Satu hantaman berhasil mengenai wajah Marco.
“Lo kasar ke cowok aja. Ngapain lo kasar ke cewek? Lo gak sadar yang lo bentak itu anak umur 11 tahun, hah? Gak malu lo sama umur!”Naya mengerutkan kening dan benar-benar bangun setelah mendengar suara tangis adiknya dan suara teriakkan Wilhem yang memekakkan telinga.“Udah-udah! Kalian ngapain sih?!” marah Naya.Namun suaranya yang kalah kencang dengan Marco dan Wilhem yang saling cek-cok di depan sana, membuat Naya mengambil jalan yang lebih kasar untuk melerai keduanya.BUK!Bantal di lempar begitu keras sampai membuat Marco atau Wilhem terentak mundur selangkah dari posisinya.“Berisik lo pada. KELUAR!!” teriak Naya, penuh emosi.Marco dan Wilhem langsung berjalan keluar dengan terburu-buru dan menutup pintu kamar tersebut dengan cepat.“Kamu lihat wajahnya?”Marco mengangguk. “Menyeramkan.”Naya menghela napas kasar dan mela“Ayah. Ayah!” Lea berlari masuk ke dalam ruang kerja Sean dengan senyum mengembang sempurna. Di tangan wanita itu telah ada sebuah kotak besar yang baru saja di kirim oleh kantor pos. “Ayah sungguh membelikan aku benda itu?" Lea duduk di sofa single dan mulai membuka bingkisannya dengan semangat. “Karena putri Ayah yang meminta, bagaimana Ayah tidak menurutnya?” jawab Sean, bergabung dengan Lea di tengah-tengah ruangan. “Kamu baru saja pulang dari bekerja. Apakah tidak mau istirahat dulu baru membuka benda itu?” Lea menggeleng antusias. “Aku akan mencobanya terlebih dahulu baru pergi istirahat!” Sean mengusap lembut puncak kepala putrinya dan melihat Lea mengeluarkan beberapa senapan dan pisau lipat. “Ini sesuai yang aku mau. Terima kasih, Ayah!” Sean hanya mengangguk dan melihat Lea mulai memasang peluru dan menodongkannya ke sebuah pigura. DOR! Pigura i
Sesuai janji, Derren mengantarkan Marsha pergi ke Rumah Sakit. Mereka mengendarai mobil Marsha karena Derren akan meminjam kendaraan itu hari ini. “Kamu pulang jam berapa?” Derren berhenti di pinggir trotoar dan melihat Marsha melepaskan sabuk pengamannya dengan tenang. “Em ... entahlah. Sepertinya aku tidak akan menginap.” Marsha hendak turun dari dalam mobil, namun Derren menahan pergerakannya dengan menggenggam tangan. “Ada apa?” Marsha membulatkan kedua matanya saat melihat Derren mengecup punggung tangannya dengan santun dan di akhiri senyuman menawan. “Terima kasih untuk yang tadi. Dan selamat bekerja,” ucapnya, dengan suara selembut kapas. Marsha kembali di buat malu. Tapi ia tidak ingin malu sendiri di sini. Ia membalas perlakuan Derren dengan mengecup pipinya, baru berlari keluar untuk melarikan diri. Derren tersenyum lembut dan memegang pipi yang mendapat kecupan dari sang
Klek .... Marsha menatap wajah bantal Lea dengan tatapan datar. “Apa lihat-lihat?” Marsha menggeleng singkat dan pergi meninggalkan Lea yang masih berusaha menghilangkan rasa kantuknya. “Cutiku.” Marsha menoleh dan melihat Lea yang menahannya dengan kata-kata. “Kenapa dengan cutimu? Ingin membatalkannya?” Lea mengangguk singkat. “Bisakah? Jika tidak, tolong ganti harinya saja.” Marsha diam beberapa saat. “Kenapa? Ada yang mengganggumu?” Lea menggelengkan kepalanya. “Tidak ada. Dan jika ada, itu bukan urusanmu.” Marsha menaikkan sebelah alisnya. Ia menatap Lea dengan tatapan mengejek. “Apakah aku terlihat ingin ikut campur dalam urusanmu? Tidak, kan?!” “Aku juga orang yang sibuk. Aku tidak punya waktu untuk ikut campur urusan orang. Bahkan mengkhawatirkan kamu saja, aku tidak memiliki waktu!” Setelah menegaskan hal tersebut, Marsha berjalan pergi
Tuan Karsten menatap Marsha dengan tatapan marah. Ia segera menyembunyikan tangan kanannya di balik punggung dan mundur selangkah dari mereka. “Anda sudah merencanakan hal buruk sejak lama.” Marsha mengambil langkah maju. Ia mendekati Karsten dengan lantang. Tatapan berani dari dokter wanita itu tampaknya berhasil menyudutkan Tuan Karsten yang dingin dan keras kepala. “Berikan benda itu pada saya.” Marsha mengulurkan tangan dengan jemari terbuka. “Setelah itu saya tidak akan memperpanjang masalah ini.” Tuan Karsten menatap Derren dengan tajam. Ia mengintimidasi lelaki itu. Namun tampaknya Derren tetap akan berdiri di pihak wanita ini apa pun yang terjadi. Tak peduli dengan status Karsten yang masih merupakan atasannya. “Berikan!” ucap Marsha, penuh penekanan. Karsten memberikan tablet obat itu pada Marsha dan mendengus kasar beberapa kali. “Pegang ucapanmu.” “Kamu sudah berjanji tidak
Srak .... Halaman demi Halaman Derren telah membacanya dengan saksama. Namun tidak ada informasi yang lebih penting seperti yang telah di berikan oleh Marsha. Derren memijit pelipisnya yang berdenyut sakit. “Orang-orang itu terlalu bersih menghilangkan jejaknya. Aku yang berpengalaman mengetahui apa yang terjadi di lapangan, bahkan sampai kepayahan.” “Kalau begitu, haruskah aku tanya Marsha bagaimana ia mencari bukti-bukti yang selama ini ia kumpulkan?” Derren mengambil beberapa lembar kertas berisikan biodata para pelaku yang menjerumus pada masalah yang terjadi. 3 orang ini adalah tersangka utama. Derren masih ingat dengan jelas bagaimana wajah penculik dirinya. Walau saat itu ia benar-benar di buat tertidur, Derren masih mengingat jelas wajah orang yang hanya ia lihat dengan sekilas. Tok ... tok .... “Marsha, kamu ada di kamar?” ketuk Derren, di depan pintu kamar pribadi Marsha yang ada di seberang kamarnya. Tak ada jawaban. Tampaknya wanita itu telah tertidur. Karena ini
BOM! Gion membulatkan matanya. Ia membalik tubuh dan melihat kobaran api di dalam bangunan mewah yang sempat menjadi ancaman nyawa mereka beberapa saat yang lalu. “A-anda sudah gila? Bagaimana Anda bisa membereskan kekacauan yang telah Anda buat hari ini?” Marsha menggaruk pipinya yang sedikit gatal sambil tersenyum seperti orang bodoh. Kali ini—Marsha terlihat seperti manusia pada umumnya. “Mungkin kamu tidak tahu. Tapi Suamiku adalah orang yang berada di dalam dunia militer. Ayahku adalah sahabat Menteri pertahanan. Ibuku seseorang yang memiliki nama di dalam pasar gelap, jadi aku rasa ia memiliki banyak bawahan yang bisa di kerahkan untuk menghilangkan satu bangunan di dalam Maps!” Gion membuka mulutnya. Ternyata ia bukanlah seorang wanita yang bisa di sepelekan walau terlihat sangat sepele! “Dan jangan lupakan Tuanmu.” Marsha tersenyum dengan polosnya. Namun ia paling tahu jika banyak orang kuat yang siap membereskan kekacauan kanak-kanaknya ini. “Jadi jangan mengkhawati
Zzzztt .... Derren memandang Marsha yang terlelap dengan tatapan sendu. Sudah 3 hari ia tidak melihat wajah Marsha seleluasa ini. Ia cukup rindu dan bersyukur sekarang ia bisa melihatnya sebentar. Tok ... tok .... Derren mendongak dan melihat Gama berdiri di depan pintu masuk kamar tempat Marsha beristirahat. “Kita harus pergi.” Derren mengangguk dan meninggalkan ruangan dengan langkah berat. “Selamat istirahat, Istri ....” Klek .... Marsha membuka matanya. Ia melihat ke arah pintu ruangan itu telah tertutup rapat. Marsha bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan mendekati sofa di dekat pintu untuk mengambil ponselnya. [Hallo. Lama tidak mendengar panggilan dari Anda, Tuanku.] Suara seorang lelaki terdengar cukup gembira dari seberang sana. Namun Marsha hanya menghela napas panjang dan melihat ke arah sekitar dengan pandangan lelah. “Sudah lama
“Masuk!” Beberapa lelaki mendorong Marsha masuk ke dalam mobil sport kuning dan membawanya pergi. Untuk menculik seseorang, bukannya kendaraan yang di tumpanginya terlalu tidak masuk akal? “Siapa yang meminta kalian?” Marsha menatap 4 orang lelaki yang berada di sekelilingnya dengan saksama. Lalu ia baru ingat wajah-wajah itu. “Tunggu, wajah kalian tidak asing. Apa kita pernah bertemu?” tanya Marsha. Lelaki berkulit sawo matang yang duduk tepat di sebelah kanannya, tersenyum singkat dan mengulurkan tangannya. “Kami teman suami Anda. Nama saya Abri,” ucapnya. Marsha menjabat tangan itu dan melihat ke sisi kirinya. “Saya Andika. Saya salah satu teman tentara dan kampus suami Anda. Dan 2 orang yang ada di depan Anda adalah Abdul yang menyetir dan di sebelahnya ada Orlan,” jelas Andika. Marsha mengangguk singkat dan menatap keempatnya dengan saksama. “Lalu yang kalian lakukan? M
Marsha menatap Lea dan Anna yang saling berseteru di depan ruangannya. Sementara dirinya dan Syam, hanya menatap sebagai penonton dari dalam ruangan. “Aku tidak tahu jika hubungan mereka akan seburuk itu,” gumam Syam. Marsha yang mendengar itu hanya tersenyum simpul. “Itu memang karakternya. Kalau sudah membenci seseorang, dia akan terus membencinya sampai akhir. Senior tidak ingat bagaimana Lea memperlakukan aku saat masih bersaing hati untuk Derren?” Syam hanya mengangguk-angguk. Lalu kembali melihat pemandangan menyenangkan di depannya. “Ah, tapi seru melihatnya bertengkar. Aku selalu suka itu. Baik denganmu atau dengan Ibu Tiri mudanya itu.” Syam senyum-senyum tidak jelas. Sementara Marsha yang sibuk memindai data yang masuk lewat emailnya. Baik dari RS Zahara atau Perusahaan Mi. Yang jelas, itu tidak berhenti sejak 2 jam yang lalu. “Perkerjaanmu pasti sangat banyak, kan?” celetuk Syam, seperti mengejek.
Berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit yang di padati perawat dan pasien. Setelah sekian lama akhirnya Marsha bisa kembali bekerja. Pemandangan yang sama membuatnya jenuh. Tapi liburan dua hari kemarin telah membantunya melepas stres. “Selamat pagi, Prof.” Beberapa orang menyapa Marsha dengan ramah. Marsha hanya menunduk singkat menjawab salam itu sambil mengumbar senyum cantiknya. Saat hendak masuk ke dalam ruangan, ia bertemu Lea yang keluar dari dua ruangan yang ada di sebelah kantornya. Lea menatap Marsha dengan sinis. Tampaknya, mood wanita itu sedang tidak baik mengingat reaksinya yang berlebihan. “Padahal aku belum menyapa, tapi kamu sudah melempar tatapan seperti itu? Keterlaluan,” pekik Marsha, mendekati Lea. “Jangan bersikap baik di rumah sakit. Orang-orang Ayahku masih terus mengawasi ... bahkan ia menambah personelnya,” ucap Lea, mengeluh. Marsha menatap sekeliling. “Kalau di s
Marsha bangun cukup pagi setelah sekian kama tidak beraktivitas dan hanya rebahan sepanjang hari di rumah sakit. Kini ia bebas. Jadi Marsha akan memulai paginya dengan sesuatu yang baik—seperti membuat masakan untuk suami dan kedua adik iparnya yang cantik. Baru saja keluar dari kamarnya, Marsha sudah melihat kedua ajudan kepercayaannya tertidur pulas di sofa dengan posisi memangku laptop mereka yang masih menyala. “Astaga. Apa yang aku lihat di pagi hari?” gumam Marsha, berjalan mendekati kedua orang itu. “Hey, coba bangun dan pindah ke kamar. Jika ingin tidur, aku punya banyak kamar kosong.” Marsha membangunkan kedua orang itu. Walau akhirnya keduanya sangat sulit untuk di bangunkan. Marsha membutuhkan waktu 10 menit agar melihat kedua orang itu bangun dan meninggalkan ruang tamu. Menghela napas panjang, Daniel dan Salma meninggalkan laptop mereka di atas meja dalam kondisi menyala dan bekerja. “Kalian
Marsha tidak ingat kapan ia benar-benar tertidur pulas. Yang jelas, saat dia bangun Derren tidur di sampingnya dengan mata sembab. Marsha hanya menghela napas panjang dan membelai puncak kepalanya dengan sayang. Ia masih mengingat bagaimana keluhan dan kesedihan Derren kemarin malam. Cukup mengenai hatinya yang mudah luluh jika itu bersangkutan dengan suami kecilnya. Tapi tak ada kata istirahat untuk mengenang seseorang—walau itu adalah Ibu Mertua yang pernah tinggal bersama dengannya beberapa minggu. “Daniel.” Marsha memanggil dengan tegas. Lelaki yang sedari tadi berdiri di belakang pintu di sisi luar, akhirnya memberanikan diri untuk masuk dan mengganggu kemesraan kedua patsuri itu. “Apa yang ingin kamu sampaikan? Dari tadi aku melihatmu berdiri di luar dengan ragu-ragu.” Marsha turun dari ranjang, namun saat satu kaki Marsha baru turun, Derren segera memeluk perutnya dengan mata terbuka lebar—lelaki itu benar
Dena menatap Marsha dengan tatapan serius. “Tentang Ayahmu yang meninggal karena kecelakaan mobil. Ia tidak meninggal karena kecelakaan biasa. Ia di bunuh ... itu kecelakaan yang di sengaja.” Marsha mengerutkan kening. “Apa maksud Mama?” Ia bangkit dari posisi duduk—mondar-mandir tidak jelas dan duduk kembali dengan Dena yang menatapnya lelah. “Tunggu, ini di luar dugaan Marsha, Ma. Kenapa tiba-tiba membahas ini saat semuanya runyam?” Marsha menjambak kedua sisi rambutnya. “Apa sih ini? Kenapa tiba-tiba sekali.” Marsha menatap wanita itu dengan wajah lelah. “Marsha sibuk dengan kasus ini dan itu. Tapi Mama bicara begitu sekarang? Mama mau membuat Marsha botak karena terlalu banyak ‘problem’?” Dena menggeleng. “Bukan itu maksud Mama. Hanya saja ... pelakunya memiliki nama yang sama dengan orang yang kamu kejar dalam kasus beruntung ini.” Marsha mengerutkan kening untuk ke sekian kali. Ia masih tidak habis pikir dengan semua ini. “Anna? Apakah wanita itu ... biang keroknya?” Dena
Drtt …. drtt … drtt … Marsha mengejapkan mata. Ini hari terakhirnya berada di rumah sakit. Yang ia pikirkan hanya bermalas-malasan seharian karena mengira ini adalah hari terakhir liburnya. Tapi begitu melihat panggilan telepon dari Daniel, entah mengapa Marsha yakin jika dirinya tak akan bisa bersantai lagi. “Halo.” Marsha menguap lebar. Yana dan Naya yang entah sejak kapan ada di dalam kamarnya, hanya melihat kelakuan kakak iparnya dengan geleng-geleng kepala. [Anda masih di rumah sakit, kan?] Marsha menjauhkan teleponnya dari telinga—memastikan apa benar yang meneleponnya adalah Daniel—karena orang di seberang sana seakan tak tahu kondisinya. “Kenapa bertanya tidak masuk akal?” Marsha bertanya dengan bingung. “Suaramu … apa ada masalah yang terjadi?” Daniel terdengar mendesak kasar. Tampaknya memang ada yang telah terjadi. Daniel adalah orang yang tenang jika berhadapan dengan dirinya. Mende
Lea tersenyum dengan paksa. Air matanya hampir berlinang membasahi pipi. “Kenapa dengan wajahmu?” Marsha bertanya karena murni tidak tahu. Wanita itu datang dengan wajah sembab sambil membawa banyak makanan. Tapi begitu masuk ke dalam ruangan Marsha ia tidak melakukan apa pun dan hanya diam seperti mayat hidup di sofa panjang depan TV. Marsha masih duduk di atas ranjang dengan meninjau data. Setelah mengajukan pertanyaan tanpa jawaban, ia memilih untuk tidak bertanya lagi. Ampai beberapa jam berlalu tanpa obrolan di dalam ruangan itu. Marsha menatap keluar jendela. Langit malam sudah mulai menampakkan diri. Sudah saatnya Lea kembali. Tapi wanita itu hanya diam seperti beberapa saat yang lalu. “Hari makin gelap. Kamu tidak kembali?” tanya Marsha. Lea mengejapkan mata dan memalingkan pandangan ke arah Marsha. “Aku mau menginap.” Setelah mengatakan itu, Lea meletakkan bantal sofa yang dari tadi ia
Lea menatap Gama yang duduk di dalam ruang tamunya dengan tatapan bingung.“Apa yang membawamu ke sini?” tanyanya, dengan menyajikan secangkir teh untuk mereka berempat.“Aku datang untuk bertanya sesuatu.” Gama memilik ke arah Derren dan Syam yang masih terus melempar tatapan horor satu sama lain. “Tapi mereka akan mengganggu jika terus begitu. Tidak bisakah kamu membuang salah satunya ke kamar mandi atau ke mana gitu?” Lea menghela napas kasar. “Di antara dua orang ini, mana yang lebih di butuhkan untuk membantu?”Gama langsung menunjuk Derren. Seketika itu juga Lea langsung menyeret Syam dan memasukkannya ke dalam kamar, lalu menguncinya dari luar.“Kamu tidur saja, Senior. Kamu kan belum tidur karena menemaniku semalaman!” ucap Lea dari luar kamar tanpa rasa bersalah.Syam pasrah. Ia yang mulai mengantuk akhirnya menurut. “Baiklah. Bangunkan aku saat jam makan siang.” Lea tak menjawabnya. Ia kembali ke ar
“Kamu mau makan apa?” Derren mengambil piring. Ia siap menjadi banu Marsha seandainya istri cantiknya itu meminta sesuatu. Sayangnya, Marsha sudah mengambil piringnya sendiri dan mengambil makanannya sendiri. Derren menghela napas penat. Ia mengikuti langkah Marsha berjalan pergi meninggalkan tempat hidangan kantin berada dan mencari tempat duduk. “Jangan terus mengikutiku.” Marsha menyuapkan makanan ke dalam mulut dan mulai makan dengan tenang. Derren memperhatikan dengan saksama. “Sampai kapan kamu jadi marah? Kemarin kan masih aku yang marah?” tanyanya, tak mengerti kenapa situasinya menjadi terbalik. Wanita itu hanya mengangkat pundak acuh tak acuh. Derren menghela napas. Ia masih mempertahankan senyumnya dengan sabar. “Bagaimana kalau menonton?” Marsha menaikkan alisnya. Ia terlihat tertarik. Tapi gengsi lebih mendominasi. “Tiba-tiba?” Ia menjawab dengan sewot. “Kamu masih ingat