Season 2Bagian 286Riswan yang mendengar Risma berbicara dengan nada panik langsung cepat bertanya, "Ada apa, Neng, emak kenapa?" Risma seperti mengindahkan, dia terus mencecar Bude Ajeng, sempat terdengar juga olehnya suara-suara seperti teriakan orang-orang. "Bude? Emak kenapa?" tanya Risma lagi. Ada jawaban dari sang kepala pekerja rumah tapi masih terdengar samar. Suara dari atas panggung sedikit banyak mengganggu pendengarnya. Risma berdiri dan berinisiatif untuk keluar ruangan. "Risma keluar sebentar ya, Bang?" ucapnya kepada Riswan, dan tanpa menunggu suaminya memberikan persetujuan Risma berdiri dan langsung keluar gedung audiotorium dengan langkah cepat, handphone-nya terus dia dekatkan dengan telinga. Sementara itu acara wisuda kelulusan akan segera dimulai. “Bude Ajeng, emak kenapa?” tanya Risma cepat dengan suara lebih keras setelah melewati pintu keluar autotorium. Dan suasana tidak seberisik di dalam gedung. “Emak tidak sadarkan diri Bu selesai Sholat Istiqharoh, te
Terlihat oleh Riswan sang istri sedang duduk termenung sendiri, wajahnya terlihat sedih dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. Andika berlari mendahului Riswan untuk mendekati Risma. "Ayuk Bu kita pulang lihat nenek," ucapnya cepat sembari menyodorkan tangannya, berharap sang ibu menyambut uluran tangannya. Risma mendongah cepat, lantas berdiri sambil memegang tangan si bungsu Andika. "Yuli bagaimana, Bang. Marah tidak?" tanya Risma saat mereka berjalan bersisian menuju tempat parkir kendaraan. "Tidak, Neng. Putri kita mau mengerti kok. Bahkan jika bukan acara kelulusannya, mungkin akan ikut pulang dengan kita," jawab Riswan, jemarinya mengetik nomor telepon seseorang yang ingin dia hubungi. Dan langsung terhubung cepat. [ Mas Parto langsung ke sekolah Yuli, ya. Saya pulang lebih dulu jadi, Mas Parto tungguin hingga acara selesai. ] [ Baik, Pak. Saya segera ke sana ] Riswan ternyata menghubungi sopir pribadinya yang lain, dan langsung mematikan sambungan telepon. Sesampainya di
"Iya, Neng," ucap Riswan pelan, saat Risma meminta lebih mendekati jazad emak. Riswan membimbing langkah Risma, matanya sudah terlihat sembab. Diam terpaku sewaktu-waktu di sisi tempat tidur. Perlahan, Risma menguatkan dirinya untuk membuka kain putih penutup wajah sang ibu tercinta. Ibu yang sudah merawat dan menyayanginya dengan tulus, tanpa membedakan dirinya yang bahkan anak dari madunya. Air mata Risma kembali luruh, saat kain putih itu mulai tersingkap. Seraut wajah tua dengan kulit pucat yang memutih, menjembatani yang membekukan menyiratkan seperti sedang tersenyum. Risma sudah tidak bisa lagi membendung air matanya. Matanya terus saja menatap wajah emak. "Makk, maafkan Risma jika belum bisa berbakti sepenuhnya kepada, Emak. Tapi Risma selalu untuk berbakti kepada Emak. Kenapa sih Emak pergi tanpa menunggu Risma terlebih dahulu," ucapnya sembari terisak, semua yang menyaksikan ikut menangis, termasuk Dokter Hermawan."Sudah ya Neng, Insya Allah emak udah tenang sekarang," uc
289Suara pemberitahuan tentang meninggalnya Mak Sawiyah mulai diumumkan melalui pengeras suara masjid yang Riswan bangun. Amran sang anak yang sekarang sudah menjadi kepala Desa Cibungah sendiri yang mengumumkannya. Ada serak dan sedikit parau di dalam nada suaranya, sembari meminta kepada warga permintaan maaf apabila almarhum emak memiliki kesalahan kepada masyarakat. Juga seandainya apabila almarhumah memiliki masalah hutang piutang yang belum terbayarkan, dan tidak diketahui oleh keluarga, agar menemui dirinya. Matanya sudah basah, teringat akan segala kesalahan dirinya di masa lalu. Hampir seluruh masyarakat Desa Cibungah berbondong-bondong datang menyelawat ke Rumah atas bukit. Ratusan warga datang beriringan dari segala golongan masyarakat, baik muda ataupun tua, kaya dan miskin, berjalan kaki bersama-sama untuk menyampaikan rasa turut berdukacita atas kepergian Emak Sawiyah. Walaupun dalam beberapa tahun terakhir mereka sudah tidak lagi melihat keberadaan si emak di desa m
"Eemmaakkk....!Kendaraan yang dikemudikan Tohir belum juga berhenti sempurna, Ela dan Samsiyah langsung melompat turun, menghambur berlari cepat menaiki tangga menuju teras rumah. Semua mata memandang ke arah mereka berdua, tidak lagi mereka hiraukan. Teringat semua dosa-dosa yang telah dilakukan terhadap ibu kandung mereka di masa lalu. Walaupun beberapa tahun terakhir ini setelah mereka mulai sadar, sikap mereka pun mulai berubah, tetapi tidak dapat menghilangkan rasa sesal di dalam hati. Keduanya berhenti sewaktu-waktu di depan pintu yang terbuka lebar, sehingga suasana ruang tamu terlihat jelas. Beberapa warga yang melihat kedatangan Ela dan Samsiyah sedikit menyingkir seperti membuka jalan. Terlihat oleh mereka berdua jasad sang ibunda ditutup oleh kain batik berwarna coklat tua, dengan sebagian kain putih menutupi wajah. Terbaring di ruang tamu, dengan beberapa warga duduk bersila di sisi jenazah sambil membacakan kitab suci. Risma yang sedang bersama Riswan, melihat ke arah
Umi Hasanah sudah selesai mengkhafani bagian tubuh Emak Sawiyah, tinggal menutup bagian wajahnya saja. Istri dari Ustadz Arief tersebut lantas berbicara, “Sebelum wajah almarhumah emak ditutup kain kafan, dipersilakan kepada keluarga dan saudaranya bagi yang ingin mengucapkan salam perpisahan untuk yang terakhir kalinya. "Tapi diharapkan, jangan sampai air mata mengenai wajah almarhumah," pesan Umi Hasanah mewanti-wanti, dia lantas menggeser tubuhnya, memberikan kesempatan dan tempat kepada anak-anak dan cucu-cucu almarhumah untuk berpamitan sebelum kain kafan menutupi seluruh tubuh secara sempurna. Amran yang terlebih dahulu duduk di samping jenazah, sambil sesekali menatap wajah emak yang tenang, kelelahan mungkin menahan agar udara di matanya tidak terjatuh. Berucap pelan sebelum mencium kening almarhumah. "Bismillah... Insya Allah Amran ikhlas, Mak. Maafkan segala kesalahan Amran jika ada perbuatan atau kata-kata yang menyakiti Emak. Do'akan Amran di sana ya Mak, semoga kita bi
Orang kepercayaan itu masih diam berdiri, menyaksikan bos-nya bicara sendiri. Bertahun-tahun dia menjadi kaki tangan si pengusaha licik ini. Dan sudah paham betul dengan wataknya yang pendendam dengan orang yang dianggapnya musuh. "Rencana selanjutnya bagaimana, Bos?" tanya orang kepercayaan itu yang bernama Jefri kepada sang big bos, Tuan Soebroto. "Di Fakultas mana putri dari si Riswan itu kuliah di Trisakti?" tanya Subroto mulai mendalami informasi yang didapat oleh anak buahnya. "Informasi yang saya dapat, di Fakultas Ekonomi, Bos?" "Elu punya orang dalam di sana?" tanya Soebroto lagi. Tatapannya tajam fokus menatap Jefri. "Di sana di mana maksudnya, Bos?" tanya Jefri sedikit bingung. "Di kampus itu goblok! Masa di terminal!" bentak Subroto keras sambil menggebrak meja, dan Jefri langsung terlihat pucat. "Ti-tidak ada, Bos?" jawab Jefri terbata. Bosnya itu memang jika sedang marah terlihat sangat menakutkan baginya. Terus, informasi tentang anaknya si Riswan itu elu dapat
Darman dan istrinya, Uni, berbincang-bincang dengan Riswan, Risma, dan Yuli. Sementara dua anaknya yang lain bermain dengan cucu-cucunya Kang Darman di ruangan rumah yang lebih dalam. Mereka membicarakan tentang rencana kuliah Yuli selama akan tinggal di Jakarta, di ruang tamu kediamannya Kang Darman."Saya dan Risma titip Yuli ya, Kang. Ibunya ini tidak tenang jika putri sulungnya ini tinggal sendiri di apartemen atau di rumah saya yang di Pantai Indah Kapuk. Biar ada yang mengawasi katanya," ucap Risma, sembari menoleh ke arah Risma yang duduk di sampingnya. "Iya, Kang. Jika tinggal sama Akang dan Uni, Risma bisa jauh lebih tenang. Apalagi di kota besar seperti ini. Takut Risma, Kang, jika melepaskan Yuli begitu saja tanpa pengawasan." Risma membenarkan ucapan Riswan. "Iya, tidak apa-apa. Akang dan Uni senang kok, jika Yuli mau tinggal di sini. Buat nemanin kami berdua. Ini kebetulan saja sedang hari libur, jadi cucu-cucu bisa main ke sini. Biasanya, sepi. Kasihan Uni, ditinggal s
Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas
Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak
Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi
Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "
Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak
[ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru
"Mengapa sampai saat ini kamu belum juga menikah, Ir. Apakah itu semua karena aku?"Udara malam di pantai ini semakin dingin, ditambah lagi dengan anginnya yang kencang. Irma sampai mensidakepkan kedua tangannya karena hawa dingin tersebut, ditambah terkena basahan cokelat tadi, walaupun dia sudah berganti pakaian. Setelah cukup lama terdiam, Irma mulai menjawab pertanyaan Fadlan. "Aku harus menjawab apa, Fad? Jika aku bilang mungkin memang sudah garis hidupku dari Allah seperti ini, salah tidak?"Sesaat Fadlan terdiam, karena memang apa yang Irma katakan itu benar adanya. "Tidak, Ir, kamu tidak salah. Hidup, mati, dan jodoh memang urusan Allah 'kan?" "Hmm ... hanya satu hal yang bisa aku jawab dengan jujur dan sebenarnya. Dan itu sudah kujawab saat di rumah tadi. Apa aku harus mengulanginya lagi?" tanya Irma lagi. "Jika kamu tidak keberatan?""Kamu adalah kekasih yang pertama, Fad, dan sampai saat ini aku belum pernah berteman dekat lagi dengan pria lain," jawab Irma, ada nada get
Part 12Fadlan terdiam, mendengar pertanyaan Irma, tatapannya masih menghadap ke tengah lautan yang terlihat temaram, terkena pantulan cahaya rembulan. Angin laut masih berembus kencang. Terlihat Fadlan menarik nafasnya sejenak, sembari matanya terpejam, lalu dilepaskan perlahan."Agnes sudah berselingkuh," jawabnya singkat.Lalu mengambil kopinya, dan menghirupnya perlahan."Kamu menyaksikan sendiri?" tanya Irma."Maksudnya?" jawab Fadlan"Maksudku, kamu menyaksikan sendiri perselingkuhan tersebut?" tanya Irma lagi."Tidak," jawab Fadlan, masih singkat. Tatapannya lalu beralih ke arah Irma."Aku menemukan chat-chat pribadinya dengan pria lain," jelas Fadlan."Maksud chat pribadi, seperti apa?""Chat-chat mesranya dengan pria lain." Jemarinya mengusap pelan wajahnya."Kamu kenal, siapa pria yang kamu maksud?" Irma masih terus mengejar. Bukannya Irma ingin kepo dengan masalah orang lain, tetapi ... Fadlan sendiri yang sudah berjanji, ingin menceritakan tentang masalah keluarganya."Ya,
Terlihat dari raut wajah dan tatapan matanya, jika wanita yang menganggap Irma sebagai perempuan gatel itu sedang menyimpan amarah, ada dua wanita lagi di belakangnya, sepertinya kawan dari calon mantan istrinya Fadlan.Irma hanya diam termangu, saat perempuan itu melabraknya. Fadlan langsung berdiri."Udah, Nes. Perempuan perusak mah, jambak aja rambutnya," ucap salah satu kawannya."Iya, ga usah takut, apa perlu gue bantuin hajar nih pelakor," tuduh kawannya yang satu lagi kepada Irma. Dua orang kawan-kawannya, malah memanas-manasi calon mantan Fadlan tersebut."Hai ... hai, kerjaan kalian jangan bisanya manas-manasin ya. Hai ... Agnes! Irma tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita, aku bertemu Irma, baru seminggu ini. Sedangkan masalah di antara kita berdua, sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi jika kamu menuduh Irma sebagai orang ke tiga di antara hubungan kita, kamu salah alamat," ucap Fadlan tegas. Irma tetap terdiam, dia bingung, harus bersikap seperti apa."Gue seperti