Seharian ini Argi berada di kantor, dia sengaja menyibukkan diri agar pikiran buruknya tentang penolakan Akira tidak mengganggu harinya. “Bos, sudah jam tujuh. Apa aku boleh pulang sekarang? Aku sudah menyelesaikan semua pekerjaan,” ucap Bayu yang kini berdiri di depan meja atasannya. Argi melirik ke jam yang melingkar di pergelangan tangan. Lalu menatap ke arah Bayu. “Pulanglah!” jawab singkat Argi. Bayu menunduk hormat, lalu segera memutar tubuhnya untuk keluar dari ruangan. Namun langkahnya terhenti ketika Argi kembali memanggilnya. “Bagaimana hasil kerja sama kita dengan perusahaan AA? Apa ada kabar dari mereka?” Bayu kembali memutar tubuhnya menghadap Argi, lalu menjawab, “kerja sama kita berjalan dengan baik, dan perbulan ini AA akan memberikan keuntungan sesuai dengan kesepakatan.” “Maksudku, aku ingin mengadakan pertemuan ulang. Aku masih ingin bertemu langsung dengan pemiliknya. Apa kau bisa mengaturnya? Hubungi Taufan dan pastikan jika pertemuan kedua nanti dihadiri pe
Akira merasakan debaran di hatinya, hingga membuatnya sulit untuk memejamkan mata. Beberapa menit berlalu, mendengar dengkuran halus dari putrinya dia yakin jika Ashley sudah tidur nyenyak.Perlahan Akira melepaskan genggaman Ashley, menatap sejenak ke arah Anggara yang ternyata juga sudah memejamkan mata. Lalu segera beranjak, namun suara Anggara menahan langkahnya.“Sayang, mau kemana?” Deg, apa Akira tidak salah dengar? Akira kembali menoleh ke belakang, melihat Anggara yang kini sudah dalam posisi duduk. Ternyata Anggara belum tidur.“Aku tidur di kamar sebelah saja mas,” jawabnya tanpa menoleh ke belakang. Akira segera melanjutkan langkahnya. Tanpa dia sadari Anggara pun mengikutinya.Hati Akira semakin berdebar, mendengar langkah Anggara dari belakang. Namun dia tetap meraih knop pintu, dan sebelum berhasil membukanya, Anggara kembali melayangkan pertanyaan.“Akira, bolehkan kita berbicara sebentar?”“Maaf mas, aku hanya tak ingin membuatmu tak nyaman. Mungkin mas merasa risih
Argi masih terus menghubungi semua rumah sakit dan klinik yang berada tak jauh dari lokasinya. Namun hasilnya nihil, Akira maupun anaknya tak berada dimanapun. “Sial, kemana kau pergi Akira? Apa pria pengkhianat itu yang membawamu?” tangan Argi terkepal menahan amarah atas dugaannya. Jika benar apa yang dipikirkannya terjadi, dia akan mencari keberadaan Anggara untuk membawa istrinya kembali. Argi kembali menghubungi Ruth dan Baskoro, namun hingga beberapa kali panggilannya tak kunjung terjawab. Membuatnya semakin yakin jika Anggara yang telah membawa pergi istrinya. “Aku harus mendatangi rumahnya, pasti istriku ada di sana,” ucap Argi bermonolog. Dia segera meraih kunci mobil, dan keluar rumah. Hari sudah sangat larut, namun Argi tak peduli. Dia harus membawa pulang istrinya. Malam ini juga. Tak lama, mobilnya telah memasuki gang perumahan. Berhenti di depan rumah Anggara. Menekan klakson beberapa kali, hingga pintu gerbang terbuka. Sekuriti berbadan atletis muncul di hadapanny
Akira merasakan kenyamanan. Tanpa dia sadari, dia tertidur dalam pelukan Anggara. Tidur dengan berbantalkan lengan Anggara. Wajahnya terus mendusel di dada bidang Anggara.Detak jantung Anggara menjadi irama simfoni yang menghantarkan Akira menuju mimpi indah.Aroma maskulin yang terendus di hidungnya semakin membuat tidurnya begitu lelap. Sudah cukup lama Akira tak merasakan tidur senyaman ini.Begitupun dengan Anggara yang merasa nyaman, setelah sekian lama merasakan kesepian setiap malam. Kini kembali merasakan kehangatan, bisa memeluk Akira secara nyata bukan hanya angan-angan semata.Hingga tak lama Akira mulai membuka matanya sedikit demi sedikit. Seperti kebiasaannya setiap hari, bangun pagi untuk menyiapkan sarapan.Yang pertama kali terlihat adalah dada Anggara, Akira terkejut ketika menyadari posisinya yang begitu intim.Kepalanya mendongak ke atas, melihat pada wajah Anggara yang masih tertidur pulas.Akira ingat jika semalam dia tidur hanya berdua dengan putrinya, sejak ka
Pagi ini Argi akan mendatangi perusahaan Anggara Widjaja Corp. Dia yakin jika Anggara berada di sana. Setelah semalam dia diusir secara paksa oleh Baskoro, harga dirinya terasa diinjak-injak. Amarah menguasai hatinya, hingga dia tidak sabar untuk melakukan perhitungan pada Anggara. Semalaman Argi tak bisa memejamkan mata, terus memikirkan keberadaan istrinya. Pandangannya fokus pada jalanan di depan, rasa tak sabar membuatnya menekan klakson berkali-kali. Jalanan begitu padat, beberapa pengendara mengumpat kasar padanya. Namun Argi tak peduli. Argi terus memacu mobilnya. Hingga tak lama dia pun sampai di pelataran perusahaan Anggara. Memarkirkan mobilnya asal, dan segera melangkah keluar. Penampilannya tampak berantakan, tak rapi seperti biasanya. Namun siapa yang peduli? Argi berjalan melewati sekuriti menuju meja resepsionis. Beberapa karyawan telah mengenal siapa pria yang baru datang. Tak ada satupun yang berani melawan Argi, karena yang mereka tahu Argi mempunyai peran penti
Kini Taufan tak bisa mengelak lagi, amanat dari Anggara tak bisa dilakukan. Situasi saat ini tak mendukung untuk dirinya menutupi rahasia itu lagi.“Ya benar, tuan Anggara yang meminta saya untuk bertugas disini,” ucap Taufan akhirnya. Entah jawaban ini akan diterima Anggara atau tidak, namun Taufan bisa menjelaskan jika Anggara bertanya. Tentu temannya akan mengerti.Satu sudut bibir Argi terangkat, membentuk senyum sinis. Kini dia sudah mengerti apa rencana Anggara. Argi cukup salut, dalam waktu singkat Anggara mampu membangun perusahaan besar. Bahkan perusahaan AA sudah menyaingi perusahaan miliknya.“Katakan dimana Anggara? Aku ingin menemuinya!” tegas Argi, sembari menyandarkan punggungnya di sandaran sofa.Taufan terdiam sejenak sebelum menjawab, “maaf saya tidak tahu dimana tuan Anggara sekarang. Saya hanya ditugaskan untuk menggantikan pekerjaan disini. Mungkin jika anda ingin bertemu dengan tuan Anggara, anda bisa menghubunginya secara langsung.”Ya, meskipun Taufan tahu keb
“Selamat siang Pak Anggara, silahkan duduk,” sapa Kim pada Anggara yang baru saja datang di ruangannya. “Hum, bagaimana Kim? Apa kau sudah mengurusnya?” tanya Anggara setelah duduk di hadapan pengacara Kim. Kim mengeluarkan surat akta kelahiran Ashley yang sudah berhasil diubah, menunjukkannya pada Anggara. “Tolong periksa dulu pak Anggara, barangkali saya ada kesalahan penulisan nama,” ujar Kim. Anggara menatap pada lembaran kertas dimana nama Septian Anggara telah tertulis sebagai ayah kandung dari Ashley Widjaja Anggara. Anggara bernafas lega, satu tujuannya telah tercapai. Kini Argi tak akan bisa merebut putrinya. Karena secara hukum Anggara sudah membuktikan jika Ashley adalah putrinya. “Apa pak Anggara sudah mendapatkan tanda tangan nyonya Akira?” pertanyaan Kim membuat Anggara mengalihkan pandangan. “Bisakah kau mengirim file surat pernyataan itu padaku? Mungkin aku akan meminta tanda tangan Akira lewat email,” ujar Anggara. “Tentu bisa, saya akan kirim sekarang,” Kim se
“Mona?” kata yang keluar dari mulut Taufan, disambut dengan senyuman manis wanita itu. Selama ditugaskan beberapa hari lalu, Taufan sedikit mengenal Mona. Karena beberapa kali dia berkunjung ke rumah Anggara. Gadis manis berkulit sawo matang, yang cukup menarik perhatian Taufan. “Apa kau sudah siap bekerja Mona?” tanya Anggara menyentak lamunan Taufan. Membuat Taufan merasa kikuk sendiri, hingga dia pun menundukkan pandangan. “Saya sudah siap pak Anggara,” jawab Mona dengan suara lembut mendayu, itu yang terdengar di pendengaran Taufan. “Nanti kamu akan bekerja di bagian marketing, dan Taufan yang akan membantumu,” jelas Anggara. Dia bisa menangkap jelas gelagat Taufan yang tak seperti biasa, meski hanya melihatnya dari sudut mata. “Baik, pak Anggara. Mohon bimbingannya pak Taufan!” ucap Mona sembari menundukkan kepala. “Kamu bisa memulai bekerja hari ini, Mona. Dan jika memerlukan apapun jangan sungkan untuk memberitahuku. Semoga kamu nyaman bekerja di sini.” Sesuai dengan jan
“Bagaimana kabarmu?” tanya Raditya dengan pandangan menelisik. Dia hendak memastikan kebenaran dari ucapan putranya.Hingga tatapannya tertuju pada perut Clara, yang terlihat masih datar. Tak lama, tatapannya pun kembali pada wajah Clara.“Kondisi saya seperti yang anda lihat. Andai pak Anggara tidak memberikan pekerjaan ini, mungkin saja hidup saya luntang-lantung,” ucap Clara menjelaskan.“Bolehkah aku bertanya?”Clara kembali memandang ke arah Raditya dengan mata memicing.“Silahkan, pak Radit!”“Apa benar kau telah mengandung benih putraku, Clara?” tanya Raditya sengaja mengurangi volume suaranya agar obrolan mereka tidak didengar orang lain.Clara menundukkan pandangan, jari jemarinya saling meremas di atas paha. Entah apa maksud dari kedatangan Raditya kesini, namun haruskah Clara menjawab jujur?Clara masih trauma akan sikap Argi yang kasar padanya sejak pertemuan terakhir mereka. Perkataan Argi yang tidak terima jika dirinya mengandung calon bayi keluarga Rinega, masih terngia
Argi Rinega menerima hukuman pidana penjara selama dua belas tahun. Itulah keputusan dari hakim yang menangani kasusnya.Tentu hal ini membuat orang tua Argi kecewa. Putra semata wayangnya harus menjalani hukuman berat.Meskipun pihak dari pengacara yang disewa oleh Raditya meminta pengajuan banding untuk meringankan hukuman. Namun dengan tegas putranya malah menolak.“Biarkan aku menjalani hukumanku. Mungkin dengan ini putraku akan memaafkan kesalahanku,” ucapnya sembari memeluk ibunya yang tengah terisak.Hati Lina hancur. Ibu mana yang tidak merasa sedih jika harus hidup terpisah dengan putranya.“Kami sudah tua nak, dua belas tahun itu bukan waktu yang sebentar. Biarkan pengacara papa untuk kali ini membantumu. Setidaknya untuk memotong masa hukumanmu,” ucap Lina sembari terisak.Argi bergeming, tangannya mengusap pelan punggung wanita yang telah melahirkannya.“Maaf, aku sudah mengecewakan kalian dengan perbuatanku,” hanya itu yang mampu terucap di mulut Argi. Hingga salah beber
Akira segera menjalani perawatan di sebuah klinik. Hal ini karena Anggara hanya menemukan klinik yang terdekat dengan lokasi pemakaman.“Dari kalian, siapa yang menjadi suami pasien?” tanya seorang petugas nakes yang bertugas. Melihat pada dua pria tampan yang mengantar satu wanita, tentu petugas tampak bingung.Anggara sedikit terkejut mendengar pertanyaan suster, sedari tadi dia tidak menyadari keberadaan Argi yang ternyata mengikutinya hingga klinik.“Saya suami pasien,” jawab Anggara setelah menoleh sekilas ke belakang.“Baik, ikuti saya. Dokter ingin berbicara dengan anda,” ucap suster, lalu membuka pintu ruangan lebih lebar.Anggara segera memasuki ruangan, sementara suster mencegah Argi yang hendak masuk.“Maaf, hanya suami pasien. Anda bisa menunggu di luar.”Suster segera menutup pintu ruangan. Lalu mengantar Anggara untuk menghampiri dokter.Sekilas Anggara melihat pada Akira yang tengah berbaring di atas ranjang pasien. Kondisinya masih memprihatinkan, kedua matanya masih t
Selama di perjalanan, mobil Anggara terus mengikuti mobil milik Argi yang berada di depannya.Perjalanan menuju ke suatu tempat yang entah kemana.“Mas, aku takut,” ucap Akira yang entah mengapa hatinya mendadak diliputi rasa khawatir dan ketakutan. Padahal Argi akan mengantarkan mereka untuk bertemu putranya.Namun mengapa justru Akira merasakan dadanya terasa sakit tanpa sebab. Air mata terus jatuh bercucuran. Apakah karena kerinduan yang mendalam pada putranya?Anggara menggenggam tangan Akira dengan tatapan fokus ke depan. Dia tidak ingin kehilangan jejak Argi, tentu Anggara sedikit merasa was-was akan ajakan Argi.Mungkinkah Argi semudah itu menyerah untuk memberikan putranya pada Akira?Atau apakah ini sebuah jebakan?“Bersabarlah, kita akan segera bertemu dengan putra kita. Tidak perlu takut, sayang. Ada aku!” ucap Anggara menenangkan hati istrinya.Anggara dibuat terkejut tatkala mobil mereka terhenti di sebuah pemakaman umum. Kedua alisnya saling bertaut, wajahnya terlihat me
Anggara mulai mengorek informasi dari media berita yang kini dia telusuri. Dan memang benar ucapan Bayu, sudah seminggu berlalu perusahaan itu di tutup.Lalu kemana perginya Argi? Mengapa di saat seperti ini justru dia menghilang? Apakah ini sebuah kesengajaan yang merupakan cara Argi untuk menghindar dari hukumannya?Tapi mengapa dia meminta pengacaranya untuk menolak gugatan cerai?Anggara mengalami jalan buntu, berhari-hari mencari keberadaan Argi namun hasilnya nihil. Hingga hari itu dia mendapatkan kabar dari anak buahnya.“Bos Anggara, kami sudah mengecek di bandara, jika sepuluh hari yang lalu ada penumpang atas nama Argi Rinega, serta Raditya Rinega dan istrinya melakukan penerbangan ke luar negeri,” ucap Dewa dari seberang telepon.“Kemana tujuan mereka?”“Singapura.”Anggara kembali terdiam. Haruskah dia mencari putra Akira hingga ke negeri Singa?Selama persidangan cerai belum usai, maka dia tidak bisa berbuat apapun untuk merebut putra Akira. Tentu hal asuh harus jatuh ke
“Baiklah, karena berkas sudah lengkap, nanti saya akan segera mengurusnya,” ucap pengacara Kim pada Anggara dan Akira, yang saat itu berkunjung ke kantornya.“Kapan persidangan pertama akan dilakukan, Kim?” tanya Anggara memastikan.“Nanti akan saya kabari, pak Anggara. Kemungkinan besar satu hingga dua Minggu ke depan, tergantung dari pihak pengadilan yang memberi jadwal. Mungkin dua hari ke depan kita akan mengirim surat gugatan cerai kepada yang bersangkutan. Jika pihak yang digugat menyetujuinya, maka proses akan semakin cepat,” jelas Kim.Tentu hal itu tidak mungkin terjadi, Anggara tahu betul bagaimana ucapan terakhir Argi. Dia tidak akan semudah itu melepaskan Akira. Namun apapun yang terjadi, Anggara akan mengusahakan untuk gugatan cerai itu diterima.“Tolong hubungi aku tentang perkembangan prosesnya nanti,” ucap Anggara akhirnya, sebelum memutuskan obrolan.***Hari berlalu sangat cepat, pihak kepolisian sudah berhasil membuktikan kesalahan pria yang melakukan penculikan, me
“Auwhhh! Apa kalian tidak bisa bekerja dengan benar?” sentak Argi pada suster yang tengah mengobati luka di wajahnya.“Maaf tuan, saya tidak sengaja,” suster menunduk dengan tangan gemetar karena ketakutan.“Pergilah! Dasar tidak becus!” Argi mengibas tangannya untuk mengusir suster yang merawatnya.Bayu yang berdiri tak jauh dari sana, tak heran dengan sikap arogan Argi. Namun dia ikut merasa prihatin atas apa yang menimpa teman sekaligus bosnya itu.Dia tidak menyangka akan terjadi keributan seperti tadi. Dua temannya saling berkelahi. Tentu menurut pandangan Bayu, Argi adalah pihak yang salah. Bagaimana tidak, jika Argi memukul lebih dulu saat kondisi Anggara tidak fokus. Jadi wajar jika Anggara memberinya pelajaran.“Hey, apa kau sudah menghubungi para investor? Bagaimana? Apa mereka mau menerima tawaran kita?” pertanyaan yang ditujukan pada asistennya.“Hasilnya nihil, tidak ada satupun yang mau menginvestasi ke perusahaan kita. Mungkin kamu harus memulihkan nama baikmu dulu, bar
Anggara membawa Clara menuju rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan medis. Wajah Clara terlihat pucat dengan beberapa bekas tamparan yang masih membekas di pipinya. “Apa anda suaminya?” tanya dokter yang menangani Clara. “Bukan, aku hanya menolong,” balas Anggara singkat. “Apa yang terjadi dengan nona ini?” tanya dokter lagi. Sebelum memberikan tindakan, tentu dia harus mengetahui kronologi yang terjadi sehingga pasien seperti ini. “Beberapa orang menculiknya, dan aku berhasil menemukannya. Sepertinya dia mendapatkan perlakuan kasar, dan wanita ini sedang hamil,” jelas Anggara. Mata dokter melebar mendengar penjelasan Anggara. “Baiklah saya akan memberikan tindakan pertolongan, dan memeriksa kondisi janinnya. Apa anda bisa menghubungi keluarga nona ini?” tanya dokter lagi. “Akan saya usahakan,” jawab Anggara, meskipun dia tidak tahu perihal tentang Clara. Anggara pun digiring keluar ruangan, saat dokter mulai memeriksa keadaan pasien. Mungkin saat ini istrinya sedang kebi
“Permisi, Pa. Apa ada mas Anggara di dalam?” ucap Akira sembari mengetuk pintu ruang kerja ayah mertuanya. Meskipun pintu ruangan itu sedikit terbuka, namun Akira tidak langsung masuk. Karena takut mengganggu pembicaraan Baskoro dengan suaminya. Yang dia tahu Anggara berada di dalam.“Masuklah, Akira!” suara Baskoro terdengar dari dalam. Akira segera membuka pintu lebih lebar. Tatapannya merotasi ke sekeliling ruangan. Namun tak melihat keberadaan suaminya di sana.“Dimana mas Anggara, pa?” tanya Akira penasaran.“Aang masih ada urusan sebentar. Kamu tidak perlu khawatir,” jawab Baskoro dengan mimik datar. Sesuai dengan permintaan putranya, dia tidak akan memberitahu Akira.“Kemana, pa? Kok tumben mas Anggara gak ijin ke aku?” tanya Akira lagi dengan kedua alis saling bertaut, wajahnya masih terlihat cemas.Baskoro menghela nafas, memandang pada menantunya dari balik kacamatanya.“Tadi suamimu buru-buru, sepertinya ini mengenai perusahaan. Kamu tidak perlu khawatir, secepatnya suamim