“Jadi, liburan kalian saat ini hanyalah kedok untuk menjalankan misi Anyelira?” tanya Risa tiba-tiba.Ganesha sampai memegangi dadanya saking terkejutnya. Sedari tadi, ia terus melihat Anyelira dari dalam kamar penginapan yang disewa oleh anak buahnya. Risa dan Riki sudah tiba malam tadi. Hanya saja, Ganesha baru bisa menemui mereka saat ini. “Bukan urusanmu,” ketus Ganesha.Risa menggaruk leher belakangnya. Dari ekspresi yang diperlihatkan, bisa Ganesha perikrakan wanita itu tengah merasa bersalah. Ya, seharusnya memang begitu.Semua orang di teamnya tahu, jika Ganesha terlalu fokus pada suatu hal, ia jadi tidak begitu memerhatikan yang lainnya. sebuah kelemahan. Iya, Ganesha akui itu.“Lalu, apa rencanamu?” tanya Risa lagi. sepertinya wanita itu cukup penasaran. Memang apa yang ingin didengarnya? Tumben sekali.“Tidak ada.”“Tidak ada?”“Itu bukan urusanmu. Lagi pula, kenapa kau jadi tanya-tanya begini sih? Biasanya kau juga tidak peduli, kan?”Ganesha menyilangkan kedua tangannya
Anyelira bolak balik mengedipkan matanya. Memastikan bahwa siapa yang kini ia lihat adalah orang-orang yang dikenalnya. Iya, benar. Ia tak salah. Itu Risa dan pacarnya. Menenteng tas besar. Mereka tengah berdiri di depan resepsionis. Mau cek in?Heh, tapi kan mereka belum menikah!Anyelira hendak menyusul mereka, hanya saja rengekan Ganesha menahannya. Oh iya, nyaris ia lupakan keberadaan suaminya sebab terlalu syock dengan apa yang dilihatnya. "Anye, kakiku sakit!"Anyelira mengalihkan fokusnya pada kaki Ganesha yang diperban. Iya, nampak lebih besar dari pagi tadi. Melihat itu, Anyelira jadi mendengkus tertahan. Padahal sakit begini, kenapa Ganesha tidak hati-hati sih?"Kenapa tadi malah berlarian, hm?" Anyelira mencuri lirikan pada tempat di mana Risa dan Riki tadi berdiri. Mereka sudah menghilang. Huh, sudah langsubg masuk ke kamar hotel, eh?"Maaf, tadi Ganesha seneng bertemu Anye!" rengeknya. Anyelira hanya menghela napas pasrah. Berusaha sabar. Memiliki suami berketerbelakang
"Maaf karena aku menelpon kalian tiba-tiba begini." Anyelira berbicara dengan telephon seraya mengamati Ganesha yang tengah bermain game di ponselnya. Bukan jenis game yang neko-neko macam Mobil Legend atau Free Fair. Hanya sebuah game sederhana yang berfungsi untuk menstimulasi otak suaminya. Untuk lebih tajam dan juga memgembangkan cara berpikirnya.Terdengar sia-sia, sih. Namun di sini Anyelira cuman coba-coba. Apabila memang tidak menghasilkan apapun, setidaknya dengan memainkan game itu, Ganesha bisa menjadi lebih tenang dan tidak terlalu bergelayut manja padanya."Tidak masalah. Kebetulan jualan saya sudah habis." El membalas terlebih dahulu."Saya juga tengah bersamtai mengawasi pengunjung pantai." Sambung Rosa segera."Begini, aku mimta laporan, sejauh mana kalian sudah mencari teman bernama F itu?""Kami sudah memeriksa tempat-tempat yang biasa dikunjunginya melalui beberapa saksi mata yang berhasil.kami temui. Lalu, kami juga sudah mengunjungi rumah sakit." Rosa berhenti sej
“Laporan kalian cukup mengesankan.”Iya. Mengesankan. Setidaknya tidak seburuk perikiraannya. Mengingat kecerobohan anggota teamnya saat ini nyaris membuat emosi Anyelira meledak. Bersyukurlah ada Ganesha—yang bisa menjadi tempat bersandarnya kala keadaan macam itu. jika tudak, mungkin kini Anyelira lebih memilih kembali ke kantor kejaksaan mengurusi kasus yang benar-benar butuh perhatiannya. “Komandan juga cukup memujiku atas hal itu,” ujar Rosa membanggakan dirinya sendiri. “Sekalipun kami tidak setangkas F dalam masalah penyelidikan, kami bisa menyainginya dalam hal laporan.”El mengangguk setuju. “F itu terlalu mebanggakan.”Anyelira mengangguk mengerti. Matanya menatap sekejap pada deburan ombak di pantai. Sekarang ia harus mulai ancang-ancang untuk menemukan rekan bernama F itu. nama kepanjangannya adalah Fadlan Khairur. Mereka, tiga sekawan lulus dari akademi kepolisian dalam waktu bersamaan. Lalu, secara kebetulan mereka juga lulus dan ditugaskan di lembaga intansi yang sama.
Sementara itu, lelaki yang baru saja menutup panggilannya bersama bawahannya itu kini berganti cepat pada kontak seseorang. Ia nampak gugup kala mendial nomor tersebut.Setelah panggilan rersambung, suaranya keluar dengan getar yang kentara. "Anyelira Arsyana sudah saya tugaskan untuk menyelidiki kasus itu. Tolong, lepaskan saya."Tanpa mendapatkan jawaban apapun, telephon sudah terputus. Membuat lelaki utu mengerang frustasi seraya menatap sekeliling ruangannya cemas.****"Aku sudah mendapatkan laporan dari bawahanku, nama samaran F di sini adalah Fahri. Fahri Agustus. Dia pernah menjadi pedagang bakso keliling sebelum dinyatakan hilang."Anyelira menjelaskan duduk perkaranya dengan tenang. Sekalipun dalam hatinya jelas sengsara. Pikirannya tak karuan. Jujur saja, sampai saat ini Anyelira masih bingung, mengapa kasus pamannya di alihkan padanya? Sekalipun sedikit banyak, Anyelira merasa senang namun terap saja. seperti ada yang mengganjal. Ah, lagi-lagi begitu. apa mungkin Anyelira
“Apa yang kau inginkan?” tanpa basa-basi, Ganesha menyambut panggilan kakaknya dengan nada dingin. “Santai, Little Brother,” kekehan bersambut nada geli menyelimuti mulut lelaki itu. “Aku memanggilmu tentu saja karena memiliki misi untukmu maupun team-mu itu.” Tangan Ganesha mengerat menahan amarah. Jika seandainya mereka bersitatap secara langsung, bukan tidak mungkin Ganesha melayangkan tinju kepada lelaki itu. Little brother katanya? Cuih! Ganesha jijik dengan panggilan itu. sejak kapan mereka menjadi saudara? “Apa perintahmu?” Ganesha menormalkan ekspresinya dengan susah payah. Ia hanya memohon supaya Anyelira tidak kembali sekarang. Sungguh, ia sama sekali tak siap bertemu dengan istrinya itu. “Sederhana, aku ingin kau melenyapkan seseorang.” Lagi. Sejak awal keberadaannya memang sebagai mesin pembunuh bagi orang-orang yang menghalangi jalan lelaki itu, kan? Ah, tidak. Bukan hanya dia. melainkan mereka. ya, Ganesha memang terlahir untuk itu. “Dia jaksa lagi. Rekan kerja istr
Anyelira kembali meneliti alamat yang dkirim oleh Bambang dengan penunjuk sekitarnya. Menurut gps di ponsel Rosa, inilah tempatnya. Sebuah dukuh pesisir pantai yang jaraknya kurang lebih tiga kilo dari penginapan. Sebelum keluar, Anyelira mengecek earphone di masing-masing telinga mereka. Rosa dan El sudah siap dan mereka juga memastikan ponsel dalam keadaa menyala dan dapat dihubungi kapanpun. Syukurlah, signal aman di sini."Ini adalah penyelidikan pertama kalian. Mari kita kerahkan seluruh tenaga kita."Rosa dan El saling berpandangan lalu mengangguk. "Kita bergerak sesuai rencana awal. Aku akan menuju langsung ke lokasi, kalian cari informasi sebanyaknya tentang penyortir bakso itu dari warga sekitar.""Siap. Laksanakan!" jawab Rosa dan Ep bersamaan.Dan merekapun berpisah jalan. Anyelira menuju alamat rumah penyortir bakso itu. Ia menanyakan keberadaannya dari warga sekitar yang ditemuinya. Lalu, saat sudah menemukan, Anyelira mengetuk rumah. Ia mengambil langkah berbahaya. Terle
"Oh, ada kurang lebih sepuluh cabang gerobak, Mbak." Didin tersenyum sumringah. "Tapi ya ... gitu. Nggak nentu seharinya. Kadang habis, kadang nggak. Namanya juga jualan."Anyelira mengangguk setuju. Setiap usaha pasti mengalami pasang surut. Ada laba dan juga ada rugi. Selang seling. Dan tidak pasti. "Saya mengerti. Terus ini sudah dimulai sejak kapan? Masnya owner?"Anyelira berusaha menggali lebih dalam lagi. Makin banyak yang ia ketahui, makin baik lagi. Didin mengerutkan keningnya sejenak dan kembali bersikap santai. "Udah dari sepuluh tahun lalu, Mbak. Dulu yang mulai usaha ibu. Karena bapak saya meninggal. Dan syukurlah masih bisa bertahan hingga sekarang."Anyelira tersenyum seraya menganguk-anggukkan kembali. "Udah lama juga ya, Mas. Berarti dulu udah jadi penyuplai bakso gitu ya, ibunya?""Mbak lama-lama kayak wartawan?" Didin mulai curiga. Sekalipun begitu, rautnya masih dibuat sesantai mungkin. Anyelira meremas kedua tangannya. Rasanya mulai mendingin akibat keringat. O