pihak rumah sakit mengizinkan Argi untuk menemui istrinya. Tentu para petugas rumah sakit termasuk sekuriti merasa tidak nyaman dengan sikap arogan Argi, yang membuat mereka harus mendapat teguran langsung dari pemilik rumah sakit. Kini langkah Argi sudah mencapai ambang pintu kamar Akira. Argi menghela nafas panjang, sebelum tangannya meraih gagang pintu. Pintu terbuka, suster yang bertugas menjaga Akira seketika bangkit berdiri dengan wajah bingung. “Maaf tuan siapa?” “Keluarlah! Aku yang akan menjaga istriku!” “Tapi, saya tidak diijinkan keluar dari ruangan ini. Tuan Anggara sudah—,” “Apa kau tuli? Akulah suami Akira. Keluarlah, sebelum aku menyuruh pemilik rumah sakit ini untuk memecatmu!” ucap Argi dengan sorot mata dingin seraya mengibas tangannya. Suster merasa takut melihat perangai pria asing yang terlihat arogan,namun dia tidak punya pilihan lain selain mengikuti perintah pria itu. Argi memandang pa
Sesampai di rumah, Anggara segera mencari keberadaan putrinya yang masih tertidur nyenyak di kamar Ruth dan Baskoro.“Ang? Apa kamu meninggalkan Akira sendiri?” Ruth terkejut melihat kehadiran putranya. Anggara memang sengaja tidak menghubungi rumah akan rencananya pulang.“Aku sudah meminta suster untuk menemani Akira selama aku pulang ma,” jawab Anggara, lalu menghampiri putrinya. Tangannya terulur membelai rambut Ashley, senyum tipis terlukis di bibir Anggara melihat wajah damai putrinya.“Apa istrimu sudah sadar?”“Hum, semalam Akira sudah sadar.” Anggara kembali berdiri dan melangkah menghampiri Baskoro.“Duduklah Ang, bagaimana hubunganmu dengan Akira? Apa kalian sudah saling berbicara?” tanya Baskoro yang sedari Anggara masuk, hanya duduk diam di sofa. Semenjak mengetahui jika ada dua pria asing yang mengintai di depan rumah, Baskoro bahkan terus berjaga dan tidak dapat tidur.Baskoro merasa pria satu-satunya yang diandalkan, tentu dia akan mengkhawatirkan keselamatan cucu dan
“Apa yang terjadi dengan istriku? Apa tadi kalian sudah memaksanya untuk melahirkan?” sentak Argi dengan amarah memuncak, pada panggilan telepon yang terhubung ke operator rumah sakit Griya Medika. Wajahnya memerah, hingga urat-urat di wajah dan leher terlihat. Bagaimana Argi tidak marah jika pihak rumah sakit memberikan tindakan tanpa persetujuan darinya? “Cepat bawa bayi itu ke rumah sakit Medika Utama, dan jika terjadi sesuatu pada bayiku, maka tak segan-segan aku mencari perhitungan pada kalian!” Argi menutup panggilan tanpa mendengar penjelasan pihak rumah sakit. Memindahkan bayi prematur yang kondisinya masih rentan, tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dengan alat bantu yang begitu banyak menempel di tubuh kecil sang bayi, tentu pihak rumah sakit tidak ingin membahayakan nyawa bayi tak berdosa itu. Bahkan masalah ini melibatkan pemilik rumah sakit yang turun tangan langsung. “Maaf pak Aryatmika, kami dokter tidak berani mengambil resiko itu. Nyawa bayi menjadi t
Anggara tahu langkahnya akan menemui masalah jika masih memaksakan diri untuk menemui Akira.Dia masih berdiam termenung di dalam mobil yang terparkir di pelataran rumah sakit Medika Utama. Sedikitnya dia sudah mengerti bagaimana sikap Argi yang begitu keras dan angkuh.Siapkah Anggara bertemu kembali dengan mantan sahabatnya dulu, yang kini menjadi saingannya sendiri untuk merebut kembali cinta Akira?Setelah mendengar penjelasan suster tadi, tentu Anggara segera meluncur ke rumah sakit yang dimaksud. Rasa cemas yang teramat besar, membuat Anggara tidak berpikir lama. Namun ketika dalam perjalanan, mendadak dirinya dibuat ragu.Tentu kini Argi sudah mengetahui identitasnya, namun mengapa sikap Argi seakan tidak ingin Akira kembali padanya? Bukankah seorang teman yang baik, tentu akan memberikan hal yang tak seharusnya jadi miliknya. Argi tentu tahu jika Anggara telah kembali, namun mengapa tindakannya seakan sengaja memisahkan Akira dengan Anggara?Pandangan Anggara tertuju di depan
Akira merasakan rasa nyeri yang teramat sangat pada lapisan perutnya.Setelah terbangun siang tadi, Akira menyadari akan suasana yang berbeda. Suster yang merawatnya pun berbeda.“Nyonya Akira berada di rumah sakit Medika Utama, tuan Argi yang mengantar nyonya kemari. Kami ditugaskan untuk menjaga nyonya selagi tuan Argi pergi.”Mendengar nama Argi disebut, sontak membuat Akira terkejut. Sejak kapan Argi kembali?Akira merasa tak adil dengan sikap Argi yang bertindak semena-mena. Kembali hatinya dipatahkan, harus hidup terpisah dengan Anggara.Kebersamaan dengan Anggara terasa sangat singkat, seperti sedang bermimpi dan kini kembali ke kehidupan nyata.Semenjak mendengar penjelasan suster, Akira tak banyak bicara. Bahkan menolak semua makanan yang suster sediakan.Hingga malam tiba, Argi juga tak kunjung datang. Rasanya ingin menghubungi Anggara untuk memberitahu keberadaannya. Namun dia melupakan ponselnya, nomor Anggara pun dia tidak tahu.Rasa sedih yang mendalam membuat bekas oper
Anggara membawa tubuh mungil Ashley menuju kamarnya di lantai dua.“Maafkan Daddy Ash yang belum bisa menjaga mamimu. Mungkin untuk sementara waktu kita harus hidup berdua, tanpa mami dulu,” ucap Anggara terdengar lirih, sembari mencium puncak kepala putrinya.Anggara beranjak dari ranjang, berjalan menuju teras balkon. Angin malam berhembus menerpa wajah dan tubuhnya. Namun tak juga membuat pikirannya tenang.Rasa kerinduan pada Akira begitu menyiksa batinnya. Hanya pertemuan singkat, dan kini kembali harus hidup terpisah.“Bagaimana keadaanmu, sayang?” ucap Anggara bermonolog, seakan-akan istrinya berada di hadapannya dan bisa mendengar suaranya.Tatapannya tertuju pada langit gelap yang dipenuhi bintang.“Apa yang harus aku lakukan, Akira? Melepasmu atau merebutmu?” lanjutnya disertai desahan panjang.***“Cerai? Kau memintaku menceraikanmu? Apa ini semua karena kehadiran pria pengkhianat itu?”Akira kembali menoleh ke arah Argi, pertanyaan Argi terdengar aneh. Namun dia merasa tak
Akira yang mendengar perdebatan itu, mulai membuka suara. “Mas Argi, sudahlah aku melihatnya dari luar saja. Itu juga demi kebaikan bayi kita.” Argi melayangkan tatapan tajam pada suster, sebelum kembali menghampiri Akira. “Besok aku akan berbicara pada dokter yang menangani anak kita,” ucap Argi. “Tidak perlu, mas. Kebaikan putraku menjadi tujuan utamaku. Jangan melanggar peraturan dokter,” tolak Akira sembari menghela nafas panjang. Akira tidak habis pikir melihat sikap Argi yang begitu arogan dan tak berpikir panjang. Peraturan dokter tentu demi kebaikan bayinya bukan? Setelah puas melihat, mereka kembali ke ruangan rawat di lantai paling atas. Argi kembali menggendong untuk memindahkan tubuh Akira kembali ke ranjang pasien, namun tak juga menarik tangannya yang masih berada di bawah punggung Akira. Wajah mereka begitu dekat, hingga hembusan nafas Argi terasa di permukaan wajah Akira. Akira membuka mata dengan alis bertaut. Apa yang akan dilakukan Argi padanya? Mengapa Argi
Anggara mengajak serta Ruth dan Rumi, untuk mempermudah langkahnya. Tentu Argi sudah mewanti-wanti pada pihak rumah sakit, untuk memantau pada tamu yang akan mengunjungi Akira.“Kami keluarga pasien Magdalena Akira,” ucap Ruth pada petugas yang berjaga di depan.“Maaf bisa tahu nama nyonya dan hubungan nyonya dengan pasien?” “Saya mama dari pasien, dan ini cucu saya, anak Akira. Tolong jangan dipersulit, sus. Cucu saya rindu ingin bertemu dengan ibunya,” ucap Ruth memohon.“Maaf nyonya, saya hanya melakukan perintah dari tuan Argi.” “Oma, dimana mami? Ash mau ketemu mami,” Ashley mulai merengek di gendongan Rumi. Tangannya menggapai ke arah Ruth.Hal itu tertangkap di mata petugas resepsionis, hingga sejenak dia memalingkan wajahnya untuk melihat wajah bocah perempuan itu.“Apa ini putri tuan Argi, nyonya? Sudah besar ya,” suster teringat akan bayi perempuan yang lahir prematur dua tahun lalu, merupakan bayi Akira dan suaminya.“Ash mau ketemu mami, dimana mami Ash, tante?” ucap Ash
“Bagaimana kabarmu?” tanya Raditya dengan pandangan menelisik. Dia hendak memastikan kebenaran dari ucapan putranya.Hingga tatapannya tertuju pada perut Clara, yang terlihat masih datar. Tak lama, tatapannya pun kembali pada wajah Clara.“Kondisi saya seperti yang anda lihat. Andai pak Anggara tidak memberikan pekerjaan ini, mungkin saja hidup saya luntang-lantung,” ucap Clara menjelaskan.“Bolehkah aku bertanya?”Clara kembali memandang ke arah Raditya dengan mata memicing.“Silahkan, pak Radit!”“Apa benar kau telah mengandung benih putraku, Clara?” tanya Raditya sengaja mengurangi volume suaranya agar obrolan mereka tidak didengar orang lain.Clara menundukkan pandangan, jari jemarinya saling meremas di atas paha. Entah apa maksud dari kedatangan Raditya kesini, namun haruskah Clara menjawab jujur?Clara masih trauma akan sikap Argi yang kasar padanya sejak pertemuan terakhir mereka. Perkataan Argi yang tidak terima jika dirinya mengandung calon bayi keluarga Rinega, masih terngia
Argi Rinega menerima hukuman pidana penjara selama dua belas tahun. Itulah keputusan dari hakim yang menangani kasusnya.Tentu hal ini membuat orang tua Argi kecewa. Putra semata wayangnya harus menjalani hukuman berat.Meskipun pihak dari pengacara yang disewa oleh Raditya meminta pengajuan banding untuk meringankan hukuman. Namun dengan tegas putranya malah menolak.“Biarkan aku menjalani hukumanku. Mungkin dengan ini putraku akan memaafkan kesalahanku,” ucapnya sembari memeluk ibunya yang tengah terisak.Hati Lina hancur. Ibu mana yang tidak merasa sedih jika harus hidup terpisah dengan putranya.“Kami sudah tua nak, dua belas tahun itu bukan waktu yang sebentar. Biarkan pengacara papa untuk kali ini membantumu. Setidaknya untuk memotong masa hukumanmu,” ucap Lina sembari terisak.Argi bergeming, tangannya mengusap pelan punggung wanita yang telah melahirkannya.“Maaf, aku sudah mengecewakan kalian dengan perbuatanku,” hanya itu yang mampu terucap di mulut Argi. Hingga salah beber
Akira segera menjalani perawatan di sebuah klinik. Hal ini karena Anggara hanya menemukan klinik yang terdekat dengan lokasi pemakaman.“Dari kalian, siapa yang menjadi suami pasien?” tanya seorang petugas nakes yang bertugas. Melihat pada dua pria tampan yang mengantar satu wanita, tentu petugas tampak bingung.Anggara sedikit terkejut mendengar pertanyaan suster, sedari tadi dia tidak menyadari keberadaan Argi yang ternyata mengikutinya hingga klinik.“Saya suami pasien,” jawab Anggara setelah menoleh sekilas ke belakang.“Baik, ikuti saya. Dokter ingin berbicara dengan anda,” ucap suster, lalu membuka pintu ruangan lebih lebar.Anggara segera memasuki ruangan, sementara suster mencegah Argi yang hendak masuk.“Maaf, hanya suami pasien. Anda bisa menunggu di luar.”Suster segera menutup pintu ruangan. Lalu mengantar Anggara untuk menghampiri dokter.Sekilas Anggara melihat pada Akira yang tengah berbaring di atas ranjang pasien. Kondisinya masih memprihatinkan, kedua matanya masih t
Selama di perjalanan, mobil Anggara terus mengikuti mobil milik Argi yang berada di depannya.Perjalanan menuju ke suatu tempat yang entah kemana.“Mas, aku takut,” ucap Akira yang entah mengapa hatinya mendadak diliputi rasa khawatir dan ketakutan. Padahal Argi akan mengantarkan mereka untuk bertemu putranya.Namun mengapa justru Akira merasakan dadanya terasa sakit tanpa sebab. Air mata terus jatuh bercucuran. Apakah karena kerinduan yang mendalam pada putranya?Anggara menggenggam tangan Akira dengan tatapan fokus ke depan. Dia tidak ingin kehilangan jejak Argi, tentu Anggara sedikit merasa was-was akan ajakan Argi.Mungkinkah Argi semudah itu menyerah untuk memberikan putranya pada Akira?Atau apakah ini sebuah jebakan?“Bersabarlah, kita akan segera bertemu dengan putra kita. Tidak perlu takut, sayang. Ada aku!” ucap Anggara menenangkan hati istrinya.Anggara dibuat terkejut tatkala mobil mereka terhenti di sebuah pemakaman umum. Kedua alisnya saling bertaut, wajahnya terlihat me
Anggara mulai mengorek informasi dari media berita yang kini dia telusuri. Dan memang benar ucapan Bayu, sudah seminggu berlalu perusahaan itu di tutup.Lalu kemana perginya Argi? Mengapa di saat seperti ini justru dia menghilang? Apakah ini sebuah kesengajaan yang merupakan cara Argi untuk menghindar dari hukumannya?Tapi mengapa dia meminta pengacaranya untuk menolak gugatan cerai?Anggara mengalami jalan buntu, berhari-hari mencari keberadaan Argi namun hasilnya nihil. Hingga hari itu dia mendapatkan kabar dari anak buahnya.“Bos Anggara, kami sudah mengecek di bandara, jika sepuluh hari yang lalu ada penumpang atas nama Argi Rinega, serta Raditya Rinega dan istrinya melakukan penerbangan ke luar negeri,” ucap Dewa dari seberang telepon.“Kemana tujuan mereka?”“Singapura.”Anggara kembali terdiam. Haruskah dia mencari putra Akira hingga ke negeri Singa?Selama persidangan cerai belum usai, maka dia tidak bisa berbuat apapun untuk merebut putra Akira. Tentu hal asuh harus jatuh ke
“Baiklah, karena berkas sudah lengkap, nanti saya akan segera mengurusnya,” ucap pengacara Kim pada Anggara dan Akira, yang saat itu berkunjung ke kantornya.“Kapan persidangan pertama akan dilakukan, Kim?” tanya Anggara memastikan.“Nanti akan saya kabari, pak Anggara. Kemungkinan besar satu hingga dua Minggu ke depan, tergantung dari pihak pengadilan yang memberi jadwal. Mungkin dua hari ke depan kita akan mengirim surat gugatan cerai kepada yang bersangkutan. Jika pihak yang digugat menyetujuinya, maka proses akan semakin cepat,” jelas Kim.Tentu hal itu tidak mungkin terjadi, Anggara tahu betul bagaimana ucapan terakhir Argi. Dia tidak akan semudah itu melepaskan Akira. Namun apapun yang terjadi, Anggara akan mengusahakan untuk gugatan cerai itu diterima.“Tolong hubungi aku tentang perkembangan prosesnya nanti,” ucap Anggara akhirnya, sebelum memutuskan obrolan.***Hari berlalu sangat cepat, pihak kepolisian sudah berhasil membuktikan kesalahan pria yang melakukan penculikan, me
“Auwhhh! Apa kalian tidak bisa bekerja dengan benar?” sentak Argi pada suster yang tengah mengobati luka di wajahnya.“Maaf tuan, saya tidak sengaja,” suster menunduk dengan tangan gemetar karena ketakutan.“Pergilah! Dasar tidak becus!” Argi mengibas tangannya untuk mengusir suster yang merawatnya.Bayu yang berdiri tak jauh dari sana, tak heran dengan sikap arogan Argi. Namun dia ikut merasa prihatin atas apa yang menimpa teman sekaligus bosnya itu.Dia tidak menyangka akan terjadi keributan seperti tadi. Dua temannya saling berkelahi. Tentu menurut pandangan Bayu, Argi adalah pihak yang salah. Bagaimana tidak, jika Argi memukul lebih dulu saat kondisi Anggara tidak fokus. Jadi wajar jika Anggara memberinya pelajaran.“Hey, apa kau sudah menghubungi para investor? Bagaimana? Apa mereka mau menerima tawaran kita?” pertanyaan yang ditujukan pada asistennya.“Hasilnya nihil, tidak ada satupun yang mau menginvestasi ke perusahaan kita. Mungkin kamu harus memulihkan nama baikmu dulu, bar
Anggara membawa Clara menuju rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan medis. Wajah Clara terlihat pucat dengan beberapa bekas tamparan yang masih membekas di pipinya. “Apa anda suaminya?” tanya dokter yang menangani Clara. “Bukan, aku hanya menolong,” balas Anggara singkat. “Apa yang terjadi dengan nona ini?” tanya dokter lagi. Sebelum memberikan tindakan, tentu dia harus mengetahui kronologi yang terjadi sehingga pasien seperti ini. “Beberapa orang menculiknya, dan aku berhasil menemukannya. Sepertinya dia mendapatkan perlakuan kasar, dan wanita ini sedang hamil,” jelas Anggara. Mata dokter melebar mendengar penjelasan Anggara. “Baiklah saya akan memberikan tindakan pertolongan, dan memeriksa kondisi janinnya. Apa anda bisa menghubungi keluarga nona ini?” tanya dokter lagi. “Akan saya usahakan,” jawab Anggara, meskipun dia tidak tahu perihal tentang Clara. Anggara pun digiring keluar ruangan, saat dokter mulai memeriksa keadaan pasien. Mungkin saat ini istrinya sedang kebi
“Permisi, Pa. Apa ada mas Anggara di dalam?” ucap Akira sembari mengetuk pintu ruang kerja ayah mertuanya. Meskipun pintu ruangan itu sedikit terbuka, namun Akira tidak langsung masuk. Karena takut mengganggu pembicaraan Baskoro dengan suaminya. Yang dia tahu Anggara berada di dalam.“Masuklah, Akira!” suara Baskoro terdengar dari dalam. Akira segera membuka pintu lebih lebar. Tatapannya merotasi ke sekeliling ruangan. Namun tak melihat keberadaan suaminya di sana.“Dimana mas Anggara, pa?” tanya Akira penasaran.“Aang masih ada urusan sebentar. Kamu tidak perlu khawatir,” jawab Baskoro dengan mimik datar. Sesuai dengan permintaan putranya, dia tidak akan memberitahu Akira.“Kemana, pa? Kok tumben mas Anggara gak ijin ke aku?” tanya Akira lagi dengan kedua alis saling bertaut, wajahnya masih terlihat cemas.Baskoro menghela nafas, memandang pada menantunya dari balik kacamatanya.“Tadi suamimu buru-buru, sepertinya ini mengenai perusahaan. Kamu tidak perlu khawatir, secepatnya suamim