Seminggu setelah pengakuan Siska, sekarang mereka akan dinikahkan. Pernikahannya akan dilaksanakan di rumah Siska.Pagi-pagi sekali Pak RW sudah datang ke rumahku. Kami berpapasan di pagar, kebetulan aku sedang ingin mengantar anak-anak ke sekolah. "Mas Al! Acara nikahan Siska nanti pukul sepuluh. Hadir ya!"Entah mengapa ia harus mengundangku, aku rasa aku tidak berkepentingan untuk hadir, tapi bagaimana menolaknya ya?"Hmmm ... gimana ya, Pak?" aku mencoba menolak undangan Pak RW."Sudah hadir sajalah! Saya tunggu!" ucap Pak RW, ia berlalu dengan motornya begitu saja. Rupanya beliau tidak menerimanya penolakan.Karena tidak enak menolak Pak RW, aku pun datang, tidak banyak warga yang hadir, hanya Pak RW, keluarga dekat dan tetangga dekat Siska saja. Warga yang lain tidak ada sama sekali.Aku duduk lesehan bersama bapak-bapak yang lain. Kulihat Siska sangat murung, ia duduk sendiri di meja yang akan menjadi tempat ijab kabul. Sementara Bang Panji belum juga datang.Tidak ada jamuan a
"Kita bawa Bu Nel ke dalam dulu." Kami berempat membantu mengangkat tubuh lemah Bu Nel masuk kembali ke dalam rumahnya.Hasan bergegas membersihkan bangku yang dipenuhi barang berserakan untuk tempat membaringkan tubuh ibunya."Bagaimana awal mulanya tadi, San?" tanya seorang warga.Tetangga yang lain mulai ramai melihat keadaan Bu Nel. Bocah remaja itu menangis."Tadi subuh Bang Panji membuka celenganku, Pak! Ibu memergokinya, mereka berdua ribut hingga Bang Panji memecahkan piring dan gelas, mereka terus berantam. Aku hanya mendengarkan dari dalam kamar. Tak lama setelahnya, aku mendengar Bang Panji membentak ibu,aku ke luar dan Bang Panji mengarahkan parang padaku sambil berkata, aku akan bunuh anak kesayangan ibu!"Bocah itu terlihat kembali menangis, sungguh berat apa yang ia tanggung tadi pagi. Tidak aku sangka Bang Panji sejahat itu pada ibu dan adiknya sendiri.Tetangga yang lain hanya menyimak, lalu Pak Adji menyuruh mereka pergi. "Maaf ibu-ibu sepertinya rumah menjadi panas
Sebulan telah berlalu, akhirnya aku memilih resign dari bengkel Mang Ardhan. Karena aku lebih memilih mengurus istri dan rumah serta anak-anak.Kuputuskan kembali untuk membuka laundry, beruntung warga pun sangat antusias menyerahkan pakaiannya untuk aku setrika. Sekarang aku sendiri yang mengerjakannya tanpa karyawan.Kinanti masih bed rest kubahagiakan pikirannya, kupenuhi semua kebutuhannya. Hari ini jadwal periksa ke dokter, aku dan istriku berangkat setelah anak-anak kuantar ke sekolah.Sampai di rumah sakit, aku pun mendaftarkan namanya. Setelah menunggu cukup lama, terdengar panggilan dari seorang perawat, "Ibu, Syafnita Kinanti!"Kami berjalan ke ruangan dokter, aku memapahnya. Langkahnya pelan sekali, aku dengan sabar berjalan di sisinya.Kami masuk ke ruangan serba putih dan duduk di depan meja perawat yang ada di situ, "Ada keluhan apa, Bu!""Kami ingin periksa keadaan janin kami, terakhir ia sangat lemah, dokter sebel
Empat bulan telah berlalu, usaha laundry sudah stabil. Aku masih memakai setrika uap, karena menurutku hasilnya lebih rapi dan licinnya juga cepat. Hanya saja harus di tunggu dingin dulu baru aku kemas dalam plastik. Tempat laundryku masih di tengah rumah, hingga sering kali rumah kami terlihat berantakan.Kinanti sudah lebih sehat, sekarang ia kuat berjalan-jalan di tengah rumah dengan perutnya yang mulai terlihat buncit.Aku mendengar suara pintu di tutup disusul langkah kaki isteriku yang mendekat ke arah ku. Ia pasti dari kamar anak-anak, sebelum anak-anak tidur isteriku selalu menemani mereka. Sekarang anak-anak pasti sudah tidur.Aku pun menoleh, lalu memanggilnya, "Sini, Sayang!"Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku masih menyelesaikan setrikaan yang tinggal sedikit lagi."Abang, mau aku buatkan kopi?" tanyanya sambil berjalan pelan ke arahku.Aku masih belum mengizinkannya menyentuh pekerjaan apapun. Memasak, mengepel, mencuci dan lain-lain masih aku kerjakan sendiri
Suara Kinanti yang terdengar cemas membuat aku juga ikutan cemas. "Iya, Abang segera pulang!" jawabku di telepon."Bang! Beliin obat penurun panas aja dulu!" ucapnya lagi di seberang sana.Oh ... iya, pertolongan pertama. Aku pun pamit pada Mang Ardhan dan Ongki untuk pulang, aku berteriak pamit juga Teh Yusri, "Teh, aku pulang dulu!"Langsung saja aku gas becak motorku cukup kencang. Aku singgah di toko obat dan membeli sirup penurun panas untuk anak-anak.Sampai di rumah, aku langsung disambut Kinanti. "Obatnya ada, Bang?""Ada! Nih!" Aku menyerahkan obat dalam kantong kresek padanya.Ia pun bergegas, setengah berlari menuju kamar Mixi. "Jangan berlari!!!" teriakku menegurnya.Kinanti langsung terhenti di tempat, lalu berjalan pelan. "Ya ... ampun mentang-mentang sudah merasa kuat, seenaknya saja berlari," desisku yang mungkin tidak terdengar lagi olehnya. Aku tidak akan biarkan si Sholeh kenapa-napa lagi.Seharian ini kubiarkan Kinanti merawat Mixi. Karena sudah sore, aku sendiri m
Tatapannya yang aneh itu lama dan panjang sekali kepadaku, aku pun melakukan hal yang sama. Setelah cukup lama kami bertatapan dan hanya membisu, ia kembali mengetuk pintu dan mengucapkan salam, "Assalamualaikum!""Apa-apaan pria ini? Kenapa terus mengetuk pintu dan mengucapkan salam, padahal aku di depannya," batinku.Aku kembali menegurnya, "Cari siapa, Bang?""Cari isteriku!" jawabnya singkat. Ia melihat ke becakku yang berisi beberapa kantong pakaian besar. "Kau mau jemput pakaian, ya?"Ternyata dia mengira aku mau jemput pakaian ke rumah ini, pantas saja ia terus-menerus mengetuk pintu dan tidak menghiraukanku.Aku tersenyum menanggapinya, "Maaf! Apa isteri Abang main di rumah saya?" tanyaku, kurasa ia menjemput isterinya, barang kali tadi saat aku di luar ada tamu Kinanti yang datang.Pria itu terlihat semakin mengerutkan dahinya, mungkin ia bingung dengan pertanyaanku. Kami kembali saling pandang, aku mulai curiga sepertinya ada yang salah."Apa Abang salah rumah?""Nggak!" jaw
Pria bodoh itu hanya terdiam mendengarkan aku yang berkali-kali bertanya dan menyudutkannya. Ia sama sekali tidak membela diri."Kinanti tidak perlu kata talak darimu!" Aku menegaskannya sekali lagi.Thomas nampak geram beberapa kali ia menarik nafas kasar. Heran kenapa semenjak tadi dia datang sampai saat ini tidak sekata pun ia menanyakan tentang anak-anaknya. Mungkin dia benar-benar lupa pernah membuat mereka.Aku semakin ilfil dengan Thomas, sungguh ia pria yang buruk menurutku ditambah lagi dengan tidak bertanggung jawab sedikit pun selama ini.Rumah ini tidak besar, ruang tamu, kamar ku dan kamar anak-anak masih satu ruangan lepas. Kalau dapur baru memiliki sekat. Tidak sengaja aku melihat ke pintu kamar anak-anak, aku melihat Mixi mengintip di balik gorden pintu."Mixi!!!" batinku.Sesaat Mixi juga melihat kepadaku, tatapan kami bertemu sekian detik. Ia langsung masuk kembali ke dalam kamar. Kasihan sekali anak i
"Benarkah? Tapi aku sudah tidak peduli lagi sekarang," jawab Kinanti kembali.Aku dan ketiga warga menjadi penonton drama mantan suami istri ini. Sebaiknya aku memang tidak perlu ikut berbicara dulu biarkan mereka menyelesaikan masalah beberapa tahun yang lalu.Aku tidak ingin jika nanti masih ada perasaan belum puas di hati mereka masing-masing. Kalaupun memang ada kesalah pahaman, biarkan mereka menyelesaikannya sekarang.Kinanti memandang padaku, aku pun memandangnya. Aku tersenyun simpul dan berkata, "Tidak apa-apa kau selesaikanlah dulu!"Aku mengerti arti tatapan istriku itu. Ia sedang bertanya pendapatku, aku sengaja mengatakan dirinya harus menyelesaikan masalahnya dulu, tidak perlu terbebani dengan kehadiranku di sini. Aku percaya seratus persen hatinya sudah milikku dunia dan akhirat."Terimakasih, Bang!" Ia membalas tersenyum padaku.Tatapanku beralih pada ketiga warga yang masih berada di rumahku. Aku rasa ini sudah ranah pribadi kami, sebaiknya mereka sudah tidak di sini
Aku telah sampai di rumah, sama seperti tadi, Mixi masih tertinggal di belakang. Aku segera memarkirkan motor dan masuk ke dalam rumah. Aku tidak sabar ingin menyampaikan berita ini pada Kinanti."Assalamualaikum, Sayang!" Aku mengucap salam dan langsung mencari keberadaan istriku.Beberapa saat ia belum juga muncul, aku bergegas mencarinya ke dapur, eh malah tidak ada!"Sayang!" panggilku lagi.Tak lama suaranya muncul dari dalam kamar. "Iya, Bang!"Aku langsung menyusulnya, kami hampir bertabrakan di sekat pembatas ruang tengah dan dapur. "Astaghfirullah!" Aku terlonjak kaget."Hei, Abang ada berita bagus buat kamu!" Aku melangkah semakin mendekatinya dan menarik tangan istriku untuk duduk di sofa ruang tamu.Begitu panjang cerita yang akan aku sampaikan hingga kami harus duduk. Aku begitu bahagia mengetahui kalau benda itu bukanlah milik Mixi.Kami baru saja mendaratkan bokong di sofa, terdengar salam Mixi dari pintu, "Assalamualaikum!"Kami menoleh bersamaan dan menjawab salam jug
Pagi ini aku ingin pergi ke sekolah Mixi, apa yang dilakukan anak itu harus aku selesaikan. Dia harus tetap bersekolah hingga ujian akhir walaupun semalam telah resmi menikah.Setelah sarapan aku sudah siap untuk pergi, tapi anak itu sama sekali belum bersiap. Aku lupa memberitahu Mixi kalau aku akan ke sekolahnya hari ini. Al hasil aku harus menunggunya bersiap dan kami berangkat agak siang dengan motor masing-masing.Aku telah sampai dan melihat jam di pergelangan tanganku. "Sudah pukul 09.00," gumamku.Aku memarkirkan motor lalu memandang ke belakang mencari keberadaan Mixi. Beberapa menit aku menunggu, akhirnya anak itu sampai juga."Cepatlah!" desisku.Aku berjalan terlebih dahulu, gadis itu berjalan pelan di belakangku terdengar kakinya seperti diseret. Aku memutar badan dan bicara padanya."Kau, cepatlah sedikit, dasar anak bandel!" Aku masih terus menghardiknya karena aku tak habis pikir dengan kelakuan anakku itu.Mixi tak berani menatapku, ia terus menunduk sepanjang jalan. A
"Kenapa?" sentak Erhan."Karena kau non muslim!" tunjukku.Seketika aku merasa menemukan jalan buntu. Aku tidak mau Mixi menikah dengan seseorang yang beda keyakinan. Di satu sisi aku tidak mungkin diam saja saat mereka sudah melakukan hal di luar batas.Erhan berdehem, "Hmm, kalau itu Abang tidak perlu khawatir, aku sudah mualaf kok!" ungkapnya sambil cengengesan.Pemuda ini benar-benar ajaib, sama sekali tidak ada risau di wajahnya, walaupun babak belur ia tetap terlihat happy. Hal itu berbanding terbalik dengan gadis yang duduk di sampingnya, Mixi hanya menunduk, sama sekali tidak happy."Kapan?" tanyaku singkat."Dua bulan yang lalu! Kalau Abang tidak percaya silahkan telpon Ustad Habibi, beliau yang sampai saat ini masih membimbing saya," tutur Erhan.Pemuda itu mengeluarkan ponsel dari saku celana. Ia mengulurkan padaku memintaku menelepon ustad yang ia maksud.Aku sungguh tidak kenal dengan ustad Habibi itu, dari pada aku menghubungi orang yang tidak aku kenal, lebih baik aku te
Pikiranku mendadak kacau, aku ingin segera berbicara dengan Mixi. Aku langsung mengendarai motor dengan kecepatan maksimal. Aku tidak jadi menjemput Kinanti, acara jalan-jalan berdua terpaksa batal, lain kali saja!Sampai di rumah aku melihat motor yang tidak aku kenali terparkir di depan teras. Namun, suasana rumah terlihat sangat sepi dan pintu rumah juga masih ditutup."Motor siapa, ya?" tanyaku dalam hati. Siapa yang sudah pulang? Apa salah satu dari anak-anak?Mendadak perasaanku menjadi tidak enak. Aku langsung teringat dengan cerita Bu Er tentang pemuda ganteng yang diajak Mixi ke sekolah, mungkinkah itu—. Berarti Mixi di dalam dengan pemuda itu? Berdua saja? Aku harus selidiki, aku tidak ingin diperbodoh.Aku langsung membuka pintu perlahan agar mereka tidak mengetahui aku pulang. Rencana menyergap mereka diam-diam sudah tersusun di otakku. Begitu pintu terbuka aku terbelalak terkejut dengan apa yang aku lihat."Astaghfirullah, ternyata ini kelakuan kalian?" teriakku yang lang
Hari sudah pukul empat sore. Tinggal satu motor saja yang belum dibenarkan, biarlah menjadi tugas Parto buat nambah gaji karyawanku itu. Eh iya, Parto bukan hanya karyawanku, ia juga adalah suami Tiani.Aku memilih pulang ke rumah."To, Abang pulang dulu, ya! Yang ini masih amankan?" pamitku sambil menunjuk motor yang masih belum dibenarkan."Aman, Bang! Sebentar saja siap tu!" balasnya.Sampai di rumah ternyata sangat sepi tidak ada siapa-siapa, aku lupa kalau sedari pagi isteriku di tempat tetangga yang sedang hajatan. Sedangkan Mixi, Yura dan Uwais belum pulang, pasti mereka masih belum selesai les. Aku duduk di depan teras tanpa membuka pintu, malas masuk rumah kalau tidak ada siapa pun begini.Aku teringat sudah lama tidak jalan-jalan berdua dengan isteriku. Akhirnya aku mengirim pesan singkat untuk menjemputnya, "Yang, sudah selesai? Abang jemput sekarang?"Beberapa saat menunggu, tidak ada balasan dari Kinanti. Mungkin ia sedang sibuk dan tidak menyadari aku mengirim pesan. "Ya
Aku mengambil sertifikat itu lalu bicara pada Miko, "Sudah terbayar 'kan nazar lo?"Miko mengangguk, ia terlihat tersenyum puas setelah berhasil membuatku menerima sertifikat pemberiannya.Miko bahkan memeluk ku. "Lo emang teman gue dunia akhirat, Al! Lo nggak hanya menyelamatkan harta gue di dunia tapi juga di akhir kelak. Makasih ya, Bro!!!"Ia lalu menepuk-nepuk pelan punggungku. Ya, ya, biarkan saja begini untuk beberapa menit ke depan. Begitu bahagianya Miko telah berhasil membayar nazarnya. Aku menikmati momen ini, aku juga bahagia melihat temanku bahagia.Setelahnya aku mengambil tangan Miko dan meletakkan kembali sertifikat itu. "Sekarang gue mau nitip sertifikat ini lagi sama lo!""Eh, apaan? Nggak bisa gitu, Al!" protesnya. Miko tidak mau memegang surat berharga itu hingga jatuh ke lantai begitu saja.Turun sudah harga diri sertifikat sebagai barang berharga karena ulah kami yang saling menolak keberadaannya. Padahal ia begitu sangat berharga, disaat yang lain rela membunuh s
"Nggak apa-apa, biarkan dia makan telur," selaku. "Kebetulan Kinanti tadi goreng telur juga untuk Uwais."Aku heran dengan sikap Tiani, padahal nggak apa-apa Cia makan di rumah kami. Apa dia masih menganggap kami orang asing?"Sebentar ya, Cia!" Kinanti melanjutkan langkahnya ke dapur.Tak lama ia kembali membawa sebakul nasi, sepiring sambal dan sebuah telur dadar. "Kita makan bersama, ya!""Kakak ambil piring dan minum dulu!" Ia izin kembali lagi ke dapur, lalu balik dengan piring dan juga air minum di tangannya.Kinanti telah duduk kembali, ia mengulurkan piring sebagai alas nasi bungkus yang sedang dimakan Cia. Ia juga meletakkan telur dadar di atas nasi itu. "Makan yang banyak, Sayang!"Bocah itu tersenyum cerah. "Makacih, Ante! Cia cuka."Sekarang nasi itu sudah memiliki lauk, tidak hanya nasi putih saja seperti tadi. Aku masih terus memperhatikan bocah itu, senyum dan tingkahnya lebih mirip Yura.Cia memandang ibunya, tangan mungil itu mencoba menggeser piring lebih dekat denga
Keesokan paginya, aku dan Miko langsung menuju bank tempat aku menitipkan surat berharganya. Tak lupa aku membawa kunci SDB. Kami berangkat berboncengan dengan si Jack Blue.Sampai di bank tidak perlu proses yang lama, petugas bank langsung mengembalikan surat-surat itu padaku. Aku menyerahkannya pada Miko."Al, makasih ya sudah menjaganya. Kalau nggak ada lo, mungkin setelah bebas dari penjara gue akan menjadi gembel," tutur Miko saat surat-surat berharga sudah di tangannya.Aku mengangguk dan tersenyum, rasanya lega sekali melihat surat itu telah berhasil aku kembalikan pada pemiliknya. Beban amanah dari Miko di pundakku hilang seketika.Kami melanjutkan langkah ke luar dari bank setelah berterima kasih dan pamit pada petugas bank. Kami berjalan beriringan, aku sangat bersyukur sahabatku ini akhirnya berada di sisiku lagi artinya ia telah melewati masa-masa sulit."Kita cari makan dulu, Al! Lapar gue."Mendadak langkahku berhenti mendengar ajakan Miko. "Gue masih kenyang Kokot. Apa
"Gue kira lo bakal nikah sama si dokter itu!" Suara Miko begitu keras, aku takut Kinanti mendengar dari dalam dan ia akan salah paham jika hanya mendengar sepenggal saja.Mataku langsung beralih melihat ke dalam ruko, benar saja aku melihat siluet istriku baru masuk ke dalam kamar. Aku yakin Kinanti dapat mendengar percakapan kami, apa lagi suara Miko yang sangat keras ditambah ruko ini yang hanya seluas telapak tangan. Setelah ini Kinanti akan menuntut membahas Melda padaku."Ya, nggaklah! Gue setia ama bini gue, Ko! Lo 'kan tau gue setiap hari sibuk bengkel sama ngurus anak bayi, mana pernah terniat nikah lagi." Sengaja aku menjawab dengan suara yang juga cukup keras. Aku harap jawabanku barusan bisa membuat istriku tidak marah nantinya. Aku harus bersiap menceritakan tentang Melda setelah ini. Aduh Miko cari masalah buatku aja, hanya berharap Kinanti tidak salah paham.Selama ini bukan aku bermaksud menyembunyikan tentang Melda dari Kinanti, hanya saja aku menunggu waktu yang tepa