Aku melihat bibir pucat itu tersenyum kepadaku dengan mata sayunya yang tak berhenti menatapku. Wanita di atas tempat tidur itu terlihat berkedip beberapa kali, mungkin ia sedikit terkejut dengan kedatanganku yang mendadak ini.
“Oh, aku bawakan beberapa buah segar.” Buru-buru aku meletakkan bingkisan buah yang sejak tadi ku pegang ke atas nakas. Aku merasa kikuk ditatap dengan sorot seperti itu. seandainya saja aku bisa mengeluarkan aksi protesku, bahwa aku bukan artis atau seseorang yang dikasihani karena bukan wanita pertama di hati Reinard. Namun bibirku tetap terkatup. Aku hanya ingin terlihat sebagai wanita anggun di depan Rena, agar ia bisa berfikir bahwa Reinard memang tidak salah dalam memilih istri meskipun aku berusia lebih tua.
“Makasih udah datang mbak.....Namaku Rena....” Rena mengulurkan tangannya. Namun bukannya menerima uluran tangan itu, aku malah menoleh pada Reinard yang berdiri di sampingku. Entah apa maksudku dengan menatap
“Selamat ibu, sudah hamil delapan minggu.”Suara dokter cantika, spesialis obsgyn itu benar-benar seperti oase bagiku. Aku seperti bukan berada di dunia nyata sekarang. Apakah aku memang sedang bermimpi?“Jadi saya hamil dok?” perlahan, tanganku reflek mengelus perutku yang masih datar.Dokter Cantika tersenyum. Mungkin ia sedang menertawakan eskpresiku yang lucu karena mendapatkan kabar semenggembirakan ini.“Iya bu Julia. Sekarang sudah memasuki minggu ke delapan.” Ia menyerahkan hasil USG kepadaku.Aku menerima hasil USG tersebut dengan tangan bergetar. Mataku basah ketika menatap foto bayiku yang masih belum jelas itu di hasil USG. Ini adalah anakku, buah cinta berhargaku bersama Reinard yang sangat aku cintai. Tidak sabar aku memberitahukan kabar bahagia ini kepada suamiku. Atau akankah aku memberikannya kejutan dengan mengajaknya makan malam romantic di sebuah restoran? Akh, sepertinya ide yang bagus.
Hal yang membuat aku terheran-heran pada diriku sendiri adalah, kenapa aku bisa makan lele goreng ini dengan begitu lahap. Padahal biasanya, aku paling menghindari makanan pinggir jalan. Selain bising dan tidak nyaman, juga karena makanannya tidak terlalu bersih. Hanya saja hari ini berbeda. Aku melupakan rasa spaghetti, atau jenis makanan barat lainnya. Karena makanan ini ternyata jauh lebih enak dan lebih menggoda lidahku.Apakah ini karena jabang bayiku yang menginginkannya?Aku tiba-tiba merasa geli sendiri.Bayiku, kenapa kamu lucu sekali?“Julia….kamu makannya pelan-pelan.” Reinard mengambil selembar tissue lantas memberikannya kepadaku.Aku mengangkat dagu kemudian meringis. Menyelesaikan suapan terakhirku sebelum akhirnya cuci tangan dan minum.“Kamu aneh lho.” Gumam Reinard sebelum akhirnya menyesap teh hangatnya. Aku l
Aku pikir ajakan Reinard tentang bulan madu itu hanyalah gurauan saja. Mana mungkin aku bisa melakukan perjalanan udara di saat hamil muda seperti ini. Namun ternyata, suamiku yang penuh kejutan itu tidak sepenuhnya bohong. Kami memang tidak melakukan perjalanan terlalu jauh menggunakan pesawat, atau kapal dengan mengunjungi wisata luar negeri atau luar pulau. Ya! Reinard sudah memesan sebuah resort mewah di pinggir pantai yang tidak terlalu jauh dari Jakarta. Tempatnya nyaman, jauh dari bising kota dan deru kendaraan yang berlalu-lalang. Sejauh mata memandang, kami hanya melihat hamparan pasir putih dan suara debur ombak yang memecah kesunyian. Benar-benar tempat yang nyaman agar isi pikiranku bisa rileks dan agar jabang bayi di dalam perutku mendapatkan ketenangan.“Kamu suka tempat ini?” Reinard menyusupkan tangannya dan kini ia sudah memelukku dari belakang. Aromanya yang khas dan wangi menguar di hidungku.“Sangat suka.” Aku tak mengalihkan pandanganku dari debur ombak yang bera
Kami memang menghabiskan tiga malam di resort, namun dengan suasana yang tak seperti awal kami datang. Di malam pertama kami menginap, Reinard begitu dingin padaku. Mungkin karena ia marah dengan tindakanku yang seperti anak kecil. Ia terus berusaha menghubungi rumah sakit dan mengacuhkanku, hingga akhirnya raut wajah tegangnya membaik ketika mendengar kabar bahwa Rena sudah tidak apa-apa. Kondisinya berangsur pulih.Dalam hati aku juga cukup lega mendengar bahwa Rena membaik. Aku tidak tahu apa yang akan Reinard lakukan padaku dan betapa kecewanya ia jika keadaan Rena memburuk atau bahkan fatal. Ia pasti membenciku dan menyalahkanku karena tidak mengijinkannya pulang.Di hari kedua menginap dan sampai jadwal kepulangan kami, sikap Reinard sudah kembali mulai hangat meskipun sedikit kaku. Aku ingin kembali menjeritkan protes dan marah, bahwa demi perempuan itu, ia rela mengacuhkan istrinya sendiri. Namun aku lebih memilih diam, karena aku tahu sekali aku membuat onar, ia memang akan
Permintaan Reinard yang seperti sambaran petir itu berhasil membuatku meradang. Aku mungkin akan menerima Rena di rumahku dan membantu merawatnya jika ia benar-benar adik kandung Reinard, keponakannya atau saudara yang masih memiliki hubungan darah dengannya. Namun lain halnya dengan ini. Rena hanyalah gadis yang tumbuh besar bersamanya di panti asuhan. Hanya menyandang sebagai predikat dua insan yang dibesarkan bersama dengan takdir yang hampir mirip, tidak lantas membuat mereka menjadi saudara bukan? Apalagi mereka berlainan jenis kelamin. Mungkin Reinard hanya menganggap Rena sebagai adik, tapi aku tidak yakin dengan perasaan Rena. Bagaimana ia menatap Reinard dan bagaimana ia bersikap di depanku sudah sangat jelas bisa ku baca, jika perempuan itu menyayangi suamiku lebih dari sekedar dua orang yang berbagi dan dibesarkan di panti asuhan yang sama sejak kecil.“Pokoknya aku tidak mau jika dia tinggal disini!” tolakku keras. Aku kembali membuka percakapan ketika pagi, saat ia bersia
Reinard berjalan cepat ke arahku dengan wajah cemas yang tak bisa ditutupinya. Sejam yang lalu aku menelponnya bahwa sedang berada di sebuah klinik kandungan untuk memeriksakan perutku yang tiba-tiba kram. Awalnya, aku tidak berniat untuk periksa karena beberapa saat setelah nyeri itu mendera, semuanya terasa baik-baik saja. Namun Rangga memintaku untuk tetap periksa, sekedar berjaga-jaga. Akhirnya, disinilah aku sekarang. Sebuah klinik kandungan yang berada tak jauh dari rumah. Tak ada Rangga, karena kami berpisah di parkiran mall setelah meyakinkan dirinya bahwa aku bisa mengendarai mobilku dengan baik.“Kamu kenapa lagi Jul?” wajah suamiku tampak cemas sekaligus kecewa.“Enggak kenapa-napa kok.” Aku bangkit dari tidurku untuk duduk. Serta merta Reinard membantuku.“Kata dokter Cuma kecapekan aja. Terlalu banyak berdiri.” Aku berkata jujur. Dokter obsgyn wanita dengan hijab tadi mengatakan hal tersebut padaku. Tentunya dengan embel-embel bahwa kandunganku sedikit lemah. Namun hal it
“Tumben lo non, nyari’in gue, kenapa?” Reza melipat kedua tangannya di depanku. “Gue pikir lo udah transmigrasi ke planet mars karena sama sekali enggak inget sama gue.”“Lebay lo!” cebikku lalu memasukkan sesendok ice cream coklat ke dalam mulut. Hari ini mulutku terasa pahit dan tidak nyaman, jadi ice cream adalah satu-satunya obat penawar yang sangat ampun. Terbukti benar, aku sudah menghabiskan hampir separuh makanan berkalori tinggi tersebut.“Lo sebentar lagi dapet ponakan baru.” Kataku kemudian.“maksud lo?” Reza menatapku tidak paham.“Telat mikir ah!” sungutku kesal. Aku tidak menginginkan respon seperti itu dari wajah Reza. Aku ingin pria itu terkejut, histeris dan memelukku dengan hangat sambil mengucapkan selamat.“Sorry….gue udah banyak pikiran.”“Maksud gue, sebentar lagi lo bakal jadi om Reza. Karena gue hamil. Paham?” ulangku sekali lagi, dengan penuh penekanan.Mata Reza langsung membulat kaget.“Akkkh!!! Beneran Jul?!” ia meraih tanganku dan meremasnya dengan kuat.N
Sudah seminggu semenjak kejadian pertemuanku dengan Rena di rumah sakit waktu itu.meskipun waktu sudah berlalu, namun aku sama sekali tidak bisa melupakan apa yang Rena katakan. Perempuan itu mengatakan bahwa aku mungkin akan sedikit terkejut dengan permintaannya. Asalkan ia tahu, aku tidak hanya sedikit terkejut, bahkan aku hampir saja terkena serangan jantung mendengar permintaannya yang jelas-jelas tak akan mungkin aku setujui.Ia memintaku untuk berbagi Reinard dengannya. Padahal bukankah sudah jelas, bahwa tak ada satupun wanita di dunia ini yang bersedia dimadu dengan wanita lain. Bahkan dengan dalih menikahi wanita yang sakit-sakitan karena kasihan.Aku berdecak sebal sambil membanting kertas yang ada dihadapanku. Beberapa berkas belum selesai aku periksa, namun pikiranku sudah tidak fokus. Seminggu setelah kejadian itu, aku berusaha untuk fokus bekerja dan menganggap kalimat Rena sebagai angin lalu. Namun alhasil, bukannya aku lupa, namun pekerjaanku menjadi berantakan.“Apa