Anggara membawa ibunya untuk menjauh, dia tidak ingin Mona mendengar ucapan mereka. “Ma, aku tahu. Aku tak mungkin menikahi Mona. Aku masih memiliki istri. Tapi aku tak bisa mengabaikan permintaan pak Har. Aku sangat berhutang budi pada beliau. Mungkin kita bisa menolongnya dengan cara lain,” ujar Anggara menjawab pertanyaan Ruth. “Syukurlah Ang, mama kira kamu akan menikahi gadis itu. Tentu kita akan membantu Mona, kasihan hidupnya sendirian. Mungkin nanti kamu bisa memberikan pekerjaan di kantor barumu. Dan carikan tempat tinggal untuknya.” Ruth menghela nafas lega. “Mama tidak perlu khawatir, aku akan mengurusnya.” Anggara menepuk pundak Ruth lalu segera melangkah menaiki tangga menuju kamarnya. Setelah membersihkan diri, Anggara berbaring di atas kasur untuk sejenak melepas penat setelah seharian bekerja. Matanya menatap pada langit-langit kamar. Wangi khas putrinya masih terasa di indra penciumannya, membuat Anggara merasa rindu pada Ashley. Mendadak terlintas di pikiran A
“Mas, kita tidak bisa melakukannya! Aku tidak mau!” teriak Akira mencoba melawan. Namun kekuatannya tak sebanding dengan kekuatan Argi.Argi mendorong pintu kamarnya dengan satu kaki, lalu melanjutkan langkah menuju ranjang. Meletakkan tubuh Akira di bawah kendalinya. Melupakan pintu kamar yang masih belum tertutup rapat.Jiwa kelelakiannya sudah tidak bisa ditahan lagi.Tubuh atletis Argi kini mengungkung Akira, bahkan tangan Akira yang tadinya menekan dada sang suami, sudah berhasil diambil alih. Argi mengunci kedua tangan Akira di atas kepala.Mata Argi menatap liar wajah Akira dengan penuh nafsu.“Aku harus mendapatkan apa yang aku mau!” suara Argi terdengar berat. Wajahnya semakin condong ke depan, bibirnya sudah terbuka hendak meraup bibir ranum istrinya. Namun Akira dengan cepat membuang wajahnya ke samping untuk menghindari ciuman yang tak diinginkannya.“Mas aku belum siap, aku masih dalam masa nifas,” ucap Akira lirih, hendak menyadarkan suaminya. Namun Argi seakan sengaja m
Akira menatap nanar ke arah putrinya yang terbaring lemah. Tangan kecil Ashley terus menggenggam tangan Akira, terasa panas. Dia memutuskan untuk mengompres dahi Ashley, karena sedari tadi mencari keberadaan obat penurun panas, dia tidak menemukannya. Ashley memang jarang sakit, sehingga selama ini Akira tidak pernah menyetok obat-obatan. Tanpa Rumi, Akira merasa sendiri. Ingin hati meminta bantuan Argi, namun semenjak kejadian semalam, Akira merasa enggan untuk menemui suaminya. “Daddy.. Mami..” lenguh Ashley dalam tidurnya. Membuat hati Akira teriris mendengarnya. “Mami di sini sayang, Ash cepat sembuh,” Akira terus mengecek tubuh putrinya. Namun hingga sejam berlalu, demam tak kunjung turun. Tak ada cara lain selain meminta tolong pada orang yang berada di dekatnya. “Tunggu sebentar sayang, mami mau nyari obat untuk Ash,” Akira melepas genggaman putrinya lalu segera beranjak keluar kamar. Meskipun hatinya masih ragu, namun putrinya harus mendapatkan pertolongan. Akira meraih
Argi terbangun merasakan gerakan seseorang pada bagian sensitifnya. “Ssshhhh..” desahan keluar dari bibirnya, merasakan miliknya begitu dimanjakan. Matanya kembali terpejam. Tangannya terulur meremas rambut panjang Clara yang berada di bawah.Pikirannya membayangkan wajah cantik Akira. Meskipun dia sadar bahwa yang bermain bersamanya semalaman bukanlah istrinya, melainkan sekretarisnya sendiri.Namun apa dikata, hasrat sudah diujung tanduk. Akira menolak, tentu dia akan menggunakan wanita seperti Clara untuk menuntaskan hasratnya.Clara bangkit dari posisinya dan bersiap memulai permainan inti.“Tunggu, kau melupakan pengaman!” ucap Argi sembari menahan pinggang Clara.“Kita tidak memerlukannya, sayang. Semalam kita melakukannya tanpa pengaman,” jawab Clara, lalu hendak meraup bibir Argi. Namun tubuhnya didorong menjauh.Wajah Clara mengerut bingung melihat Argi bangkit berdiri dan berjalan menuju kamar mandi.“Sayang, permainan kita belum mulai. Mau kemana?” teriak Clara merasa tida
“Apa yang membuatmu sedih, Akira? Apa dia menyakitimu?” suara Anggara terdengar serak. Membuka mata dan kembali menatap wajah Akira yang terlihat sedih. “Aku baik-baik saja mas, hanya aku merasa sedih dengan kondisi Ash.” Tentu jawaban itu benar. Mana ada ibu yang kuat melihat putrinya sakit? Namun alasan Akira tak hanya itu, hubungan yang terjalin antara dirinya dan Argi telah membuat hidupnya tertekan. Anggara pun merasakan hal yang sama, meskipun jawaban Akira masuk akal, namun mengapa dalam hatinya ada hal lain yang terjadi? “Ash akan sembuh, percayalah! Jangan terlalu khawatir, bukankah dokter tadi mengatakan jika hanya demam biasa?” Akira mengangguk seraya menampilkan senyum yang terlihat kaku. Lalu segera memutar langkahnya. Namun belum sempat melangkah, tangan Anggara kembali menahannya. “Jika ada hal yang ingin kamu ceritakan, maka katakanlah! Aku akan mendengarkan, aku akan membantumu sebisaku, Akira.” Akira masih bergeming dengan posisi memunggungi Anggara. Namun kin
“Aku ingin hidup bersamamu, mas Aang. Bawa aku bersamamu!” Akira mengulangi ucapannya lagi. Raut wajah Anggara masih sama, matanya melebar dengan dahi mengerut. Tentu penuturan Akira membuatnya sangat terkejut.“Apa kamu yakin ingin ikut bersamaku?” suara Anggara terdengar lembut, namun terdengar sedikit tidak percaya.Akira mengangguk, ini merupakan keinginan hatinya yang terdalam. Keinginan yang sudah muncul sejak Akira mengetahui jika Anggara masih hidup.“Ikutlah bersamaku!” Anggara meraih tangan Akira, menuntunnya kembali menuju kamar putrinya.Sesampainya di kamar, Anggara melepas genggamannya. Lalu menggendong tubuh Ashley.“Tolong bawa obat Ash!” pintanya.Namun ketika Akira hendak mengemas baju putrinya, justru Anggara melarang.“Jangan bawa apapun dari rumah ini, aku akan membelikannya dengan yang baru.”Akira menuruti perintah Anggara, hanya membawa tas kecil berisi obat, ponsel dan dompet.Anggara segera melangkah keluar, diikuti oleh Akira yang berjalan di sisinya. Dia t
Seharian ini Argi berada di kantor, dia sengaja menyibukkan diri agar pikiran buruknya tentang penolakan Akira tidak mengganggu harinya. “Bos, sudah jam tujuh. Apa aku boleh pulang sekarang? Aku sudah menyelesaikan semua pekerjaan,” ucap Bayu yang kini berdiri di depan meja atasannya. Argi melirik ke jam yang melingkar di pergelangan tangan. Lalu menatap ke arah Bayu. “Pulanglah!” jawab singkat Argi. Bayu menunduk hormat, lalu segera memutar tubuhnya untuk keluar dari ruangan. Namun langkahnya terhenti ketika Argi kembali memanggilnya. “Bagaimana hasil kerja sama kita dengan perusahaan AA? Apa ada kabar dari mereka?” Bayu kembali memutar tubuhnya menghadap Argi, lalu menjawab, “kerja sama kita berjalan dengan baik, dan perbulan ini AA akan memberikan keuntungan sesuai dengan kesepakatan.” “Maksudku, aku ingin mengadakan pertemuan ulang. Aku masih ingin bertemu langsung dengan pemiliknya. Apa kau bisa mengaturnya? Hubungi Taufan dan pastikan jika pertemuan kedua nanti dihadiri pe
Akira merasakan debaran di hatinya, hingga membuatnya sulit untuk memejamkan mata. Beberapa menit berlalu, mendengar dengkuran halus dari putrinya dia yakin jika Ashley sudah tidur nyenyak.Perlahan Akira melepaskan genggaman Ashley, menatap sejenak ke arah Anggara yang ternyata juga sudah memejamkan mata. Lalu segera beranjak, namun suara Anggara menahan langkahnya.“Sayang, mau kemana?” Deg, apa Akira tidak salah dengar? Akira kembali menoleh ke belakang, melihat Anggara yang kini sudah dalam posisi duduk. Ternyata Anggara belum tidur.“Aku tidur di kamar sebelah saja mas,” jawabnya tanpa menoleh ke belakang. Akira segera melanjutkan langkahnya. Tanpa dia sadari Anggara pun mengikutinya.Hati Akira semakin berdebar, mendengar langkah Anggara dari belakang. Namun dia tetap meraih knop pintu, dan sebelum berhasil membukanya, Anggara kembali melayangkan pertanyaan.“Akira, bolehkan kita berbicara sebentar?”“Maaf mas, aku hanya tak ingin membuatmu tak nyaman. Mungkin mas merasa risih
“Bagaimana kabarmu?” tanya Raditya dengan pandangan menelisik. Dia hendak memastikan kebenaran dari ucapan putranya.Hingga tatapannya tertuju pada perut Clara, yang terlihat masih datar. Tak lama, tatapannya pun kembali pada wajah Clara.“Kondisi saya seperti yang anda lihat. Andai pak Anggara tidak memberikan pekerjaan ini, mungkin saja hidup saya luntang-lantung,” ucap Clara menjelaskan.“Bolehkah aku bertanya?”Clara kembali memandang ke arah Raditya dengan mata memicing.“Silahkan, pak Radit!”“Apa benar kau telah mengandung benih putraku, Clara?” tanya Raditya sengaja mengurangi volume suaranya agar obrolan mereka tidak didengar orang lain.Clara menundukkan pandangan, jari jemarinya saling meremas di atas paha. Entah apa maksud dari kedatangan Raditya kesini, namun haruskah Clara menjawab jujur?Clara masih trauma akan sikap Argi yang kasar padanya sejak pertemuan terakhir mereka. Perkataan Argi yang tidak terima jika dirinya mengandung calon bayi keluarga Rinega, masih terngia
Argi Rinega menerima hukuman pidana penjara selama dua belas tahun. Itulah keputusan dari hakim yang menangani kasusnya.Tentu hal ini membuat orang tua Argi kecewa. Putra semata wayangnya harus menjalani hukuman berat.Meskipun pihak dari pengacara yang disewa oleh Raditya meminta pengajuan banding untuk meringankan hukuman. Namun dengan tegas putranya malah menolak.“Biarkan aku menjalani hukumanku. Mungkin dengan ini putraku akan memaafkan kesalahanku,” ucapnya sembari memeluk ibunya yang tengah terisak.Hati Lina hancur. Ibu mana yang tidak merasa sedih jika harus hidup terpisah dengan putranya.“Kami sudah tua nak, dua belas tahun itu bukan waktu yang sebentar. Biarkan pengacara papa untuk kali ini membantumu. Setidaknya untuk memotong masa hukumanmu,” ucap Lina sembari terisak.Argi bergeming, tangannya mengusap pelan punggung wanita yang telah melahirkannya.“Maaf, aku sudah mengecewakan kalian dengan perbuatanku,” hanya itu yang mampu terucap di mulut Argi. Hingga salah beber
Akira segera menjalani perawatan di sebuah klinik. Hal ini karena Anggara hanya menemukan klinik yang terdekat dengan lokasi pemakaman.“Dari kalian, siapa yang menjadi suami pasien?” tanya seorang petugas nakes yang bertugas. Melihat pada dua pria tampan yang mengantar satu wanita, tentu petugas tampak bingung.Anggara sedikit terkejut mendengar pertanyaan suster, sedari tadi dia tidak menyadari keberadaan Argi yang ternyata mengikutinya hingga klinik.“Saya suami pasien,” jawab Anggara setelah menoleh sekilas ke belakang.“Baik, ikuti saya. Dokter ingin berbicara dengan anda,” ucap suster, lalu membuka pintu ruangan lebih lebar.Anggara segera memasuki ruangan, sementara suster mencegah Argi yang hendak masuk.“Maaf, hanya suami pasien. Anda bisa menunggu di luar.”Suster segera menutup pintu ruangan. Lalu mengantar Anggara untuk menghampiri dokter.Sekilas Anggara melihat pada Akira yang tengah berbaring di atas ranjang pasien. Kondisinya masih memprihatinkan, kedua matanya masih t
Selama di perjalanan, mobil Anggara terus mengikuti mobil milik Argi yang berada di depannya.Perjalanan menuju ke suatu tempat yang entah kemana.“Mas, aku takut,” ucap Akira yang entah mengapa hatinya mendadak diliputi rasa khawatir dan ketakutan. Padahal Argi akan mengantarkan mereka untuk bertemu putranya.Namun mengapa justru Akira merasakan dadanya terasa sakit tanpa sebab. Air mata terus jatuh bercucuran. Apakah karena kerinduan yang mendalam pada putranya?Anggara menggenggam tangan Akira dengan tatapan fokus ke depan. Dia tidak ingin kehilangan jejak Argi, tentu Anggara sedikit merasa was-was akan ajakan Argi.Mungkinkah Argi semudah itu menyerah untuk memberikan putranya pada Akira?Atau apakah ini sebuah jebakan?“Bersabarlah, kita akan segera bertemu dengan putra kita. Tidak perlu takut, sayang. Ada aku!” ucap Anggara menenangkan hati istrinya.Anggara dibuat terkejut tatkala mobil mereka terhenti di sebuah pemakaman umum. Kedua alisnya saling bertaut, wajahnya terlihat me
Anggara mulai mengorek informasi dari media berita yang kini dia telusuri. Dan memang benar ucapan Bayu, sudah seminggu berlalu perusahaan itu di tutup.Lalu kemana perginya Argi? Mengapa di saat seperti ini justru dia menghilang? Apakah ini sebuah kesengajaan yang merupakan cara Argi untuk menghindar dari hukumannya?Tapi mengapa dia meminta pengacaranya untuk menolak gugatan cerai?Anggara mengalami jalan buntu, berhari-hari mencari keberadaan Argi namun hasilnya nihil. Hingga hari itu dia mendapatkan kabar dari anak buahnya.“Bos Anggara, kami sudah mengecek di bandara, jika sepuluh hari yang lalu ada penumpang atas nama Argi Rinega, serta Raditya Rinega dan istrinya melakukan penerbangan ke luar negeri,” ucap Dewa dari seberang telepon.“Kemana tujuan mereka?”“Singapura.”Anggara kembali terdiam. Haruskah dia mencari putra Akira hingga ke negeri Singa?Selama persidangan cerai belum usai, maka dia tidak bisa berbuat apapun untuk merebut putra Akira. Tentu hal asuh harus jatuh ke
“Baiklah, karena berkas sudah lengkap, nanti saya akan segera mengurusnya,” ucap pengacara Kim pada Anggara dan Akira, yang saat itu berkunjung ke kantornya.“Kapan persidangan pertama akan dilakukan, Kim?” tanya Anggara memastikan.“Nanti akan saya kabari, pak Anggara. Kemungkinan besar satu hingga dua Minggu ke depan, tergantung dari pihak pengadilan yang memberi jadwal. Mungkin dua hari ke depan kita akan mengirim surat gugatan cerai kepada yang bersangkutan. Jika pihak yang digugat menyetujuinya, maka proses akan semakin cepat,” jelas Kim.Tentu hal itu tidak mungkin terjadi, Anggara tahu betul bagaimana ucapan terakhir Argi. Dia tidak akan semudah itu melepaskan Akira. Namun apapun yang terjadi, Anggara akan mengusahakan untuk gugatan cerai itu diterima.“Tolong hubungi aku tentang perkembangan prosesnya nanti,” ucap Anggara akhirnya, sebelum memutuskan obrolan.***Hari berlalu sangat cepat, pihak kepolisian sudah berhasil membuktikan kesalahan pria yang melakukan penculikan, me
“Auwhhh! Apa kalian tidak bisa bekerja dengan benar?” sentak Argi pada suster yang tengah mengobati luka di wajahnya.“Maaf tuan, saya tidak sengaja,” suster menunduk dengan tangan gemetar karena ketakutan.“Pergilah! Dasar tidak becus!” Argi mengibas tangannya untuk mengusir suster yang merawatnya.Bayu yang berdiri tak jauh dari sana, tak heran dengan sikap arogan Argi. Namun dia ikut merasa prihatin atas apa yang menimpa teman sekaligus bosnya itu.Dia tidak menyangka akan terjadi keributan seperti tadi. Dua temannya saling berkelahi. Tentu menurut pandangan Bayu, Argi adalah pihak yang salah. Bagaimana tidak, jika Argi memukul lebih dulu saat kondisi Anggara tidak fokus. Jadi wajar jika Anggara memberinya pelajaran.“Hey, apa kau sudah menghubungi para investor? Bagaimana? Apa mereka mau menerima tawaran kita?” pertanyaan yang ditujukan pada asistennya.“Hasilnya nihil, tidak ada satupun yang mau menginvestasi ke perusahaan kita. Mungkin kamu harus memulihkan nama baikmu dulu, bar
Anggara membawa Clara menuju rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan medis. Wajah Clara terlihat pucat dengan beberapa bekas tamparan yang masih membekas di pipinya. “Apa anda suaminya?” tanya dokter yang menangani Clara. “Bukan, aku hanya menolong,” balas Anggara singkat. “Apa yang terjadi dengan nona ini?” tanya dokter lagi. Sebelum memberikan tindakan, tentu dia harus mengetahui kronologi yang terjadi sehingga pasien seperti ini. “Beberapa orang menculiknya, dan aku berhasil menemukannya. Sepertinya dia mendapatkan perlakuan kasar, dan wanita ini sedang hamil,” jelas Anggara. Mata dokter melebar mendengar penjelasan Anggara. “Baiklah saya akan memberikan tindakan pertolongan, dan memeriksa kondisi janinnya. Apa anda bisa menghubungi keluarga nona ini?” tanya dokter lagi. “Akan saya usahakan,” jawab Anggara, meskipun dia tidak tahu perihal tentang Clara. Anggara pun digiring keluar ruangan, saat dokter mulai memeriksa keadaan pasien. Mungkin saat ini istrinya sedang kebi
“Permisi, Pa. Apa ada mas Anggara di dalam?” ucap Akira sembari mengetuk pintu ruang kerja ayah mertuanya. Meskipun pintu ruangan itu sedikit terbuka, namun Akira tidak langsung masuk. Karena takut mengganggu pembicaraan Baskoro dengan suaminya. Yang dia tahu Anggara berada di dalam.“Masuklah, Akira!” suara Baskoro terdengar dari dalam. Akira segera membuka pintu lebih lebar. Tatapannya merotasi ke sekeliling ruangan. Namun tak melihat keberadaan suaminya di sana.“Dimana mas Anggara, pa?” tanya Akira penasaran.“Aang masih ada urusan sebentar. Kamu tidak perlu khawatir,” jawab Baskoro dengan mimik datar. Sesuai dengan permintaan putranya, dia tidak akan memberitahu Akira.“Kemana, pa? Kok tumben mas Anggara gak ijin ke aku?” tanya Akira lagi dengan kedua alis saling bertaut, wajahnya masih terlihat cemas.Baskoro menghela nafas, memandang pada menantunya dari balik kacamatanya.“Tadi suamimu buru-buru, sepertinya ini mengenai perusahaan. Kamu tidak perlu khawatir, secepatnya suamim