Kami memang menghabiskan tiga malam di resort, namun dengan suasana yang tak seperti awal kami datang. Di malam pertama kami menginap, Reinard begitu dingin padaku. Mungkin karena ia marah dengan tindakanku yang seperti anak kecil. Ia terus berusaha menghubungi rumah sakit dan mengacuhkanku, hingga akhirnya raut wajah tegangnya membaik ketika mendengar kabar bahwa Rena sudah tidak apa-apa. Kondisinya berangsur pulih.Dalam hati aku juga cukup lega mendengar bahwa Rena membaik. Aku tidak tahu apa yang akan Reinard lakukan padaku dan betapa kecewanya ia jika keadaan Rena memburuk atau bahkan fatal. Ia pasti membenciku dan menyalahkanku karena tidak mengijinkannya pulang.Di hari kedua menginap dan sampai jadwal kepulangan kami, sikap Reinard sudah kembali mulai hangat meskipun sedikit kaku. Aku ingin kembali menjeritkan protes dan marah, bahwa demi perempuan itu, ia rela mengacuhkan istrinya sendiri. Namun aku lebih memilih diam, karena aku tahu sekali aku membuat onar, ia memang akan
Permintaan Reinard yang seperti sambaran petir itu berhasil membuatku meradang. Aku mungkin akan menerima Rena di rumahku dan membantu merawatnya jika ia benar-benar adik kandung Reinard, keponakannya atau saudara yang masih memiliki hubungan darah dengannya. Namun lain halnya dengan ini. Rena hanyalah gadis yang tumbuh besar bersamanya di panti asuhan. Hanya menyandang sebagai predikat dua insan yang dibesarkan bersama dengan takdir yang hampir mirip, tidak lantas membuat mereka menjadi saudara bukan? Apalagi mereka berlainan jenis kelamin. Mungkin Reinard hanya menganggap Rena sebagai adik, tapi aku tidak yakin dengan perasaan Rena. Bagaimana ia menatap Reinard dan bagaimana ia bersikap di depanku sudah sangat jelas bisa ku baca, jika perempuan itu menyayangi suamiku lebih dari sekedar dua orang yang berbagi dan dibesarkan di panti asuhan yang sama sejak kecil.“Pokoknya aku tidak mau jika dia tinggal disini!” tolakku keras. Aku kembali membuka percakapan ketika pagi, saat ia bersia
Reinard berjalan cepat ke arahku dengan wajah cemas yang tak bisa ditutupinya. Sejam yang lalu aku menelponnya bahwa sedang berada di sebuah klinik kandungan untuk memeriksakan perutku yang tiba-tiba kram. Awalnya, aku tidak berniat untuk periksa karena beberapa saat setelah nyeri itu mendera, semuanya terasa baik-baik saja. Namun Rangga memintaku untuk tetap periksa, sekedar berjaga-jaga. Akhirnya, disinilah aku sekarang. Sebuah klinik kandungan yang berada tak jauh dari rumah. Tak ada Rangga, karena kami berpisah di parkiran mall setelah meyakinkan dirinya bahwa aku bisa mengendarai mobilku dengan baik.“Kamu kenapa lagi Jul?” wajah suamiku tampak cemas sekaligus kecewa.“Enggak kenapa-napa kok.” Aku bangkit dari tidurku untuk duduk. Serta merta Reinard membantuku.“Kata dokter Cuma kecapekan aja. Terlalu banyak berdiri.” Aku berkata jujur. Dokter obsgyn wanita dengan hijab tadi mengatakan hal tersebut padaku. Tentunya dengan embel-embel bahwa kandunganku sedikit lemah. Namun hal it
“Tumben lo non, nyari’in gue, kenapa?” Reza melipat kedua tangannya di depanku. “Gue pikir lo udah transmigrasi ke planet mars karena sama sekali enggak inget sama gue.”“Lebay lo!” cebikku lalu memasukkan sesendok ice cream coklat ke dalam mulut. Hari ini mulutku terasa pahit dan tidak nyaman, jadi ice cream adalah satu-satunya obat penawar yang sangat ampun. Terbukti benar, aku sudah menghabiskan hampir separuh makanan berkalori tinggi tersebut.“Lo sebentar lagi dapet ponakan baru.” Kataku kemudian.“maksud lo?” Reza menatapku tidak paham.“Telat mikir ah!” sungutku kesal. Aku tidak menginginkan respon seperti itu dari wajah Reza. Aku ingin pria itu terkejut, histeris dan memelukku dengan hangat sambil mengucapkan selamat.“Sorry….gue udah banyak pikiran.”“Maksud gue, sebentar lagi lo bakal jadi om Reza. Karena gue hamil. Paham?” ulangku sekali lagi, dengan penuh penekanan.Mata Reza langsung membulat kaget.“Akkkh!!! Beneran Jul?!” ia meraih tanganku dan meremasnya dengan kuat.N
Sudah seminggu semenjak kejadian pertemuanku dengan Rena di rumah sakit waktu itu.meskipun waktu sudah berlalu, namun aku sama sekali tidak bisa melupakan apa yang Rena katakan. Perempuan itu mengatakan bahwa aku mungkin akan sedikit terkejut dengan permintaannya. Asalkan ia tahu, aku tidak hanya sedikit terkejut, bahkan aku hampir saja terkena serangan jantung mendengar permintaannya yang jelas-jelas tak akan mungkin aku setujui.Ia memintaku untuk berbagi Reinard dengannya. Padahal bukankah sudah jelas, bahwa tak ada satupun wanita di dunia ini yang bersedia dimadu dengan wanita lain. Bahkan dengan dalih menikahi wanita yang sakit-sakitan karena kasihan.Aku berdecak sebal sambil membanting kertas yang ada dihadapanku. Beberapa berkas belum selesai aku periksa, namun pikiranku sudah tidak fokus. Seminggu setelah kejadian itu, aku berusaha untuk fokus bekerja dan menganggap kalimat Rena sebagai angin lalu. Namun alhasil, bukannya aku lupa, namun pekerjaanku menjadi berantakan.“Apa
“Maksud kamu apa Rei?” tanyaku dengan suara yang masih terdengar datar. Aku berusaha untuk tak tersulut emosi dengan apa yang baru saja Reinard ucapkan.Aku hanya berharap, Reinard salah bicara atau aku yang terlalu berfikir berlebihan, mengingat bahwa aku selalu sensitive setiap kali membicarakan Rena.“Kamu bilang tidak mengijinkan Rena untuk tinggal sama kita kan Jul? jadi aku bermaksud untuk membelikannya apartement agar ia bisa tinggal disana setelah pulang dari rumah sakit.” Jawab Reinard.“Jadi, maksud kamu…..Rena kamu beli’in rumah atas nama dia sendiri begitu?!” suaraku meninggi, sudah tidak bisa menahan apa yang bercokol di benakku. Harapanku bahwa Reinard salah berucap sirna sudah. Karena kenyataannya, ia sudah membelikan perempuan itu sebuah apartement.Reinard mengangguk. “Aku tidak mungkin bukan membiarkannya tinggal di panti bersama anak-anak lain. Rena butuh tempat yang nyaman, jauh dari kebisingan dan tentu saja tempat yang baik untuk kesehatannya.”“Iya tapi tidak de
“Ma…..perut Julia sakit banget ma…..!” erangku lirih sambil menahan isakan. Tanganku meremas kuat jemari mama yang duduk di sampingku. Sementara papa mengemudi dengan kecepatan yang lebih daripada biasanya ia menyetir.“Tahan ya….sebentar lagi sampai rumah sakit kok.” Mama menatapku dengan cemas. Aku mengangguk lemah. Aku sama sekali tidak cemas dengan diriku sendiri, pikiranku sekarang begitu takut, begitu takut terjadi apa-apa dengan anak yang berada di dalam rahimku. Apa yang salah dengannya, sampai aku perdarahan begini? Bukankah aku sudah sangat berhati-hati menjaganya?“Rosa….mas Reinard udah kamu hubungi belum?” Tanya mama pada Rosa yang duduk di depan—di samping kemudi.“Udah ma. Tapi enggak diangkat.” Sahur Rosa. “Mungkin mas Reinard udah tidur. Ini kan udah pukul sebelas malem ma.”Mama tidak menjawab, mungkin setuju dengan pemikiran Rosa. Sedangkan aku berfikir hal lain. Mungkin saat ini suamiku tengah bersama Rena, karena kondisi perempuan itu yang tiba-tiba saja drop ata
mengambil keputusan bercerai bukanlah hal yang mudah bagiku. Sementara aku sangat mencintai suamiku, namun di sisi lain aku juga terluka dengan apa yang sudah dilakukannya kepadaku. Dia memang tidak selingkuh, namun apa yang sudah dilakukannya membuat luka hatiku lebih dari itu. Dia memang tidak berkhianat, bahkan dia mengatakan bahwa sangat mencintaiku. Namun sikapnya kepada perempuan itu membuktikan bahwa ia juga memiliki kasih sayang yang besar, sikap peduli yang ia tujukan kepada perempuan selain istrinya.“Aku mohon Julia, jangan mengatakan hal semacam itu.” Ia erat memegang jemariku. Isak tangisnya terdengar jelas, menandakan ia tidak siap dengan permintaanku.“Aku tidak bisa melanjutkan hubungan menyakitkan ini Rei….” Sahutku. “Aku mohon lepaskanlah aku.”“Aku tidak bisa, aku mencintaimu Julia.”“Tapi apa yang kamu lakukan sekarang menyakitiku Rei. Sangat!” aku mengelus perutku, kembali batinku terasa perih saat mengingat jika tak ada lagi bayiku di sana. “Dan aku juga sudah ke