Saira menarik napas pelan sebelum melangkah mendekati mereka.Cakra sekilas menoleh, lalu kembali fokus pada Shopia yang masih sibuk dengan makanannya. Tidak ada senyuman, tidak ada pertanyaan apakah dia senang berbelanja. Saira sudah terbiasa.“Sudah selesai?” tanya Cakra datar.Saira mengangguk. “Kita pulang sekarang?”Cakra meneguk minumannya, lalu berdiri. “Ayo.”Mereka bertiga meninggalkan gerai makanan cepat saji dan berjalan menuju mobil. Shopia, dengan langkah kecilnya, menggenggam tangan Cakra tanpa ragu. Saira, seperti biasa, hanya mengikuti dari belakang.Perjalanan pulang berlangsung dalam keheningan. Shopia sempat berceloteh sebentar, tetapi seiring waktu, suara cerianya meredup. Kepalanya mulai terkulai, kelopak matanya semakin berat, dan akhirnya ia tertidur di bangku belakang.Saat mobil berhenti di depan rumah, Cakra menoleh ke belakang. “Dia tertidur.”Saira ikut menoleh dan melihat wajah polos Shopia yang terlelap dengan napas teratur. Tanpa menunggu jawaban, Cakra
Cakra menepati kata-katanya.Sudah seminggu berlalu sejak ia menyatakan kesediaannya untuk mengantar jemput Saira. Setiap hari, ia selalu datang tepat waktu tanpa terlambat sedikit pun.Namun, bukannya merasa nyaman, Saira justru semakin sesak dengan rutinitas itu. Ia kehilangan kebebasannya.Dulu, ia bisa mampir sebentar ke coffee shop bersama Sekar setelah mengajar, sekadar berbincang atau menikmati rum regal favoritnya tanpa terburu-buru. Sekarang? Bahkan merencanakannya saja tidak sempat.Sama seperti hari ini...Sejak siang hingga menjelang petang, jadwal mengajarnya tergantikan dengan rapat program baru bersama Sekar, Jehian, Anggara, dan beberapa dosen lainnya.Saira keluar lebih dulu bersama Sekar, sementara yang lain masih membahas beberapa hal di dalam ruangan. Begitu melewati pintu utama, matanya langsung menangkap sosok Cakra yang berdiri santai di depan mobil.Pria itu mengambil tempat di bawah pohon rindang, bersandar dengan satu tangan di saku celana, ekspresi wajahnya
"Aku nggak butuh kesepakatan." Cakra menolak tanpa ingin bertanya soal kesempatan apa yang Saira tawarkan.Pria itu bahkan memilih fokus pada jalanan di hadapannya. "Tapi kamu melarangku ini-itu, sementara kamu bebas melakukan apa saja! Itu nggak adil buatku, Cakra!" Suara Saira meninggi, menyiratkan kemarahan dan kekecewaan yang tak lagi bisa ia tahan lagi. Cakra terdiam. Tatapannya tertuju pada wajah Saira yang kini mengeras. Ia bisa melihat sorot terluka di mata wanita itu, dan entah kenapa membuat dadanya terasa sesak.Namun, alih-alih melunak, ia justru mendengus pelan. "Dari awal, nggak ada yang bilang pernikahan ini akan adil."Saira kembali melemparkan tatapan tajam. "Justru karena itu aku mau kita adil sekarang! Aku cuma ingin ada aturan yang jelas. Kalau kamu bisa melakukan apa saja, aku juga harusnya punya kebebasan yang sama."Cakra mengetukkan jemarinya ke kemudi. Wajahnya tetap dingin, nyaris tanpa ekspresi. "Aku nggak tertarik bikin aturan atau kesepakatan. Yang jela
Mobil yang ditumpangi Saira dan Cakra masih melaju di jalan raya, hanya tinggal beberapa kilometer lagi sebelum sampai di rumah. Di tengah perjalanan yang hening itu, ponsel di saku celana Cakra bergetar. Getaran cukup kuat hingga menarik perhatian Saira. Ia melirik ke arah suaminya, tetapi begitu melihat nama Indira terpampang di layar, ekspresinya berubah. Seketika, ia membuang pandangan dan memilih diam. Cakra sendiri tak menunjukkan minat untuk mengangkat panggilan itu. Ia hanya menekan tombol volume agar ponsel berhenti bergetar. "Nggak mau angkat?" tanya Saira tanpa menoleh. "Nanti saja, baru nyetir," sahut pria itu santai. Namun, di sisi lain, perut Saira terasa geli. Ia tahu persis—kalau dirinya tidak ada, Cakra pasti langsung mengangkat panggilan itu tanpa ragu, bukan? Tak lama kemudian, ponsel Cakra kembali bergetar. Kali ini lebih lama. Saira mendesah lelah. "Sudahlah, angkat saja sana!" serunya, lalu sengaja mengalihkan pandangan ke luar jendela, seolah tak tertarik
Cakra mendorong pintu rumah dengan sedikit keras. Langkahnya cepat, suaranya menggema di lantai marmer yang dingin. Tanpa ragu, ia menaiki tangga, lalu berhenti di depan pintu kamar yang sedikit terbuka.Di dalam, Saira sedang membungkuk di samping ranjang, tangannya sibuk memasukkan pakaian ke dalam koper terbuka di lantai. Wajahnya basah, tapi tangannya tidak berhenti bergerak mengemasi baju-bajunya.Cakra berdiri di ambang pintu, rahangnya mengatup. Pandangannya terkunci pada sosok istrinya yang kini telah menutup koper berwarna hitam itu.Tanpa sepatah kata, lelaki itu melangkah masuk dan menarik koper yang hendak dibawa pergi Saira dengan kasar.Saira tersentak, lalu mendongak dengan mata merah dan bengkak. Ia mengusap pipinya cepat-cepat, lalu berdiri tegak di hadapan suaminya."Apa sih maumu?" protesnya dengan suara serak, tapi bernada tajam.Cakra tak menghiraukannya dan menjauhkan koper dari hadapan Saira."Kamu tetap di sini!" balas pria itu tak kalah tegas."Kembalikan kope
Saira duduk di tepi ranjang, tidak bergerak. Tubuhnya masih dibalut pakaian kerja yang kusut, wajahnya tak kalah sembab karena air mata.Malam bergerak semakin larut.Sudah belasan menit berlalu setelah Saira bertengkar dengan Cakra tadi. Entah kemana perginya lelaki itu, tetapi istrinya masih setia menumpahkan tangisannya sampai saat ini. Bi Surti duduk di sebelahnya, menggenggam tangan wanita itu dengan lembut. Berusaha memberikan dukungan padanya. "Bu, hari sudah malam. Sebaiknya Ibu makan dulu."Saira menggeleng pelan, tatapannya kosong ke arah dinding di hadapannya. "Saya nggak lapar, Bi."Bukan hanya rasa lapar yang hilang, tapi juga semua keinginannya untuk menjalani sore ini seperti yang telah ia rencanakan—semuanya lenyap dalam sekejap "Kalau begini terus, Ibu bisa sakit."Saira menghela napas pendek, suaranya nyaris seperti bisikan. "Mau saya sehat, sakit, hidup, atau mati… dia juga nggak akan peduli."Bi Surti terdiam sesaat, lalu jemarinya mengusap lembut punggung tang
Sementara itu, di sisi lain…Cakra duduk di pinggir kolam selama beberapa menit, membiarkan secangkir kopi buatannya sendiri mendingin di atas meja. Tatapannya kosong, terarah pada ikan-ikan yang sesekali muncul ke permukaan sebelum kembali tenggelam.Pakaian pria itu telah berganti dengan baju santai yang biasa ia kenakan di rumah. Hawa dingin malam membalut tubuhnya, tapi bahkan rambut basah seusai mandi tak mampu meredakan bara api yang berkecamuk di kepalanya.Saira…Wanita itu memenuhi pikirannya, bersama dengan ucapannya yang terus terngiang.Benarkah dia yang egois?Benarkah semua keputusannya selama ini hanya membuat Saira tidak bahagia?Dan benarkah dia terlalu menutup diri hingga pernikahan mereka berubah menjadi seperti ini?Tsk. Omong kosong.Tapi semakin ia mencoba menepis pemikiran itu, semakin dalam kata-kata Saira mengakar di benaknya.Kesalahpahaman di antara mereka terasa seperti lingkaran tak berujung. Dan yang paling menyebalkan adalah—ia sendiri tidak tahu bagaima
Cahaya temaram dari lampu di langit-langit membuat Saira mengerjap beberapa kali. Aroma antiseptik menyusup ke hidungnya, dan hawa dingin dari pendingin ruangan membuat kulitnya menggigil samar. Perlahan, pandangannya mulai jelas. Tirai berwarna biru muda, botol infus tergantung di tiang besi di samping tempat tidur. Rumah sakit? Kenapa dia ada di sini? Keningnya mengerut saat mencoba mengingat apa yang terjadi, tapi kepalanya terasa berat. Tubuhnya juga lemas. Saat Saira berusaha mengangkat tubuhnya, suara berat menghentikannya. "Jangan bangun." Refleks, ia menoleh. Cakra. Pria itu duduk di kursi tak jauh dari ranjangnya, dengan tubuh condong ke depan, kedua lengan bertumpu di lutut. Matanya tajam, tapi ekspresinya sulit dibaca. Beberapa detik kemudian, Cakra berdiri dan berjalan mendekat. "Kenapa aku di sini?" "Kamu pingsan." Saira mengerutkan dahi, mencoba mengingat, tapi pikirannya tetap kosong. Tangannya bergerak, berusaha bangkit, namun sebelum sempat melakukannya, je
Saira menghela napas panjang. Ia tak tahu apa niat lelaki itu, tapi ia hanya bisa berharap ini adalah sesuatu yang baik bagi hubungannya dengan Cakra.Beberapa jam kemudian, suara pintu yang terbuka pelan membuatnya mengalihkan pandangan dari langit-langit kamar. Obat yang ia minum tadi siang sudah bereaksi, membuatnya mengantuk berat. Namun, hingga saat ini, Saira belum benar-benar tidur. Ia hanya berbaring dalam diam, pikirannya dipenuhi berbagai hal yang sulit dijelaskan.Cakra melangkah masuk, membawa nampan berisi beberapa camilan dan segelas teh hangat. Tanpa berkata apa-apa, ia meletakkan nampan itu di atas meja kecil di samping tempat tidur."Kamu mau?" tanyanya akhirnya, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.Saira melirik nampan itu sejenak sebelum kembali menatap Cakra. "Aku nggak minta makanan."Cakra duduk di tepi tempat tidur yang kosong. "Aku yang bawa."Saira diam. Tatapannya tertuju pada bungkusan kecil berisi biskuit dan beberapa potong roti. Ia mengenali cam
Kotak kecil berwarna hitam itu masih teronggok di atas meja. Saira menatapnya dengan ragu—penasaran dengan isinya, tetapi enggan untuk membukanya.Cakra menggeser kotak itu ke arahnya. "Buka saja," ucapnya singkat.Dengan tarikan napas pelan, Saira akhirnya meraih kotak itu dan membuka penutupnya. Mata cokelatnya sedikit membesar saat melihat isinya—sebuah gelang emas bertatahkan permata kecil yang berkilauan halus di bawah cahaya.Entah bagaimana Cakra bisa tahu seleranya, tapi desain gelang itu begitu simpel, nyaris serupa dengan koleksi perhiasan yang sering ia pakai."Itu buat kamu," ujar Cakra datar. "Anggap saja sebagai permintaan maaf soal Mama kemarin."Sejenak, Saira membisu. Matanya menatap gelang itu, lalu beralih ke wajah Cakra. Sekilas, ia menangkap kegugupan samar dalam sorot mata laki-laki itu.Namun, perasaan hangat yang sempat muncul di dadanya langsung menguap begitu saja.Soal Mama.Saira menutup kembali kotak itu dengan tenang, lalu mengulurkannya kembali kepada Ca
Cakra melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.Hanya satu hal yang ada di pikirannya—Saira.Begitu tiba di rumah, ia langsung turun dan melangkah cepat menuju kamar wanita itu. Namun, yang ia temukan di sana hanyalah Bi Surti yang tengah merapikan tempat tidur.Mendengar suara langkah kaki, Bi Surti menoleh. Wajahnya sedikit tegang saat melihat Cakra."Pak Cakra," sapanya hati-hati."Di mana Saira?" tanya Cakra, suaranya terdengar tegang.Bi Surti menunduk ragu. Baru beberapa menit yang lalu ia memberi tahu majikannya bahwa Saira hanya beristirahat di kamar. Tapi sekarang, saat Cakra tiba, wanita itu malah tidak ada."Ibu ada di balkon, Pak... katanya mau bekerja," jawab Bi Surti sedikit bimbang. Ia ragu sejenak sebelum menambahkan, "Tapi dari tadi Ibu belum makan, Pak."Tatapan Cakra langsung tertuju pada nampan di atas meja kecil. Makanan di sana masih utuh—nasi putih, buah potong, dan semangkuk sup sama sekali tidak tersentuh. Hanya segelas air yang berkurang sedikit.Astaga.Ap
Keesokan harinya.Di ruang rapat kantor, Cakra duduk di kursi utama dengan ekspresi serius. Layar proyektor di hadapannya menampilkan presentasi proyek hotel baru di Semarang. Bram, sahabat sekaligus rekan bisnisnya, tengah menjelaskan detail rencana konstruksi—mulai dari anggaran hingga desain interior yang akan dibahas lebih lanjut bersama tim sore nanti.Namun, pikiran Cakra tidak sepenuhnya berada di ruangan itu. Kejadian semalam terus terputar di kepalanya—tatapan penuh luka Saira, suaranya yang bergetar saat menuntut kebenaran, dan keheningan yang seolah menjadi jurang di antara mereka.Bahkan sampai pagi ini dia belum bisa bicara dengan Saira. Wanita itu menutup diri. Sedangkan Cakra tak ingin mengganggubya terlebih dahulu. "Cak, dengerin nggak?" Suara Bram memecah lamunannya. Pria yang berusia sama dengannya itu melayangkan protes saat apa yang telah ia utarakan tak diberikan sanggahan maupun pujian. Hanya di hadiahi tatapan kosong dari Cakra. Sementata Cakra mengalihkan
Suara Cakra terdengar dingin. Telunjuknya terangkat menunjuk ke arah pintu. Ambar yang mendengar itu langsung menoleh, menatap putranya dengan tidak percaya. "Apa?" "Keluar, Ma," ulang Cakra, kali ini lebih tegas. "Mama sudah kelewatan." Wajah Ambar menegang. "Kamu sudah berani mengusir Mamamu sendiri?" Cakra mengepalkan rahang, berusaha menahan emosi yang jelas hampir meledak. "Mama sudah melampaui batas." Ambar menatap putranya dengan mata menyala. "Kamu lebih memilih perempuan ini daripada orang yang melahirkanmu?" Cakra tidak menghindari tatapan ibunya. Matanya tajam, penuh ketegasan. "Aku tidak memilih siapa pun, Ma. Tapi kalau Mama terus bersikap seperti ini, aku tidak akan diam saja." Hening. Untuk sesaat, hanya napas berat yang terdengar. Ambar mengepalkan tangannya sebelum akhirnya mengalihkan tatapan ke Saira yang masih duduk diam. Pakaiannya basah, rambutnya juga. Air yang tadi disiramkan masih menetes dari ujung helainya. "Perempuan ini sudah merusak semuanya!"
Saira menelan ludah dengan susah payah. Ia yakin wajahnya seperti kepiting rebus sekarang! sementara Cakra menarik kembali tangannya dengan ekspresi datar, seolah tidak menyadari akibat dari tindakannya. Ia buru-buru menunduk, kembali menyendok nasi goreng untuk mengalihkan perhatian dari detak jantungnya yang tak karuan. Namun, bukannya berhasil menenangkan diri, pikirannya justru semakin kacau. Kenapa Cakra begitu santai? Seolah menyentuh wajahnya adalah hal biasa? "Kamu nggak makan lagi?" Cakra bertanya tiba-tiba, memecah keheningan. Saira tersentak. "Hah? Aku—aku udah kenyang," jawabnya tergesa. Cakra melirik piringnya yang masih tersisa setengah. "Padahal tadi kelihatan lapar." "Udah cukup. Takut mual." Saira beranjak, meraih gelasnya untuk meneguk air. Ia butuh sesuatu untuk menetralkan kegugupan yang tiba-tiba menyerangnya. Namun, saat hendak berjalan ke wastafel, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Rasa pusing yang tadi sempat mereda kini kembali menyerang,
Setelah mandi, tubuh Saira terasa lebih segar, meski sesekali rasa lemas dan sakit kepala masih menyerangnya. Ia mengenakan pakaian santai lalu turun ke dapur dengan rambut yang masih sedikit lembap. Begitu mencapai anak tangga terakhir, aroma sedap langsung menyeruak, menyambutnya. Sepasang matanya otomatis tertuju pada sosok Cakra yang berdiri di depan kompor. Ia berhenti di ambang pintu, menatap punggung pria itu dengan tatapan tak percaya. Saat bertanya tadi, ia mengira Cakra akan memesan makanan, bukan memasak sendiri. Seumur hidupnya, ia tak pernah melihat suaminya menyentuh dapur. Biasanya, ia yang harus repot menyiapkan makanan—itu pun kalau Cakra bersedia menyantapnya. "Kamu… masak?" tanyanya ragu. Tanpa menoleh, Cakra hanya mengangguk singkat. Tangannya lincah menaruh telur mata sapi di atas sepiring nasi goreng sebelum membawa dua piring porselen ke meja makan. Saira mendekat, masih belum sepenuhnya percaya dengan apa yang dilihatnya. “Nggak ada bahan lain di kulkas
Rasanya baru beberapa jam Saira memejamkan mata, tetapi ternyata pagi datang terlalu cepat.Ia membuka mata perlahan, mengerjap beberapa kali saat cahaya matahari menyelinap masuk dari sela-sela tirai. Sekilas, ia terkejut karena matahari sudah meninggi, tetapi ingat bahwa semalam ia sudah mengirimkan surat keterangan dokter ke bagian personalia.Suara gemerisik terdengar di sebelahnya. Ia mendongak, mendapati Cakra sudah bangun lebih dulu.Lelaki itu duduk di tepi ranjang, fokus pada komputer jinjing di pangkuannya. Cahaya layar memantulkan siluet wajahnya yang tetap datar, seolah keberadaan Saira tidak berarti apa-apa baginya.Saira melirik jam dinding. Pukul sembilan pagi.Seharusnya, lelaki itu sudah berangkat ke kantor. Tapi kali ini, ia masih di kamarnya."Sudah bangun?"Suara bariton Cakra memecah keheningan. Lelaki itu menoleh sekilas ke arah Saira sebelum kembali fokus pada pekerjaannya.Saira menggeliat pelan, lalu duduk bersandar di kepala ranjang, tepat di samping Cakra. "
Aku berubah pikiran.Saira menoleh, menatap suaminya dengan alis sedikit berkerut. Entah apa yang membuat lelaki itu tiba-tiba berkata begitu.Tatapannya jatuh ke wajah Cakra, mencari tanda-tanda keseriusan. Tapi, seperti biasa, lelaki itu hanya menampilkan ekspresi datarnya."Kamu sendiri yang bilang nggak mau ada kesempatan di antara kita," suara Saira terdengar datar. "Jadi, untuk apa diungkit lagi?"Cakra tetap berbaring, menatap langit-langit kamar seakan ada sesuatu yang menarik di sana. "Aku cuma ingin tahu isi kesepakatan yang kamu tawarkan tadi."Saira menghela napas pelan. Ia memang sudah tidak ingin menaruh harapan lagi pada lelaki itu. Terlebih, kejadian tadi seolah membuka matanya lebar-lebar. Dia tidak punya hak untuk menuntut apa pun dari Cakra, sekalipun berstatus sebagai istrinya."Memangnya kalau sudah dengar, kamu akan setuju?""Kalau menguntungkan, mungkin bisa kupertimbangkan."Saira hampir tertawa. Tentu saja. Lelaki ini selalu melihat segalanya dari sudut pandan