Tatapan Kahfi membuatku seolah ditarik ke masa lalu saat itu sore menjelang kala lembayung senja mengukir rona kemerahan di ufuk barat. Aku membiarkan pertanyaannya mengambang di udara sampai sekarang. Melihatnya sudah memiliki calon istri membuat rasa bersalahku berkurang. Tentu saja, apa yang aku harapkan? Berharap Kahfi merasa kehilangan dan terus menungguku? Dalam hati aku menertawakan diri sendiri, jangan terlalu percaya diri Halimah, kamu tak seistimewa itu hingga bisa membuatnya patah hati. Kahfi lelaki tampan dan mapan, apalagi berprofesi sebagai dokter ahli bedah pasti banyak yang mau menjadi pendamping hidupnya."Aku Kahfi dan Anda?" Kahfi mengulurkan tangan ke Mas Bayu, padahal jelas-jelas Sarah menunjukku, apa dia tak ingat padaku? Rasanya tak mungkin waktu dua tahun membuatnya lupa, lagipula aku tak merubah wajahku."Aku Bayu, perusahaanku menangani pembangunan gedung baru untuk Citra Medika. Dan ini asistenku, Halimah."Aku menangkupkan tangan hendak menyapa, tapi Kahf
"Benar itu Kahfi? Untuk apa dia mengikutiku?"Aku menutup kain gorden yang menutupi jendela ketika melihat Kahfi mendekat ke rumah. Aku bersandar ke pintu sembari menekan dada yang berdebar semakin kencang. Aku bingung dengan tingkah Kahfi, tadi dia bersikap ketus seakan enggan berdekatan denganku, tapi sekarang dia malah mengikutiku? Apa maksud semua ini? Aku menunggu dengan perasaan berkecamuk sembari menimbang perlukah membuka pintu kalau dia mengetuk? Lalu apa yang kami bicarakan? Astaga, kenapa pemikiranku terlalu jauh? Semenit dua menit tak ada yang mengetuk pintu. Apa Kahfi sengaja menunggu di luar atau ....Didorong rasa penasaran aku mengin-tip lagi melalui jendela rumah. Dahiku berkerut sebab tak mobil yang dikendarai Kahfi tak terlihat lagi. Apa dia mengurungkan niatnya bertamu? Atau jangan-jangan yang aku lihat bukan dia? Aku berdecak pelan, sepertinya hari ini terlalu berat hingga kepalaku tak mampu berpikir dengan baik. Aku butuh mandi air dingin agar kekacauan di tempu
"Kamu yakin gak perlu ditemani?" Suara Mas Faris terdengar bernada cemas di telepon, hangat merayap ke dalam dada karena masih ada yang peduli padaku. "Iya, Mas, aku baik-baik saja, cuma patah paling ikut fisioterapi normal lagi.""Cuma patah?!" Kali ini suara Mas Andar terdengar meninggi, aku sampai harus menjauhkan ponsel dari daun telinga. "Udah kayak gitu masih bilang cuma? Kamu jangan anggap enteng semuanya Imah!""Iya, maaf." Aku memilih mengaku salah daripada dicemarahi lagi sama Mas andar. Berbeda dengan Mas Faris yang lebih kalem, Mas Andar cenderung urakan, tetapi dia maju paling depan kalau ada sesuatu menimpa saudaranya."Mas, udah minta tolong sama Bayu carikan kamu asisten rumah tangga untuk bantu-bantu di sana.""Tapi Mas ...." Aku merengek mendengar perkataan Mas Faris."Gak ada tapi-tapian Halimah! Mas gak mau kamu kenapa-kenapa, cuma kamu satu-satunya saudari perempuanku.""Benar itu, sesekali Halimah harus ditegasin Mas!" Mas Andar ikut memprovokasi. Mendengar ked
Aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Suara-suara di dalam kepala terus berdengung berharap Halimah bisa pulih seperti sedia kala. Pertemuan dengan Halimah membuat bunga-bunga cinta yang layu kembali segar, seolah-olah disirami hujan setelah bertahun kemarau. Aku tak tahu harus bagaimana bersikap, setelah dua tahun menghilang kemarin dia berdiri di depanku begitu saja. Lidahku kelu menyapanya, ragu menyergap dada apakah Halimah sudi mengenalku? Bukankah dulu dia pergi tanpa kata, memperjelas aku tak berarti baginya. Mengingat sikapnya itu aku memilih pura-pura tak mengenalnya.Aku tak tahu apa yang Halimah pikirkan saat Sarah memperkenalkanku sebagai tunangannya. Aku berharap dia cemburu, tapi rautnya tetap datar. Entah mengapa sikapnya itu membuatku kesal. Harusnya dia kesal, marah, atau cemburu agar aku bisa mengatakan kalau aku masih mencintainya. Namun, lelaki yang selalu bersama Halimah adalah jawabannya. Dia sudah memiliki seseorang. Aku berani bertaruh Halimah bahkan tak
Di ujung sana terasa kehening sesaat sebelum Sarah menjawab dengan suara tenang, tapi ada getaran halus dalam nadanya."Apa maksudmu, Kahfi?""Aku rasa pernikahan ini sebaiknya kita batalkan saja."Perkataan itu keluar dari mulut Kahfi dengan suara berat. Bukan hal yang mudah baginya, terutama mengingat betapa Sarah telah banyak berkorban untuk hubungan mereka. Namun, Kahfi tahu bahwa hidup dalam kebohongan akan jauh lebih menyakitkan daripada mengatakan yang sebenarnya."Kenapa baru sekarang kau mengatakan ini? Kalau kamu merasa tak akan pernah bisa mencintaiku harusnya tolak dari awal. Bukan setelah dua tahun. Bukan setelah kedua keluarga mulai melakukan persiapan pernikahan."Meski dadanya ngilu mendengar permintaan Kahfi, Sarah masih berusaha tenang. Dia yakin pasti ada alasan kuat lelaki itu ingin membatalkan rencana pernikahan mereka. Bukan karena Kahfi menyadari tidak akan pernah bisa mencintainya, tetapi hal lain, mungkin seseorang dari masa lalunya."Maaf, aku tahu ini salah
Sarah duduk di sudut restoran elegan, memainkan cangkir kopinya dengan pelan sambil menunggu Bayu datang. Wajahnya mungkin tampak tenang di luar, tetapi di dalam hatinya berkecamuk. Pengakuan Kahfi semalam masih terngiang-ngiang di telinganya—pernyataan tentang cintanya pada Halimah yang membuat dunianya seakan runtuh, tapi Sarah tidak akan menyerah begitu saja. Dia sudah menyiapkan rencana untuk menyelamatkan rencana pernikahannya.Bayu akhirnya tiba, dia menyapa dengan senyum ramah. Sarah langsung memasang ekspresi bersahabat, seolah pertemuan ini hanyalah tentang urusan bisnis seperti yang mereka rencanakan sebelumnya."Terima kasih sudah meluangkan waktu, Pak Bayu. Aku ingin membicarakan kelanjutan kerja sama kita, tapi sejujurnya aku juga tertarik mengenal lebih dalam tentang tim kamu, terutama Halimah. Dia terlihat sangat kompeten dan menarik."Bayu mengangguk sambil tersenyum, tampaknya tidak menyadari maksud tersembunyi Sarah."Halimah memang luar biasa. Dia salah satu karyawa
Halimah duduk di kursi di depan Bayu, tangannya menggenggam kuat tas di pangkuannya. Matanya terpaku pada wajah Bayu yang tampak tidak tenang, seolah ada beban besar yang ingin dia utarakan."Maaf, aku suruh kamu buru-buru ke kantor. Ada hal yang gak bisa aku ceritakan di telepon."Halimah masih diam, dari raut Bayu dia tahu ada sesuatu yang tidak beres."Aku minta maaf, Halimah. Ini bukan keputusan yang mudah, tapi aku harus memintamu untuk rehat sementara. Setidaknya sampai proyek dengan Citra Medika selesai."Halimah menatap Bayu dengan sorot mata bingung. Rehat? Dia tahu pekerjaannya berjalan dengan baik, dan tak ada alasan yang jelas untuk tiba-tiba menghentikan keterlibatannya."Kenapa, Mas? Apa ada masalah dengan kinerjaku?"Bayu menelan ludah, dia berusaha menahan keraguan di wajahnya. Dia mengusap lehernya dengan gugup."Bukan soal itu, Halimah. Kamu selalu profesional, tapi ini lebih dari sekadar pekerjaan. Semua jadi rumit setelah aku berbicara dengan Sarah."Mendengar nama
"Permisi, Dokter Kahfi, ada?" Halimah bertanya ke salah seorang perawat yang berpapasan dengannya di lorong rumah sakit."Dokter Kahfi sedang ada operasi Mbak. Silakan tunggu di ruangannya.""Apa boleh saya masuk gitu aja?" Halimah sedikit segan, sebab dia tak pernah masuk ke ruang pribadi orang lain tanpa izin.Sang perawat tersenyum. "Gak apa-apa Mbak. Ayo, saya tunjukkan tempatnya.Perawat tadi membuka pintu ruangan Kahfi lalu mempersilahkan Halimah masuk. Aroma lavender menyerbu penciumanya, aroma bunga ini kesukaannya membuat rasa nyaman hadir di dadanya. Halimah mengamati ruangan berukuran 3 × 3 m² persegi itu. Satu sofa panjang diletakkan di depan meja kerja Kahfi. Lemari didempetkan ke dinding sehingga ruangan terlihat luas. Ceklek! Bunyi pintu dibuka dari luarHalimah menoleh, dia berdiri canggung ketika Kahfi masuk ke dalam ruangan. Mata mereka bertemu, Kahfi terkejut melihat kehadirannya. Suasana hening sejenak, seolah-olah waktu berhenti di antara mereka. Halimah tahu, i
"Kamu tidak bisa seperti ini terus, mau sampai kapan kucing-kucingan dengan Kahfi?"Halimah melirik Andar sekilas lalu kembali menunduk menatap cangkir yang masih mengepulkan uap panas, aroma melati menguar memenuhi penciuman Halimah.Andar menghela napas panjang, dia menghampiri Halimah lalu duduk di samping adiknya. "Mas tidak bisa terus-terusan berbohong, hampir tiap hari Kahfi ke sini menanyakan keberadaanmu. Tampangnya terlihat kusut, wajah juga pakaiannya tak terurus. Apa kamu tidak kasihan?"Halimah menggeleng pelan. Sebenarnya dia tak tega, tetapi dadanya masih nyeri mengingat sikap Kahfi belakangan ini. Bukannya meminta maaf lelaki itu seakan menyalahkannya. Halimah tidak mengerti di mana salahnya. Harusnya dia yang marah, harga dirinya sebagai istri diinj4k oleh Sarah dan Kahfi hanya diam. Bukannya menindak wanita itu, Kahfi seakan berpihak ke mantan tunangannya itu."Halimah, rumah tangga tidak selalu tenang, damai, dan menyenangkan. Adakalanya jenuh hadir. Pertengkaran, p
Halimah memutuskan kembali ke rumah setelah semua para pelayat pergi. Toh, kehadirannya tidak diperlukan di sana. Setelah kata perceraikan keluar dari mulutnya Kahfi baru bereaksi. Lelaki itu memintanya bersabar, sebab masih dalam suasana berduka. Namun, Halimah tak peduli itu. Bukannya dia tak berempati, tetapi Sarah tak patut dikasihani. Dia yakin wanita itu akan terus mencari cara mendekati Kahfi. Tak masalah, bagi Halimah kalau suaminya memberi celah wanita lain maka pergi adalah keputusan terbaik. Dia tak takut menyandang status janda lagi daripada makan hati melihat Kahfi tak bisa menjaga sikap.Baru saja menutup pintu rumah, ketukan terdengar. Halimah mengintip dari lubang pintu, tampak Kahfi berdiri di sana. Rupanya lelaki itu menyusul ke rumah."Halimah, jangan seperti ini. Kita harus bicara." Halimah diam, dia berdiri bersandar ke pintu membiarkan Kahfi bicara."Sayang, kita bicarakan ini baik-baik. Jangan seperti anak remaja labil, dikit-dikit cerai."Halimah mendengkus. S
"Saya pergi dulu, terima kasih waktunya." Halimah memasukkan ponsel ke dalam tas lalu bergegas bangkit dari kursi."Tunggu, tadi Anda menyebut Tiara, ada apa dengannya?" Arman ikut bangkit membuat gerakan Halimah tertahan. Raut penasaran terlihat di wajahnya."Tiara drop lagi, tadi Kahfi bilang kecil kemungkinan anak itu bertahan."Arman terdiam. Tiara memang bukan dar4h dagingnya, tetapi sejak Sarah mengandung dialah yang paling menjaga kondisi wanita itu. Apa saja yang diinginkan Sarah pasti dituruti, sebab Arman ingin calon anaknya sehat dan selamat. Pun selama dua tahun dia mencurahkan kasih sayang pada anak itu. Kenyataan kalau Tiara bukan berasal dari benihnya tidak hanya menghancvrkan hatinya, tetapi juga membuatnya tidak berharga sebagai lelaki di mata Sarah. Namun, bukan berarti dia membenc1 Tiara, tidak! Arman hanya jij1k pada obsesi sang mantan istri."Anda mau ke mana?" Arman gegas mensejajari langkahnya dengan Halimah menuju pintu keluar restoran."Ke rumah sakit. Kahfi m
"Jadi kita bisa bertemu?" Halimah meyakinkan lagi tempat pertemuan dengan lawan bicaranya di telepon. Setelah waktu, tempat, dan di meja berapa pembicaraan itu beralkhir.Halimah menatap keluar melalui jendela kamar ketika melihat mobil sedan hitam masuk ke pekarangan rumah. Tak perlu mencari tahu sebab dia hapal si pemilik kendaraan tersebut. Dia lalu menatap pantulan wajahnya di cermin untuk memastikan mata sembabnya sudah tersamarkan. Setelah itu dia bangkit bertepatan bunyi bel."Mama." Halimah menyalami ibu mertuanya. Dia tidak mengira wanita itu mendatanginya pagi-pagi."Kamu mau ke mana, kok udah rapi?" Citra menatap penampilan sang menantu.Halimah tersenyum, merangkul ibu mertuanya sembari mengajak masuk ke dalam rumah. "Mau ketemu teman, Ma."Citra duduk di atas sofa di ruang tamu tepat di sebelah Halimah. Dia menggenggam tangan sang menantu."Mama minta maaf, ya, udah nyembunyiin semua dari kamu." Sorot mata Citra penuh penyesalan, genggaman tangannya semakin erat. "Iya, M
"Benar sudah tidak apa-apa?" Kahfi menelisik wajahku, sorot matanya terlihat cemas.Aku tersenyum tidak tahu harus bahagia atau sedih. Kahfiku sudah kembali seperti dulu, tetapi fakta yang terungkap membuat hatiku gundah.'Kahfi pasti setuju dengan ideku. Kau tidak lihat betapa dia sangat mencintai Tiara. Anak kami sangat dekat dengannya satu tahun terakhir. Bahkan, saat Tiara menjalani kemo Kahfi sampai menitikkan air mata. Apalagi kau tak mampu memberinya an4k, tentu kesembuhan Tiara prioritas baginya.'"Hei, ditanya kok bengong?" Kahfi mencubit pelan pipiku membuatku meringis sekaligus meletuskan gelembung ingatan tadi, percakapan terakhir sebelum Sarah meninggalkan ruang perawatanku."Nggak, aku terharu dengan perhatianmu padaku. Aku sedang mengingat-ingat kapan terakhir kali kau bersikap manis seperti ini."Kahfi tersenyum tipis, jemarinya menyusuri setiap lekvk wajahku. "Maafkan aku, " lirih suara Kahfi berucap, riak-riak penyesalan terlihat jelas di pelupuk mata yang biasanya
"Kamu ingat tiga tahun yang lalu saat kita melakukan program bayi tabung? Saat itu Sarahlah yang menangani kita bukan?"Aku masih diam, berusaha menenangkan kecamuk di dalam dada, hanya karena Mama Citra aku bertahan mendengar penjelasan Kahfi."Halimah, kamu dengar yang aku katakan?" Kahfi menatapku lekat, tapi aku membu4ng wajah, hatiku masih panas mendengar pengakuan Kahfi tadi."Apa hubungannya?" tanyaku dengan ketus. Enggan rasanya meneruskan percakapan ini. Pengakuan Kahfi kalau Tiara putrinya sudah cukup sebagai bukti kalau lelaki itu tak setia."Sayang, dengarkan aku. Mungkin kamu nggak percaya, tapi di sanalah semua ini bermula.""Apa maksudmu?" Aku menatap Mama Citra, Sarah, dan Kahfi bergantian. "Tolong lebih singkat dan padat, aku nggak punya waktu bertele-tele." Aku gusar melihat Sarah yang terlihat tenang. Apa wanita itu merasa menang dariku karena berhasil memberi Kahfi seorang an4k. Membayangkan seperti apa keduanya berhubungan membuat dadaku berdenyut nyeri."Sarah m
"Tolong jelaskan sejak kapan kalian berselingkuh?!"Aku refleks menoleh ke arah suara dan melihat Halimah berdiri dengan tatapan nyalang ke arah kami. Tajam sorot matanya membuat tenggorokanku terasa kering hingga harus menelan liur berkali-kali, lidah pun seakan kelu tak mampu menjawab pertanyaan Halimah."Apa kalian semua tiba-tiba bisu? Bukankah tadi terdengar seperti sebuah keluarga yang harmonis dan kompak?"Sinis, jelas sekali kemarahan di nada suaranya. Aku tak menyalahkan dia kalau berpikiran buruk padaku dan Sarah. Harusnya sejak lama kuceritakan hubunganku dengan Sarah, tetapi aku belum menemukan waktu yang pas. Aku juga tak mau menyakiti Halimah dengan kenyataan yang ada kalau aku dan Sarah memiliki anak."Sayang, kamu tenang dulu, ya. Ini nggak seperti yang kamu pikiran?" Mama mencoba menenangkan Halimah. Sama sepertiku Mama pasti merasa cemas. Ah, mengapa jadi serumit ini?"Tenang? Melihat suamiku bersama wanita lain, lebih peduli wanita lain daripada aku istrinya Mama bi
"Aku mengajukan khuluk!"Tegas, tidak ada keraguan sedikit pun di dalam hatiku. Mungkin memang sudah takdirku gagal lagi dipernikahan ke dua. Entah dosa atau ujian yang aku jalani hingga ketenangan hanya beberapa tahun kurasakan. "Halimah, kamu jangan gegabah. Aku nggak mau mengabulkan permintaanmu. Sekarang tenangkan dirimu. Kita nggak bisa bicara dalam kondisi panas seperti ini. Kamu harus percaya padaku seperti yang sudah-sudah."Aku berdecih, pandanganku mulai mengabur karena genangan air di pelupuk mata. Sekuat hati aku menahan agar linangan itu tak tumpah lagi. Lelah, ya, aku sangat lelah dengan prasangka yang tak menemukan jawaban pasti."Aku selalu percaya sama kamu sampai nggak sadar kepercayaanku kamu balas dengan dusta. Kalau kamu nggak ada hubungan apa-apa dengan Sarah, kenapa harus sepeduli itu? Kenapa saat dia menelepon kamu langsung bergegas."Aku masih menuntut penjelasan dari Kahfi, tak peduli lelaki itu gelisah karena ponselnya terus berdering. Aku berani bertaruh y
"Mbak, aku nanya, untuk apa beli diapers sementara tidak ada anak kecil di rumah?" Aku mulai kesal karena Mbak Sukma tak kunjung menjawab pertanyaanku. Prasangka buruk kembali bercokol di benak. Apa Kahfi menikah diam-diam lalu memiliki anak? Tidak, gegas kuhalau hasutan ses4t itu. Sepertinya aku sudah mulai gil4 akibat fyp tok-tokku semua tentang perselingkuhan. Tak mungkin Kahfi tega menusvkku dari belakang. "Maaf, Non, tapi Non jangan marah. Nanti jangan bilang kalau saya yang ngomong." "Ya, udah, cepat bilang." Aku semakin gregetan karena bahasa tubuh Mbak Sukma terlihat gelisah. Apa ada yang disembunyikan di rumah mama mertuaku? "Mbak!" Aku mendesak lagi. Mbak Sukma meringis sambil memilin jarinya satu sama lain. "Anu, Non, sebenarnya diapers ini milik Non Tiara." Dahiku berkerut. "Tiara?" Mbak Sukma mengangguk pelan. "Non Tiara anak Non Sarah. Dia sering dititipkan di rumah Nyonya Citra." Kepalaku seperti dihant4m godam besi. Jadi, Sarah sering ke rumah Mama Cit