Naya menatap keheningan yang terjadi di depannya dengan tatapan malas. Baru saja masuk ke dalam mobil, ia sudah melihat dua kakak yang saling bertengkar sampai membuat situasi hening dan tenang itu menjadi suasana yang mengerikan.
“Fuhhh ... apa kalian bertengkar?” tanya Naya, berusaha mencairkan suasana tidak enak itu dengan membuat masalah baru.Marsha tidak menjawab. Ia hanya menatap Naya dari kaca spion tengah dan mengulas senyum masam—seakan ia telah memberikan jawaban pasti tentang pertanyaan itu.Sementara kakak lelakinya hanya diam dan fokus menyetir—melihat ke arah jalanan dengan tenang.“Bisa mati diam aku kalau begini caranya.” Naya mengembuskan napas panjang dan melihat keluar jendela. “Aku lapar, Kak. Ayo makan sate di depan sana.”Derren melihat ke arah Marsha seakan meminta izin. Mereka yang baru saja makan malam, tentu masih merasa kenyang. Namun melihat Naya yang terlihat begitu kurus kering dan lemas, Marsha mengangYana terdiam setelah tidak sengaja mengatakan fakta yang seharusnya tak ia katakan pada Naya yang memiliki mental lemah. Lihatlah, baru mendengar kabar itu wajahnya sudah pucat seakan di rundung rasa tertekan yang menyesakkan. “Aku hanya salah mengatakan.” Yana menghela napas panjang. Ia bangun dari tempatnya duduk dan berjalan keluar kamar tanpa menghiraukan wajah Naya yang tercekat. "Kamu menggunakan hal seperti itu sebagai sebuah candaan? Yang benar saja.” Naya mengikuti Yana keluar kamar dan turun ke lantai satu untuk sarapan. “Jangan melakukan hal seperti itu lagi. Kamu mengerti?” Yana tak menjawab. Ia hanya menuruni tangga dengan cepat—melarikan diri dari kejaran Naya. “Selamat pagi.” Yana duduk pada salah satu kursi meja makan. Ia mengambil piring dan mengisinya dengan satu centong nasi goreng sosis serta telur mata sapi yang di beri oleh Marsha. “Terima kasih, Kak.” Marsha tersenyum sebagai jawaban dan men
02:00 AM .... Gama menguap cukup lebar saat menyadari Derren dan Gibran sudah memakai pakaian serba hitam dan akan bersiap pergi. “Kenapa kalian tidak membangunkan aku?!” Gama berusaha sadar dari tidurnya. Lelaki itu terlihat amat sangat lelah bahkan sebelum mereka menjalankan misi. “Aku tak berencana mengajakmu bergabung dalam misi, Tuan Gama." Derren melihat Gama yang terlihat lemah. “Karena kamu tidak akan bisa melarikan diri secepat kami jika terjadi sesuatu yang berbahaya. Jadi ada baiknya kamu tidak usah ikut.” Gama membulatkan mata tak percaya. Ia yang sudah menunggu sampai dini hari, pada akhirnya tidak di ajak untuk pergi bersama dan malah di tinggalkan? Yang benar saja. “Tidak bisa! Karena ini menyangkut diriku, aku masih memiliki harga diri untuk ikut dalam pengintaian.” Gama bersikeras. Namun melihat sikap keras kepalanya ini, Derren jadi paham kenapa Tuan Bima tetap menganggapnya sebagai menantu sampai sekarang
Bom .... Ledakan terjadi di sudut ruangan. Gama yang berlari ke arah itu sampai terpental—bersyukurnya, Derren tak terluka dan mampu mempertahankan kuda-kudanya. Dua lengannya terluka gores, namun itu bukan luka besar bagi seorang prajurit seperti Derren. Berbeda dengan Gama yang terpental dan menghantam sudut meja dengan kepalanya. Saat itu Gama masih sadarkan diri. Ia bahkan berusaha bangkit dari jatuhnya dan mendekati Derren untuk menjaga jarak aman dari perisainya. “Kau baik-baik saja?” Derren menatap gama yang berdiri dengan susah payah d belakang punggungnya. Darah segar mengalir cukup deras dan membasahi pelipisnya. “Seperti yang kau lihat.” Gama terengah-engah. “Aku tak baik. Tapi aku bisa menahan rasa sakitnya.” Derren menatap tak tega. Tuan Besar yang biasanya tak pernah memiliki luka, kali ini harus berusaha sekuat tenaganya untuk mengimbangi permainan berat mereka dengan semua luka itu. “Atur napasmu.
“Siapa yang akan mengambil alih operasi orang besar sepertinya?” Fajar mengembuskan napas kasar berulang kali. Tak banyak dokter yang mau menangani pasien Gama sebab ia memiliki reputasi yang tak biasa—sebagai dokter yang harusnya mementingkan keselamatan pasiennya, mereka malah kabur karena takut akan di salahkan jika terjadi hal buruk pada Gama. “Hanya Profesor Marsha yang mau menangani masalah seperti ini. Tapi aku dengar ia sedang tak melayani pasien dan menyerahkan semuanya pada Dokter Dira,” sahut rekan Fajar. Klek .... Pintu ruangan operasi di buka. Pemandangan pertama yang Marsha lihat hanya beberapa perawat yang tengah kebingungan karena tak ada seorang dokter pun yang mau datang untuk menangani pasien. “Profesor!” seru Fajar dan dua rekan perawatnya tampak gembira melihat Marsha masuk bersama Valerie dengan pakaian siap menjalankan tugas operasi. “Bagaimana keadaannya?” Marsha masuk ke dalam ruang operasi setelah
Brak .... Dean merasa geram. Sudah satu jam ia menunggu namun Marsha tak kunjung datang. Padahal wanita itu yang memintanya untuk pergi dan menunggunya. “Bisa-biasanya wanita itu berbohong padaku!” Raut wajah kesal Dean mengundang perhatian Valerie yang melihatnya marah-marah di dalam ruang tunggu yang ada di lantai tiga—permulaan bangsal VIP sampai lantai empat. Ruangan itu berada tepat di tengah-tengah ruangan karena bercampur dengan rumah kaca. Sementara Valerie yang mendapat bagian jaga di meja resepsionis lantai itu, bisa melihatnya dengan jelas. Jarak antar meja resepsionis dengan ruangan kaca itu hanya 25 meter. “Kenapa muka kamu, Val?” Fajar yang baru saja datang dengan rak dorong berisikan obat dan bekas alat suntik para pasien menatap wajah rekan yang terlihat bad mood dengan tatapan penasaran. “Lihat orang di sana.” Valerie menunjuk ke arah rumah kaca dengan sedikit mendongakkan dagu. “Lelaki itu mengh
Marsha menatap Ayahnya, Bima, yang tiba-tiba berkunjung tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Kelakuan ii tidak seperti Ayahnya. Bahkan Marsha sampai di buat merasa asing dengan sikapnya ini. “Apa ini karena Mama yang merajuk?” Marsha langsung menembak dengan pertanyaan faild. Bima yang mendengar itu hanya bisa mengulas senyum masam. “Kamu hebat. Baru saja duduk bersama 5 menit yang lalu. Tapi sekarang kamu sudah mengerti maksud kedatanganku, hahaha ... apakah Ayah harus bersyukur dengan itu?” Marsha hanya mengangkat bahunya acuh dan menyesap kopi hitam tanpa gula yang berhasil ia buat. “Jangan salahkan aku. Da aku juga tidak mau pulang ke rumah karena Ayah atau Mama masih belum menerima Derren dengan baik. Terutama Ayah.” Marsha memberikan jeda. Ia melihat wajah Bima yang mengulas senyum masam dengan tatapan dingin nan tajam. “Sikap apa itu? Menerima kehadiran kedua adik perempuan suamiku, tapi tidak mau menerima suamiku. B
“Marsha.” “Marsha ....” “Marsha!! Kau tak mau bangun, hah?!” teriak Derren, menusuk gendang telinga Marsha yang tidur lelap sampai mengigau keras. Mendengar suara jeritan macho itu, wanita yang sedang mendalami peranya dalam mimpi langsung bangun dan melihat wajah jutek suaminya. “Akhirnya kau bangun.” Derren menghela napas lega dan berjalan ke arah pintu. “Kau tak lupa kalau hari ini kita akan pergi ke rumah orang tua kamu, kan?” Marsha menatap lelaki yang tengah berdiri di ambang pintu kamarnya itu dengan tatapan bengong. “Ulang tahun Tiya??” Derren menangguk. Sementara Marsha mengerutkan kening, menunjukkan wajah bingung, dan terlihat cukup bodoh karena linglung. “Bukannya sudah?” Wanita itu memiringkan kepalanya. “Kita kan sudah ke sana? Yang benar, aku baru saja pulang dari RS, kan?” Derren menatapnya tajam. Sutil yang ia pegang, kini sudah mengarah ke Marsha. “Bangun dari tidurmu dan turu
Marsha mendongak dan melihat wajah suaminya yang sendu. Sorot mata yang terus mengisyaratkan kesedihan mendalam itu terasa begitu menyakitkan bagi Marsha. Kini lelaki itu mengulas senyum masam saat tatapan mereka bertemu. “Namun, jika kamu melahirkannya—aku akan berterima kasih dan membawanya pergi meninggalkan kehidupanmu.” Derren memberikan jeda. Tatapan Marsha saat melihatnya seusai Derren melontarkan pernyataan itu membuatnya merasa getir. “Aku tidak akan mengganggu kehidupanmu dan memberikan kehidupan yang sangat damai. Aku akan memberantas musuhmu sampai kamu tak perlu merasa cemas. Lalu—kita bisa bercerai lebih cepat dari perjanjian setelahnya. Aku ... akan membawa anakku pergi.” Marsha yang tadi hampir menangis, kini malah terlihat marah. Mendengar Derren hendak melepaskannya dan membawa anak mereka. Entah kenapa Marsha tak mau di tinggalkan oleh lelaki ini—ada perasaan tidak siap yang menyelip di hatinya. “Sebagai
Marsha menatap Lea dan Anna yang saling berseteru di depan ruangannya. Sementara dirinya dan Syam, hanya menatap sebagai penonton dari dalam ruangan. “Aku tidak tahu jika hubungan mereka akan seburuk itu,” gumam Syam. Marsha yang mendengar itu hanya tersenyum simpul. “Itu memang karakternya. Kalau sudah membenci seseorang, dia akan terus membencinya sampai akhir. Senior tidak ingat bagaimana Lea memperlakukan aku saat masih bersaing hati untuk Derren?” Syam hanya mengangguk-angguk. Lalu kembali melihat pemandangan menyenangkan di depannya. “Ah, tapi seru melihatnya bertengkar. Aku selalu suka itu. Baik denganmu atau dengan Ibu Tiri mudanya itu.” Syam senyum-senyum tidak jelas. Sementara Marsha yang sibuk memindai data yang masuk lewat emailnya. Baik dari RS Zahara atau Perusahaan Mi. Yang jelas, itu tidak berhenti sejak 2 jam yang lalu. “Perkerjaanmu pasti sangat banyak, kan?” celetuk Syam, seperti mengejek.
Berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit yang di padati perawat dan pasien. Setelah sekian lama akhirnya Marsha bisa kembali bekerja. Pemandangan yang sama membuatnya jenuh. Tapi liburan dua hari kemarin telah membantunya melepas stres. “Selamat pagi, Prof.” Beberapa orang menyapa Marsha dengan ramah. Marsha hanya menunduk singkat menjawab salam itu sambil mengumbar senyum cantiknya. Saat hendak masuk ke dalam ruangan, ia bertemu Lea yang keluar dari dua ruangan yang ada di sebelah kantornya. Lea menatap Marsha dengan sinis. Tampaknya, mood wanita itu sedang tidak baik mengingat reaksinya yang berlebihan. “Padahal aku belum menyapa, tapi kamu sudah melempar tatapan seperti itu? Keterlaluan,” pekik Marsha, mendekati Lea. “Jangan bersikap baik di rumah sakit. Orang-orang Ayahku masih terus mengawasi ... bahkan ia menambah personelnya,” ucap Lea, mengeluh. Marsha menatap sekeliling. “Kalau di s
Marsha bangun cukup pagi setelah sekian kama tidak beraktivitas dan hanya rebahan sepanjang hari di rumah sakit. Kini ia bebas. Jadi Marsha akan memulai paginya dengan sesuatu yang baik—seperti membuat masakan untuk suami dan kedua adik iparnya yang cantik. Baru saja keluar dari kamarnya, Marsha sudah melihat kedua ajudan kepercayaannya tertidur pulas di sofa dengan posisi memangku laptop mereka yang masih menyala. “Astaga. Apa yang aku lihat di pagi hari?” gumam Marsha, berjalan mendekati kedua orang itu. “Hey, coba bangun dan pindah ke kamar. Jika ingin tidur, aku punya banyak kamar kosong.” Marsha membangunkan kedua orang itu. Walau akhirnya keduanya sangat sulit untuk di bangunkan. Marsha membutuhkan waktu 10 menit agar melihat kedua orang itu bangun dan meninggalkan ruang tamu. Menghela napas panjang, Daniel dan Salma meninggalkan laptop mereka di atas meja dalam kondisi menyala dan bekerja. “Kalian
Marsha tidak ingat kapan ia benar-benar tertidur pulas. Yang jelas, saat dia bangun Derren tidur di sampingnya dengan mata sembab. Marsha hanya menghela napas panjang dan membelai puncak kepalanya dengan sayang. Ia masih mengingat bagaimana keluhan dan kesedihan Derren kemarin malam. Cukup mengenai hatinya yang mudah luluh jika itu bersangkutan dengan suami kecilnya. Tapi tak ada kata istirahat untuk mengenang seseorang—walau itu adalah Ibu Mertua yang pernah tinggal bersama dengannya beberapa minggu. “Daniel.” Marsha memanggil dengan tegas. Lelaki yang sedari tadi berdiri di belakang pintu di sisi luar, akhirnya memberanikan diri untuk masuk dan mengganggu kemesraan kedua patsuri itu. “Apa yang ingin kamu sampaikan? Dari tadi aku melihatmu berdiri di luar dengan ragu-ragu.” Marsha turun dari ranjang, namun saat satu kaki Marsha baru turun, Derren segera memeluk perutnya dengan mata terbuka lebar—lelaki itu benar
Dena menatap Marsha dengan tatapan serius. “Tentang Ayahmu yang meninggal karena kecelakaan mobil. Ia tidak meninggal karena kecelakaan biasa. Ia di bunuh ... itu kecelakaan yang di sengaja.” Marsha mengerutkan kening. “Apa maksud Mama?” Ia bangkit dari posisi duduk—mondar-mandir tidak jelas dan duduk kembali dengan Dena yang menatapnya lelah. “Tunggu, ini di luar dugaan Marsha, Ma. Kenapa tiba-tiba membahas ini saat semuanya runyam?” Marsha menjambak kedua sisi rambutnya. “Apa sih ini? Kenapa tiba-tiba sekali.” Marsha menatap wanita itu dengan wajah lelah. “Marsha sibuk dengan kasus ini dan itu. Tapi Mama bicara begitu sekarang? Mama mau membuat Marsha botak karena terlalu banyak ‘problem’?” Dena menggeleng. “Bukan itu maksud Mama. Hanya saja ... pelakunya memiliki nama yang sama dengan orang yang kamu kejar dalam kasus beruntung ini.” Marsha mengerutkan kening untuk ke sekian kali. Ia masih tidak habis pikir dengan semua ini. “Anna? Apakah wanita itu ... biang keroknya?” Dena
Drtt …. drtt … drtt … Marsha mengejapkan mata. Ini hari terakhirnya berada di rumah sakit. Yang ia pikirkan hanya bermalas-malasan seharian karena mengira ini adalah hari terakhir liburnya. Tapi begitu melihat panggilan telepon dari Daniel, entah mengapa Marsha yakin jika dirinya tak akan bisa bersantai lagi. “Halo.” Marsha menguap lebar. Yana dan Naya yang entah sejak kapan ada di dalam kamarnya, hanya melihat kelakuan kakak iparnya dengan geleng-geleng kepala. [Anda masih di rumah sakit, kan?] Marsha menjauhkan teleponnya dari telinga—memastikan apa benar yang meneleponnya adalah Daniel—karena orang di seberang sana seakan tak tahu kondisinya. “Kenapa bertanya tidak masuk akal?” Marsha bertanya dengan bingung. “Suaramu … apa ada masalah yang terjadi?” Daniel terdengar mendesak kasar. Tampaknya memang ada yang telah terjadi. Daniel adalah orang yang tenang jika berhadapan dengan dirinya. Mende
Lea tersenyum dengan paksa. Air matanya hampir berlinang membasahi pipi. “Kenapa dengan wajahmu?” Marsha bertanya karena murni tidak tahu. Wanita itu datang dengan wajah sembab sambil membawa banyak makanan. Tapi begitu masuk ke dalam ruangan Marsha ia tidak melakukan apa pun dan hanya diam seperti mayat hidup di sofa panjang depan TV. Marsha masih duduk di atas ranjang dengan meninjau data. Setelah mengajukan pertanyaan tanpa jawaban, ia memilih untuk tidak bertanya lagi. Ampai beberapa jam berlalu tanpa obrolan di dalam ruangan itu. Marsha menatap keluar jendela. Langit malam sudah mulai menampakkan diri. Sudah saatnya Lea kembali. Tapi wanita itu hanya diam seperti beberapa saat yang lalu. “Hari makin gelap. Kamu tidak kembali?” tanya Marsha. Lea mengejapkan mata dan memalingkan pandangan ke arah Marsha. “Aku mau menginap.” Setelah mengatakan itu, Lea meletakkan bantal sofa yang dari tadi ia
Lea menatap Gama yang duduk di dalam ruang tamunya dengan tatapan bingung.“Apa yang membawamu ke sini?” tanyanya, dengan menyajikan secangkir teh untuk mereka berempat.“Aku datang untuk bertanya sesuatu.” Gama memilik ke arah Derren dan Syam yang masih terus melempar tatapan horor satu sama lain. “Tapi mereka akan mengganggu jika terus begitu. Tidak bisakah kamu membuang salah satunya ke kamar mandi atau ke mana gitu?” Lea menghela napas kasar. “Di antara dua orang ini, mana yang lebih di butuhkan untuk membantu?”Gama langsung menunjuk Derren. Seketika itu juga Lea langsung menyeret Syam dan memasukkannya ke dalam kamar, lalu menguncinya dari luar.“Kamu tidur saja, Senior. Kamu kan belum tidur karena menemaniku semalaman!” ucap Lea dari luar kamar tanpa rasa bersalah.Syam pasrah. Ia yang mulai mengantuk akhirnya menurut. “Baiklah. Bangunkan aku saat jam makan siang.” Lea tak menjawabnya. Ia kembali ke ar
“Kamu mau makan apa?” Derren mengambil piring. Ia siap menjadi banu Marsha seandainya istri cantiknya itu meminta sesuatu. Sayangnya, Marsha sudah mengambil piringnya sendiri dan mengambil makanannya sendiri. Derren menghela napas penat. Ia mengikuti langkah Marsha berjalan pergi meninggalkan tempat hidangan kantin berada dan mencari tempat duduk. “Jangan terus mengikutiku.” Marsha menyuapkan makanan ke dalam mulut dan mulai makan dengan tenang. Derren memperhatikan dengan saksama. “Sampai kapan kamu jadi marah? Kemarin kan masih aku yang marah?” tanyanya, tak mengerti kenapa situasinya menjadi terbalik. Wanita itu hanya mengangkat pundak acuh tak acuh. Derren menghela napas. Ia masih mempertahankan senyumnya dengan sabar. “Bagaimana kalau menonton?” Marsha menaikkan alisnya. Ia terlihat tertarik. Tapi gengsi lebih mendominasi. “Tiba-tiba?” Ia menjawab dengan sewot. “Kamu masih ingat