“Maksud kamu, Reinard sering enggak masuk kerja gitu?” tanyaku dengan tatapan heran sekaligus tidak percaya. Bagaimana mungkin, padahal setiap hari suamiku pasti berangkat pagi-pagi dari rumah dengan stelan formal dan tas kerjanya. Mana mungkin ia sering tidak masuk?
“Kalau enggak percaya yaudah.” Wina berbalik, hendak meninggalkanku.
“Tunggu!” cegahku. Meskipun gadis di depanku ini sulit dipercaya, namun aku benar-benar butuh dia sekarang.
“Jadi dalam satu bulan, ia bisa enggak masuk kerja berapa kali?” tanyaku ketika Wina kembali menghadap padaku.
Gadis itu tampak berfikir. “Sering sih….” Sahutnya kemudian. “Apalagi kalau udah dapet telepon. Meskipun ada rapat penting, dokter Reinard pasti membatalkan rapat itu kemudian pergi.”
Aku tidak menyahut. Hatiku terlalu sakit menerima fakta mengejutkan ini. Berarti telepon yang sering ia terima setiap waktu itu bukanlah telepo
Aku menunggu Wina dengan perasaan cemas. Sudah lebih dari sepuluh menit sejak aku meninggalkan café Rangga tadi dan melajukan mobilku di jalan raya. Namun karena aku tidak bisa berputar-putar hanya untuk menunggu ponselku berdering, akhirnya aku menghentikan mobilku di pinggir jalan.“Please Win, segera telepon aku.” Aku meremas-remas kemudiku dengan tidak sabar. Berkali-kali ku toleh ponselku yang ku letakkan di kursi samping pengemudi. Namun benda pipih itu masih diam seribu bahasa.Brrrt….brrtt…brrtt….Akhirnya!Aku bernafas lega ketika nomor Wina menari-nari di layar ponselku. Tak mau menunggu, aku langsung mengambil dan menggeser layar hijau di sana.“Win, gimana?!” tanyaku to the point.“Tan, kayaknya beneran ke Bogor deh.” Sahut Wina.Aku mengerutkan alisku. Jantungku menciut, bahkan serasa di remas.“Beneran?”“Iya. Ini udah masuk t
Aku meninggigit bibir bawahku dengan keras, mencari cara terbaik agar tangisanku tidak pecah di lorong rumah sakit ini. Kini aku sudah berdiri, namun lututku bergetar. Hatiku terasa dicabik-cabik dengan sebilah pisau tajam. Mengoyaknya begitu dalam sampai aku kehabisan nafas.“Mbak...ngapain disitu? Yok, kita ikuti.” Suara Wina menyentak lamunanku. Mataku kembali fokus pada Reinard dan wanita itu yang sudah berbelok. Aku ragu dengan apa yang ingin aku lakukan sekarang. Bagaimanapun juga, dia suamiku yang sedang bersama dengan perempuan lain, seusia kurang lebih sama denganku, dan mereka begitu akrab. Bahkan aku bisa melihat senyum Reinard mengembang ketika mereka asyik dengan obrolan. Rupanya selain denganku, Reinard bisa sehangat itu. aku pikir ia akan bersikap dingin dengan wanita selain aku.Aku ingin menuntaskan rasa penasaranku, namun di hati kecilku yang lain aku merasa jika apa yang kulakukan ada sebuah kesalahan yang akan membuat hubunganku dengan s
Hidup dengan seorang pria yang tidak bisa selalu berkata jujur itu memang sangat menyiksa. Apalagi itu adalah seseorang yang sangat aku cintai. Aku ingin bertanya padanya tentang banyak hal, tentang apa yang kamu kerjakan di Bogor? Siapa wanita itu? apakah hubunganmu dengannya? Kalimat-kalimat itu selalu ingin saja keluar dari mulutku ketika aku bersama Reinard, meskipun pada akhirnya hanya menggantung di rongga mulutku dan tak bisa aku katakan. Aku terlalu takut ia marah padaku lalu meninggalkanku.“Lo ngapain ninggalin mobil di Bogor? Rumah sakit lagi.” Tanya Arian waktu itu ketika ia mengembalikan kunci mobilku. Aku sedang asyik menatap lalu lalang kendaraan dari jendela kantor. Pekerjaan yang sia-sia, namun begitu asyik ketika masalah mendera seperti ini.“Lo sakit ya Jul?” pria itu mendekat ke arahku, dan menarik kursiku hingga menghadap ke arahnya. “Busyeeet lo mirip mayat hidup Jul!” ia ternganga melihat wajahku yang mungkin t
“Lo kenapa sih kalau kesini enggak pernah kelihatan bahagia?” Rangga bersidekap di depanku dengan alis terangkat. “Gue jadi curiga, lo inget cafe ini kalau pas pikiran lo suntuk doang. Selebihnya lo lupa kan?”Aku mendongak menatapnya. Bukan karena kesal dengan apa yang ia katakan, namun dalam hati membenarkan semua kalimatnya. Aku juga heran dengan diriku sendiri, setiap kali merasa suntuk, sekedar duduk dan minum kopi di cafe ini cukup membuatku terhibur.“Akh, Cuma perasaan lo aja kali.” Aku mengibaskan tangan. “Gue mau espresso dong.” Kataku kemudian.“Untung ya, lo kesini pesen. Jadi gue anggep pelanggan. Coba kalau Cuma duduk diem aja.” Sahur Rangga sambil berlalu dan aku hanya senyam-senyum saja karena tahu kalau dia sedang mengajakku bercanda.Tak berselang lama, Rangga datang membawa baki berisi dua gelas espresso dan sepotong tiramisu.“Gue enggak minta tiramisu lho, dan ju
Aku lupa dengan lelah dan penat yang kurasakan beberapa waktu yang lalu. Kini dengan hati yang terbakar dan perasaan yang tak bisa kujelaskan, aku memacu mobilku menuju Bogor. Hujan turun rintik-rintik membasahi bumi, namun aku tidak peduli. Apalagi setelah Wina mengatakan bahwa Reinard sudah tidak ada di rumah sakit sejak sejam yang lalu, aku semakin yakin bahwa suamiku tersebut pergi ke Bogor untuk menemui wanita di atas kursi roda itu.Aku memarkir kendaraanku di depan rumah sakit. Setelah menurunkan hand rem, aku menghela nafas lalu menyandarkan tubuhku. Pandanganku tertuju ke depan, pada gelap yang mulai merangkak naik, lampu-lampu rumah sakit yang mulai berpendar di segala penjuru dan gerimis yang menimpa kaca depan mobilku. Entah bagaimana rasanya, namun kini perasaanku hampa. Apa yang aku lakukan disini? Benarkah apa yang aku lakukan? Haruskah aku kembali saja dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa, lalu membiarkan Reinard dengan rahasianya? Tapi sulit. Hatiku terlalu
Aku menatap suamiku dengan hampa. sekarang ini, aku sudah tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Wanita itu bernama Rena, salah satu penghuni panti asuhan yang dulu sempat tinggal bersama Reinard. Rena memiliki gangguan pada jantungnya semenjak ia kecil, yang mengharuskan ia terus menerus tinggal di rumah sakit dalam waktu yang lama. Aku tahu, bahwa perasaan mereka sebagai sahabat, apalagi sejak mereka kecil begitu kuat ikatannya. Namun apakah sampai harus berbohong kepadaku, sampai harus mengesampingkan aku sebagai istrinya?“Entahlah, kamu tidak bisa membuatku berfikir realistis.” Aku menumpukan kedua siku di atas meja, lalu dengan gerakan spotan menyisir rambutku ke belakang dengan kedua tanganku. “Apa salahnya jujur kepadaku selama ini Rei?” kepalaku berdenyut hebat. Aku cemburu, marah dan juga kecewa. Semua hal itu bercampur menjadi satu di hatiku, dan sensasinya sungguh luar biasa.“Maafkan aku Jul. Aku pikir kamu tidak akan per
“Kamu ngapain disini Rei?” tanyaku dengan heran. Aku tak bisa memungkiri bahwa aku terkejut sekarang.Bukannya menjawabku, Reinard justru menghambur ke arahku dan duduk di pinggir tempat tidur pasien. Mengacuhkan Rangga yang masih duduk dengan gaya santainya di kursi sampingku.“Kamu sakit apa Jul? Udah aku bilang kan, kalau semalem kamu harus ganti baju biar nggak masuk angin. Lagian, semalem kamu kemana Jul? Aku nyari’in kamu kayak orang gila!” Serentetan kalimat terus meluncur dari bibir Reinard. Seakan apa yang terjadi kemarin, dan semua hal yang menguras emosiku itu tidak ada apa-apanya lagi. Seakan ia adalah suami paling perhatian di dunia dan selalu menomor satukan istrinya. Meskipun pada kenyataannya.........Ah, sudahlah. Aku tak perlu membahasnya.“Aku....aku....” Tangan Reinard terulur, telapak tangannya membingkai kedua pipiku.“Aku cemas Julia!” sorot matanya tajam padaku, pen
Aku melihat bibir pucat itu tersenyum kepadaku dengan mata sayunya yang tak berhenti menatapku. Wanita di atas tempat tidur itu terlihat berkedip beberapa kali, mungkin ia sedikit terkejut dengan kedatanganku yang mendadak ini.“Oh, aku bawakan beberapa buah segar.” Buru-buru aku meletakkan bingkisan buah yang sejak tadi ku pegang ke atas nakas. Aku merasa kikuk ditatap dengan sorot seperti itu. seandainya saja aku bisa mengeluarkan aksi protesku, bahwa aku bukan artis atau seseorang yang dikasihani karena bukan wanita pertama di hati Reinard. Namun bibirku tetap terkatup. Aku hanya ingin terlihat sebagai wanita anggun di depan Rena, agar ia bisa berfikir bahwa Reinard memang tidak salah dalam memilih istri meskipun aku berusia lebih tua.“Makasih udah datang mbak.....Namaku Rena....” Rena mengulurkan tangannya. Namun bukannya menerima uluran tangan itu, aku malah menoleh pada Reinard yang berdiri di sampingku. Entah apa maksudku dengan menatap