“Kembalikan Ash pada mas Anggara, dan aku akan kembali padamu,” jawab Akira tanpa berpikir lama. Ya, dia tidak boleh bersikap egois. Bukankah kebahagiaan Ashley adalah tujuan utamanya? Anggara terkejut mendengar jawaban Akira. Dia hendak merebut ponsel dari tangan istrinya, namun Akira mengisyaratkan dengan menggeleng kepalanya. “Kita bertemu di Rinega Palace dua jam lagi sayang,” ucap Argi dan dengan segera Akira menutup panggilan tanpa menjawabnya terlebih dulu. Akira menarik nafas dalam, dia tahu mungkin Anggara tidak menyetujui keputusannya. Namun Akira hanya melakukannya untuk kebaikan Ashley, hatinya jauh lebih tenang jika putrinya berada di tangan yang tepat, yaitu ayah kandungnya sendiri. “Apa kamu serius akan kembali padanya? Bukankah dia telah menyakitimu? Aku bisa menggantikan dengan yang lain, asal bukan dirimu, Akira!” ucap Anggara terdengar pilu. Akira bergeming dengan mata terpejam. Dadanya terasa sesak, pikirannya sudah buntu. Tak ada jalan lain selain menyerahkan
Akira dibawa menuju lantai teratas, dimana hanya ada ruangan presidential suite. Sesampainya di dalam kamar, Argi baru melepaskan cekalan di tangan Akira. Mengunci kembali pintu kamar. Lalu memutar tubuhnya, menatap pada istri yang sangat dia rindukan. “Apa kabarmu, sayang?” ucapnya sembari melangkah maju. Namun Akira justru berjalan mundur dengan wajah terlihat panik. Argi semakin melebarkan langkahnya, hingga membuat Akira tersudut. Tangan Akira meraba pada tembok dingin di belakangnya. “Mas, apa yang mau kamu lakukan?” ujar Akira memperingatkan. “Menurutmu?” satu alis Argi terangkat naik, tangannya terulur mengungkung posisi istrinya. “Apa yang membuatmu kabur dariku, hum?” tanya Argi menatap netra Akira lekat. Akira membuang tatapannya ke samping. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. “Tatap orang yang mengajakmu bicara, Akira!” sentak Argi sembari menahan dagu Akira agar membalas tatapannya. “Aku ingin mengakhiri pernikahan kita!” ujar Akira dengan bibir gemet
“Aku ingin minta maaf padamu, karena kelakuanku selama ini membuatmu sakit hati,” ucap Clara mengawali obrolan.Akira menghela nafas, sebelum menjawab “ternyata kamu sudah menyadari kesalahanmu? Aku harap kamu berhenti mencari lelaki yang sudah memiliki keluarga.”“Aku sendiri juga tidak bisa memilih pada siapa cinta ini berlabuh. Sudah sangat lama aku menaruh perasaan pada bos Argi. Dan hubungan kami berlangsung setelah bos Argi menikahi anda,” jelas Clara.Entah hanya perasaannya saja, namun Akira merasa Clara sengaja mengatakan itu untuk memanas-manasi hatinya. Namun tak seperti dulu, sekarang justru Akira tak merasakan apapun. Tak ada rasa cemburu atau sakit hati ketika mendengar cerita pengkhianatan suaminya.Akira masih diam tanpa ekspresi. Membuat Clara merasa bingung sendiri.“Apa anda tidak marah? Atau sakit hati?” “Bukankah kamu pernah menyakitiku lebih dari ini? Aku hanya berharap kelak kau tidak akan merasakan apa yang dulunya pernah aku rasakan,” jawab Akira, lalu menyer
Perjalanan membutuhkan waktu berjam-jam untuk mencapai rumah Anggara.Argi sudah mengemudi secara ugal-ugalan, bahkan sesekali menyalakan lampu hazard dan membunyikan klakson berulang kali.“Sialan! Jika memang Anggara yang membawamu kabur, maka aku tidak akan memaafkannya!” ucap Argi bermonolog, sembari memukul setir.Wajahnya terlihat memerah karena amarah yang begitu menguasai pikirannya.Hingga akhirnya mobilnya sampai di tempat tujuan. Sekali lagi dia menekan klakson mobil, kali ini lebih lama agar penjaga rumah membukakan pintu gerbang untuknya.Pria tua yang sudah bekerja puluhan tahun pada Baskoro membuka pintu gerbang dan berjalan menghampiri mobil Argi.“Mas Argi? Ada apa mas? Kok malam-malam datang?” tanya Slamet dengan wajah mengerut.“Dimana Anggara? Panggil dia kemari!” perintah Argi pada pria penjaga.Slamet mengangguk, lalu kembali masuk untuk memanggilkan Anggara. Namun sebelum langkahnya mencapai daun pintu, sosok Anggara sudah keluar.“Siapa pak?” tanya Anggara pena
Perjalanan menuju kota Bogor tentu membutuhkan waktu cukup lama. Bahkan setelah menjalani pernikahan keduanya, Akira kehilangan komunikasi dengan adik mendiang ayahnya, paman Tio. Namun Akira masih ingat alamat rumahnya. Tak ada pilihan lain selain menyendiri untuk sementara waktu. Hari sudah semakin larut, tatkala mobil yang ditumpanginya memasuki gang perumahan paman Tio. “Rumah nomor dua puluh pak, saya akan turun di sana,” ucap Akira pada pengemudi taksi online. Pengemudi mengangguk lalu segera memberhentikan mobilnya tepat di depan rumah nomor 20. Setelah membayar ongkos taksi, Akira segera keluar dari mobil. Pengemudi kembali memacu mobilnya menjauh, namun Akira masih berdiri mematung di depan gerbang yang tidak terlalu tinggi. Memandang keadaan rumah yang sudah sangat sepi dengan satu penerangan di teras rumah. Akira menghela nafas panjang, sebelum tangannya menyentuh pintu besi dan membukanya. Dia kembali melangkah memasuki pekarangan rumah, melewati mobil om Tio yang
Paman Tio yang sedari tadi ikut mendengar ponsel Akira berdering, membuatnya penasaran.“Siapa Akira? Apa itu suamimu?” tanya Tio penasaran. Kini mereka masih duduk di ruang tamu. Tio terus mendesak Akira tentang apa yang membuat keponakannya ini pergi tanpa suaminya.Fokus Akira teralihkan, tadinya dia hanya memandang pada layar ponsel yang tertulis nama Anggara di sana. Namun kini memandang paman Tio. Haruskah dia mengangkat panggilan Anggara?“Angkatlah, nak! Paman tahu, pasti suamimu cemas. Katakan padanya jika kamu menginap di sini, agar dia tidak khawatir,” perintah paman Tio.“Iya Akira, kasihan Anggara. Pasti sekarang dia sedang mencarimu,” timpal Alice.Kedua suami istri itu sama-sama menduga jika pertengkaran rumah tangga terjadi antara keponakan dan suaminya.Akira ragu, namun pada akhirnya dia menerima panggilan Anggara.“Mas, aku baik-baik saja,” ucap Akira menjawab pertanyaan dari pria di seberang telepon.Akira masih belum siap untuk memberitahu tentang keberadaannya se
Keesokan harinya, Anggara kembali ke rumah orang tuanya untuk mencari keberadaan ponsel lama miliknya.Mungkin dia masih menyimpan nomor paman Tio. Setidaknya dia harus memastikan keberadaan Akira, untuk menghapus sedikit rasa cemas dalam hati.Akhirnya Anggara menemukannya, namun sayangnya ponsel dalam keadaan mati karena kehabisan daya. Anggara menghubungkan ponselnya dengan alat penambah daya, menunggu hingga beberapa menit sampai ponsel bisa dihidupkan.Anggara bernafas lega, tatkala menemukan nomor paman Tio masih tersimpan. Dia segera menyalin nomor paman Tio pada ponsel barunya.[Paman Tio? Maaf mengganggu, apa istriku berada di rumah paman? Anggara.]Anggara menunggu, namun pesan yang dia kirim hanya centang satu. Membuat pertanyaan terlintas dalam pikirannya. Apa mungkin paman Tio sudah mengganti nomor?Anggara segera melangkah keluar kamar, setelah menyimpan ponsel lamanya kembali.“Ada apa Ang? Apa terjadi sesuatu?” tanya Ruth saat melihat putranya.Anggara menghela nafas b
“Siapa kamu? Apa tujuanmu memintaku datang kemari?” tanya Clara. Tatapannya menelisik pada pria tampan dengan rambut panjang diikat, yang duduk di hadapannya.“Aku teman lama Argi. Aku hanya ingin bertanya sesuatu padamu, Clara. Dan aku harap kamu mengatakannya dengan jujur,” jawab Anggara.“Benarkah? Kamu teman Argi? Tapi mengapa aku tidak pernah melihatmu?” ada binar dalam sorot mata Clara. Entah mengapa, dia merasa ada harapan.Anggara tersenyum simpul, “tentu kamu tidak pernah melihatku, karena selama ini aku ada urusan di luar. Bisakah kamu ceritakan tentang hubunganmu dengan temanku Argi?” Anggara berusaha menunjukkan wajah ramah, agar wanita di hadapannya merasa nyaman.Clara merasa sedikit aneh dengan pertanyaan lelaki di hadapannya. Tiba-tiba memintanya bertemu dan bertanya tentang hal pribadi.“Mengapa kau ingin mengetahuinya? Apa temanmu menceritakan tentangku padamu?” tanya Clara dengan pandangan memicing.Anggara terdiam beberapa saat, memikirkan alasan yang masuk akal da
“Bagaimana kabarmu?” tanya Raditya dengan pandangan menelisik. Dia hendak memastikan kebenaran dari ucapan putranya.Hingga tatapannya tertuju pada perut Clara, yang terlihat masih datar. Tak lama, tatapannya pun kembali pada wajah Clara.“Kondisi saya seperti yang anda lihat. Andai pak Anggara tidak memberikan pekerjaan ini, mungkin saja hidup saya luntang-lantung,” ucap Clara menjelaskan.“Bolehkah aku bertanya?”Clara kembali memandang ke arah Raditya dengan mata memicing.“Silahkan, pak Radit!”“Apa benar kau telah mengandung benih putraku, Clara?” tanya Raditya sengaja mengurangi volume suaranya agar obrolan mereka tidak didengar orang lain.Clara menundukkan pandangan, jari jemarinya saling meremas di atas paha. Entah apa maksud dari kedatangan Raditya kesini, namun haruskah Clara menjawab jujur?Clara masih trauma akan sikap Argi yang kasar padanya sejak pertemuan terakhir mereka. Perkataan Argi yang tidak terima jika dirinya mengandung calon bayi keluarga Rinega, masih terngia
Argi Rinega menerima hukuman pidana penjara selama dua belas tahun. Itulah keputusan dari hakim yang menangani kasusnya.Tentu hal ini membuat orang tua Argi kecewa. Putra semata wayangnya harus menjalani hukuman berat.Meskipun pihak dari pengacara yang disewa oleh Raditya meminta pengajuan banding untuk meringankan hukuman. Namun dengan tegas putranya malah menolak.“Biarkan aku menjalani hukumanku. Mungkin dengan ini putraku akan memaafkan kesalahanku,” ucapnya sembari memeluk ibunya yang tengah terisak.Hati Lina hancur. Ibu mana yang tidak merasa sedih jika harus hidup terpisah dengan putranya.“Kami sudah tua nak, dua belas tahun itu bukan waktu yang sebentar. Biarkan pengacara papa untuk kali ini membantumu. Setidaknya untuk memotong masa hukumanmu,” ucap Lina sembari terisak.Argi bergeming, tangannya mengusap pelan punggung wanita yang telah melahirkannya.“Maaf, aku sudah mengecewakan kalian dengan perbuatanku,” hanya itu yang mampu terucap di mulut Argi. Hingga salah beber
Akira segera menjalani perawatan di sebuah klinik. Hal ini karena Anggara hanya menemukan klinik yang terdekat dengan lokasi pemakaman.“Dari kalian, siapa yang menjadi suami pasien?” tanya seorang petugas nakes yang bertugas. Melihat pada dua pria tampan yang mengantar satu wanita, tentu petugas tampak bingung.Anggara sedikit terkejut mendengar pertanyaan suster, sedari tadi dia tidak menyadari keberadaan Argi yang ternyata mengikutinya hingga klinik.“Saya suami pasien,” jawab Anggara setelah menoleh sekilas ke belakang.“Baik, ikuti saya. Dokter ingin berbicara dengan anda,” ucap suster, lalu membuka pintu ruangan lebih lebar.Anggara segera memasuki ruangan, sementara suster mencegah Argi yang hendak masuk.“Maaf, hanya suami pasien. Anda bisa menunggu di luar.”Suster segera menutup pintu ruangan. Lalu mengantar Anggara untuk menghampiri dokter.Sekilas Anggara melihat pada Akira yang tengah berbaring di atas ranjang pasien. Kondisinya masih memprihatinkan, kedua matanya masih t
Selama di perjalanan, mobil Anggara terus mengikuti mobil milik Argi yang berada di depannya.Perjalanan menuju ke suatu tempat yang entah kemana.“Mas, aku takut,” ucap Akira yang entah mengapa hatinya mendadak diliputi rasa khawatir dan ketakutan. Padahal Argi akan mengantarkan mereka untuk bertemu putranya.Namun mengapa justru Akira merasakan dadanya terasa sakit tanpa sebab. Air mata terus jatuh bercucuran. Apakah karena kerinduan yang mendalam pada putranya?Anggara menggenggam tangan Akira dengan tatapan fokus ke depan. Dia tidak ingin kehilangan jejak Argi, tentu Anggara sedikit merasa was-was akan ajakan Argi.Mungkinkah Argi semudah itu menyerah untuk memberikan putranya pada Akira?Atau apakah ini sebuah jebakan?“Bersabarlah, kita akan segera bertemu dengan putra kita. Tidak perlu takut, sayang. Ada aku!” ucap Anggara menenangkan hati istrinya.Anggara dibuat terkejut tatkala mobil mereka terhenti di sebuah pemakaman umum. Kedua alisnya saling bertaut, wajahnya terlihat me
Anggara mulai mengorek informasi dari media berita yang kini dia telusuri. Dan memang benar ucapan Bayu, sudah seminggu berlalu perusahaan itu di tutup.Lalu kemana perginya Argi? Mengapa di saat seperti ini justru dia menghilang? Apakah ini sebuah kesengajaan yang merupakan cara Argi untuk menghindar dari hukumannya?Tapi mengapa dia meminta pengacaranya untuk menolak gugatan cerai?Anggara mengalami jalan buntu, berhari-hari mencari keberadaan Argi namun hasilnya nihil. Hingga hari itu dia mendapatkan kabar dari anak buahnya.“Bos Anggara, kami sudah mengecek di bandara, jika sepuluh hari yang lalu ada penumpang atas nama Argi Rinega, serta Raditya Rinega dan istrinya melakukan penerbangan ke luar negeri,” ucap Dewa dari seberang telepon.“Kemana tujuan mereka?”“Singapura.”Anggara kembali terdiam. Haruskah dia mencari putra Akira hingga ke negeri Singa?Selama persidangan cerai belum usai, maka dia tidak bisa berbuat apapun untuk merebut putra Akira. Tentu hal asuh harus jatuh ke
“Baiklah, karena berkas sudah lengkap, nanti saya akan segera mengurusnya,” ucap pengacara Kim pada Anggara dan Akira, yang saat itu berkunjung ke kantornya.“Kapan persidangan pertama akan dilakukan, Kim?” tanya Anggara memastikan.“Nanti akan saya kabari, pak Anggara. Kemungkinan besar satu hingga dua Minggu ke depan, tergantung dari pihak pengadilan yang memberi jadwal. Mungkin dua hari ke depan kita akan mengirim surat gugatan cerai kepada yang bersangkutan. Jika pihak yang digugat menyetujuinya, maka proses akan semakin cepat,” jelas Kim.Tentu hal itu tidak mungkin terjadi, Anggara tahu betul bagaimana ucapan terakhir Argi. Dia tidak akan semudah itu melepaskan Akira. Namun apapun yang terjadi, Anggara akan mengusahakan untuk gugatan cerai itu diterima.“Tolong hubungi aku tentang perkembangan prosesnya nanti,” ucap Anggara akhirnya, sebelum memutuskan obrolan.***Hari berlalu sangat cepat, pihak kepolisian sudah berhasil membuktikan kesalahan pria yang melakukan penculikan, me
“Auwhhh! Apa kalian tidak bisa bekerja dengan benar?” sentak Argi pada suster yang tengah mengobati luka di wajahnya.“Maaf tuan, saya tidak sengaja,” suster menunduk dengan tangan gemetar karena ketakutan.“Pergilah! Dasar tidak becus!” Argi mengibas tangannya untuk mengusir suster yang merawatnya.Bayu yang berdiri tak jauh dari sana, tak heran dengan sikap arogan Argi. Namun dia ikut merasa prihatin atas apa yang menimpa teman sekaligus bosnya itu.Dia tidak menyangka akan terjadi keributan seperti tadi. Dua temannya saling berkelahi. Tentu menurut pandangan Bayu, Argi adalah pihak yang salah. Bagaimana tidak, jika Argi memukul lebih dulu saat kondisi Anggara tidak fokus. Jadi wajar jika Anggara memberinya pelajaran.“Hey, apa kau sudah menghubungi para investor? Bagaimana? Apa mereka mau menerima tawaran kita?” pertanyaan yang ditujukan pada asistennya.“Hasilnya nihil, tidak ada satupun yang mau menginvestasi ke perusahaan kita. Mungkin kamu harus memulihkan nama baikmu dulu, bar
Anggara membawa Clara menuju rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan medis. Wajah Clara terlihat pucat dengan beberapa bekas tamparan yang masih membekas di pipinya. “Apa anda suaminya?” tanya dokter yang menangani Clara. “Bukan, aku hanya menolong,” balas Anggara singkat. “Apa yang terjadi dengan nona ini?” tanya dokter lagi. Sebelum memberikan tindakan, tentu dia harus mengetahui kronologi yang terjadi sehingga pasien seperti ini. “Beberapa orang menculiknya, dan aku berhasil menemukannya. Sepertinya dia mendapatkan perlakuan kasar, dan wanita ini sedang hamil,” jelas Anggara. Mata dokter melebar mendengar penjelasan Anggara. “Baiklah saya akan memberikan tindakan pertolongan, dan memeriksa kondisi janinnya. Apa anda bisa menghubungi keluarga nona ini?” tanya dokter lagi. “Akan saya usahakan,” jawab Anggara, meskipun dia tidak tahu perihal tentang Clara. Anggara pun digiring keluar ruangan, saat dokter mulai memeriksa keadaan pasien. Mungkin saat ini istrinya sedang kebi
“Permisi, Pa. Apa ada mas Anggara di dalam?” ucap Akira sembari mengetuk pintu ruang kerja ayah mertuanya. Meskipun pintu ruangan itu sedikit terbuka, namun Akira tidak langsung masuk. Karena takut mengganggu pembicaraan Baskoro dengan suaminya. Yang dia tahu Anggara berada di dalam.“Masuklah, Akira!” suara Baskoro terdengar dari dalam. Akira segera membuka pintu lebih lebar. Tatapannya merotasi ke sekeliling ruangan. Namun tak melihat keberadaan suaminya di sana.“Dimana mas Anggara, pa?” tanya Akira penasaran.“Aang masih ada urusan sebentar. Kamu tidak perlu khawatir,” jawab Baskoro dengan mimik datar. Sesuai dengan permintaan putranya, dia tidak akan memberitahu Akira.“Kemana, pa? Kok tumben mas Anggara gak ijin ke aku?” tanya Akira lagi dengan kedua alis saling bertaut, wajahnya masih terlihat cemas.Baskoro menghela nafas, memandang pada menantunya dari balik kacamatanya.“Tadi suamimu buru-buru, sepertinya ini mengenai perusahaan. Kamu tidak perlu khawatir, secepatnya suamim