“Aku belum memastikan kondisimu.”
Marsha memandang Derren yang tertidur di sofa–bermalas-malasan, dengan tatapan lurus.“Kamu baik-baik saja?”Derren menatap Marsa yang duduk di seberang meja dengan tatapan mengamati."Sudah sehari berlalu. Bukannya kamu terlalu lambat mengajukan pertanyaannya?”Marsha mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Kamu tahu aku sibuk. Maafkan aku.”Derren menghela napas kasar. “Aku baik-baik saja. Hanya sedikit meriang karena masuk ke laut terlalu lama. Bagaimana denganmu? Aku lihat pergelangan tangan kamu sampai memerah.”Derren melihat bekas merah yang mulai memudar di pergelangan tangan Marsha dengan tatapan teliti.“Apakah masih sakit?” tanya Derren.Marsha menatap kedua pergelangan tangannya sejenak, lalu tersenyum masam. “Tidak. Sudah tidak berasa. Hanya bekas merahnya saja yang belum hilang. Kamu jangan khawatir.”Derren turun dari sofa dan duduk berhadapKlak .... Marsha membuka sebuah lemari pakaian tua yang ada di pojok kamar Derren. Ia melihat jajaran senjata api yang tergantung dengan rapi. Di bawahnya, berbagai macam peluru dan senjata tajam tertata tak kalah rapi. Salah satu pistol telah di curi Marsha. Untuk alat pengaman. Entah Derren tahu atau tidak, yang jelas, ia tidak pernah melihat Derren mencari barang yang telah di curinya itu. “Ia memang seorang prajurit!” gumam Marsha, memandang berbagai macam senjata api yang tidak di kenali type-nya oleh Marsha. Marsha menutup lemari itu dan beralih ke meja belajar Derren. Ia membuka setiap laci–seakan sedang mencari sesuatu. Padahal, sebenarnya Marsha hanya ingin melihat-lihat. Beberapa dokumen tentang dirinya dan keluarnya. Satu berkas tebal tentang perusahaan Gama. Bahkan ada berbagai macam alamat rentenir beserta kontak dan bio data anggotanya, yang meminjamkan uang pada Ayah dan Ibunya. “Hahahaha, aku kira
Gama menoleh ke belakang. Ia tidak menemukan Marsha di sana. Ia menelisik semua area dan melihat Marsha di seret 2 orang wanita berpakaian hitam pergi menjauh darinya. Gama berlari sekuat tenaga. Ia mengejar Marsha dan berhasil menyusul. Greb! Gama menggenggam tangan Marsha dan menariknya dari belenggu kedua wanita yang tidak ia tahu identitasnya. “Siapa kalian?” tanya Gama, menatap tajam kedua wanita yang terlihat gentar begitu melihatnya. “Ka-kami ....” “Kabur bodoh! Ia akan memenjarakan kita!” seru teman satunya, menggandengnya untuk berlari pergi. Gama menghela napas kasar. Ia melihat Marsha yang tertekan dengan situasinya. “Kamu takut?” tanya Gama. Marsha memandang wanita itu dengan tatapan datar. “Bahkan sekarang aku ingin mematahkan leher mereka.” Marsha menunjukkan tangannya yang mengepal erat pada Gama–membuat lelaki itu menatanya ngeri. “Aku bar
“Kamu membenciku?” Marsha mengerutkan keningnya sepanjang perjalanan pulang. Ia berpikir keras tentang itu. Ia tidak mengira jika Gama akan sangat jujur atas perasaannya pada dirinya. “Apa yang di pikirkannya?” Marsha menimang apa yang mengubah sikap Gama. Sikap pemberontak itu sangat tidak cocok dengan Gama yang tenang dan tegas. “Apa ia sangat frustrasi?” Marsha menggelengkan kepala. Berusaha menepis semua perkataan itu dari kepalanya. Tapi yang di ingat Marsha hanya raut wajah Gama yang tampak buruk. Tok ... tok .... Marsha menoleh pada seorang lelaki yang berdiri di balik pintu mobil taksinya. Lelaki itu mengenakan seragam kerjanya—kemeja putih serta celemek putih yang belum ia lepas. “Kamu tidak keluar? Kasihan sopirnya kalau menunggu kamu selesai melamun,” ucap Derren, menatap lurus pada Marsha. Marsha terkejut dengan kehadirannya dan melihat Derren dengan kedua mata y
Gama memilah beberapa kandidat sekretaris dengan teliti. Ia harus mencari wanita yang kompeten untuk sekretaris di kantor. “Bagaimana, Tuan? Apakah Anda menemukan orang yang cocok?” tanya Vian, sekretaris pribadi Gama. “Tidak ada yang memenuhi kualifikasiku.” Gama menatap Vian. “Kamu tidak punya orang lain? Orang kekurangan lebih baik. Mereka akan mudah di cuci otaknya.” Vian terdiam beberapa saat. Ia mengingat seseorang wanita paruh baya yang cukup hebat dalam pekerjaannya. “Saya kenal seseorang. Tapi Anda harus merekrutnya secara langsung. Ia orang yang pandai. Hanya saja ....” “Apa?” Gama memiringkan kepalanya. “Kenapa dengan orang itu?” “Ia sudah cukup tua untuk menjadi seorang sekretaris.” “Benarkah? Berapa usianya??” Vian menggaruk tengkuknya canggung. “41 tahun.” Gama menganga kaget. Ia tidak menyangka Vian akan menyarankan seorang sekretaris lansia padanya. “Yang benar saja. M
“Derren?” Marsha mengerutkan keningnya bingung melihat Derren sudah berpakaian rapi, padahal ia bilang kalau hari ini ia tidak akan pergi keluar, kecuali kencan dengannya. Derren yang merasa di panggil pun menoleh. Ia melihat ke arah tangga. “Ya? Kamu sudah bangun? Aku sudah buatkan sarapan untuk kamu dan dua adikku.” Marsha mendekatinya. Ia berdiri di belakang punggung Derren yang memaki sepatu bots, di belakang pintu. “Kamu lupa nanti kita akan ke mana?” tanya Marsha, sedikit canggung. Mengingat ia seperti sedang merengek agar lelaki itu tidak pergi. “Tidak kok. Aku akan pulang sebelum jam 11. Aku hanya keluar sebentar Marsha. Kamu jangan risau,” ucapnya, menenangkan sang istri. Walau sulit untuk percaya, Marsha hanya mengangguk kecil dan mengantar kepergian lelaki itu sampai ke depan gerbang rumah mereka. Marsha mengerutkan kening begitu ia melihat suaminya naik ke atas sepeda Naya
Derren menyugar rambutnya kasar dan menatap Tama dengan tatapan buruk. “Nona Lea?” “Heh, aku tidak percaya kamu tetap memanggilnya dengan awalan ‘nona’ setelah tahu kegilaannya selama ini.” Tama hanya memalingkan pandangannya dan menyembunyikan pipi meronanya, karena malu. “Ya, perasaan suka pada seseorang pasti akan sulit di kendalikan.” Derren menghela napas panjang nan berat. “Aku akan berusaha mengerti kamu.” “Ehem, terima kasih, Pak.” “Lalu apa yang akan Anda lakukan dengan mereka, Pak? Bahkan Tuan Sean juga terlibat dengan hal ini.” Andika berasumsi. Ia tahu kalau lawan mereka hanya “Lea” atasannya itu tidak akan terlalu memusingkannya. Karena ia bukan orang penting yang bekerja untuk negara. Namun lain cerita jika Tuan Sean—ayah Lea! Ia adalah orang berpengaruh di negara mereka. Jasanya sangat di kenang masyarakat kelas menengah ke atas. Apalagi dalam dunia pendidikan.
Brak! Marsha membulatkan matanya. Ia melihat seorang anak lelaki berdiri di depannya—di seberang sana—dengan air mata berlinang. “A-apa yang terjadi padanya?” tanya Marco, gemetar. Marsha mengerutkan keningnya. Ia memandang ke luar ruangan dan ada seorang anak lelaki lain yang ada di sana. Namun ia tak masuk dan hanya berdiri di depan pintu dengan posisi berjongkok—melihat keadaan Yana dan Derren dengan cemas. “Derren.” Marsha memanggil dengan suara tegas. Sorot matanya bahkan terlihat sangat dingin dan menusuk. “Ya, Marsha?” Derren bangun dari tempatnya berdiri dan masuk ke dalam ruangan. Tatapannya terus tertuju pada sang adik yang tertidur pulas dengan kondisi pucat di bawah perawatan Marsha. “Bawa anak lelaki ini keluar! Aku tidak mau melihatnya!” perintahnya. Marco membulatkan matanya. Ia melihat sorot kebencian di mata wanita cantik itu dengan sanga
“Aku kembali.” Derren masuk ke dalam rumah dan melihat beberapa kardus berisi furnitur di depan pintu masuk. Derren masuk ke dalam. Melihat, apakah Marsha ada di dalam rumah atau tidak? “Marsha?” panggil Derren, tidak melihat kehadiran wanita itu di dalam ruang kamar, dapur atau kerjanya. “Marsha? Kamu kelua—“ Tuk ... Derren melihat ke bawah kakinya. Ia melihat sepasang tangan sedang menjulur ke depan dengan pemilik tubuh yang terkapar dengan posisi tengkurap di atas karpet berbulu di depan ruang TV. “Kamu tidak punya kamar?” Derren berkacak pinggang dan sesekali menyenggol tangan Marsha dengan ujung kakinya. Tapi wanita itu tidak bergerak dan hanya terus bernapas dengan keras—mendengkur. Derren menghela napas kasar dan membalik tubuh Marsha. Betapa terkejutnya ia melihat kedua lubang hidung Marsha telah mengeluarkan darah dalam posisi tertidur. “Astaga, sebenarnya
Marsha menatap Lea dan Anna yang saling berseteru di depan ruangannya. Sementara dirinya dan Syam, hanya menatap sebagai penonton dari dalam ruangan. “Aku tidak tahu jika hubungan mereka akan seburuk itu,” gumam Syam. Marsha yang mendengar itu hanya tersenyum simpul. “Itu memang karakternya. Kalau sudah membenci seseorang, dia akan terus membencinya sampai akhir. Senior tidak ingat bagaimana Lea memperlakukan aku saat masih bersaing hati untuk Derren?” Syam hanya mengangguk-angguk. Lalu kembali melihat pemandangan menyenangkan di depannya. “Ah, tapi seru melihatnya bertengkar. Aku selalu suka itu. Baik denganmu atau dengan Ibu Tiri mudanya itu.” Syam senyum-senyum tidak jelas. Sementara Marsha yang sibuk memindai data yang masuk lewat emailnya. Baik dari RS Zahara atau Perusahaan Mi. Yang jelas, itu tidak berhenti sejak 2 jam yang lalu. “Perkerjaanmu pasti sangat banyak, kan?” celetuk Syam, seperti mengejek.
Berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit yang di padati perawat dan pasien. Setelah sekian lama akhirnya Marsha bisa kembali bekerja. Pemandangan yang sama membuatnya jenuh. Tapi liburan dua hari kemarin telah membantunya melepas stres. “Selamat pagi, Prof.” Beberapa orang menyapa Marsha dengan ramah. Marsha hanya menunduk singkat menjawab salam itu sambil mengumbar senyum cantiknya. Saat hendak masuk ke dalam ruangan, ia bertemu Lea yang keluar dari dua ruangan yang ada di sebelah kantornya. Lea menatap Marsha dengan sinis. Tampaknya, mood wanita itu sedang tidak baik mengingat reaksinya yang berlebihan. “Padahal aku belum menyapa, tapi kamu sudah melempar tatapan seperti itu? Keterlaluan,” pekik Marsha, mendekati Lea. “Jangan bersikap baik di rumah sakit. Orang-orang Ayahku masih terus mengawasi ... bahkan ia menambah personelnya,” ucap Lea, mengeluh. Marsha menatap sekeliling. “Kalau di s
Marsha bangun cukup pagi setelah sekian kama tidak beraktivitas dan hanya rebahan sepanjang hari di rumah sakit. Kini ia bebas. Jadi Marsha akan memulai paginya dengan sesuatu yang baik—seperti membuat masakan untuk suami dan kedua adik iparnya yang cantik. Baru saja keluar dari kamarnya, Marsha sudah melihat kedua ajudan kepercayaannya tertidur pulas di sofa dengan posisi memangku laptop mereka yang masih menyala. “Astaga. Apa yang aku lihat di pagi hari?” gumam Marsha, berjalan mendekati kedua orang itu. “Hey, coba bangun dan pindah ke kamar. Jika ingin tidur, aku punya banyak kamar kosong.” Marsha membangunkan kedua orang itu. Walau akhirnya keduanya sangat sulit untuk di bangunkan. Marsha membutuhkan waktu 10 menit agar melihat kedua orang itu bangun dan meninggalkan ruang tamu. Menghela napas panjang, Daniel dan Salma meninggalkan laptop mereka di atas meja dalam kondisi menyala dan bekerja. “Kalian
Marsha tidak ingat kapan ia benar-benar tertidur pulas. Yang jelas, saat dia bangun Derren tidur di sampingnya dengan mata sembab. Marsha hanya menghela napas panjang dan membelai puncak kepalanya dengan sayang. Ia masih mengingat bagaimana keluhan dan kesedihan Derren kemarin malam. Cukup mengenai hatinya yang mudah luluh jika itu bersangkutan dengan suami kecilnya. Tapi tak ada kata istirahat untuk mengenang seseorang—walau itu adalah Ibu Mertua yang pernah tinggal bersama dengannya beberapa minggu. “Daniel.” Marsha memanggil dengan tegas. Lelaki yang sedari tadi berdiri di belakang pintu di sisi luar, akhirnya memberanikan diri untuk masuk dan mengganggu kemesraan kedua patsuri itu. “Apa yang ingin kamu sampaikan? Dari tadi aku melihatmu berdiri di luar dengan ragu-ragu.” Marsha turun dari ranjang, namun saat satu kaki Marsha baru turun, Derren segera memeluk perutnya dengan mata terbuka lebar—lelaki itu benar
Dena menatap Marsha dengan tatapan serius. “Tentang Ayahmu yang meninggal karena kecelakaan mobil. Ia tidak meninggal karena kecelakaan biasa. Ia di bunuh ... itu kecelakaan yang di sengaja.” Marsha mengerutkan kening. “Apa maksud Mama?” Ia bangkit dari posisi duduk—mondar-mandir tidak jelas dan duduk kembali dengan Dena yang menatapnya lelah. “Tunggu, ini di luar dugaan Marsha, Ma. Kenapa tiba-tiba membahas ini saat semuanya runyam?” Marsha menjambak kedua sisi rambutnya. “Apa sih ini? Kenapa tiba-tiba sekali.” Marsha menatap wanita itu dengan wajah lelah. “Marsha sibuk dengan kasus ini dan itu. Tapi Mama bicara begitu sekarang? Mama mau membuat Marsha botak karena terlalu banyak ‘problem’?” Dena menggeleng. “Bukan itu maksud Mama. Hanya saja ... pelakunya memiliki nama yang sama dengan orang yang kamu kejar dalam kasus beruntung ini.” Marsha mengerutkan kening untuk ke sekian kali. Ia masih tidak habis pikir dengan semua ini. “Anna? Apakah wanita itu ... biang keroknya?” Dena
Drtt …. drtt … drtt … Marsha mengejapkan mata. Ini hari terakhirnya berada di rumah sakit. Yang ia pikirkan hanya bermalas-malasan seharian karena mengira ini adalah hari terakhir liburnya. Tapi begitu melihat panggilan telepon dari Daniel, entah mengapa Marsha yakin jika dirinya tak akan bisa bersantai lagi. “Halo.” Marsha menguap lebar. Yana dan Naya yang entah sejak kapan ada di dalam kamarnya, hanya melihat kelakuan kakak iparnya dengan geleng-geleng kepala. [Anda masih di rumah sakit, kan?] Marsha menjauhkan teleponnya dari telinga—memastikan apa benar yang meneleponnya adalah Daniel—karena orang di seberang sana seakan tak tahu kondisinya. “Kenapa bertanya tidak masuk akal?” Marsha bertanya dengan bingung. “Suaramu … apa ada masalah yang terjadi?” Daniel terdengar mendesak kasar. Tampaknya memang ada yang telah terjadi. Daniel adalah orang yang tenang jika berhadapan dengan dirinya. Mende
Lea tersenyum dengan paksa. Air matanya hampir berlinang membasahi pipi. “Kenapa dengan wajahmu?” Marsha bertanya karena murni tidak tahu. Wanita itu datang dengan wajah sembab sambil membawa banyak makanan. Tapi begitu masuk ke dalam ruangan Marsha ia tidak melakukan apa pun dan hanya diam seperti mayat hidup di sofa panjang depan TV. Marsha masih duduk di atas ranjang dengan meninjau data. Setelah mengajukan pertanyaan tanpa jawaban, ia memilih untuk tidak bertanya lagi. Ampai beberapa jam berlalu tanpa obrolan di dalam ruangan itu. Marsha menatap keluar jendela. Langit malam sudah mulai menampakkan diri. Sudah saatnya Lea kembali. Tapi wanita itu hanya diam seperti beberapa saat yang lalu. “Hari makin gelap. Kamu tidak kembali?” tanya Marsha. Lea mengejapkan mata dan memalingkan pandangan ke arah Marsha. “Aku mau menginap.” Setelah mengatakan itu, Lea meletakkan bantal sofa yang dari tadi ia
Lea menatap Gama yang duduk di dalam ruang tamunya dengan tatapan bingung.“Apa yang membawamu ke sini?” tanyanya, dengan menyajikan secangkir teh untuk mereka berempat.“Aku datang untuk bertanya sesuatu.” Gama memilik ke arah Derren dan Syam yang masih terus melempar tatapan horor satu sama lain. “Tapi mereka akan mengganggu jika terus begitu. Tidak bisakah kamu membuang salah satunya ke kamar mandi atau ke mana gitu?” Lea menghela napas kasar. “Di antara dua orang ini, mana yang lebih di butuhkan untuk membantu?”Gama langsung menunjuk Derren. Seketika itu juga Lea langsung menyeret Syam dan memasukkannya ke dalam kamar, lalu menguncinya dari luar.“Kamu tidur saja, Senior. Kamu kan belum tidur karena menemaniku semalaman!” ucap Lea dari luar kamar tanpa rasa bersalah.Syam pasrah. Ia yang mulai mengantuk akhirnya menurut. “Baiklah. Bangunkan aku saat jam makan siang.” Lea tak menjawabnya. Ia kembali ke ar
“Kamu mau makan apa?” Derren mengambil piring. Ia siap menjadi banu Marsha seandainya istri cantiknya itu meminta sesuatu. Sayangnya, Marsha sudah mengambil piringnya sendiri dan mengambil makanannya sendiri. Derren menghela napas penat. Ia mengikuti langkah Marsha berjalan pergi meninggalkan tempat hidangan kantin berada dan mencari tempat duduk. “Jangan terus mengikutiku.” Marsha menyuapkan makanan ke dalam mulut dan mulai makan dengan tenang. Derren memperhatikan dengan saksama. “Sampai kapan kamu jadi marah? Kemarin kan masih aku yang marah?” tanyanya, tak mengerti kenapa situasinya menjadi terbalik. Wanita itu hanya mengangkat pundak acuh tak acuh. Derren menghela napas. Ia masih mempertahankan senyumnya dengan sabar. “Bagaimana kalau menonton?” Marsha menaikkan alisnya. Ia terlihat tertarik. Tapi gengsi lebih mendominasi. “Tiba-tiba?” Ia menjawab dengan sewot. “Kamu masih ingat