Hidup dengan seorang pria yang tidak bisa selalu berkata jujur itu memang sangat menyiksa. Apalagi itu adalah seseorang yang sangat aku cintai. Aku ingin bertanya padanya tentang banyak hal, tentang apa yang kamu kerjakan di Bogor? Siapa wanita itu? apakah hubunganmu dengannya? Kalimat-kalimat itu selalu ingin saja keluar dari mulutku ketika aku bersama Reinard, meskipun pada akhirnya hanya menggantung di rongga mulutku dan tak bisa aku katakan. Aku terlalu takut ia marah padaku lalu meninggalkanku.
“Lo ngapain ninggalin mobil di Bogor? Rumah sakit lagi.” Tanya Arian waktu itu ketika ia mengembalikan kunci mobilku. Aku sedang asyik menatap lalu lalang kendaraan dari jendela kantor. Pekerjaan yang sia-sia, namun begitu asyik ketika masalah mendera seperti ini.
“Lo sakit ya Jul?” pria itu mendekat ke arahku, dan menarik kursiku hingga menghadap ke arahnya. “Busyeeet lo mirip mayat hidup Jul!” ia ternganga melihat wajahku yang mungkin t
“Lo kenapa sih kalau kesini enggak pernah kelihatan bahagia?” Rangga bersidekap di depanku dengan alis terangkat. “Gue jadi curiga, lo inget cafe ini kalau pas pikiran lo suntuk doang. Selebihnya lo lupa kan?”Aku mendongak menatapnya. Bukan karena kesal dengan apa yang ia katakan, namun dalam hati membenarkan semua kalimatnya. Aku juga heran dengan diriku sendiri, setiap kali merasa suntuk, sekedar duduk dan minum kopi di cafe ini cukup membuatku terhibur.“Akh, Cuma perasaan lo aja kali.” Aku mengibaskan tangan. “Gue mau espresso dong.” Kataku kemudian.“Untung ya, lo kesini pesen. Jadi gue anggep pelanggan. Coba kalau Cuma duduk diem aja.” Sahur Rangga sambil berlalu dan aku hanya senyam-senyum saja karena tahu kalau dia sedang mengajakku bercanda.Tak berselang lama, Rangga datang membawa baki berisi dua gelas espresso dan sepotong tiramisu.“Gue enggak minta tiramisu lho, dan ju
Aku lupa dengan lelah dan penat yang kurasakan beberapa waktu yang lalu. Kini dengan hati yang terbakar dan perasaan yang tak bisa kujelaskan, aku memacu mobilku menuju Bogor. Hujan turun rintik-rintik membasahi bumi, namun aku tidak peduli. Apalagi setelah Wina mengatakan bahwa Reinard sudah tidak ada di rumah sakit sejak sejam yang lalu, aku semakin yakin bahwa suamiku tersebut pergi ke Bogor untuk menemui wanita di atas kursi roda itu.Aku memarkir kendaraanku di depan rumah sakit. Setelah menurunkan hand rem, aku menghela nafas lalu menyandarkan tubuhku. Pandanganku tertuju ke depan, pada gelap yang mulai merangkak naik, lampu-lampu rumah sakit yang mulai berpendar di segala penjuru dan gerimis yang menimpa kaca depan mobilku. Entah bagaimana rasanya, namun kini perasaanku hampa. Apa yang aku lakukan disini? Benarkah apa yang aku lakukan? Haruskah aku kembali saja dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa, lalu membiarkan Reinard dengan rahasianya? Tapi sulit. Hatiku terlalu
Aku menatap suamiku dengan hampa. sekarang ini, aku sudah tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Wanita itu bernama Rena, salah satu penghuni panti asuhan yang dulu sempat tinggal bersama Reinard. Rena memiliki gangguan pada jantungnya semenjak ia kecil, yang mengharuskan ia terus menerus tinggal di rumah sakit dalam waktu yang lama. Aku tahu, bahwa perasaan mereka sebagai sahabat, apalagi sejak mereka kecil begitu kuat ikatannya. Namun apakah sampai harus berbohong kepadaku, sampai harus mengesampingkan aku sebagai istrinya?“Entahlah, kamu tidak bisa membuatku berfikir realistis.” Aku menumpukan kedua siku di atas meja, lalu dengan gerakan spotan menyisir rambutku ke belakang dengan kedua tanganku. “Apa salahnya jujur kepadaku selama ini Rei?” kepalaku berdenyut hebat. Aku cemburu, marah dan juga kecewa. Semua hal itu bercampur menjadi satu di hatiku, dan sensasinya sungguh luar biasa.“Maafkan aku Jul. Aku pikir kamu tidak akan per
“Kamu ngapain disini Rei?” tanyaku dengan heran. Aku tak bisa memungkiri bahwa aku terkejut sekarang.Bukannya menjawabku, Reinard justru menghambur ke arahku dan duduk di pinggir tempat tidur pasien. Mengacuhkan Rangga yang masih duduk dengan gaya santainya di kursi sampingku.“Kamu sakit apa Jul? Udah aku bilang kan, kalau semalem kamu harus ganti baju biar nggak masuk angin. Lagian, semalem kamu kemana Jul? Aku nyari’in kamu kayak orang gila!” Serentetan kalimat terus meluncur dari bibir Reinard. Seakan apa yang terjadi kemarin, dan semua hal yang menguras emosiku itu tidak ada apa-apanya lagi. Seakan ia adalah suami paling perhatian di dunia dan selalu menomor satukan istrinya. Meskipun pada kenyataannya.........Ah, sudahlah. Aku tak perlu membahasnya.“Aku....aku....” Tangan Reinard terulur, telapak tangannya membingkai kedua pipiku.“Aku cemas Julia!” sorot matanya tajam padaku, pen
Aku melihat bibir pucat itu tersenyum kepadaku dengan mata sayunya yang tak berhenti menatapku. Wanita di atas tempat tidur itu terlihat berkedip beberapa kali, mungkin ia sedikit terkejut dengan kedatanganku yang mendadak ini.“Oh, aku bawakan beberapa buah segar.” Buru-buru aku meletakkan bingkisan buah yang sejak tadi ku pegang ke atas nakas. Aku merasa kikuk ditatap dengan sorot seperti itu. seandainya saja aku bisa mengeluarkan aksi protesku, bahwa aku bukan artis atau seseorang yang dikasihani karena bukan wanita pertama di hati Reinard. Namun bibirku tetap terkatup. Aku hanya ingin terlihat sebagai wanita anggun di depan Rena, agar ia bisa berfikir bahwa Reinard memang tidak salah dalam memilih istri meskipun aku berusia lebih tua.“Makasih udah datang mbak.....Namaku Rena....” Rena mengulurkan tangannya. Namun bukannya menerima uluran tangan itu, aku malah menoleh pada Reinard yang berdiri di sampingku. Entah apa maksudku dengan menatap
“Selamat ibu, sudah hamil delapan minggu.”Suara dokter cantika, spesialis obsgyn itu benar-benar seperti oase bagiku. Aku seperti bukan berada di dunia nyata sekarang. Apakah aku memang sedang bermimpi?“Jadi saya hamil dok?” perlahan, tanganku reflek mengelus perutku yang masih datar.Dokter Cantika tersenyum. Mungkin ia sedang menertawakan eskpresiku yang lucu karena mendapatkan kabar semenggembirakan ini.“Iya bu Julia. Sekarang sudah memasuki minggu ke delapan.” Ia menyerahkan hasil USG kepadaku.Aku menerima hasil USG tersebut dengan tangan bergetar. Mataku basah ketika menatap foto bayiku yang masih belum jelas itu di hasil USG. Ini adalah anakku, buah cinta berhargaku bersama Reinard yang sangat aku cintai. Tidak sabar aku memberitahukan kabar bahagia ini kepada suamiku. Atau akankah aku memberikannya kejutan dengan mengajaknya makan malam romantic di sebuah restoran? Akh, sepertinya ide yang bagus.
Hal yang membuat aku terheran-heran pada diriku sendiri adalah, kenapa aku bisa makan lele goreng ini dengan begitu lahap. Padahal biasanya, aku paling menghindari makanan pinggir jalan. Selain bising dan tidak nyaman, juga karena makanannya tidak terlalu bersih. Hanya saja hari ini berbeda. Aku melupakan rasa spaghetti, atau jenis makanan barat lainnya. Karena makanan ini ternyata jauh lebih enak dan lebih menggoda lidahku.Apakah ini karena jabang bayiku yang menginginkannya?Aku tiba-tiba merasa geli sendiri.Bayiku, kenapa kamu lucu sekali?“Julia….kamu makannya pelan-pelan.” Reinard mengambil selembar tissue lantas memberikannya kepadaku.Aku mengangkat dagu kemudian meringis. Menyelesaikan suapan terakhirku sebelum akhirnya cuci tangan dan minum.“Kamu aneh lho.” Gumam Reinard sebelum akhirnya menyesap teh hangatnya. Aku l
Aku pikir ajakan Reinard tentang bulan madu itu hanyalah gurauan saja. Mana mungkin aku bisa melakukan perjalanan udara di saat hamil muda seperti ini. Namun ternyata, suamiku yang penuh kejutan itu tidak sepenuhnya bohong. Kami memang tidak melakukan perjalanan terlalu jauh menggunakan pesawat, atau kapal dengan mengunjungi wisata luar negeri atau luar pulau. Ya! Reinard sudah memesan sebuah resort mewah di pinggir pantai yang tidak terlalu jauh dari Jakarta. Tempatnya nyaman, jauh dari bising kota dan deru kendaraan yang berlalu-lalang. Sejauh mata memandang, kami hanya melihat hamparan pasir putih dan suara debur ombak yang memecah kesunyian. Benar-benar tempat yang nyaman agar isi pikiranku bisa rileks dan agar jabang bayi di dalam perutku mendapatkan ketenangan.“Kamu suka tempat ini?” Reinard menyusupkan tangannya dan kini ia sudah memelukku dari belakang. Aromanya yang khas dan wangi menguar di hidungku.“Sangat suka.” Aku tak mengalihkan pandanganku dari debur ombak yang bera