"Maaf karena aku menelpon kalian tiba-tiba begini." Anyelira berbicara dengan telephon seraya mengamati Ganesha yang tengah bermain game di ponselnya. Bukan jenis game yang neko-neko macam Mobil Legend atau Free Fair. Hanya sebuah game sederhana yang berfungsi untuk menstimulasi otak suaminya. Untuk lebih tajam dan juga memgembangkan cara berpikirnya.Terdengar sia-sia, sih. Namun di sini Anyelira cuman coba-coba. Apabila memang tidak menghasilkan apapun, setidaknya dengan memainkan game itu, Ganesha bisa menjadi lebih tenang dan tidak terlalu bergelayut manja padanya."Tidak masalah. Kebetulan jualan saya sudah habis." El membalas terlebih dahulu."Saya juga tengah bersamtai mengawasi pengunjung pantai." Sambung Rosa segera."Begini, aku mimta laporan, sejauh mana kalian sudah mencari teman bernama F itu?""Kami sudah memeriksa tempat-tempat yang biasa dikunjunginya melalui beberapa saksi mata yang berhasil.kami temui. Lalu, kami juga sudah mengunjungi rumah sakit." Rosa berhenti sej
“Laporan kalian cukup mengesankan.”Iya. Mengesankan. Setidaknya tidak seburuk perikiraannya. Mengingat kecerobohan anggota teamnya saat ini nyaris membuat emosi Anyelira meledak. Bersyukurlah ada Ganesha—yang bisa menjadi tempat bersandarnya kala keadaan macam itu. jika tudak, mungkin kini Anyelira lebih memilih kembali ke kantor kejaksaan mengurusi kasus yang benar-benar butuh perhatiannya. “Komandan juga cukup memujiku atas hal itu,” ujar Rosa membanggakan dirinya sendiri. “Sekalipun kami tidak setangkas F dalam masalah penyelidikan, kami bisa menyainginya dalam hal laporan.”El mengangguk setuju. “F itu terlalu mebanggakan.”Anyelira mengangguk mengerti. Matanya menatap sekejap pada deburan ombak di pantai. Sekarang ia harus mulai ancang-ancang untuk menemukan rekan bernama F itu. nama kepanjangannya adalah Fadlan Khairur. Mereka, tiga sekawan lulus dari akademi kepolisian dalam waktu bersamaan. Lalu, secara kebetulan mereka juga lulus dan ditugaskan di lembaga intansi yang sama.
Sementara itu, lelaki yang baru saja menutup panggilannya bersama bawahannya itu kini berganti cepat pada kontak seseorang. Ia nampak gugup kala mendial nomor tersebut.Setelah panggilan rersambung, suaranya keluar dengan getar yang kentara. "Anyelira Arsyana sudah saya tugaskan untuk menyelidiki kasus itu. Tolong, lepaskan saya."Tanpa mendapatkan jawaban apapun, telephon sudah terputus. Membuat lelaki utu mengerang frustasi seraya menatap sekeliling ruangannya cemas.****"Aku sudah mendapatkan laporan dari bawahanku, nama samaran F di sini adalah Fahri. Fahri Agustus. Dia pernah menjadi pedagang bakso keliling sebelum dinyatakan hilang."Anyelira menjelaskan duduk perkaranya dengan tenang. Sekalipun dalam hatinya jelas sengsara. Pikirannya tak karuan. Jujur saja, sampai saat ini Anyelira masih bingung, mengapa kasus pamannya di alihkan padanya? Sekalipun sedikit banyak, Anyelira merasa senang namun terap saja. seperti ada yang mengganjal. Ah, lagi-lagi begitu. apa mungkin Anyelira
“Apa yang kau inginkan?” tanpa basa-basi, Ganesha menyambut panggilan kakaknya dengan nada dingin. “Santai, Little Brother,” kekehan bersambut nada geli menyelimuti mulut lelaki itu. “Aku memanggilmu tentu saja karena memiliki misi untukmu maupun team-mu itu.” Tangan Ganesha mengerat menahan amarah. Jika seandainya mereka bersitatap secara langsung, bukan tidak mungkin Ganesha melayangkan tinju kepada lelaki itu. Little brother katanya? Cuih! Ganesha jijik dengan panggilan itu. sejak kapan mereka menjadi saudara? “Apa perintahmu?” Ganesha menormalkan ekspresinya dengan susah payah. Ia hanya memohon supaya Anyelira tidak kembali sekarang. Sungguh, ia sama sekali tak siap bertemu dengan istrinya itu. “Sederhana, aku ingin kau melenyapkan seseorang.” Lagi. Sejak awal keberadaannya memang sebagai mesin pembunuh bagi orang-orang yang menghalangi jalan lelaki itu, kan? Ah, tidak. Bukan hanya dia. melainkan mereka. ya, Ganesha memang terlahir untuk itu. “Dia jaksa lagi. Rekan kerja istr
Anyelira kembali meneliti alamat yang dkirim oleh Bambang dengan penunjuk sekitarnya. Menurut gps di ponsel Rosa, inilah tempatnya. Sebuah dukuh pesisir pantai yang jaraknya kurang lebih tiga kilo dari penginapan. Sebelum keluar, Anyelira mengecek earphone di masing-masing telinga mereka. Rosa dan El sudah siap dan mereka juga memastikan ponsel dalam keadaa menyala dan dapat dihubungi kapanpun. Syukurlah, signal aman di sini."Ini adalah penyelidikan pertama kalian. Mari kita kerahkan seluruh tenaga kita."Rosa dan El saling berpandangan lalu mengangguk. "Kita bergerak sesuai rencana awal. Aku akan menuju langsung ke lokasi, kalian cari informasi sebanyaknya tentang penyortir bakso itu dari warga sekitar.""Siap. Laksanakan!" jawab Rosa dan Ep bersamaan.Dan merekapun berpisah jalan. Anyelira menuju alamat rumah penyortir bakso itu. Ia menanyakan keberadaannya dari warga sekitar yang ditemuinya. Lalu, saat sudah menemukan, Anyelira mengetuk rumah. Ia mengambil langkah berbahaya. Terle
"Oh, ada kurang lebih sepuluh cabang gerobak, Mbak." Didin tersenyum sumringah. "Tapi ya ... gitu. Nggak nentu seharinya. Kadang habis, kadang nggak. Namanya juga jualan."Anyelira mengangguk setuju. Setiap usaha pasti mengalami pasang surut. Ada laba dan juga ada rugi. Selang seling. Dan tidak pasti. "Saya mengerti. Terus ini sudah dimulai sejak kapan? Masnya owner?"Anyelira berusaha menggali lebih dalam lagi. Makin banyak yang ia ketahui, makin baik lagi. Didin mengerutkan keningnya sejenak dan kembali bersikap santai. "Udah dari sepuluh tahun lalu, Mbak. Dulu yang mulai usaha ibu. Karena bapak saya meninggal. Dan syukurlah masih bisa bertahan hingga sekarang."Anyelira tersenyum seraya menganguk-anggukkan kembali. "Udah lama juga ya, Mas. Berarti dulu udah jadi penyuplai bakso gitu ya, ibunya?""Mbak lama-lama kayak wartawan?" Didin mulai curiga. Sekalipun begitu, rautnya masih dibuat sesantai mungkin. Anyelira meremas kedua tangannya. Rasanya mulai mendingin akibat keringat. O
Ganesha ingat, dulu julukannya adalah pembunuh besi. Sebab ia kerap kali menghabisi nyawa korbannya menggunakan bnda tajam yang terbuat dari besi. Macam pisau lipat ini. darah yang bercucuran tak pernah membuatnya ketakutan. Ia sudah lama menanggalkan kata itu saat berada dalam pelatihan keluarganya. Dirinya monster? Iya, Ganesha mengakuinya.“Argh!” teriak orang itu. lelaki yang sama sekali tidak dikenali oleh Ganesha. Pria itu mengaduh dan menjauh. Menatap Ganesha dengan sorot awas dan sedikit kengerian.Apa ini? mengapa tidak ada bedanya dengan para korbannya dulu?“Aku tidak mengerti, untuk apa sebenarnya kau menggangguku?” dia berusaha mengkonfrontasi. Ganesha jelas merasakannya.“Bersenang-senang?” jawabnya tak pasti.Lelaki itu mendengkus. Sebelah tangannya masih mencoba menyeka darah yang merembes keluar dari lengannya yang lain. dan juga, dia terus melebar jaraknya dengan Ganesha yang berusah mengikisnya.Ganesha bisa melihat itu. Dan ia menikmatinya. Saat-saat keputus-asaan
Faktanya, Anyelira bahkan tidak bisa fokus untuk mengorek apa yang terjadi dengan F. malah, tadi ia hanya mencari informasi mengenai sejarah dan secuil mengenai bakso di sana. makanya, Anyelira kini tampak tak berdaya. Wanita itu memilih menyerahkan rekaman suaranya. El dan Rosa menerima. Mereka sama – sama berpandangan kala mendengarkan voice recorder itu hingga selesai.“Kok nggak nanya-nanya tentang F, Mbak?” Rosa nampak tak puas.Lira memilih menganggukkan kepala. wajahnya menunduk. Padahal tadi ia meremehkan kemampuan dua orang ini. nyatanya, dirinyalah yang paling tertinggal.“Kenapa malah tanya-tanya sejarahnya segala?” kembali, Rosa mencercanya. Anyelira memilih diam.“Rosa, tenang. Dari yang aku tangkep, si Didin ini memang radak sensitive sih. Coba deh dengerin lagi.” El mencoba menengahi. Lelaki itu kembali mengulang voice recorder yang sudah tertutup. “Ini bahkan baru ditanyain tentang perbakso-an lho. dia sudah nutup akses. Lalu