“Aku kembali.”
Derren masuk ke dalam rumah dan melihat beberapa kardus berisi furnitur di depan pintu masuk.Derren masuk ke dalam. Melihat, apakah Marsha ada di dalam rumah atau tidak?“Marsha?” panggil Derren, tidak melihat kehadiran wanita itu di dalam ruang kamar, dapur atau kerjanya.“Marsha? Kamu kelua—“Tuk ...Derren melihat ke bawah kakinya. Ia melihat sepasang tangan sedang menjulur ke depan dengan pemilik tubuh yang terkapar dengan posisi tengkurap di atas karpet berbulu di depan ruang TV.“Kamu tidak punya kamar?”Derren berkacak pinggang dan sesekali menyenggol tangan Marsha dengan ujung kakinya.Tapi wanita itu tidak bergerak dan hanya terus bernapas dengan keras—mendengkur.Derren menghela napas kasar dan membalik tubuh Marsha.Betapa terkejutnya ia melihat kedua lubang hidung Marsha telah mengeluarkan darah dalam posisi tertidur.“Astaga, sebenarnyaPhilophobia adalah ketakutan untuk jatuh cinta atau menjalani hubungan dengan orang lain. Philophobia lebih umum dialami oleh orang yang memiliki trauma atau luka masa lalu. Orang-orang yang harus menyaksikan perceraian orang tuanya, mengalami segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga atau penganiayaan di rumah saat masih kecil, mungkin enggan untuk menjalin hubungan atau kedekatan dengan orang lain yang akan melakukan hal yang sama pada mereka. Lantas Marsha memiliki penyakit tersebut sejak perceraian sang Ayah kandung dan Ibunya. Setelah mendengar perkataan Derren, tubuhnya mulai gemetar hebat. Ada rasa mual di sertai ritme jantung yang tidak beraturan. Bats! Marsha mendorong Derren untuk mundur. Ia menatap lelaki itu dengan raut wajah yang tidak baik. “Apa yang baru aku dengar?” Suara Marsha gemetar. Keringat dingin dan sorot matanya yang ketakutan membuat Derren terdiam. “Maaf.”
Derren menoleh ke belakang dan melihat Yana tengah masuk ke dalam rumah dengan pakaian serba hitam. Yang membuat Yana dan Derren bingung adalah Marsha yang tiba-tiba berteriak sampai menangis dan memeluk Derren dengan erat. “Marsha? Kamu kenapa? Itu hanya Yana. Kamu pikir apa?” tanya Derren, membantu Marsha untuk tenang dengan menepuk punggungnya beberapa kali dalam posisi berpelukan. Marsha menghentikan tangisnya dan melihat ke arah Yana yang diam dengan tatapan syok—syok melihat Marsha yang begitu takut melihatnya. “Kakak kenapa? Aku baru saja olahraga. Mangkanya pakai baju serba hitam.” Yana berjalan mendekat dan melepaskan hoodie yang menutup kepala serta masker hitam yang menutup wajahnya. “Kakak baik-baik saja?” tanyanya, cemas, melihat wajah Marsha yang begitu pucat dengan tubuh yang gemetar. Marsha menghela napas lega. Namun ia kesulitan mengatur napas dan tetap berada di dalam posisinya dengan nyaman—dudu
Brak! Derren menyerahkan dokumen yang di berikan istrinya pada 2 orang kacung yang telah menjadi budaknya selama 3 minggu terakhir. Tama mengerutkan kening. “Apa ini?” Andika melirik kertas yang ada di meja dengan tatapan selaras. “Apa Anda menemukan buktinya?” Derren menggelengkan kepalanya. “Bukan aku. Dan ini juga bukan bukti. Ini hanya alamat seseorang yang selama ini kita cari!” jelasnya. Andika membuka isi dokumen itu dan meletakkannya di meja secara berurutan. “Jangan bilang Anda punya agen lain selain kami.” Andika memicingkan mata. “Ia lebih detail dari kami. Kenapa Anda tidak meminta ia menyelesaikan misi ini saja?” Tama mengangguk setuju. “Benar ... benar ... sepertinya ia lebih hebat dari kami, kan?!” “Tidak bisa.” Derren menolak dengan tegas. “Ia bukan agen yang bisa aku pekerjaan karena suka dengan uang seperti kalian.” “Pokoknya, jangan mengharapkan informasi bocoran seperti ini
Naya membuka mata. Tak ada seorang pun yang ada di dalam pandangannya. Ia mengalihkan tatapan ke arah jendela dan kembali terpejam melihat cahaya senja menyusup masuk di balik tirai tipis yang menutup semua gordennya. “Kamu bangun?” Marco menatap dari sisi seberang. “Kamu tidak haus?” Naya kembali membuka mata dan menoleh pada Marco yang mengambil segelas air untuknya. Dengan sabar Marco memberinya minum dengan bantuan sedotan. Naya menghela napas panjang nan lembut sambil melihat langit-langit kamar yang bernuansa biru laut. “Kenapa kamu datang?” tanya Naya, tanpa menatap lawan bicaranya. Marco tampak gelisah. Tampaknya Naya juga marah kepadanya. “Tidak ada. Aku hanya ingin minta maaf karena tidak memperhatikan kamu akhir-akhir ini.” Marco menundukkan kepala. Ia terlihat sangat bersalah. “Aku tidak akan tahu kamu melakukan hal gila karena sebuah gosip.”
Tin ... tin .... Andika membunyikan klakson. Ia menatap seorang lelaki berusia 21 tahun tengah melamun di depan pintu rumah sakit dengan beberapa wanita yang mengelilinginya. “Apa yang di lakukan anak itu?” Tama menatap dari balik jendela kursi belakang. “Tebar pesona?” pekiknya. Rio, lelaki yang duduk di samping sopir—Andika, membuka jendela tempatnya duduk dan melongok keluar. “Woi, Pak!!” teriaknya, tanpa tahu malu. Derren segera tersadar dari lamunannya dan melihat ke arah mereka. Ia bergegas pergi, namun Marsha mencegat langkahnya. Dua orang itu mengobrol sebentar. Tama menerima sesuatu dari Marsha, sebelum meninggalkan wanita itu pergi meninggalkannya. “Apa yang di berikan istrimu?” tanya Tama. Ia melihat kehadiran Derren di sampingnya dengan kening berkerut samar. Derren memberikan masing-masing kepada mereka. Sebuah alat berbentuk headphone. “Ah, aku lupa membawanya.
Brak! Derren, Andika, Rio dan Tama terkejut mendengar suara keras notebook yang di banting di atas meja oleh seorang detektif perempuan bernama Gina. Paras cantik dan manis itu terlihat sangat garang ketika kedua alisnya menyatu di tengah kening. Sorot mata tajam senantiasa menusuk pada keempat orang yang di tuding sebagai pelaku pembunuhan berencana. Namun sepanjang interogasi berlangsung, keempat orang itu menutup mulutnya rapat-rapat dan membuat pihak kepolisian semakin curiga. “Kalian akan tetap diam?” Gina menelisik setiap sorot datar empat orang lelaki di depannya. “Saya ingatkan sekali lagi. Namun hukum Desa Bonglon berbeda dengan kota kebanyakan. Kami tidak pernah melepaskan pelaku pembunuhan, tikus negara apalagi kelompok pembunuh seperti kalian!” “Anda tidak memiliki bukti bahwa kami adalah seorang ‘pelaku’. Lalu bagaimana Anda bisa sangat yakin jika kami adalah orang yang membunuh keduanya?” Andika buka
Marsha memesan banyak makanan lezat untuk Derren dan teman-temannya. Setelah membayar semua makanan itu, Marsha tidak bergabung dengan mereka—melainkan keluar dari restoran dan duduk di dekat pohon besar yang ada di depan restoran tersebut. Tik! Pematik api menyala. Benta itu hendak menyulut ujung tembakau yang di linting oleh wanita berusia 25 tahun yang terlihat kesepian di tengah angin malam sejuk. “Apa yang ingin Anda lakukan.” Tama menyahut pematik itu dan membuangnya begitu jauh agar Marsha tidak bisa mencarinya. Ia bahkan merebut lintingan tembakau di tangan wanita tersebut dan membuangnya ke dalam tempat sampah yang ada tepat di sebelahnya. Hufff .... “Apakah seperti ini karakter Anda?” Tama memicingkan mata. Ia melihat Marsha yang tengah tersenyum cantik dengan sedikit menundukkan kepalanya karena malu mendengar omelannya—dengan tatapan tajam. “Apa Atasan saya tahu
Satu hantaman berhasil mengenai wajah Marco. “Lo kasar ke cowok aja. Ngapain lo kasar ke cewek? Lo gak sadar yang lo bentak itu anak umur 11 tahun, hah? Gak malu lo sama umur!” Naya mengerutkan kening dan benar-benar bangun setelah mendengar suara tangis adiknya dan suara teriakkan Wilhem yang memekakkan telinga. “Udah-udah! Kalian ngapain sih?!” marah Naya. Namun suaranya yang kalah kencang dengan Marco dan Wilhem yang saling cek-cok di depan sana, membuat Naya mengambil jalan yang lebih kasar untuk melerai keduanya. BUK! Bantal di lempar begitu keras sampai membuat Marco atau Wilhem terentak mundur selangkah dari posisinya. “Berisik lo pada. KELUAR!!” teriak Naya, penuh emosi. Marco dan Wilhem langsung berjalan keluar dengan terburu-buru dan menutup pintu kamar tersebut dengan cepat. “Kamu lihat wajahnya?” Marco mengangguk. “Menyeramkan.” Naya menghela napas kasar dan mela
Marsha menatap Lea dan Anna yang saling berseteru di depan ruangannya. Sementara dirinya dan Syam, hanya menatap sebagai penonton dari dalam ruangan. “Aku tidak tahu jika hubungan mereka akan seburuk itu,” gumam Syam. Marsha yang mendengar itu hanya tersenyum simpul. “Itu memang karakternya. Kalau sudah membenci seseorang, dia akan terus membencinya sampai akhir. Senior tidak ingat bagaimana Lea memperlakukan aku saat masih bersaing hati untuk Derren?” Syam hanya mengangguk-angguk. Lalu kembali melihat pemandangan menyenangkan di depannya. “Ah, tapi seru melihatnya bertengkar. Aku selalu suka itu. Baik denganmu atau dengan Ibu Tiri mudanya itu.” Syam senyum-senyum tidak jelas. Sementara Marsha yang sibuk memindai data yang masuk lewat emailnya. Baik dari RS Zahara atau Perusahaan Mi. Yang jelas, itu tidak berhenti sejak 2 jam yang lalu. “Perkerjaanmu pasti sangat banyak, kan?” celetuk Syam, seperti mengejek.
Berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit yang di padati perawat dan pasien. Setelah sekian lama akhirnya Marsha bisa kembali bekerja. Pemandangan yang sama membuatnya jenuh. Tapi liburan dua hari kemarin telah membantunya melepas stres. “Selamat pagi, Prof.” Beberapa orang menyapa Marsha dengan ramah. Marsha hanya menunduk singkat menjawab salam itu sambil mengumbar senyum cantiknya. Saat hendak masuk ke dalam ruangan, ia bertemu Lea yang keluar dari dua ruangan yang ada di sebelah kantornya. Lea menatap Marsha dengan sinis. Tampaknya, mood wanita itu sedang tidak baik mengingat reaksinya yang berlebihan. “Padahal aku belum menyapa, tapi kamu sudah melempar tatapan seperti itu? Keterlaluan,” pekik Marsha, mendekati Lea. “Jangan bersikap baik di rumah sakit. Orang-orang Ayahku masih terus mengawasi ... bahkan ia menambah personelnya,” ucap Lea, mengeluh. Marsha menatap sekeliling. “Kalau di s
Marsha bangun cukup pagi setelah sekian kama tidak beraktivitas dan hanya rebahan sepanjang hari di rumah sakit. Kini ia bebas. Jadi Marsha akan memulai paginya dengan sesuatu yang baik—seperti membuat masakan untuk suami dan kedua adik iparnya yang cantik. Baru saja keluar dari kamarnya, Marsha sudah melihat kedua ajudan kepercayaannya tertidur pulas di sofa dengan posisi memangku laptop mereka yang masih menyala. “Astaga. Apa yang aku lihat di pagi hari?” gumam Marsha, berjalan mendekati kedua orang itu. “Hey, coba bangun dan pindah ke kamar. Jika ingin tidur, aku punya banyak kamar kosong.” Marsha membangunkan kedua orang itu. Walau akhirnya keduanya sangat sulit untuk di bangunkan. Marsha membutuhkan waktu 10 menit agar melihat kedua orang itu bangun dan meninggalkan ruang tamu. Menghela napas panjang, Daniel dan Salma meninggalkan laptop mereka di atas meja dalam kondisi menyala dan bekerja. “Kalian
Marsha tidak ingat kapan ia benar-benar tertidur pulas. Yang jelas, saat dia bangun Derren tidur di sampingnya dengan mata sembab. Marsha hanya menghela napas panjang dan membelai puncak kepalanya dengan sayang. Ia masih mengingat bagaimana keluhan dan kesedihan Derren kemarin malam. Cukup mengenai hatinya yang mudah luluh jika itu bersangkutan dengan suami kecilnya. Tapi tak ada kata istirahat untuk mengenang seseorang—walau itu adalah Ibu Mertua yang pernah tinggal bersama dengannya beberapa minggu. “Daniel.” Marsha memanggil dengan tegas. Lelaki yang sedari tadi berdiri di belakang pintu di sisi luar, akhirnya memberanikan diri untuk masuk dan mengganggu kemesraan kedua patsuri itu. “Apa yang ingin kamu sampaikan? Dari tadi aku melihatmu berdiri di luar dengan ragu-ragu.” Marsha turun dari ranjang, namun saat satu kaki Marsha baru turun, Derren segera memeluk perutnya dengan mata terbuka lebar—lelaki itu benar
Dena menatap Marsha dengan tatapan serius. “Tentang Ayahmu yang meninggal karena kecelakaan mobil. Ia tidak meninggal karena kecelakaan biasa. Ia di bunuh ... itu kecelakaan yang di sengaja.” Marsha mengerutkan kening. “Apa maksud Mama?” Ia bangkit dari posisi duduk—mondar-mandir tidak jelas dan duduk kembali dengan Dena yang menatapnya lelah. “Tunggu, ini di luar dugaan Marsha, Ma. Kenapa tiba-tiba membahas ini saat semuanya runyam?” Marsha menjambak kedua sisi rambutnya. “Apa sih ini? Kenapa tiba-tiba sekali.” Marsha menatap wanita itu dengan wajah lelah. “Marsha sibuk dengan kasus ini dan itu. Tapi Mama bicara begitu sekarang? Mama mau membuat Marsha botak karena terlalu banyak ‘problem’?” Dena menggeleng. “Bukan itu maksud Mama. Hanya saja ... pelakunya memiliki nama yang sama dengan orang yang kamu kejar dalam kasus beruntung ini.” Marsha mengerutkan kening untuk ke sekian kali. Ia masih tidak habis pikir dengan semua ini. “Anna? Apakah wanita itu ... biang keroknya?” Dena
Drtt …. drtt … drtt … Marsha mengejapkan mata. Ini hari terakhirnya berada di rumah sakit. Yang ia pikirkan hanya bermalas-malasan seharian karena mengira ini adalah hari terakhir liburnya. Tapi begitu melihat panggilan telepon dari Daniel, entah mengapa Marsha yakin jika dirinya tak akan bisa bersantai lagi. “Halo.” Marsha menguap lebar. Yana dan Naya yang entah sejak kapan ada di dalam kamarnya, hanya melihat kelakuan kakak iparnya dengan geleng-geleng kepala. [Anda masih di rumah sakit, kan?] Marsha menjauhkan teleponnya dari telinga—memastikan apa benar yang meneleponnya adalah Daniel—karena orang di seberang sana seakan tak tahu kondisinya. “Kenapa bertanya tidak masuk akal?” Marsha bertanya dengan bingung. “Suaramu … apa ada masalah yang terjadi?” Daniel terdengar mendesak kasar. Tampaknya memang ada yang telah terjadi. Daniel adalah orang yang tenang jika berhadapan dengan dirinya. Mende
Lea tersenyum dengan paksa. Air matanya hampir berlinang membasahi pipi. “Kenapa dengan wajahmu?” Marsha bertanya karena murni tidak tahu. Wanita itu datang dengan wajah sembab sambil membawa banyak makanan. Tapi begitu masuk ke dalam ruangan Marsha ia tidak melakukan apa pun dan hanya diam seperti mayat hidup di sofa panjang depan TV. Marsha masih duduk di atas ranjang dengan meninjau data. Setelah mengajukan pertanyaan tanpa jawaban, ia memilih untuk tidak bertanya lagi. Ampai beberapa jam berlalu tanpa obrolan di dalam ruangan itu. Marsha menatap keluar jendela. Langit malam sudah mulai menampakkan diri. Sudah saatnya Lea kembali. Tapi wanita itu hanya diam seperti beberapa saat yang lalu. “Hari makin gelap. Kamu tidak kembali?” tanya Marsha. Lea mengejapkan mata dan memalingkan pandangan ke arah Marsha. “Aku mau menginap.” Setelah mengatakan itu, Lea meletakkan bantal sofa yang dari tadi ia
Lea menatap Gama yang duduk di dalam ruang tamunya dengan tatapan bingung.“Apa yang membawamu ke sini?” tanyanya, dengan menyajikan secangkir teh untuk mereka berempat.“Aku datang untuk bertanya sesuatu.” Gama memilik ke arah Derren dan Syam yang masih terus melempar tatapan horor satu sama lain. “Tapi mereka akan mengganggu jika terus begitu. Tidak bisakah kamu membuang salah satunya ke kamar mandi atau ke mana gitu?” Lea menghela napas kasar. “Di antara dua orang ini, mana yang lebih di butuhkan untuk membantu?”Gama langsung menunjuk Derren. Seketika itu juga Lea langsung menyeret Syam dan memasukkannya ke dalam kamar, lalu menguncinya dari luar.“Kamu tidur saja, Senior. Kamu kan belum tidur karena menemaniku semalaman!” ucap Lea dari luar kamar tanpa rasa bersalah.Syam pasrah. Ia yang mulai mengantuk akhirnya menurut. “Baiklah. Bangunkan aku saat jam makan siang.” Lea tak menjawabnya. Ia kembali ke ar
“Kamu mau makan apa?” Derren mengambil piring. Ia siap menjadi banu Marsha seandainya istri cantiknya itu meminta sesuatu. Sayangnya, Marsha sudah mengambil piringnya sendiri dan mengambil makanannya sendiri. Derren menghela napas penat. Ia mengikuti langkah Marsha berjalan pergi meninggalkan tempat hidangan kantin berada dan mencari tempat duduk. “Jangan terus mengikutiku.” Marsha menyuapkan makanan ke dalam mulut dan mulai makan dengan tenang. Derren memperhatikan dengan saksama. “Sampai kapan kamu jadi marah? Kemarin kan masih aku yang marah?” tanyanya, tak mengerti kenapa situasinya menjadi terbalik. Wanita itu hanya mengangkat pundak acuh tak acuh. Derren menghela napas. Ia masih mempertahankan senyumnya dengan sabar. “Bagaimana kalau menonton?” Marsha menaikkan alisnya. Ia terlihat tertarik. Tapi gengsi lebih mendominasi. “Tiba-tiba?” Ia menjawab dengan sewot. “Kamu masih ingat