Hal yang membuat aku terheran-heran pada diriku sendiri adalah, kenapa aku bisa makan lele goreng ini dengan begitu lahap. Padahal biasanya, aku paling menghindari makanan pinggir jalan. Selain bising dan tidak nyaman, juga karena makanannya tidak terlalu bersih. Hanya saja hari ini berbeda. Aku melupakan rasa spaghetti, atau jenis makanan barat lainnya. Karena makanan ini ternyata jauh lebih enak dan lebih menggoda lidahku.
Apakah ini karena jabang bayiku yang menginginkannya?
Aku tiba-tiba merasa geli sendiri.
Bayiku, kenapa kamu lucu sekali?
“Julia….kamu makannya pelan-pelan.” Reinard mengambil selembar tissue lantas memberikannya kepadaku.
Aku mengangkat dagu kemudian meringis. Menyelesaikan suapan terakhirku sebelum akhirnya cuci tangan dan minum.
“Kamu aneh lho.” Gumam Reinard sebelum akhirnya menyesap teh hangatnya. Aku l
Aku pikir ajakan Reinard tentang bulan madu itu hanyalah gurauan saja. Mana mungkin aku bisa melakukan perjalanan udara di saat hamil muda seperti ini. Namun ternyata, suamiku yang penuh kejutan itu tidak sepenuhnya bohong. Kami memang tidak melakukan perjalanan terlalu jauh menggunakan pesawat, atau kapal dengan mengunjungi wisata luar negeri atau luar pulau. Ya! Reinard sudah memesan sebuah resort mewah di pinggir pantai yang tidak terlalu jauh dari Jakarta. Tempatnya nyaman, jauh dari bising kota dan deru kendaraan yang berlalu-lalang. Sejauh mata memandang, kami hanya melihat hamparan pasir putih dan suara debur ombak yang memecah kesunyian. Benar-benar tempat yang nyaman agar isi pikiranku bisa rileks dan agar jabang bayi di dalam perutku mendapatkan ketenangan.“Kamu suka tempat ini?” Reinard menyusupkan tangannya dan kini ia sudah memelukku dari belakang. Aromanya yang khas dan wangi menguar di hidungku.“Sangat suka.” Aku tak mengalihkan pandanganku dari debur ombak yang bera
Kami memang menghabiskan tiga malam di resort, namun dengan suasana yang tak seperti awal kami datang. Di malam pertama kami menginap, Reinard begitu dingin padaku. Mungkin karena ia marah dengan tindakanku yang seperti anak kecil. Ia terus berusaha menghubungi rumah sakit dan mengacuhkanku, hingga akhirnya raut wajah tegangnya membaik ketika mendengar kabar bahwa Rena sudah tidak apa-apa. Kondisinya berangsur pulih.Dalam hati aku juga cukup lega mendengar bahwa Rena membaik. Aku tidak tahu apa yang akan Reinard lakukan padaku dan betapa kecewanya ia jika keadaan Rena memburuk atau bahkan fatal. Ia pasti membenciku dan menyalahkanku karena tidak mengijinkannya pulang.Di hari kedua menginap dan sampai jadwal kepulangan kami, sikap Reinard sudah kembali mulai hangat meskipun sedikit kaku. Aku ingin kembali menjeritkan protes dan marah, bahwa demi perempuan itu, ia rela mengacuhkan istrinya sendiri. Namun aku lebih memilih diam, karena aku tahu sekali aku membuat onar, ia memang akan
Permintaan Reinard yang seperti sambaran petir itu berhasil membuatku meradang. Aku mungkin akan menerima Rena di rumahku dan membantu merawatnya jika ia benar-benar adik kandung Reinard, keponakannya atau saudara yang masih memiliki hubungan darah dengannya. Namun lain halnya dengan ini. Rena hanyalah gadis yang tumbuh besar bersamanya di panti asuhan. Hanya menyandang sebagai predikat dua insan yang dibesarkan bersama dengan takdir yang hampir mirip, tidak lantas membuat mereka menjadi saudara bukan? Apalagi mereka berlainan jenis kelamin. Mungkin Reinard hanya menganggap Rena sebagai adik, tapi aku tidak yakin dengan perasaan Rena. Bagaimana ia menatap Reinard dan bagaimana ia bersikap di depanku sudah sangat jelas bisa ku baca, jika perempuan itu menyayangi suamiku lebih dari sekedar dua orang yang berbagi dan dibesarkan di panti asuhan yang sama sejak kecil.“Pokoknya aku tidak mau jika dia tinggal disini!” tolakku keras. Aku kembali membuka percakapan ketika pagi, saat ia bersia
Reinard berjalan cepat ke arahku dengan wajah cemas yang tak bisa ditutupinya. Sejam yang lalu aku menelponnya bahwa sedang berada di sebuah klinik kandungan untuk memeriksakan perutku yang tiba-tiba kram. Awalnya, aku tidak berniat untuk periksa karena beberapa saat setelah nyeri itu mendera, semuanya terasa baik-baik saja. Namun Rangga memintaku untuk tetap periksa, sekedar berjaga-jaga. Akhirnya, disinilah aku sekarang. Sebuah klinik kandungan yang berada tak jauh dari rumah. Tak ada Rangga, karena kami berpisah di parkiran mall setelah meyakinkan dirinya bahwa aku bisa mengendarai mobilku dengan baik.“Kamu kenapa lagi Jul?” wajah suamiku tampak cemas sekaligus kecewa.“Enggak kenapa-napa kok.” Aku bangkit dari tidurku untuk duduk. Serta merta Reinard membantuku.“Kata dokter Cuma kecapekan aja. Terlalu banyak berdiri.” Aku berkata jujur. Dokter obsgyn wanita dengan hijab tadi mengatakan hal tersebut padaku. Tentunya dengan embel-embel bahwa kandunganku sedikit lemah. Namun hal it
“Tumben lo non, nyari’in gue, kenapa?” Reza melipat kedua tangannya di depanku. “Gue pikir lo udah transmigrasi ke planet mars karena sama sekali enggak inget sama gue.”“Lebay lo!” cebikku lalu memasukkan sesendok ice cream coklat ke dalam mulut. Hari ini mulutku terasa pahit dan tidak nyaman, jadi ice cream adalah satu-satunya obat penawar yang sangat ampun. Terbukti benar, aku sudah menghabiskan hampir separuh makanan berkalori tinggi tersebut.“Lo sebentar lagi dapet ponakan baru.” Kataku kemudian.“maksud lo?” Reza menatapku tidak paham.“Telat mikir ah!” sungutku kesal. Aku tidak menginginkan respon seperti itu dari wajah Reza. Aku ingin pria itu terkejut, histeris dan memelukku dengan hangat sambil mengucapkan selamat.“Sorry….gue udah banyak pikiran.”“Maksud gue, sebentar lagi lo bakal jadi om Reza. Karena gue hamil. Paham?” ulangku sekali lagi, dengan penuh penekanan.Mata Reza langsung membulat kaget.“Akkkh!!! Beneran Jul?!” ia meraih tanganku dan meremasnya dengan kuat.N
Sudah seminggu semenjak kejadian pertemuanku dengan Rena di rumah sakit waktu itu.meskipun waktu sudah berlalu, namun aku sama sekali tidak bisa melupakan apa yang Rena katakan. Perempuan itu mengatakan bahwa aku mungkin akan sedikit terkejut dengan permintaannya. Asalkan ia tahu, aku tidak hanya sedikit terkejut, bahkan aku hampir saja terkena serangan jantung mendengar permintaannya yang jelas-jelas tak akan mungkin aku setujui.Ia memintaku untuk berbagi Reinard dengannya. Padahal bukankah sudah jelas, bahwa tak ada satupun wanita di dunia ini yang bersedia dimadu dengan wanita lain. Bahkan dengan dalih menikahi wanita yang sakit-sakitan karena kasihan.Aku berdecak sebal sambil membanting kertas yang ada dihadapanku. Beberapa berkas belum selesai aku periksa, namun pikiranku sudah tidak fokus. Seminggu setelah kejadian itu, aku berusaha untuk fokus bekerja dan menganggap kalimat Rena sebagai angin lalu. Namun alhasil, bukannya aku lupa, namun pekerjaanku menjadi berantakan.“Apa
“Maksud kamu apa Rei?” tanyaku dengan suara yang masih terdengar datar. Aku berusaha untuk tak tersulut emosi dengan apa yang baru saja Reinard ucapkan.Aku hanya berharap, Reinard salah bicara atau aku yang terlalu berfikir berlebihan, mengingat bahwa aku selalu sensitive setiap kali membicarakan Rena.“Kamu bilang tidak mengijinkan Rena untuk tinggal sama kita kan Jul? jadi aku bermaksud untuk membelikannya apartement agar ia bisa tinggal disana setelah pulang dari rumah sakit.” Jawab Reinard.“Jadi, maksud kamu…..Rena kamu beli’in rumah atas nama dia sendiri begitu?!” suaraku meninggi, sudah tidak bisa menahan apa yang bercokol di benakku. Harapanku bahwa Reinard salah berucap sirna sudah. Karena kenyataannya, ia sudah membelikan perempuan itu sebuah apartement.Reinard mengangguk. “Aku tidak mungkin bukan membiarkannya tinggal di panti bersama anak-anak lain. Rena butuh tempat yang nyaman, jauh dari kebisingan dan tentu saja tempat yang baik untuk kesehatannya.”“Iya tapi tidak de
“Ma…..perut Julia sakit banget ma…..!” erangku lirih sambil menahan isakan. Tanganku meremas kuat jemari mama yang duduk di sampingku. Sementara papa mengemudi dengan kecepatan yang lebih daripada biasanya ia menyetir.“Tahan ya….sebentar lagi sampai rumah sakit kok.” Mama menatapku dengan cemas. Aku mengangguk lemah. Aku sama sekali tidak cemas dengan diriku sendiri, pikiranku sekarang begitu takut, begitu takut terjadi apa-apa dengan anak yang berada di dalam rahimku. Apa yang salah dengannya, sampai aku perdarahan begini? Bukankah aku sudah sangat berhati-hati menjaganya?“Rosa….mas Reinard udah kamu hubungi belum?” Tanya mama pada Rosa yang duduk di depan—di samping kemudi.“Udah ma. Tapi enggak diangkat.” Sahur Rosa. “Mungkin mas Reinard udah tidur. Ini kan udah pukul sebelas malem ma.”Mama tidak menjawab, mungkin setuju dengan pemikiran Rosa. Sedangkan aku berfikir hal lain. Mungkin saat ini suamiku tengah bersama Rena, karena kondisi perempuan itu yang tiba-tiba saja drop ata
“Oke…..selamat berbelanja.” Kata Brian sebelum mengakhiri teleponnya.Siang ini aku pergi berbelanja ke supermarket untuk membeli kebutuhan harianku yang sudah menipis. Aku juga butuh beberapa coklat agar pikiranku rileks. Semenjak pertemuanku dengan Reinard dua hari yang lalu, aku jadi sulit tidur dan pikiranku bergejolak tidak tenang.Aku membeli beberapa ikat sayuran, makanan olahan, daging beku, ikan beku dan kebutuhan yang lain seperti peralatan mandi.Nge-mall untuk sekedar membeli sayuran atau sabun adalah hal paling menggembirakan bagiku. Setidaknya aku berhasil membuat perasaanku menjadi lebih tenang dan bahagia. Apalagi jika aku sudah disuguhkan dengan toko sepatu, tas ataupun toko pakaian. Yakin, aku bisa lupa diri.Setelah lebih dari satu jam asyik mengitari satu etalase ke etalase yang lain, akhirnya aku menyerah. Menuju kasir untuk membayar lalu pulang. Aku ingin bersantai sambil selonjoran kaki di rumah, menonton TV dan meminum soda.Saat siap mengambil plastic belanjaa
Seandainya bisa, aku ingin memutar waktu kembali ke satu jam yang lalu. Dimana aku mengenyahkan perasaanku dan menggunakan logikaku untuk berfikir. Karena yang terjadi sekarang, aku menyesal dengan tindakan gegabahku dan bertemu dengan Reinard.Aku bisa melihat jika sorot mata pria yang duduk di hadapanku sekarang ini begitu bahagia. Mungkin karena aku datang setelah ia menunggu berjam-jam.“Kenapa baru datang sekarang Jul?” tanyanya dengan nada lembut.“Awalnya aku tidak ingin datang.” Sahutku ketus.“Tapi nyatanya kamu datang kan?” ia tertawa kecil.Aku membuang wajahku keluar jendela. Hujan masih terlihat rintik-rintik dan beberapa orang masih menggunakan payung agar terhindar dari basah, dan beberapa yang tidak membawa payung tengah berteduh di emperan toko yang sudah tutup.“Aku memang sengaja datang di jam segini. Aku pikir kamu sudah tidak ada.” Jawabku pada akhirnya, menahan malu.“Aku kan sudah bilang, kalau aku bakalan nungguin kamu disini Julia.”“Kalau aku tidak datang?” a
“Halo ma……” Brian mencium pipi mamanya, lalu menarik kursi di sebelahku dan duduk di sana.“Kenapa baru datang? Mama dan Julia sudah menunggu kamu sejak tadi.” Sahut Lydia ketika putranya tersebut sudah duduk.“Tadi sore setelah kelas terakhir, Brian ada keperluan dengan rector.” Brian menoleh kepadaku. “Kamu sudah pesan makan?” tanyanya kemudian.Aku mengangguk dan mengedik kearah meja. Ada beberapa makanan yang tersaji di sana, dan semua itu Lydia-lah yang memesan. Perutku masih cukup kenyak meskipun baru terisi makanan ketika sarapan tadi. Tapi pertemuanku dengan Reinard tadi berhasil membuatku tidak berselera makan.“Kami berdua sudah pesan, tinggal kamu Brian.” Lydia yang menyahut.Brian memanggil salah satu waiters lalu memesan beberapa makanan. Selama menunggu makanan tiba, kami berbincang.“Bagaimana kesehatan mama?” Tanya Brian sambil menuang air putih ke dalam gelas.“Kata dokter mama sudah membaik kok.” Sahut Lydia. “Iya kan Julia?”Aku mengangguk. “Iya bibi.” Meskipun sebe
Sejam lalu, Brian menelponku agar aku bisa menyisihkan waktu untuk menemani mama-nya check up ke rumah sakit. Awalnya aku bingung, apakah yang terjadi antara aku dan dia beberapa malam yang lalu itu membuat hubungan kami berubah? Apakah sebuah ciuman memang bisa merubah status seseorang dari lajang menjadi berpacaran?Aku sulit memahami itu. Namun dari yang tersirat, sepertinya Brian memang sudah menganggap aku sebagai kekasihnya. Mungkin tindakan yang aku lakukan malam itu memang sepenuhnya tidak benar, aku terlalu terpukul sehingga logikaku memang tidak jalan. Saat itu aku butuh sebuah sandaran, sebuah kekuatan. Dan nyatanya kekuatan itu hadir dari ciuman Brian yang berhasil membuat dadaku terasa nyaman.“Maaf bibi, sudah menunggu lama.” aku berjalan tergesa untuk menemui Lydia yang sudah menungguku di depan rumah sakit. Wanita itu sendirian, aku tak menemukan Yohana di sampingnya.“Tidak. Bibi juga baru datang kok.” Sahut Lydia tersenyum manis ke arahku.“Bibi Yohana kemana?” tanya
Aku hanya tersenyum ketika melihat Claire yang sudah asyik berbincang dengan seorang pria yang baru dikenalnya. Pria itu bernama Jo dan seorang keponakan dari teman sekelas kami. Pria itu masih single dan terlihat jika Jo maupun Claire saling tertarik satu sama lain. Maka dari itu, sebagai teman yang baik aku memberi mereka ruang untuk saling berbincang, lagipula sebentar lagi Marina juga akan datang menemuiku.“Kamu seharusnya di dalam, di luar begitu dingin.” Brian datang menyusulku.Aku menoleh padanya. Aku pikir setelah apa yang dilakukannya semalam dengan tiba-tiba menungguku di depan pintu apartement, lalu memelukku akan membuatnya canggung ketika bertemu denganku. Namun kenyataannya, pria itu malah semakin memperlihatkan perasaannya kepadaku. Ia begitu hangat, bahkan sore tadi ia datang menjemputku. Mengabaikan bisik-bisik dari orang-orang di kampus yang menerka-nerka tentang hubungan kami.“Aku sedang menunggu Marina.” Sahutku.“Perempuan kemarin?” Ia mengerutkan dahinya. Memp
Marina langsung memelukku ketika kami saling berhadapan. Pelukannya sangat erat, seakan ini wujud pelampiasan rindunya yang ia tahan untukku selama ini. Karena memang semenjak perceraian itu, aku sama sekali tidak bertemu dengannya. Bahkan saat bercerai, aku hanya mengabarinya lewat telepon dan itu benar-benar membuat Marina menangis terisak-isak.“Julia, aku tak menyangka bahwa akan bertemu denganmu lagi.” Perempuan itu melepaskan pelukannya, lalu mengusap ujung matanya yang basah. Marina tak banyak berubah. Wajah perempuan itu masih saja terlihat cantik. Hanya saja rambutnya kini berubah warna menjadi coklat terang.“Aku juga tidak menyangka jika kamu akan menelponku Marina. Bagaimana kabarmu? Dan dimana si kecil Lily?” tanyaku bertubi-tubi. Mataku beralih pandang ke sekeliling. Tapi aku tak menemukan Lily di sekitar sini. Padahal aku sudah berharap akan menemukan gadis cantik itu disana. Lily sudah berusia kurang lebih lima tahun sekarang. Dan pasti ia akan bertambah cantik dan men
Lydia, seorang wanita berusaha setengah abad lebih, namun terlihat masih begitu muda dan cantik meskipun kali ini ia terlihat pucat dan terbaring lemah di rumah sakit.Melihat kedatanganku dan Brian, perempuan itu berusaha untuk duduk dengan dibantu seorang wanita yang usianya tak jauh berbeda. Di luar tadi Brian sempat cerita bahwa perempuan itu adalah seorang bibi yang Lydia bawa dari Indonesia, namanya Yohana.“Siapa ini Brian?” matanya berbinar saat menatapku. Kelihatan ia sangat terkejut namun juga bahagia.Aku hanya mengulum senyum sedangkan Brian tiba-tiba merangkulku, dan reflek giliran aku yang sekarang terkejut.“Brian kan sudah bilang ma, kalau ini adalah pacar Brian.”Aku melotot tidak percaya. Setidaknya Brian harus mengenalkanku sebagai sahabatnya saja, bukan pacarnya. Lagipula kami juga tidak dalam hubungan seperti itu bukan? Saat Brian menyatakan cintanya saja, aku menolak.“Brian…..”Desisku dengan alis berkerut. Tidak nyaman saja dengan apa yang dia lakukan.Bukannya
Aku tahu jika Brian sedang tidak main-main dengan kata-katanya. Dan aku juga tahu, bahwa pria itu juga sungguh-sungguh dengan niatannya untuk menikah denganku. Namun semua hal tidak akan semudah itu. Andai saja aku tidak mengalami trauma dengan masa laluku, mungkin Brian adalah salah satu pria yang bisa kuperhitungkan. Hanya saja, untuk saat ini luka yang singgah di hatiku dua tahu lalu sama sekali belum mengering dengan sempurna. Ada saja nyeri yang masih menusuk hatiku setiap ingat tentang hal itu.Bukankah ada suatu pepatah yaitu, jika kamu masih teringat trauma masa lalumu dan hatimu sudah tidak sakit lagi, berarti lukamu sudah sembuh? Sedangkan aku, setiap mengingat saat-saat itu, hatiku masih sakit seperti biasanya.Setelah menjawab kalimat Brian dengan. “Brian, aku tidak bisa dan mungkin tidak akan pernah bisa. Lupakan aku dan carilah wanita lain yang bisa memberimu semua hal yang kamu inginkan.”, aku segera menghabiskan makanku dan mengajakny untuk pulang.Meskipun berulang ka
Aku menatap arloji kecil yang melingkar di pergelangan tanganku. Sudah lebih dari limabelas menit dan Claire belum juga nampak batang hidungnya sama sekali. Padahal aku tahu dengan jelas bahwa Claire adalah tipe orang yang selalu tepat waktu. Bahkan sering pula ia yang menungguku. Jadi malam ini ia begitu aneh dengan telatdi acara pertemuan yang sudah kami rancang beberapa hari ini.Setelah kembali menunggu lima menit, dan mobil Claire juga belum terlihat masuk ke dalam restoran, aku mulai cemas. Jangan-jangan terjadi sesuatu dengan perempuan itu. Dengan cepat aku membuka handbag yang sejak tadi ku pegang erat, dari sana aku mengeluarkan ponselku dan dengan cepat mencari nama Claire di kontak teleponku.Setelah bunyi ‘tuuut’ ketiga perempuan itu mengangkat teleponnya.“Claire kau dimana? Aku sudah menunggu hampir setengah jam di depan restoran dengan penampilan yang……” aku berdecak dan menelisik penampilanku. Sangat formal sekali aku pikir. Karena Claire yang memintaku berpakaian demi