Halimah duduk di kursi di depan Bayu, tangannya menggenggam kuat tas di pangkuannya. Matanya terpaku pada wajah Bayu yang tampak tidak tenang, seolah ada beban besar yang ingin dia utarakan."Maaf, aku suruh kamu buru-buru ke kantor. Ada hal yang gak bisa aku ceritakan di telepon."Halimah masih diam, dari raut Bayu dia tahu ada sesuatu yang tidak beres."Aku minta maaf, Halimah. Ini bukan keputusan yang mudah, tapi aku harus memintamu untuk rehat sementara. Setidaknya sampai proyek dengan Citra Medika selesai."Halimah menatap Bayu dengan sorot mata bingung. Rehat? Dia tahu pekerjaannya berjalan dengan baik, dan tak ada alasan yang jelas untuk tiba-tiba menghentikan keterlibatannya."Kenapa, Mas? Apa ada masalah dengan kinerjaku?"Bayu menelan ludah, dia berusaha menahan keraguan di wajahnya. Dia mengusap lehernya dengan gugup."Bukan soal itu, Halimah. Kamu selalu profesional, tapi ini lebih dari sekadar pekerjaan. Semua jadi rumit setelah aku berbicara dengan Sarah."Mendengar nama
"Permisi, Dokter Kahfi, ada?" Halimah bertanya ke salah seorang perawat yang berpapasan dengannya di lorong rumah sakit."Dokter Kahfi sedang ada operasi Mbak. Silakan tunggu di ruangannya.""Apa boleh saya masuk gitu aja?" Halimah sedikit segan, sebab dia tak pernah masuk ke ruang pribadi orang lain tanpa izin.Sang perawat tersenyum. "Gak apa-apa Mbak. Ayo, saya tunjukkan tempatnya.Perawat tadi membuka pintu ruangan Kahfi lalu mempersilahkan Halimah masuk. Aroma lavender menyerbu penciumanya, aroma bunga ini kesukaannya membuat rasa nyaman hadir di dadanya. Halimah mengamati ruangan berukuran 3 × 3 m² persegi itu. Satu sofa panjang diletakkan di depan meja kerja Kahfi. Lemari didempetkan ke dinding sehingga ruangan terlihat luas. Ceklek! Bunyi pintu dibuka dari luarHalimah menoleh, dia berdiri canggung ketika Kahfi masuk ke dalam ruangan. Mata mereka bertemu, Kahfi terkejut melihat kehadirannya. Suasana hening sejenak, seolah-olah waktu berhenti di antara mereka. Halimah tahu, i
Kahfi tiba di rumah dengan perasaan tegang. Di sana, sudah duduk menunggu Mama, Sarah, dan kedua orang tua Sarah di ruang tamu yang besar dan mewah. Suasananya terasa begitu dingin, seolah-olah angin dari daerah bersalju berhembus ke setiap sudut ruangan. Kahfi tahu ini akan menjadi momen yang menentukan keputusannya untuk membatalkan pernikahan dengan Sarah pasti akan memicu kemarahan.Saat dia masuk, semua mata tertuju padanya. Kahfi menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. Dia menyiapkan diri untuk menghadapi gelombang pertanyaan dan penilaian."Kahfi, kami mendengar kabar mengejutkan ini dari Sarah. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa tiba-tiba membatalkan pernikahan ini?"Suara Bapak Sarah terdengar tegas, tetapi tak sepenuhnya marah. Sebagai seorang pebisnis sukses, dia terbiasa berbicara dengan diplomatis. Kahfi mengangguk, mencoba menjawab dengan tenang meski rasa bersalah menyelimuti dirinya."Pak, Bu, saya mohon maaf karena mengec
Halimah menghela napas pelan. Pagi ini untuk pertama kalinya setelah dua tahun dia hanya duduk melamun di kamarnya dekat dengan jendela. Dia menghormati permintaan Bayu, rehat dari perusahaan entah untuk berapa lama. Padahal dengan bekerja dia bisa melupakan pikiran-pikiran buruk yang mencoba masuk ke benaknya. 'Aku gak bisa seperti ini, harus ada yang kukerjakan daripada bengong.'Halimah membuka akun sosial media tok-toknya. Mungkin dari sana dia bisa mendapat ide usaha apa kira-kira yang menguntungkan. Halimah takjub melihat akun para owner skin care, kebanyakan dari mereka memamerkan kekayaan yang mereka punya, rumah mewah yang harganya milayaran, atau video jalan-jalan ke luar negeri dengan jet pribadi.'Apa aku ikut jualan skin care aja?' Halimah membatin. Jarinya kembali bergerak melihat vt seorang dokter yang membuka kedok perskincarean. Halimah geleng-geleng kepala, di mana-mana mafi4 selalu ada, sepertinya dia tidak akan cocok berbisnis di sana. Perhatian Halimah teralihka
Bayu dan Sarah masih duduk di dalam mobil di parkiran klinik. Dia mencoba menenangkan Sarah yang masih terpukul atas insiden di rumah Halimah.“Coba ceritakan, apa sebenarnya yang membuatmu begitu marah pada Halimah?” tanya Bayu, suaranya lembut, mencoba meredakan emosi Sarah.Sarah menghela napas panjang, namun nada suaranya tetap tajam. "Halimah merebut Kahfi dariku. Dia muncul entah dari mana, setelah sebelumnya menolak lamaran Kahfi dan menghilang begitu saja. Putranya meninggal dan dia lenyap dari kehidupan Kahfi, tapi sekarang dia kembali. Kahfi dengan seenaknya membatalkan rencana pernikahan kami dengan alasan sangat mencintai dia!" Sarah geram dan frustrasi mengingat pengakuan Kahfi kemarin.Bayu terdiam, sekarang dia mulai memahami perasaan Halimah dan kenapa wanita itu selalu menjaga jarak darinya. Ternyata Halimah bukan hanya terluka secara emosional setelah kehilangan anaknya, tetapi juga masih memiliki perasaan yang mendalam pada Kahfi, meskipun dia mungkin tak menyadar
Halimah berdiri di depan klinik tempat Sarah bekerja, dia menghela napas untuk menenangkan debaran jantungnya sebelum melangkah masuk. Meskipun hatinya dipenuhi rasa bersalah, dia tahu bahwa pembicaraan ini harus terjadi. Sarah tidak bisa terus-terusan menggunakan kekuasaannya untuk mengha-ncurkan impian orang lain. Dengan langkah pasti Halimah masuk ke klinik. Setelah berbicara dengan resepsionis, dia diarahkan ke ruang praktek Sarah, meski sebenarnya dia sudah tahu di mana posisinya. Pintu dibuka, Halimah melihat Sarah duduk di belakang meja dengan ekspresi terkejut melihat kedatangannya. Mungkin Sarah tidak mengira dia berani datang setelah kekisruhan yang terjadi."Ngapain kamu ke sini?" Suara Sarah penuh dengan kemarahan terpendam, tatapannya menajam ke arah Halimah.Halimah duduk tanpa diundang di depan Sarah dan menatap wanita itu dengan tenang. "Aku datang untuk bertanya, Sarah. Apa yang kamu dapatkan dengan menghancurkan kerja sama antara perusahaan Ayahmu dan Yayasan Citr
Pagi itu, udara di rumah Halimah terasa berbeda. Dia baru saja selesai sarapan ketika tiba-tiba Faris dan Andar, kedua saudara tirinya datang berkunjung. Ini hal yang jarang terjadi, karena biasanya mereka berkunjung dalam rangka urusan keluarga atau acara tertentu, dan pagi ini tidak ada jadwal apa pun yang Halimah ingat. Lebih aneh lagi, kedua istri mereka, Ratna dan Sinta, ikut serta dengan membawa kantong belanjaan penuh makanan."Kalian kok bawa makanan sebanyak ini? Ada acara apa, sih?" tanya Halimah penasaran. Dia mengikuti langkah mereka semua ke ruang tamu.Ratna tersenyum penuh misteri, sementara Sinta membawa kantong-kantong belanjaan itu lalu mengeluarkan di meja dapur sekalian merapikan meja makan."Ah, nanti juga tahu. Pokoknya ada orang penting yang mau datang," jawab Ratna santai sambil terus sibuk di dapur.Hal ini membuat Halimah semakin bingung. "Mas, ada apa? Kok misterius gitu sih?" Dia bertanya ke Faris yang sedang menscroll di layar ponselnya."Gak ada apa-apa,
"Nanti pulang jam berapa?" Aku melirik Kahfi yang baru keluar dari kamar mandi sambil menggosok rambut basahnya dengan handuk kecil."Belum tahu, belakangan ini pasienku membludak. Bukan hanya di rumah sakit, tapi juga di klinik."Aku menghela napas panjang. Enam tahun sudah umur pernikahannya denganKahfi, tidak ada yang berubah kecuali lelaki itu semakin sibuk bekerja."Akhir-akhir ini kamu jarang di rumah, kalau pun pulang selalu tengah malam. Aku ... aku kesepian," lir1hku sembari menunduk. Aku merem4s jilbab agar nyeri yang perlahan merayap di dada tak sampai memanaskan mata.Terdengar helaan napas dari Kahfi. Meski begitu dia tak berusaha mendekat. Tangannya sigap mengenakan pakaian yang aku siapkan di atas bufet."Mas, kamu dengar nggak aku ngomong apa?" Lagi, aku bertanya, kali ini menatap Kahfi dengan mata berkaca-kaca. Bukan sekali ini lelaki itu mengabaikan keluhanku."Halimah, aku kerja buat kamu, buat masa depan kita. Aku seorang dokter, sudah disumpah untuk melayani pas
"Kamu baik-baik aja?" Andar menelisik wajah Halimah, sejak berangkat dari rumah dia tak banyak bicara."Iya, Mas, aku baik-baik aja." Halimah memaksakan bibirnya tersenyum. Meski perasaannya kacau-balau, dia tak ingin menunjukkan kepada Andar. Sudah cukup merepotkan sang kakak dan istrinya. Sejak pulang dari rumah sakit, keduanya memberikan perhatian ektra. Halimah seperti bocah di mata mereka. Apa-apa ditanya, mau apa, apa yang dirasakan dan lain-lain.Andar manggut-manggut. Dia membuka pintu mobil lalu mengeluarkan koper milik Halimah. Sebenarnya dia ingin adiknya tetap tinggal di kota ini, tetapi dia juga tak bisa mengintervensi keputusan sang adik, sebab Halimah tahu apa yang terbaik untuk dirinya. Sementara itu Halimah mengikuti langkah Andar masuk ke bandara. Satu jam lagi pesawat yang ditumpanginya akan berangkat. Dia masih punya waktu banyak untuk menikmati suasana. Halimah mengedarkan pandangan ke kesekeliling, namun dia tidak menemukan yang dia cari. Dia tersenyum getir.'Ap
"Ayo kita bercerai."Dunia terasa hening beberapa saat ketika mendengar permintaan Halimah, aku seketika membeku, lidahku kelu tak tahu harus menjawab apa."Aku sudah mencoba bertahan beberapa bulan ini. Satu tahun lebih kamu mengabaikanku saat aku butuh dukungan darimu. Aku bahkan sudah berupaya membuat rumah tangga kita kembali hangat, tapi kau tetap saja dingin. Saat tahu alasannya aku semakin hancur."Dadaku seakan tersengat aliran listrik mendengar keluhan Halimah. Apa yang dia katakan tidak ada yang salah, membuatku terpojok, betapa tidak becusnya aku menjadi suami. Melihat air matanya semakin menghadirkan ngilu ke dadaku. Aku mencoba meraih tangannya, tapi dia menepis pelan."Lepaskan aku, Mas. Akan lebih baik kalau kita tidak saling menyakiti."Aku menggeleng cepat. "Aku janji nggak akan menyakiti kamu lagi. Aku salah, aku minta maaf. Kasih kesempatan satu kali lagi, kumohon."Tak apa bila aku merendahkan harga diri. Aku tahu kesalahanku sangat fatal, tidak hanya menyakiti ps
Kelopak mataku terasa berat saat ingin dibuka. Aku meringis ketika merasakan nyeri di kepala. Sayup-sayup aku mendengar nada teratur seperti suara klakson, tetapi lebih lembut di sisi sebelah kiri. Aku juga merasakan masker melekat di wajahku. Ingatanku perlahan-lahan membentuk rangkaian kejadian sebelum tak sadarkan diri. Sosok Sarah yang menggenggam senjat4 tajam bergerak cepat ke arah Kahfi yang berdiri membelakanginya. Entah dorongan dari mana aku maju menjadikan tubuhku tameng untuk lelaki itu. Apakah itu bentuk cinta hingga rela mengorbankan keselamatanku? Ataukah semua hanya mimpi saja. Nyeri di dada membuatku menyent-uh bagian itu, untuk menghela napas saja rasanya sulit. Tidak, sakitnya nyata, pasti kejadian itu bukan mimpi."Anda sudah bangun?" Lamat-lamat aku mendengar suara lelaki menyapa. Aku berkedip, membiarkan lelaki itu menyenter ke arah mataku. "Sepertinya pasien berhasil melewati masa kritisnya. Terus awasi tanda-tanda vitalnya, semoga setelah ini tidak ada penuru
"Tidak, Kahfi, kumohon jangan kau besar-besarkan masalah ini." Sarah meronta mencoba melepaskan diri dari dua orang Polwan yang memegangi tangannya. "Ingat, kita dulu punya hubungan, bahkan kita pernah punya anak."Kahfi melengos, dia jijik mendengar setiap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. wanita itu selalu saja menggunakan anak sebagai senjata untuk meluluhkannya dia merasa tidak mengenal wanita itu lagi. Sarahnyang sekarang berdiri di hadapannya adalah wanita yang egois, keras kepala, manipulatif, dan licik. Berbeda dengan wanita yang dikenal bertahun-tahun yang lalu. Entah apa yang merubah pribadi Sarah hingga menjadi sejahat itu atau mungkin memang inilah karakter aslinya."Halimah sekarat sekarang dan kau bilang aku membesar-besarkan masalah? Sejak pertama kali tahu kau melakukan tindakan menjijikkan itu, aku berencana menuntutmu. Hanya karena Tiara aku menahan diri. Perbuatanmu yang busuk, tapi anak itu tidak bersalah.""Harusnya kau bersyukur Kahfi. Aku bisa melahirkan Tiar
"Kamu tidak bisa seperti ini terus, mau sampai kapan kucing-kucingan dengan Kahfi?"Halimah melirik Andar sekilas lalu kembali menunduk menatap cangkir yang masih mengepulkan uap panas, aroma melati menguar memenuhi penciuman Halimah.Andar menghela napas panjang, dia menghampiri Halimah lalu duduk di samping adiknya. "Mas tidak bisa terus-terusan berbohong, hampir tiap hari Kahfi ke sini menanyakan keberadaanmu. Tampangnya terlihat kusut, wajah juga pakaiannya tak terurus. Apa kamu tidak kasihan?"Halimah menggeleng pelan. Sebenarnya dia tak tega, tetapi dadanya masih nyeri mengingat sikap Kahfi belakangan ini. Bukannya meminta maaf lelaki itu seakan menyalahkannya. Halimah tidak mengerti di mana salahnya. Harusnya dia yang marah, harga dirinya sebagai istri diinj4k oleh Sarah dan Kahfi hanya diam. Bukannya menindak wanita itu, Kahfi seakan berpihak ke mantan tunangannya itu."Halimah, rumah tangga tidak selalu tenang, damai, dan menyenangkan. Adakalanya jenuh hadir. Pertengkaran, p
Halimah memutuskan kembali ke rumah setelah semua para pelayat pergi. Toh, kehadirannya tidak diperlukan di sana. Setelah kata perceraikan keluar dari mulutnya Kahfi baru bereaksi. Lelaki itu memintanya bersabar, sebab masih dalam suasana berduka. Namun, Halimah tak peduli itu. Bukannya dia tak berempati, tetapi Sarah tak patut dikasihani. Dia yakin wanita itu akan terus mencari cara mendekati Kahfi. Tak masalah, bagi Halimah kalau suaminya memberi celah wanita lain maka pergi adalah keputusan terbaik. Dia tak takut menyandang status janda lagi daripada makan hati melihat Kahfi tak bisa menjaga sikap.Baru saja menutup pintu rumah, ketukan terdengar. Halimah mengintip dari lubang pintu, tampak Kahfi berdiri di sana. Rupanya lelaki itu menyusul ke rumah."Halimah, jangan seperti ini. Kita harus bicara." Halimah diam, dia berdiri bersandar ke pintu membiarkan Kahfi bicara."Sayang, kita bicarakan ini baik-baik. Jangan seperti anak remaja labil, dikit-dikit cerai."Halimah mendengkus. S
"Saya pergi dulu, terima kasih waktunya." Halimah memasukkan ponsel ke dalam tas lalu bergegas bangkit dari kursi."Tunggu, tadi Anda menyebut Tiara, ada apa dengannya?" Arman ikut bangkit membuat gerakan Halimah tertahan. Raut penasaran terlihat di wajahnya."Tiara drop lagi, tadi Kahfi bilang kecil kemungkinan anak itu bertahan."Arman terdiam. Tiara memang bukan dar4h dagingnya, tetapi sejak Sarah mengandung dialah yang paling menjaga kondisi wanita itu. Apa saja yang diinginkan Sarah pasti dituruti, sebab Arman ingin calon anaknya sehat dan selamat. Pun selama dua tahun dia mencurahkan kasih sayang pada anak itu. Kenyataan kalau Tiara bukan berasal dari benihnya tidak hanya menghancvrkan hatinya, tetapi juga membuatnya tidak berharga sebagai lelaki di mata Sarah. Namun, bukan berarti dia membenc1 Tiara, tidak! Arman hanya jij1k pada obsesi sang mantan istri."Anda mau ke mana?" Arman gegas mensejajari langkahnya dengan Halimah menuju pintu keluar restoran."Ke rumah sakit. Kahfi m
"Jadi kita bisa bertemu?" Halimah meyakinkan lagi tempat pertemuan dengan lawan bicaranya di telepon. Setelah waktu, tempat, dan di meja berapa pembicaraan itu beralkhir.Halimah menatap keluar melalui jendela kamar ketika melihat mobil sedan hitam masuk ke pekarangan rumah. Tak perlu mencari tahu sebab dia hapal si pemilik kendaraan tersebut. Dia lalu menatap pantulan wajahnya di cermin untuk memastikan mata sembabnya sudah tersamarkan. Setelah itu dia bangkit bertepatan bunyi bel."Mama." Halimah menyalami ibu mertuanya. Dia tidak mengira wanita itu mendatanginya pagi-pagi."Kamu mau ke mana, kok udah rapi?" Citra menatap penampilan sang menantu.Halimah tersenyum, merangkul ibu mertuanya sembari mengajak masuk ke dalam rumah. "Mau ketemu teman, Ma."Citra duduk di atas sofa di ruang tamu tepat di sebelah Halimah. Dia menggenggam tangan sang menantu."Mama minta maaf, ya, udah nyembunyiin semua dari kamu." Sorot mata Citra penuh penyesalan, genggaman tangannya semakin erat. "Iya, M
"Benar sudah tidak apa-apa?" Kahfi menelisik wajahku, sorot matanya terlihat cemas.Aku tersenyum tidak tahu harus bahagia atau sedih. Kahfiku sudah kembali seperti dulu, tetapi fakta yang terungkap membuat hatiku gundah.'Kahfi pasti setuju dengan ideku. Kau tidak lihat betapa dia sangat mencintai Tiara. Anak kami sangat dekat dengannya satu tahun terakhir. Bahkan, saat Tiara menjalani kemo Kahfi sampai menitikkan air mata. Apalagi kau tak mampu memberinya an4k, tentu kesembuhan Tiara prioritas baginya.'"Hei, ditanya kok bengong?" Kahfi mencubit pelan pipiku membuatku meringis sekaligus meletuskan gelembung ingatan tadi, percakapan terakhir sebelum Sarah meninggalkan ruang perawatanku."Nggak, aku terharu dengan perhatianmu padaku. Aku sedang mengingat-ingat kapan terakhir kali kau bersikap manis seperti ini."Kahfi tersenyum tipis, jemarinya menyusuri setiap lekvk wajahku. "Maafkan aku, " lirih suara Kahfi berucap, riak-riak penyesalan terlihat jelas di pelupuk mata yang biasanya