“Siapa yang akan mengambil alih operasi orang besar sepertinya?” Fajar mengembuskan napas kasar berulang kali.
Tak banyak dokter yang mau menangani pasien Gama sebab ia memiliki reputasi yang tak biasa—sebagai dokter yang harusnya mementingkan keselamatan pasiennya, mereka malah kabur karena takut akan di salahkan jika terjadi hal buruk pada Gama.“Hanya Profesor Marsha yang mau menangani masalah seperti ini. Tapi aku dengar ia sedang tak melayani pasien dan menyerahkan semuanya pada Dokter Dira,” sahut rekan Fajar.Klek ....Pintu ruangan operasi di buka. Pemandangan pertama yang Marsha lihat hanya beberapa perawat yang tengah kebingungan karena tak ada seorang dokter pun yang mau datang untuk menangani pasien.“Profesor!” seru Fajar dan dua rekan perawatnya tampak gembira melihat Marsha masuk bersama Valerie dengan pakaian siap menjalankan tugas operasi.“Bagaimana keadaannya?” Marsha masuk ke dalam ruang operasi setelahBrak .... Dean merasa geram. Sudah satu jam ia menunggu namun Marsha tak kunjung datang. Padahal wanita itu yang memintanya untuk pergi dan menunggunya. “Bisa-biasanya wanita itu berbohong padaku!” Raut wajah kesal Dean mengundang perhatian Valerie yang melihatnya marah-marah di dalam ruang tunggu yang ada di lantai tiga—permulaan bangsal VIP sampai lantai empat. Ruangan itu berada tepat di tengah-tengah ruangan karena bercampur dengan rumah kaca. Sementara Valerie yang mendapat bagian jaga di meja resepsionis lantai itu, bisa melihatnya dengan jelas. Jarak antar meja resepsionis dengan ruangan kaca itu hanya 25 meter. “Kenapa muka kamu, Val?” Fajar yang baru saja datang dengan rak dorong berisikan obat dan bekas alat suntik para pasien menatap wajah rekan yang terlihat bad mood dengan tatapan penasaran. “Lihat orang di sana.” Valerie menunjuk ke arah rumah kaca dengan sedikit mendongakkan dagu. “Lelaki itu mengh
Marsha menatap Ayahnya, Bima, yang tiba-tiba berkunjung tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Kelakuan ii tidak seperti Ayahnya. Bahkan Marsha sampai di buat merasa asing dengan sikapnya ini. “Apa ini karena Mama yang merajuk?” Marsha langsung menembak dengan pertanyaan faild. Bima yang mendengar itu hanya bisa mengulas senyum masam. “Kamu hebat. Baru saja duduk bersama 5 menit yang lalu. Tapi sekarang kamu sudah mengerti maksud kedatanganku, hahaha ... apakah Ayah harus bersyukur dengan itu?” Marsha hanya mengangkat bahunya acuh dan menyesap kopi hitam tanpa gula yang berhasil ia buat. “Jangan salahkan aku. Da aku juga tidak mau pulang ke rumah karena Ayah atau Mama masih belum menerima Derren dengan baik. Terutama Ayah.” Marsha memberikan jeda. Ia melihat wajah Bima yang mengulas senyum masam dengan tatapan dingin nan tajam. “Sikap apa itu? Menerima kehadiran kedua adik perempuan suamiku, tapi tidak mau menerima suamiku. B
“Marsha.” “Marsha ....” “Marsha!! Kau tak mau bangun, hah?!” teriak Derren, menusuk gendang telinga Marsha yang tidur lelap sampai mengigau keras. Mendengar suara jeritan macho itu, wanita yang sedang mendalami peranya dalam mimpi langsung bangun dan melihat wajah jutek suaminya. “Akhirnya kau bangun.” Derren menghela napas lega dan berjalan ke arah pintu. “Kau tak lupa kalau hari ini kita akan pergi ke rumah orang tua kamu, kan?” Marsha menatap lelaki yang tengah berdiri di ambang pintu kamarnya itu dengan tatapan bengong. “Ulang tahun Tiya??” Derren menangguk. Sementara Marsha mengerutkan kening, menunjukkan wajah bingung, dan terlihat cukup bodoh karena linglung. “Bukannya sudah?” Wanita itu memiringkan kepalanya. “Kita kan sudah ke sana? Yang benar, aku baru saja pulang dari RS, kan?” Derren menatapnya tajam. Sutil yang ia pegang, kini sudah mengarah ke Marsha. “Bangun dari tidurmu dan turu
Marsha mendongak dan melihat wajah suaminya yang sendu. Sorot mata yang terus mengisyaratkan kesedihan mendalam itu terasa begitu menyakitkan bagi Marsha. Kini lelaki itu mengulas senyum masam saat tatapan mereka bertemu. “Namun, jika kamu melahirkannya—aku akan berterima kasih dan membawanya pergi meninggalkan kehidupanmu.” Derren memberikan jeda. Tatapan Marsha saat melihatnya seusai Derren melontarkan pernyataan itu membuatnya merasa getir. “Aku tidak akan mengganggu kehidupanmu dan memberikan kehidupan yang sangat damai. Aku akan memberantas musuhmu sampai kamu tak perlu merasa cemas. Lalu—kita bisa bercerai lebih cepat dari perjanjian setelahnya. Aku ... akan membawa anakku pergi.” Marsha yang tadi hampir menangis, kini malah terlihat marah. Mendengar Derren hendak melepaskannya dan membawa anak mereka. Entah kenapa Marsha tak mau di tinggalkan oleh lelaki ini—ada perasaan tidak siap yang menyelip di hatinya. “Sebagai
Melihat kepergian Marsha, Dean segera meninggalkan tempat untuk mencari Diana. Rencana mereka harus segera di batalkan karena Marsha dalam keadaan mengandung. Jika tidak, mereka berdua akan terlibat masalah yang lebih besar dari dugaan keduanya. “Sial, di mana wanita itu berada?!” batin Dean merasa sangat cemas. Baru setengah jalan menuju kursi yang telah di pingit Derren untuk tempat mereka duduk, Diana tiba-tiba menghalangi jalan mereka sambil membawa dua gelas jus. “Hai, Marsha. Kita bertemu lagi, ya?” Derren mengerutkan kening. Wanita cantik dengan style elegan ini adalah wanita yang di cap penganggu rumah tangga Kakaknya oleh Marsha. Sebab itu wajahnya terlihat sinis saat ia menghalangi jalan mereka. “Haruskah aku senang melihatmu?” Marsha mengambil minuman yang di suguhkan Diana—sebab ia melihat wanita itu baru mengambilnya di nampan pelayan, jadi harusnya tak ada yang perlu ia curigai. “Kita tidak punya hubungan y
“Bagaimana keadaan istrimu?” Dena bertanya begitu melihat Derren keluar dari dalam kamar Marsha dengan mata yang sedikit sembab. Lelaki itu tidak menjawab. Ia hanya mengulas senyum masam dan berjala pergi meninggalkan lorong kamar Marsha. “Kamu mau ke mana?” Dean menghentikan langkah Derren. Ada perasaan canggung saat tangannya menahan pundak lelaki itu. Tatapan tajam yang setia di lontarkan Derren saat memandangnya, membuat tangan Dean sontak melepas pundaknya. “Saya hendak pergi ke minimarket. Marsha membutuhkan beberapa barang untuk bisa tinggal di sini beberapa hari. Saya hendak menyiapkannya,” jelas Derren dengan formal. Baik Dean atau semua keluarga Marsha dapat mendengar ucapannya dengan jelas. Mereka pun bungkam dan membiarkan Derren pergi. Menghela napas sesak, Dena bangkit dari tempatnya. Ia mendekat ke pintu kamar Marsha, mengintip ke dalam ruangan. Ia melihat Marsha tengah duduk di tepi rajang dan mena
Rina menatap Derren lekat. “Siapa yang melakukan hal jahat itu.” Derren menunduk. Rina mendekat dan mengintip wajah putranya. Lelaki itu mengeluarkan air mata tanpa terisak dalam tangisnya. Rina terkejut sampai salah merespons. “Anak sebesar dirimu menangis?” pekiknya. Seketika ia menutup mulut dengan kedua tangan dan kembali menatap Derren yang tak menghentikan tangis walau tak sengaja di hina oleh Ibunya. Sementara Gama mengeluarkan sapu tangan dan memberikan benda itu pada Rina sambil mengode untuk memberikan benda itu pada Derren. Melihat hubungan canggung antar Rina dan Derren tampaknya Gama mengerti apa yang harus ia lakukan sekarang. “Saya akan mencari makan siang. Tolong jaga teman saya, Tante ....” Gama mundur perlahan sebelum pergi meninggalkan tempat sambil meminta beberapa perawat yang masih standby menunggu Rina, pergi bersama dengannya. Rina terdiam bingung melihat bulir air mat
Gama terdiam dengan tatapan terkejut. Melihat Marsha yang tengah sakit itu marah, ia merasa sedikit cemas dengan kondisi psikisnya.” "Marsha, tenanglah.” Gama berusaha menenangkan. Ia ingin menggenggam kedua bahu wanita itu, namun tangannya di tepis kasar saat hendak menyentuhnya. “Kau hanya perlu menjawabku.” Marsha menekan setiap kalimat. Tatapan tajam terasa sangat menusuk bagi lawan bicaranya. “Tak perlu menyentuhku!” Gama menarik turun kedua tangan. Ia menatap Marsha pasrah. Sikap dingin itu sedikit keterlaluan saat ia hendak berbuat kebaikan nyata. “Dasar kejam!” pekik Gama dalam hati. Namun ia tak sanggup mengatakan hal itu pada Marsha mengingat kondisinya yang memprihatinkan. “Suamimu hanya pergi dengan Ibunya. Mereka sedang bicara di kantin.” Gama menghela napas panjang. “Kamu puas sekarang?” “Ya.” Marsha menjawab dengan lantang dan singkat. Ia mengalihkan tatapannya dari Gama dan memilih duduk di kursi b
Marsha menatap Lea dan Anna yang saling berseteru di depan ruangannya. Sementara dirinya dan Syam, hanya menatap sebagai penonton dari dalam ruangan. “Aku tidak tahu jika hubungan mereka akan seburuk itu,” gumam Syam. Marsha yang mendengar itu hanya tersenyum simpul. “Itu memang karakternya. Kalau sudah membenci seseorang, dia akan terus membencinya sampai akhir. Senior tidak ingat bagaimana Lea memperlakukan aku saat masih bersaing hati untuk Derren?” Syam hanya mengangguk-angguk. Lalu kembali melihat pemandangan menyenangkan di depannya. “Ah, tapi seru melihatnya bertengkar. Aku selalu suka itu. Baik denganmu atau dengan Ibu Tiri mudanya itu.” Syam senyum-senyum tidak jelas. Sementara Marsha yang sibuk memindai data yang masuk lewat emailnya. Baik dari RS Zahara atau Perusahaan Mi. Yang jelas, itu tidak berhenti sejak 2 jam yang lalu. “Perkerjaanmu pasti sangat banyak, kan?” celetuk Syam, seperti mengejek.
Berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit yang di padati perawat dan pasien. Setelah sekian lama akhirnya Marsha bisa kembali bekerja. Pemandangan yang sama membuatnya jenuh. Tapi liburan dua hari kemarin telah membantunya melepas stres. “Selamat pagi, Prof.” Beberapa orang menyapa Marsha dengan ramah. Marsha hanya menunduk singkat menjawab salam itu sambil mengumbar senyum cantiknya. Saat hendak masuk ke dalam ruangan, ia bertemu Lea yang keluar dari dua ruangan yang ada di sebelah kantornya. Lea menatap Marsha dengan sinis. Tampaknya, mood wanita itu sedang tidak baik mengingat reaksinya yang berlebihan. “Padahal aku belum menyapa, tapi kamu sudah melempar tatapan seperti itu? Keterlaluan,” pekik Marsha, mendekati Lea. “Jangan bersikap baik di rumah sakit. Orang-orang Ayahku masih terus mengawasi ... bahkan ia menambah personelnya,” ucap Lea, mengeluh. Marsha menatap sekeliling. “Kalau di s
Marsha bangun cukup pagi setelah sekian kama tidak beraktivitas dan hanya rebahan sepanjang hari di rumah sakit. Kini ia bebas. Jadi Marsha akan memulai paginya dengan sesuatu yang baik—seperti membuat masakan untuk suami dan kedua adik iparnya yang cantik. Baru saja keluar dari kamarnya, Marsha sudah melihat kedua ajudan kepercayaannya tertidur pulas di sofa dengan posisi memangku laptop mereka yang masih menyala. “Astaga. Apa yang aku lihat di pagi hari?” gumam Marsha, berjalan mendekati kedua orang itu. “Hey, coba bangun dan pindah ke kamar. Jika ingin tidur, aku punya banyak kamar kosong.” Marsha membangunkan kedua orang itu. Walau akhirnya keduanya sangat sulit untuk di bangunkan. Marsha membutuhkan waktu 10 menit agar melihat kedua orang itu bangun dan meninggalkan ruang tamu. Menghela napas panjang, Daniel dan Salma meninggalkan laptop mereka di atas meja dalam kondisi menyala dan bekerja. “Kalian
Marsha tidak ingat kapan ia benar-benar tertidur pulas. Yang jelas, saat dia bangun Derren tidur di sampingnya dengan mata sembab. Marsha hanya menghela napas panjang dan membelai puncak kepalanya dengan sayang. Ia masih mengingat bagaimana keluhan dan kesedihan Derren kemarin malam. Cukup mengenai hatinya yang mudah luluh jika itu bersangkutan dengan suami kecilnya. Tapi tak ada kata istirahat untuk mengenang seseorang—walau itu adalah Ibu Mertua yang pernah tinggal bersama dengannya beberapa minggu. “Daniel.” Marsha memanggil dengan tegas. Lelaki yang sedari tadi berdiri di belakang pintu di sisi luar, akhirnya memberanikan diri untuk masuk dan mengganggu kemesraan kedua patsuri itu. “Apa yang ingin kamu sampaikan? Dari tadi aku melihatmu berdiri di luar dengan ragu-ragu.” Marsha turun dari ranjang, namun saat satu kaki Marsha baru turun, Derren segera memeluk perutnya dengan mata terbuka lebar—lelaki itu benar
Dena menatap Marsha dengan tatapan serius. “Tentang Ayahmu yang meninggal karena kecelakaan mobil. Ia tidak meninggal karena kecelakaan biasa. Ia di bunuh ... itu kecelakaan yang di sengaja.” Marsha mengerutkan kening. “Apa maksud Mama?” Ia bangkit dari posisi duduk—mondar-mandir tidak jelas dan duduk kembali dengan Dena yang menatapnya lelah. “Tunggu, ini di luar dugaan Marsha, Ma. Kenapa tiba-tiba membahas ini saat semuanya runyam?” Marsha menjambak kedua sisi rambutnya. “Apa sih ini? Kenapa tiba-tiba sekali.” Marsha menatap wanita itu dengan wajah lelah. “Marsha sibuk dengan kasus ini dan itu. Tapi Mama bicara begitu sekarang? Mama mau membuat Marsha botak karena terlalu banyak ‘problem’?” Dena menggeleng. “Bukan itu maksud Mama. Hanya saja ... pelakunya memiliki nama yang sama dengan orang yang kamu kejar dalam kasus beruntung ini.” Marsha mengerutkan kening untuk ke sekian kali. Ia masih tidak habis pikir dengan semua ini. “Anna? Apakah wanita itu ... biang keroknya?” Dena
Drtt …. drtt … drtt … Marsha mengejapkan mata. Ini hari terakhirnya berada di rumah sakit. Yang ia pikirkan hanya bermalas-malasan seharian karena mengira ini adalah hari terakhir liburnya. Tapi begitu melihat panggilan telepon dari Daniel, entah mengapa Marsha yakin jika dirinya tak akan bisa bersantai lagi. “Halo.” Marsha menguap lebar. Yana dan Naya yang entah sejak kapan ada di dalam kamarnya, hanya melihat kelakuan kakak iparnya dengan geleng-geleng kepala. [Anda masih di rumah sakit, kan?] Marsha menjauhkan teleponnya dari telinga—memastikan apa benar yang meneleponnya adalah Daniel—karena orang di seberang sana seakan tak tahu kondisinya. “Kenapa bertanya tidak masuk akal?” Marsha bertanya dengan bingung. “Suaramu … apa ada masalah yang terjadi?” Daniel terdengar mendesak kasar. Tampaknya memang ada yang telah terjadi. Daniel adalah orang yang tenang jika berhadapan dengan dirinya. Mende
Lea tersenyum dengan paksa. Air matanya hampir berlinang membasahi pipi. “Kenapa dengan wajahmu?” Marsha bertanya karena murni tidak tahu. Wanita itu datang dengan wajah sembab sambil membawa banyak makanan. Tapi begitu masuk ke dalam ruangan Marsha ia tidak melakukan apa pun dan hanya diam seperti mayat hidup di sofa panjang depan TV. Marsha masih duduk di atas ranjang dengan meninjau data. Setelah mengajukan pertanyaan tanpa jawaban, ia memilih untuk tidak bertanya lagi. Ampai beberapa jam berlalu tanpa obrolan di dalam ruangan itu. Marsha menatap keluar jendela. Langit malam sudah mulai menampakkan diri. Sudah saatnya Lea kembali. Tapi wanita itu hanya diam seperti beberapa saat yang lalu. “Hari makin gelap. Kamu tidak kembali?” tanya Marsha. Lea mengejapkan mata dan memalingkan pandangan ke arah Marsha. “Aku mau menginap.” Setelah mengatakan itu, Lea meletakkan bantal sofa yang dari tadi ia
Lea menatap Gama yang duduk di dalam ruang tamunya dengan tatapan bingung.“Apa yang membawamu ke sini?” tanyanya, dengan menyajikan secangkir teh untuk mereka berempat.“Aku datang untuk bertanya sesuatu.” Gama memilik ke arah Derren dan Syam yang masih terus melempar tatapan horor satu sama lain. “Tapi mereka akan mengganggu jika terus begitu. Tidak bisakah kamu membuang salah satunya ke kamar mandi atau ke mana gitu?” Lea menghela napas kasar. “Di antara dua orang ini, mana yang lebih di butuhkan untuk membantu?”Gama langsung menunjuk Derren. Seketika itu juga Lea langsung menyeret Syam dan memasukkannya ke dalam kamar, lalu menguncinya dari luar.“Kamu tidur saja, Senior. Kamu kan belum tidur karena menemaniku semalaman!” ucap Lea dari luar kamar tanpa rasa bersalah.Syam pasrah. Ia yang mulai mengantuk akhirnya menurut. “Baiklah. Bangunkan aku saat jam makan siang.” Lea tak menjawabnya. Ia kembali ke ar
“Kamu mau makan apa?” Derren mengambil piring. Ia siap menjadi banu Marsha seandainya istri cantiknya itu meminta sesuatu. Sayangnya, Marsha sudah mengambil piringnya sendiri dan mengambil makanannya sendiri. Derren menghela napas penat. Ia mengikuti langkah Marsha berjalan pergi meninggalkan tempat hidangan kantin berada dan mencari tempat duduk. “Jangan terus mengikutiku.” Marsha menyuapkan makanan ke dalam mulut dan mulai makan dengan tenang. Derren memperhatikan dengan saksama. “Sampai kapan kamu jadi marah? Kemarin kan masih aku yang marah?” tanyanya, tak mengerti kenapa situasinya menjadi terbalik. Wanita itu hanya mengangkat pundak acuh tak acuh. Derren menghela napas. Ia masih mempertahankan senyumnya dengan sabar. “Bagaimana kalau menonton?” Marsha menaikkan alisnya. Ia terlihat tertarik. Tapi gengsi lebih mendominasi. “Tiba-tiba?” Ia menjawab dengan sewot. “Kamu masih ingat